Kamis, 29 Oktober 2009

Pendudukan Napoleon & Pengaruhnya Terhadap Pembaharuan di Mesir




Pendudukan Napoleon dan Pengaruhnya Terhadap Pembaharuan di Mesir



PENDAHULUAN

            Masyarakat Mesir adalah masyarakat religius yang sangat menghormati agama. Mereka memandang agama di atas segala-galanya, sebagai bagian integral dari budaya, adat istiadat, dan masyarakat. Kelompok-kelompok Islam, masing-masing menurut doktrinnya, memanfaatkannya dengan menggunakan semua kekuatan untuk menrongrong negara dan meraih tujuan bersama, penerapan hukum Islam  (syariah) dan menegakkan pemerintahan Islam yang terbebas dari segala pengaruh Barat. Demikianlah kelompok-kelompok itu yakin pada masa Nabi Muhammad dan para pengikut awalnya. Mereka mengidealisasikan periode awal Islam dan menurut ajaran mereka hanya kembali ke zaman keemasan inilah Mesir modern bisa sembuh dari segala penyakit. Dengan berdalih  bahwa pengaruh Barat yang dimulai dari invasi Napoleon sebagai akar segala kebobrokan, mereka mendukung  tulisan-tulisan dan deklarasi-deklarasi mereka dengan tafsir Al-Qur’an dari Ibnu Hanbal dan Ibnu Taimiyah yang keduanya menyeru untuk membaca Al-Qur’an  secara tekstual, sembari menolak semua penafsiran, filsafat, dan teks-teks yang menyertai.
            Di makalah ini kami membahas tentang pendudukan Napoleon dan pengaruhnya terhadap pembaharuan di Mesir. Untuk lebih jelasnya lagi anda bisa membaca hasil pembahasan kami mengenai ini.
           

PEMBAHASAN
TOKOH PEMBAHARUAN DI MESIR
PENDUDUKAN NAPOLEON DAN PENGARUHNYA TERHADAP PEMBAHARUAN DI MESIR

             Sebelum membahas tentang pendudukan Napoleon dan pembaharuan di Mesir, kami akan membahas terlebih dahulu sedikit tentang mengenai perkembangan modern di Mesir sebelum gagasan Modernisme.


A.     Perkembangan Modern Di Mesir Sebelum Gagasan Modernisme
         Memulai sejarah Mesir, akan lebih menarik dilacak dari munculnya (kekhalifahan) dinasti Fatimiyah, sebab pada masa inilah dibangunan Universitas Al-Azhar sebagai Perguruan Tinggi Islam besar tertua yang dianggap mewakili peradaban dan basis ilmiah-intelektual pasca-kalsik sampai modern, yang kini dianggap masih ada dan tidak terhapus oleh keganasan perang, berbeda dengan Universitas Nizamiyah di Bagdad yang hanya tinggal kenangan. Setelah keruntuhan Bagdad, Al-Azhar dapat disimbolkan  sebagai khasanah pewarisan bobot citra keagamaan yang cukup berakar di dunia Islam. Tonggak inilah yang membawa Mesir memiliki aset potensial dikemudian hari dalam gagasan-gagasan modernisme.
         Setelah Dinasti Fatimiyah dan penerus-penerusnya dilanjutkan lagi oleh Sultan Mamluk, yang pertama adalah Aybak (1250-1257 M), salah satu yang termasyhur  diantara pemimpin dinasti ini adalah Sultan Baybars (1260-1277) yang sanggup mengalahkan panglima Hulagu Khan di ‘Ain Jalut. Dinasti  Mamluk berkuasa di Mesir sampai tahun 1517 M. mereka inilah yang terkenal  sanggup membebaskan Mesir dan Suriah dari peperangan Salib serta yang  membendung kedahsyatan tentara Mogol di bawah pimpinan Hulagu dan Timur Lenk, dengan demikian Mesir terbebaskan dari penghancuran terutama dari  pasukan Mogol sebagaimana yang terjadi di dunia Islam yang lain.
         Mesir di bawah kekuasaan Kaum Mamluk kian menurun pamornya, sampai bangkit Kerajaan Turki Usmani yang mengadakan penyerbuan militer ke arah Kerajaan Bizantium di Asia Kecil. Setelah ia meninggal, ekspansi militer ini diteruskan  oleh anaknya Orkhan I (1326-1389 M) yang sanggup menaklukkan bagian Timur dari Benua Eropa, benteng Tzimpe dan gallipoli jatuh ke tanganya dan masih banyak penerus-penerusnya setelah Orkhan I.
         Situasi kekuasaan dan pemerintahan di Mesir pada  waktu itu sudah tidak dapat lagi dikatakan stabil. Kekacauan, kemerosotan sosial-kemasyarakatan sebagai wilayah yang selalu diperebutkan  dan diincar oleh negara-negara Islam kuat sungguh-sungguh membuat rakyat Mesir diliputi rasa ketakutan. Perhatian untuk membangun pun sangat lemah, sebab setiap saat selalu dihantui oleh perang. Dengan keadaan sedemikian lemah posisi Mesir, datanglah tentara Napoleon yang melebarkan sayap imperialnya ke wilayah-wilayah lain yang mempunyai potensi kekayaan alam, peradaban dan warisan-warisan historis yang memungkinkan untuk  dijadikan batu pijakan bagi kejayaan mereka dalam membangun impian menguasai dunia.
         Metode penguasaan  ilmu yang sangat doktrinal seperti  menghafal di luar kepala tanpa ada kengkajian dan telaah pemahaman, membuat ajaran-ajaran Islam seperti dituangkan demikian rupa ke kepala  murid dan mahasiswa. Para murid dan mahasiswa tinggal menerima apa  adanya. Diskusi dan dialog menjadi barang langka dalam pengkajian keislaman. Selain itu  filsafat dan logika dianggap tabu sebagai mata kuliah di perguruan tinggi dan madrasah. Sebagaimana dikatakan Muhammad Abduh, ia merasa jenuh dengan cara menerima ilmu dengan metode menghafal luar kepala.[1]
         Belum lagi realitas sosial-keagamaan secara umum yaitu berkembangnya pengaruh paham keagamaan dalam Tarikat yang membuat klaim Islam makin terorientasi kepada akhirat. Zuhud ekstrem dari metode Tarikat membuat ummat Islam lebih berusaha mengurusi alam ghaib, ketimbang dunia realitas. Pelarian kepada dunia akhirat membuat umat Islam tidak mempunyai semangat perjuangan melawan dominasi kezaliman disekitarnya, termasuk kezaliman penguasa. Guru-guru tarikat akhirnya menjadi  top figur dalam kepemimpinan agama.
         Setelah meninggal dunia pun kuburan para syaikh Tarikat ini masih dimuliakan dan dianggap sebagai wali yang selalu diziarahi. Namun ummat Islam yang menziarahi itu tidak benar-benar menginsyaratkan kepada akhirat, tapi hanya meminta berkah dan mengais keberuntungan material terhadap makna kekeramatan yang dihajatkan mereka. Pada klimaksnya, timbullah pengkultusan individu berlebihan yang membuat seseorang akan mudah terpuruk kepada perilaku mensyariatkan Allah. Karena mereka lebih mengutamakan meminta kepada para wali yang ada di dalam kubur sehingga mengabaikan berdoa langsung kepada-Nya.
         Kondisi sosial-keagamaan demikian, sebagaimana dilukiskan oleh Muhammad al-Bahy telah membuat rakyat Mesir dan dunia Islam pada umumnya lebih mementingkan tindakan individual. Ukhuwah Islamiyah yang menekankan kepada kebersamaan, persatuan, dinamisme hidup, rasionalitas berpikir dalam lapangan keagamaan, dan sebagainya telah hilang dikalangan ummat Islam. Termasuk di kalangan Universitas Al-Azhar sendiri, yang digambarkan  oleh Muhammad Abduh sudah kehilangan roh intelektual dan jihad keagamaan yang berpijak kepada kebenaran Al-Qur’an dan Sunnah Nabi.[2]
         Lebih jauh Muhamamd Abduh menggambarkan bahwa metode pendidikan yang otoriter juga merupakan  salah satu pendorong mandegnya kebebasan intelektual, sehingga ia sendiri merasa tidak begitu tertarik mendalami agama pada masa kecil lantaran kesalahan metode itu, yakni berupa cara menghafal pelajaran di luar kepala.[3]


B.     Pendudukan  Napoleon dan Pembaharuan di Mesir
         Setelah selesai revolusi 1789 Prancis mulai menjadi negara besar yang mendapat saingan dan tantangan dari Inggris. Inggris di waktu itu telah meningkat kepentingan-kepentingannya di India dan untuk memutuskan komunikasi antara Inggris di Barat dan India di Timur, Napoleon melihat bahwa  Mesir perlu diletakkan di bawa kekuasaan  Prancis. Di samping itu Prancis perlu pada pasaran baru untuk hasil perindustriannya. Napoleon  sendiri kelihatnnya mempunyai tujuan  sampingan lain. Alexander  Macedonia pernah menguasai Eropa dan Asia sampai ke India, dan Napoleon ingin mengikuti  jejak Alexander ini. Tempat strategis untuk menguasai kerajaan besar seperti yang dicita-citakannya itu, adalah Kairo dan bukan Roma atau Paris. Inilah beberapa hal yang mendorong Perancis dan Napoleon untuk menduduki Mesir.
         Mesir pada waktu itu berada di bawah kekuasaan kaum Mamluk, sungguh pun sejak ditaklukkan oleh Sultan Salim di tahun 1517, daerah ini pada hakikatnya merupakan bagian dari Kerajaan Usmani. Tetapi setelah bertambah lemahnya kekuasaan sultan-sultan diabad ke 17, Mesir mulai melepaskan diri dari kekuasaan Istambul dan akhirnya menjadi daerah otonom.
         Sultan-sultan Usmani tetap mengirim seorang Pasya Turki ke Kairo untuk bertindak sebagai wakil mereka dalam memerintah daerah ini. Tetapi karena kekuasaan sebenarnya terletak di tangan kaum Mamluk, kedudukannya di Kairo tidak lebih dari kedudukan seorang duta besar
         Kaum Mamluk berasal dari budak-budak yang dibeli di Kaukasus, suatu daerah pegunungan yang terletak di daerah perbatasan antara Rusia dan Turki.
         Bagaimana lemahnya pertahanan Kerajaan Usmani dan kaum Mamluk di ketika itu, dapat digambarkan  dari perjalanan perang di Mesir. Napoleon mendarat di Alexandria pada tanggal 2 Juni 1798 dan keesokan harinya kota pelabuhan yang penting ini jatuh.sembilan hari kemudian, Rasyid, suatu kota yang terletak  di sebelah timur Alexadria, jatuh pula. Pada tanggal 21 Juli tentara Napoleon  sampai di daerah piramid di dekat Kairo. Pertempuran melawan terjadi di tempat itu dan kaum Mamluk karena tak sanggup melawan senjata-senjata  meriam Napoleon, lari ke Kairo. Tetapi di sini mereka  tidak mendapat simpati dan sokongan dari rakyat Mesir. Akhirnya mereka terpaksa  lari lagi  ke daerah Mesir sebelah selatan. Pada tanggal 22 Juli, tidak sampai tiga minggu setelah mendarat di Alexandaria, Napoleon telah dapat   menguasai Mesir.
         Usaha Napoleon untuk menguasai daerah-daerah lainnya di Timur tidak berhasil dan sementara  itu perkembangan politik di Prancis menghendaki  kehadirannya di Paris. Pada tanggal 18 Agustus 1799, ia meninggalkan  Mesir kembali ke tanah airnya. Ekspedisi yang dibawanya ia tinggalkan di bawah pimpinan Jendral Kleber. Dalam pertempuran  yang terjadi di tahun  di tahun 1801 dengan armada Inggris, kekuatan Prancis di Mesir mengalami kekalahan. Ekspedisi yang dibawa Napoleon itu meninggalkan  Mesir pada tanggal 31 Agustus 1801.[4]
         Kedatangan Napoleon tersebut secara  umum membawa semangat imperialisme (kolonialisme) untuk menaklukkan Mesir agar menjadi daerah jajahannya. Namun ada beberapa hal yang dianggap positif dan meniupkan angin                                                                                                        segar bagi persentuhan antara dunia Arab (Islam) dengan Eropa, yaitu terbukanya mata dan pengetahuan tentang ketinggian peradaban Perancis. Hal ini membersitkan isyarat bahwa Mesir dan Dunia Arab umumnya saat ini berada di alam kegelapan dan keterbelakangan. Yang menguntungkan bagi Mesir, Perancis ketika datang di bawah komando Napoleon  juga menyertakan kaum cerdik pandai dan kalangan ilmuwan. Di dalam  rombongan itu terdapat 500 kaum sipil dan 500 wanita. Di antara kaum sipil itu ada 167 pakar yang menguasai pelbagai disiplin pengetahuan. Ekspedisi ini memang  berorientasi  militer namun  juga mengandung nilai ilmiah. Semangat dan keperluan ilmiah ini meliputi antara lain:  dibentuknya lembaga ilmiah  bernama  institut d’Egypte yang mempunyai empat bidang bahasan; Bagian Ilmu Pasti, bagian Ilmu Alam, Bagian Ekonomi-Politik dan Bagian Sastra-Seni. Sebagai sarana pendukung rombongan tersebut juga membawa peralatan yaitu dua  set percetakan huruf Latin Arab, dan Yunani. Alat-alat perlengkapan Ilmu Alam seperti teleskop, mikroskop dan percobaan-percobaan kimiawi dan sebagainya. Ditambah  dengan sarana bantu berupa perpustakaan besar yang menghimpun buku-buku dalam berbagai bahasa eropa dan buku-buku agama dalam bahasa Arab, Persia dan Turki yang amat lengkap.
         Institut d’Egypte boleh dikunjungi orang Mesir, terutama para ulamanya, yang diharapkan oleh ilmuwan-ilmuwan Prancis yang bekerja di lembaga itu, akan menambah pengetahuan mereka tentang Mesir, adar istiadatnya, bahasa dan agamanya. Disinilah orang-orang Mesir dan umat Islam buat pertama kali mempunyai kontak langsung dengan peradaban Eropa yang baru lagi asing bagi mereka itu.
         Abd al-Rahman al-Jabarti, seorang ulama dari Al-Azhar dan penulis sejarah, pernah mengunjungi  lembaga itu di tahun 1799. yang menarik perhatiannya ialah perpustakaan besar yang mengandung buku-buku, bukan hanya dalam bahasa-bahasa Eropa, tetapi juga buku-buku agama dalam bahasa Arab, Persia dan Turki. Diantara ahli-ahli yang dibawa Napoleon memang terdapat kaum orientalis yang pandai dan mahir berbahasa Arab. Merekalah yang menerjemahkan perintah dan maklumat-maklumat Napoleon ke dalam bahasa Arab.
         Alat-alat kimiah, seperti teleskop, mikroskop, alat-alat untuk percobaan kimiawi, dan sebagainya, eksperimen-eksperimen yang dilakukan di lembaga itu, kesungguhan orang Perancis bekerja dan kegemaran mereka pada ilmu-ilmu pengetahuan, semua itu ganjil dan menakjubkan bagi al-Jabarti.
         Kesimpulan tentang kunjungan itu ia tulis dengan kata-kata berikut:
“Saya lihat  di sana benda-benda dan percobaan-percobaan  ganjil yang menghasilkan hal-hal yang besar untuk dapat ditangkap oleh akal seperti yang ada pada diri kita”.

         Demikianlah kesan seorang cendekiawan Islam waktu itu terhadap kebudayaan Barat. Ini menggambarkan berapa mundurnya umat Islam si ketika itu. Keadaan menjadi berbalik 180 derajat. Kalau diperiode Klasik orang Barat yang kagum  melihat kebudayaan dan peradaban Islam. Di periode Modern kaum Islam yang heran melihat kebudayaan dan kemajuan barat.
         Ada hal-hal baru selain kemajuan  materi yang dianggap sebagai ide-ide hasil revolusi Perancis yang dibawah Napoleon, yaitu memperkenalkan:
1.      Sistem Pemerintah Republik.
Selama ini belum ada dikenal seorang kepala negara dipilih oleh parlemen yang berkuasa dalam masa tertentu dan harus tunduk kepada Undang-Undang Dasar. Sedangkan UUD itu sendiri dibuat bukan oleh kepala negara atau raja melainkan oleh parlemen. Parlemenlah yang menentukan  kredibiltas seorang kepala negara, yang kalau menyimpang dari kedudukannya. Sedangkan sistem pemerintah Islam selama ini bersifat absolut.
2.      Ide persamaan  (egalite) yaitu adanya persamaan kedudukan antara penguasa dengan rakyat yang diperintah, serta turut berperan aktifnya rakyat dalam pemerintahan. Sebelumnya rakyat mesir tidak tahu menahu dalam soal pemerintahan, maka ketika Napoleon mendirikan suatu badan kenegaraan yang terdiri dari ulama-ulama Al Azhar dan pemuka-pemuka dalam dunia bisnis dari Kairo dan daerah-daerah. Tugas badan ini membuat UU, memelihara ketertiban umum dan menjadikan perantara penguasa-penguasa Perancis dengan rakyat Mesir. Disamping itu dibentuk pula suatu badan yang bernama Diwan Al Ummah yang pada waktu tertentu mengadakan sidang untuk membicarakan hal-hal yang bersangkutan dengan kepentingan nasional.
3.      Ide kebangsaan yang terkandung dalam maklumat Napoleon bahwa orang Perancis merupakan suatu bangsa, dan kaum Mamluk adalah orang asing yang datang ke Mesir dari Kaukasus, jadi sungguh pun orang Islam tapi berlainan bangsa dengan rakyat Mesir.[5]

         Beberapa  gambaran ide-ide Napoleon tersebut merupakan kontak pertama antara Mesir dengan Barat (Eropa) dan walaupun belum mempunyai pengaruh nyata yang kuat kepada rakyat Mesir, namun lambat laun telah membuka mata ummat Islam tentang kelemahan dan kemunduran mereka selama ini. Dan di abad ke 19  ide-ide ini makin  dapat diterima karena terdapat nilai-nilai positif di dalamnya yang kalau dipraktikkan akan mendorong kemajuan bagi dunia Islam khususnya rakyat Mesir.
         Keuntungan positif inilah nantinya yang menghidupkan gairah intelektual untuk banyak-banyak menyerap peradaban Barat dalam semua aspeknya. Khusus bagi kemajuan pemahaman dinamika beragama, bangkitnya kesadaran bahwa selama ini umat telah salah kaprah dalam mengapresiasi komitmen roh yang terkandung dalam al-Qur’an. Artinya Barat yang tidak secara langsung diilhami oleh spirit al-Qur’an pun dapat maju dan jaya karena pola hidup dan orientasi akal yang benar, sedangkan  ini hanya sebagian kecil dari isi kandungan al-Qur’an yang bisa diserap oleh Barat dalam mencapai kemajuan-kemajuannya.
         Setelah persentuhan peradaban Eropa terhadap Mesir itulah, kondisi umat Islam kian menata diri memperhitungkan  kemungkinan langkah-langkah modernisme yang bisa mengangkat citra kaum muslimin secara umum nantinya sebagai negara maju melalui pemikiran-pemikiran cemerlang dan tercerahkan pada modernis seperti Jamaluddin Al Afghani, Muhammad Abduh dan murid-muridnya.
             Setelah membahas tentang pendudukan Napoleon kami akan menambahi sedikit tentang ekspedisi-ekspedisi yang dibawah oleh Napoleon:
a.       Ekspedisi Napoleon
          Pendudukan negeri Mesir merupakan penduduk campuran dari bermacam-macam ras, agama, budaya dan peradaban. Di samping itu daerah Mesir masih merupakan daerah di belahan Timur yang terbanyak dikunjungi dan derasnya arus gelombang pengaruh Barat dengan bibit-bibit peradaban Eropa.[6]
          Mesir sebelum ditaklukkan oleh Napoleon berada di bawah kekuasaan Turki Usmani dan sebagian di bawah pengaruh/kekuasaan Mamluk.
          Asal-usul kaum Mamluk berasal dari daerah pengunungan Kaukasus yaitu daerah dipengunungan yang berbatasan antara Rusia dan Turki. Mereka didatangkan  ke Istambul atau Mesir untuk dididik menjadi militer. Dalam perkembangan selanjutnya kedudukan mereka dalam kemiliteran meningkat bahkan di antara mereka ada yang dapat mencapai jabatan militer yang tinggi.[7] Akhirnya di antara mereka ada yang mengambil alih daerah kekuasaan Turki Usmani dan tidak tunduk pada Istambul.
          Pemimpin Mamluk disebut Syekh Balad, akan tetapi Syekh Balad ini sering bertabiat kasar, sehingga hubungan mereka dengan  rakyat Mesir tidak baik. Hal ini salah satu faktor yang memudahkan tentara Napoleon menguasai daerah-daerah yang dikuasai Mamluk.[8]
         
b.      Penaklukan Napoleon Terhadap Mesir
          Napoleon menyerbu Mesir pada tanggal 2 Juli 1798. mula-mula mendarat di Iskandariyah dan dalam waktu tiga minggu Napoleon dapat menguasai seluruh Mesir. Setelah menguasai Mesir Napoleon terus menyerang Palestina. Akan tetapi setelah sampai terus menyerang Palestina, akan tetapi setelah selesai di Palestina sedang berjangkit  penyakit kolera, sehingga banyak tentara Palestina yang meninggal dunia.
          Walaupun Napoleon menguasai Mesir hanya dalam waktu sekitar tiga tahun, namun pengaruh yang ditinggalkannya sangat besar dalam kehidupan bangsa Mesir.

c.       Tujuan Ekspedisi Napoleon ke Mesir
          Perancis adalah salah satu negara yang cukup besar dan menjadi saingan Inggris yang telah menguasai India untuk  memutuskan hubungan Inggris dan India. Napoleon berpendapat, Mesir harus dapat dikuasai. Dengan penguasaan Mesir maka hubungan Inggris ke India terhambat dan di samping itu Mesir merupakan daerah yang cukup  baik untuk pemasaran baru hasil-hasil produksi industri Perancis.
          Selain dari tujuan tersebut di atas, tampaknya Napoleon mempunyai tujuan tertentu pula yaitu ingin mengikuti jejak Alexander yang pernah menguasai Eropa dan Asia sampai ke India. Tempat yang strategis untuk maksud harus menguasai Mesir, bukan Roma atau Paris yang dapat dijadikan  basis ekspansi ke India.

d.      Pengaruh Ekspedisi dalam pembaharuan di Mesir
          Walaupun Napoleon menguasai Mesir hanya sekitar tiga tahun saja (1789 – 1801) namun pengaruhnya besar sekali terhadap   hidup dan kehidupan bangsa Mesir.
          Takkala Napoleon menyerbu Mesir ia membawa dua set alat percetakan (alat cetak Bahasa Arab Latin) hasil rampasan  Napoleon di Vatican, di samping itu dibawa pula 600 orang sipil yang diantaranya terdapat 167 orang ilmuwan-ilmuwan dalam berbagai disiplin ilmu.
          Untuk keperluan ilmu pengetahuan Napoleon membentuk lembaga ilmiah yang diberi nama “ Institut de Egypte” di dalamya terdapat empat   bidang pengetahuan, yaitu Ilmu pasti, ilmu alam, ekonomi, politik dan seni sastra.
          Lembaga ini telah meneritkan majalah “le Courie’d Egypte” yang ditertibkan oleh seorang  pengusaha perrancis yang ikut rombongan  ekpedisi napoleon.
          Alat percetakan dibawa  Napoleon tersebut  di atas menjadi perusahaan  percetakan Balaq,  perusahaan tersebut berkembang sampai sekarang.        Peralatan moder pada Institut ini seperti mikroskop, teleskop, atau alat-alat percobaan lainnya serta kesungguhan kerja orang Perancis merupakan hal yang asing dan menakjubkan  bagi orang Mesir.
          Keberhasilan lainnya yang telah dicapai oleh orang sipil Perancis:
  1. Membuat saluran air di lembah Sungai Nil, sehingga hasil pertaniannya berlibat ganda.
  2. Di bidang sejarah, ditemukan batu berukir yang terkenal dengan Rossetta Stone.
  3. Di Bidang pemerintahan, merambahnya ide sistem pemerintahan yang kepala negaranya dipilih dalam waktu tertentu dan tunduk pada perundang-undangan. Hal ini tentu saja sulit diterima oleh para menguasa.[9]




KESIMPULAN


            Setelah  kami membaca dari beberapa referensi yang bisa kami pergunakan sebagai landasan kami dalam membahas makalah,  dan telah kami baca dapat ditarik kesimpulan bahwa:
·        Metode penguasaan ilmu yang sangat doktrinal seperti menghafal di luar kepala tanpa ada pengkajian dan tela’ah pemahaman membuat ajaran-ajaran Islam seperti dituangkan demikian rupa ke kepala murid dengan mahasiswa.
Para murid dan mahasiswa tinggal  menerima apa adanya, sehingga Muhammad  Abduh menggambarkan bahwa metode pendidikan yang otoriter juga merupakan salah satu mandegnya kebebasan intelektual, sehingga ia sendiri merasa tidak bagitu tertarik mendalami agama pada masa kecil lantaran kesalahan metode itu, yakni berupa cara menghafal pelajaran di luar kepala.
·        Napoleon dapat menguasai Mesir ketika mereka bertempur dengan Kaum  Mamluk di daerah Piramid di dekat Kairo, karena kaum Mamluk  tidak sanggup melawan senjata-senjata meriam Napoleon. Tetapi, usaha, Napoleon untuk menguasai daerah-daerah lainnya di Timur tidak berhasil.
·        Ada beberapa hal baru selain kemajuan materi yang dianggap   sebagai ide-ide hasil revolusi Perancis yang dibawa oleh Napoleon diantaranya : Sistem pemerintahan republik, ide persamaan (legalite)  ide kebangsaan yang terkandung dalam maklumat Napoleon, sehingga ide-ide Napoleon tersebut adalah gambaran yang merupakan kontak pertama antara Mesir dengan Barat (Eropa).
·        Ekspedisi Napoleon, terdapat asal-usul kaum Mamluk yang datang ke Istambul atau Mesir untuk dididik menjadi militer  sehingga kedudukan militer mereka meningkat, bahkan antara mereka mendapat jabatan militer yang tinggi.
·        Dalam waktu tiga minggu Napoleon dapat menguasai seluruh Mesir, tetapi Napoleon dapat menguasai Mesir hanya dalam waktu sekitar tiga tahun.
·        Tujuan ekspedisi Napoleon ialah ingin mengikuti jejak Alexandr yang pernah  menguasai Eropa dan Asia sampai ke India.
·        Pengaruh Napoleon dalam pembaharuan di Mesir sangat besar sekali, terhadap hidup dan kehidupan bangsa Mesir, yaitu Napoleon membentuk lembaga  ilmiah yang diberi nama “Institut de Egypte” yang terdapat empat bidang pengetahuan, yaitu ilmu pasti, ilmu alam, ekonomi, politik dan seni sastra.

 

DAFTAR PUSTAKA

Asmuni, Yusran, 1998, Pengantar Studi Pemikiran dan Gerakan Pembaharuan dalam Dunia Islam, Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada

Nasution, Harun, 2003, Pembaharuan dalam Islam, Jakarta : Bulan Bintang

-------------------, 1975, Sejarah Pemikiran dan Gerakan, Jakarta : Bulan Bintang

Sani, Abdul, 1998, Lintas Sejarah Pemikiran, Jakarta : PT. Grafindo Persada

Rais, M. Amien dan David Sagiv, 1997, Islam Orientalis Liberalisme, Yogyakarta : Bulan Bintang


[1] Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam, Bulan Bintang, Jakarta, 1986, hlm. 59
[2] Muhammad Al-Bahy, Pemikiran Islam Modern, Pustaka,  Panjimas, Jakarta, 1986, hln. 90-92
[3] T. Al-Tanawi, Muzzakir Al-Imam Muhammad Abduh, Qahirah Darul Hilal, t.t. hlm. 29
[4] Harun Nasution, Pembaharuan Dalam Islam Sejarah Pemikiran dan Gerakan, cet. Ke-14 PT. Bulan Bintang, Jakarta, 2003, hlm. 21-22
[5] Ibid., hal. 27-29
[6] Drs. Sucipto Wiryosuparto, Sejarah Dunia II, Balai Pustaka, jakarta, 196, hal. 29
[7] Dr. Harun Nasution, Op.cit., hal. 29
[8]  Drs. H.M. Yusran Asmuni, Pengantar Studi Pemikiran dan Gerakan pembaharuan dalam Dunia Islam,  PT. Raja Grafindo Persada. 1998, hal. 65-66.
[9]  Ibid., hal. 68

###################################################################################

TUGAS  MAKALAH
Pemikiran modern dalam islam
Pendudukan Napolion dan Pengaruhnya Terhadap Pembaharuan di Mesir











DISUSUN OLEH:
1.      DWI SANTOSO         : 08 29 018
2.      DWI SUSILAWATI    :  08 29 019

DOSEN PEMBIMBING
 MUHTAROM, S.Pd.I




Fakultas  TARBIYAH
JURUSAN KEPENDIDIKAN ISLAM
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI RADEN FATAH
PALEMBANG
2009
 #####################################################
TUGAS MAHASISWA (KELOMPOK)
Setiap Kelompok Harus:
1. BERIKAN KOMENTAR SEPUTAR MAKALAH DIATAS ( ISI, CARA PENULISAN /METHODOLOGI DAN ketepatan analisis)
2. BERIKAN 2 PERTANYAAN

TULIS DI KERTAS FOLIO (1LEMBAR)

MASING-MASING KELOMPOK MENGIRIMKANYA/menuliskanya :
1. DIBAWAH MAKALAH DIATAS (DALAM KOLOM KOMENTAR ) 
2. DIKIRIM MELALUI EMAIL KE : muhtarom84@yahoo.com

..... tugas ini sudah dikirim ke email dan posting komentar di blog ini mulai hari ini sampai Sabtu pukul 14.00



Sabtu, 17 Oktober 2009

Tokoh2 Pembaharuan Islam di Mesir

TOKOH-TOKOH PEMBAHARUAN DI MESIR
Muhammad Ibnu Abdul Wahab, Muhammad Ali Pasya, Al-Tahtawi, Jamaluddin Al Afghani, Muhammad Abduh, Rasyid Ridha, Qasyim Amin




Makalah ini disusun sebagai tugas diskusi kelompok, semester 111/ 2009
Kelompok 11

Disusun Oleh:
KHUSNUL KHOLIQ (08 29 025)
DETA KARTITA (08 29 003)

(detakartita@yahoo.co.id)

Dosen Pembimbing:
Muhtarom M.Pd.I

FAKULTAS TARBIYAH
JURUSAN KEPENDIDIKAN ISLAM
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI RADEN FATAH
PALEMBANG
2009

Pendahuluan

Sebagaimana telah dikemukakan dalam makalah sebelumnya bahwa pembaharuan dalam Islam itu timbul dalam masa periode sejarah Islam yang disebut modern dan mempunyai tujuan untuk membawa ummat Islam pada suatu kemajuan.
Maka jika kita membahas tentang Tokoh-Tokoh Pembaharuan Islam dalam Masyarakat Mesir, terlebih dahulu kita harus mengetahui siapa-siapa saja tokoh-tokoh yang ikut berperan dalam pembaharuan ummat Islam di Mesir baik dari segi politik, kemasyarakatan, agama ataupun pendidikan serta bagaimana sistem pembaharuannya.
Tokoh-tokoh di Mesir merupakan salah satu jalan bagi ummat Islam untuk mengawali perubahan dan menjadikan ummat Islam untuk lebih memahami Agama Islam, dengan demikian pemakalah membahas tentang Tokoh-Tokoh Pembaharuan di Mesir, diantaranya yaitu: Muhammad Ibnu Abdul Wahab, Muhammad Ali Pasya, Al-Tahtawi, Jamaluddin Al-Afghani, Muhammad Abduh, Rasyid Ridha, dan Qasyim Amin.



TOKOH-TOKOH PEMBAHARUAN DI MESIR

1. PEMBAHARUAN MUHAMMAD IBNU ABDUL WAHAB

Muhammad bin Abdul Wahab ibn Sulaiman ibn Ali bin Muhammad ibn Rasyid ibn Bari ibn Musyarif ibn Umar ibn Muanad Rais ibn Zhahir ibn Ali Ulwi ibn Wahib, lahir pada tahun 1703 dan meninggal pada tahun 1787 M. di Uyainah, daerah Nejeb Saudi Arabia . Ia seorang pembaharu di Arabia , pengikut paham Ibnu Taimiyah dan bermazhab Hambali.[1] Pelajaran agama sangat digemarinya, sejak kecil ia telah belajar ilmu agama pada ayahnya seorang Qadhi di Uyainah. Dengan kecerdasannya, dalam usia 10 tahun ia hafal Al-Qur’an.
Muhammad ibnu Abdul Wahab adalah seorang yang sangat sibuk mengembara ke berbagai daerah untuk menuntut ilmu pengetahuan, kemudian ia sampai ke Bagdad dan di sinilah kemudian ia menikah dengan wanita kaya. Setelah lima tahun istrinya meninggal dan ia mendapatkan warisan sebesar 2000 dinar. Setelah itu ia kembali mengembara ke Kurdistan selama dua tahun, di Hamadan dua tahun dan pernah pula ke Isfahan , Qum ( Iran ). Perjalanannya ke berbagai daerah ternyata sangat bermanfaat baginya, bahkan ia melihat beberapa penyimpangan-penyimpangan akidah, yang diantaranya ialah:[2]
a. Ia melihat kuburan atau makam para ulama syekh atau guru tarikat yng bertebaran di tiap kota ataupun desa ramai dikunjungi oleh masyarakat islam, dengan maksud memohon penyelesaian atas persoalan hidup sehari-hari.
b. Aspek lain yang menjadi perhatinnya adalah masalah Taqlid. Taqlid merupakan sumber kebekuan ummat Islam itu sendiri, disamping itu untuk memahami ajaran yang terkandung dalam Al-Qur’an dan Hadist, orang harus melakukan ijtihad, karena itu pintu ijtihad tidak pernah ditutup dan tidak perlu ditutup.

Dalam hal tauhid ini Muhammad ibnu Abdul Wahab memusatkan perhatiannya terhadap pokok-pokok pikirannya, yang berpendapat bahwa:[3]
1. Yang boleh dan harus disembah itu hanyalah Tuhan, dan orang yang menyembah selain dari Tuhan telah menjadi musyrikn dan boleh dibunuh.
2. Kebanyakan orang Islam bukan menganut faham tauhid yang sebenarnya karena mereka meminta pertolongan bukan lagi pada Tuhan, tetapi dari syekh atau wali dan dari kekuatan gaib.
3. Menyebut nama Nabi, syekh atau malaikat sebagai pengantara dalam do’a juga merupakan syirik.
4. Meminta syafaat selain dari kepada Tuhan dan bernazar kepada selain Tuhan juga syirik.
5. Memperoleh pengetahuan selain dari Al-Qur’an, Hadits dan Qias (analogi) merupakan kekufuran.
6. Tidak percaya pada qada dan qadar Tuhan juga merupakan kekufuran.
7. Demikian pula menafsirkan Al-Qu’ran dengan ta’wil adalah kufur.

Semua yang diatas dianggap bid’ah dan bid’ah adalah kesesatan. Kepercayaan-kepercayaan dan praktek-praktek lain yang timbul sesudah zaman itu bukanlah ajaran Islam yang asli dan harus ditinggalkan. Dengan demikian taqlid dan patuh kepada pendapat ulama tidak dibenarkan. Muhammad ibnu Abdul Wahab bukanlah hanya seorang teroris tetapi juga pemimpin yang dengan aktif berusaha mewujudkan pemikirannya. Ia mendapat dorongan dari Muhammad ibn Su’ud dan putranya Abd al-Aziz di Nejd . Tahun 1787 Muhammad Abduh meninggal dunia, tetapi ajarannya tetap hidup dengan mengambil bentuk aliran yang dikenal dengan nama Wahabiah.[4]

Pemikiran-pemikiran Muhammad ibnu Abdul Wahab yang mempunyai pengaruh pada perkembangan pemikiran pembaharuan di abad kesembilan belas adalah sebagai berikut:[5]
1. Hanya Al-Qur’an dan Haditslah yang merupakan sumber asli ajaran-ajaran Islam. Pendapat ulama tidak merupakan sumber.
2. Taklid kepada ulama tidak dibenarkan.
3. Pintu ijtihad terbuka dan tidak tertutup.

2. PEMBAHARUAN MUHAMMAD ALI PASYA

Muhammad Ali, adalah seorang keturunan Turki yang lahir di Kawalla, Yunani, pada tahun 1765, dan meninggal di Mesir pada tahun 1849. orang tuanya bekerja sebagai seorang penjual rokok dan dari kecil Muhammad Ali telah harus bekerja. Ia tak memperoleh kesempatan untuk masuk sekolah dengan demikian dia tidak pandai menulis maupun membaca, meskipun ia tak pandai membaca atau menulis, namun ia adalah seorang anak yang cerdas dan pemberani, hal itu terlihat dalam karirnya baik dalam bidang militer ataupun sipil yang selalu sukses.[6]
Setelah dewasa, Muhammad Ali Pasya bekerja sebagai pemungut pajak dan karena ia rajin bekerja jadilah ia kesenangan Gubernur dan akhirnya menjadi menantu Gubernur. Setelah kawin ia diterima menjadi anggota militer, karena keberanian dan kecakapan menjalankan tugas, ia diangkat menjadi Perwira. Pada waktu penyerangan Napoleon ke Mesir, Sultan Turki mengirim bantuan tentara ke Mesir, diantaranya adalah Muhammad Ali Pasya, bahkan dia ikut bertempur melawan Napoleon pada tahun 1801.[7] Rakyat Mesir melihat kesuksesan Muhammad Ali dalam pembebasan mesir dari tentara Napoleon, maka rakyat mesir mengangkat Muhammad Ali sebagai wali mesir dan mengharapkan Sultan di Turki merestuinya. Pengakuan Sultan Turki atas usul rakyatnya tersebut baru mendapat persetujuannya dua tahun kemudian, setelah Turki dapat mematahkan Intervensi Inggris di Mesir.
Setelah Muhammad Ali mendapat kepercayaan rakyat dan pemerintah pusat Turki, ia menumpas musuh-musuhnya, terutama golongan mamluk yang masih berkuasa di daerah-daerah akhirnya mamluk dapat ditumpas habis. Dengan demikian Muhammad Ali menjadi penguasa tunggal di Mesir, akan tetapi lama kelamaan ia asyik dengan kekuasaannya, akhirnya ia bertindak sebagai diktator. Pada waktu Muhammad Ali meminta kepada sultan agar Syiria diserahkan kepadanya, Sultan tidak mengabulkannya. Muhammad Ali Pasya marah dan menyerang dan menguasai Syiria bahkan serangan sampai ke Turki. Muhammad ali dan keturunannya menjadi raja di Mesir lebih dari satu setengah abad lamanya memegang kekuasaan di Mesir. Terakhir adalah Raja Farouk yang telah digulingkan oleh para jenderalnya pada tahun 1953. Dengan demikian berakhirlah keturunan Muhammad Ali di Mesir.,[8]
Kalau diteliti lebih mendalam, maka terkesan bahwa Muhammad Ali walaupun tidak pandai membaca dan menulis, akan tetapi ia seorang yang cerdas, tanpa kecerdasan ia tidak akan mendapat kekuasaan dan tujuan akhirnya adalah untuk menjadi penguasa umat Islam, ia adalah seorang yang ambisius menjadi pimpinan umat Islam.
Hal-hal ini memberi gambaran tentang apa yang dikehendaki Muhammad Ali sebenarnya, pengetahuan tentang soal-soal pemerintahan, militer dan perekonomian, yaitu hal-hal yang akan memperkuat kedudukannya. Ia tak ingin orang-orang yang dikirimnya ke Eropa, menyelami lebih dari apa yang perlu baginya, dan oleh karena itu mahasiswa-mahasiswa itu berada dibawah pengawasan yang ketat.[9] Mereka tak diberi kemerdekaan bergerak di Eropa. Tetapi, dengan mengetahui bahasa-bahasa Eropa, terutama Prancis dan dengan membaca buku-buku Barat seperti karangan-karangan Voltaire, Rousseau, Montesquieu dna lain-lain, timbullah ide-ide baru mengenai Demokrasi, Parlemen, pemilihan wakil rakyat, paham pemerintahan republic, konstitusi, kemerdekaan berfikir dan sebagainya.
Pada mulanya perkenalan dengan ide-ide dan ilm-ilmu baru ini hanya terbatas bagi orang-orang yang telah ke Eropa dan yang telah tahu bahasa Barat. Kemudian faham-faham ini mulai menjalar kepada orang-orang yang tak mengerti bahasa Barat, pada permulaannya dengan perantaraan kontak mereka dengan mahasiswa-mahasiswa yang kembali dari Eropa dan kemudian dengan adanya terjemahan buku-buku Barat itu kdalam bahasa arab. Yang penting diantara bagian-bagian tersebut bagi perkembangan ide-ide Barat ialah bagian Sastra. Di tahun 1841, diterjemahkan buku mengenai sejarah Raja-raja Perancis yang antara lain mengandung keterangan tentang Revolusi Perancis. Satu buku yang serupa diterjemahkan lagi tahun 1847.[10]

Pembaharuan yang dilaksanakan oleh Muhammad Ali :
1. Politik luar negeri
Muhammad Ali menyadari bahwa bangsa mesir sangat jauh ketinggalan dengan dunia Barat, karenanya hubungan dengan dunia Barat perlu diperbaiki seperti Perancis, Itali, Inggris dan Austria . Menurut catatan antara tahun 1813-1849 ia mengirim 311 pelajar Mesir ke Itali, Perancis, Inggris dan Austria . Selain itu dipentingkan pula ilmu Administrasi Negara, akan tetapi system politik Eropa tidak menarik perhatian Muhammad Ali.
2. Politik dalam negeri
a. Membangun kekuatan militer.
b. Bidang pemerintahan.
c. Ekonomi.
d. Pendidikan.

Sepintas pembaharuan yang dilakukan oleh Muhammad Ali hanya bersifat keduniaan saja, namun dengan terangkatnya kehidupan dunia ummat Islam sekaligus terangkat pula derajat keagamaannya. Pembaharuan yang dilaksanakan oleh Muhammad Ali merupakan landasan pemikiran dan pembaharuan selanjutnya. Pembaharuan Muhammad Ali dilanjutkan oleh tahtawi, Jalaludin Al-Afghani, Muhammad Abduh, Rasyid Ridha dan murid-murid Muhammad Abduh lainnya.

3. PEMBAHARUAN AL-TAHTAWI

Al-Tahtawi adalah Rifa’ah Badawi Rafi’I, Al-tahtawi lahir pada tahun 1801 M. di Tanta (Mesir Selatan), dan meninggal di Kairo pada tahun 1873. Dia adalah seorang pembawa pemikiran pembaharuan yang besar pengaruhnya di pertengahan pertama dari abad ke-19 di Mesir. Dalam gerakan pembaharuan Muhammad Ali Pasya, al- Tahtawi turut memainkan peranan. Ketika Muhammad Ali mengambil alih seluruh kekayaan di Mesir harta orang tua al-Tahtawi termasuk dalam kekayaan yang dikuasai itu. Ia terpaksa belajar di masa kecilnya dengan bantuan dari keluarga ibunya. Ketika berumur 16 tahun, ia pergi ke Kairo untuk belajar di Al-Azhar. Setelah lima tahun menuntut ilmu ia selesai dari studinya di Al-Azhar pada tahun 1822.[11]
Ia adalah murid kesayangan dari gurunya Syaikh Hasan al-‘Atthar yang banyak mempunyai hubungan dengan ahli-ahli ilmu pengetahuan Perancis yang datang dengan Napoleon ke Mesir. Syaikh Al-Attar melihat bahwa Tahtawi adalah seorang pelajar yang sungguh-sungguh dan tajam pikirannya, dan oleh karena itu ia selalu memberi dorongan kepadanya untuk senantiasa menambah ilmu pengetahuan. Setelah selesai dari study di Al-Azhar, Al-Tahtawi mengajar disana selama dua tahun, kemudian diangkat menjadi imam tentara di tahun 1824. Dua tahun kemudian dia diangkat menjadi imam mahasiswa-mahasiswa yang dikirim Muhammad ali ke Paris . Disamping tugasnya sebagai imam ia turut pula belajar bahasa Perancis sewaktu ia masih dalam perjalanan ke Paris . [12]
Buku-buku yang dibaca Al-Tahtawi mencakup berbagai ilmu pengetahuan, dan ujiannya yang terakhir di Paris pun adalah dalam lapangan terjemahan. Sekembalinya di Kairo ia diangkat sebagai guru bahasa Prancis dan penerjemah di sekolah Kedokteran. Di tahun 1836 didirikan “Sekolah Penerjemahan” yang kemudian diubah namanya menjadi “Sekolah Bahasa-bahasa Asing”. Bahasa yang diajarkan adalah Arab, Perancis, Turki, Itali dan juga ilmu-ilmu teknik, sejarah serta ilmu bumi. Salah satu jalan kesejahteraan menurut Al-Tahtawi adalah berpegang teguh pada agama dan akhlak (budi pekerti) untuk itu pendidikan merupakan sarana yang penting.
Dalam hal agama dan peranan ulama, al-Tahtawi menghendaki agar para ulama selalu mengikuti perkembangan dunia modern dan mempelajari berbagai ilmu pengetahuan modern.
Diantara hasil-hasil karyanya yang terpenting adalah:[13]
a. Takhlisul Abriiz Ila Takhrisu Bariiz.
b. Manahijul Bab Al-Mishriyah fi Manahijil Adab al-Ashriyah.
c. Al-Mursyid al-amin lil banaat wal banien.
d. Al-Qaulus sadid fiijtihadi wat taliid.
e. Anwar taufiq al-jalil fi akhbari mishra wa tautsiq bani Isra’il.


4. PEMBAHARUAN JAMALUDDIN AL-AFGHANI

Jamaludin al-Afghani adalah seorang pemimpin pembaharuan yang tempat tinggal dan aktifitasnya berpindah-pindah dari satu negara ke negara Islam lainya pengaruh terbesar yang ditinggalkannya adalah di Mesir, oleh karena itu uraian mengenai pemikiran dan aktivitasnya dimasukkan kedalam bagian tentang pembaharuan di dunia Arab. Jamaludin al-Afghani lahir di Afghanistan pada tahun 1839 M. dan meninggal dunia pada tahun 1897 M. Dalam silsilah keturunannya al-afghani adalah keturunan Nabi melalui Sayyidina Ali ra. Ketika baru berusia duapuluh dua tahun ia telah menjadi pembantu bagi pangeran Dost Muhammad Khan di Afghanistan. Di tahun 1864 ia menjadi penasehat Sher Ali Khan. Beberapa tahun kemudian ia diangkat oleh Muhammad A’zam Khan menjadi Perdana Menteri.[14]
Kemudian al-Afghani merasa lebih aman apabila meninggalkan tanah tempat lahirnya dan pergi ke India di tahun 1869. tetapi di India dia juga merasa tidak bebas untuk bergerak karena negara ini telah jatuh ke bawah kekuasaan Inggris, oleh karena itu ia pindah ke Mesir di tahun 1871. Ia menetap di Kairo, pada mulanya menjauhi persoalan-persoalan politik Mesir dan memusatkan perhatian pada bidang ilmiah dan sastra Arab.[15]
Tetapi ia tidak lama dapat meninggalkan lapangan politik. Di tahun 1876 turut campur tangan Inggris dalam soal politik di Mesir makin meningkat. Ketika itu ide-ide al-Tahtawi sudah mulai meluas di kalangan masyarakat Mesir, diantaranya ide trias politica dan patriotisme, maka pada tahun 1879 atas usaha Al- Afghani terbentuklah partai Al-Hizb al-Watani (partai nasional). [16]
Tujuan partai ini untuk memperjuangkan pendidikan universal dan kemerdekaan pers. Atas sokongan partai ini al-Afghani berusaha menggulingkan Raja Mesir yang berkuasa waktu itu, yakni Khedewi Ismail. Masa delapan tahun menetap di Mesir itu mempunyai pengaruh yang tidak kecil bagi umat Islam disana menurut M.S. Madkur, al-Afghanilah yang membangkitkan gerakan berpikir di Mesir sehingga negara ini dapat mencapai kemajuan. “Mesir modern,”demikian Madkur, “ adalah hasil dari usaha-usaha Jamaludin al-Afghani”.[17]
Selama di Mesir al-Afghani mengajukan konsep-konsep pembaharuannya, antara lain:[18]
a) Musuh utama adalah penjajahan (Barat), hal ini tidak lain dari lanjutan perang Salib.
b) Ummat Islam harus menantang penjajahan dimana dan kapan saja.
c) Untuk mencapai tujuan itu ummat Islam harus bersatu (Pan Islamisme).
Pan Islamisme bukan berarti leburnya kerajaan-kerajaan Islam menjadi satu, tetapi mereka harus mempunyai satu pandangan bersatu dalam kerja sama. Persatuan dan kerja sama merupakan sendi yang amat penting dalam Islam.
Untuk mencapai usaha-usaha pembaharuan tersebut di atas:[19]
a) Rakyat harus dibersihkan dari kepercayaan ketakhayulan.
b) Orang harus yakin bahwa ia dapat mencapai tingkat atau derajat budi luhur.
c) Rukun Iman harus betul-betul menjadi pandangan hidup, dan kehidupan manusia bukan sekedar ikutan belaka.
d) Setiap generasi ummat harus ada lapisan istimewa untuk memberikan pengajaran dan pendidikan pada manusia-manusia bodoh dan juga memerangi hawa nafsu jahat dan menegakkan disiplin.

Selama delapan tahun menetap di Mesir ia pergi ke Paris , disini ia mendirikan perkumpulan “Al-Urwatul Wusqa” yang anggotanya terdiri dari orang-orang Islam dan India , Mesir, Suria, Afrika Utara dan lain-lain. Diantara tujuan yang ingin dicapai ialah memperkuat rasa persaudaraan Islam, membela Islam dan membawa Islam kepada kemajuan. Kemudian di Paris inilah ia bertemu dengan muridnya yang setia yaitu Muhammad Abduh dan kemudian ia kembali ke Istambul, sampai akhir hayatnya.[20]


5. PEMBAHARUAN SYEKH MUHAMMAD ABDUH

Muhammad Abduh lahir di desa Mahillah di Mesir Hilir, ibu bapaknya adalah orang biasa yang tidak mementingkan tanggal dan tempat lahir anak-anaknya. Ia lahir pada tahun 1849, tetapi ada yang mengatakan bahwa ia lahir sebelum tahun itu, tetapi sekitar tahun 1845 dan beliau wafat pada tahun 1905. Ayahnya bernama Abduh ibn Hasan Khairillah, silsilah keturunan dengan bangsa Turki, dan ibunya mempunyai keturunan dengan Umar bin Khatab, khalifah kedua (khulafaurrasyidin).[21]
Orang tuanya sangat memperhatikan terhadap pendidikannya, pada tahun1862 ia dikirim oleh ayahnya ke perguruan agama di mesjid Ahmadi yang terletak di desa Tanta . Hanya dalam waktu enam bulan ia berhenti karena tidak mengerti apa yang diajarkan gurunya. Setelah belajar di Tanta pada tahun 1866 ia meneruskan ke perguruan tinggi di Al-Azhar di Kairo, disinilah ia bertemu dengan Jamaludin al-Afghani dan kemudian ia belajar filsafat di bawah bimbingan Afghani, di masa inilah ia mulai membuat karangan untuk harian al-Ahram yang pada saat itu baru didirikan. Pada tahun 1877 studinya selesai di al-Azhar dengan hasil yang sangat baik dan mendapat gelar Alim. Kemudian ia diangkat menjadi dosen al-Azhar disamping itu ia mengajar di Universitas Darul Ulum.[22]
Dalam peristiwa pemberontakan Urabi Pasya (1882)
Muhammad Abduh ikut terlibat didalamnya, sehingga ketika pemberontakan berakhir, ia diusir dari Mesir. Dalam pembuangannya ia memilih di Syiria ( Beirut ) di sini ia mendapat kesempatan mengajar pada perguruan tinggi Sultaniah, kurang lebih satu tahun lamanya. Kemudian ia pergi ke Paris atas panggilan Sayyid Jamaludin al-Afghani, yang pada waktu itu tahun1884 sudah berada disana. Muhammad Abduh kebetulan diperkenankan pulang ke Mesir, sedang Jamaluddin mengembara di Eropa kemudian terus ke Moskow.
Di Mesir Muhammad Abduh diserahi jabatan Mufti Mesir, disamping itu ia diangkat menjadi anggota Majelis Perwakilan (Legilative Council), Muhammad Abduh pernah juga di serahi jabatan hakim Mahkamah, dan di dalam tugas ini ia dikenal sebagai seorang Hakim yang adil.
Pokok-pokok pikiran Muhammad Abduh dapat disimpulkan dalam empat aspek, yaitu:[23]
Pertama, aspek kebebasan, antara lain; dalam usaha memperjuangkan cita-cita pembaharuannya, MuhammadAbduh memperkecil ruang lingkupnya, yaitu Nasionalisme Arab saja dan menitikberatkan pada pendidikan.
Kedua, aspek kemasyarakatan, antara lain usaha-usaha pendidikan perlu diarahkan untuk mencintai dirinya, masyarakat dan negaranya. Dasar-dasar pendidikan seperti itu akan membawa kepada seseorang untuk mengetahui siapa dia dan siapa yang menyertainya.
Ketiga, aspek keagamaan, dalam masalah in Muhammad Abduh tidak menghendaki adanya taqlid, guna memenuhi tuntutan ini pintu ijtihad selalu terbuka.
Keempat, aspek pendidikan antara lain, al-Azhar mendapatkan perhatian perbaikan, demikian juga bahasa Arab dan pendidikan pada umumnya cukup mendapat perhatiannya.
Menurut Muhammad Abduh bahasa Arab perlu dihidupkan dan untuk itu metodenya perlu diperbaiki dan ini ada kaitannya dengan metode pendidikan. System menghafal diluar kepala perlu diganti dengan system penguasaan dan penghayatan materi yang dipelajari.[24]

6. PEMBAHARUAN RASYID RIDHA

Rasyid Ridha adalah murid Muhammad Abduh yang terdekat. Ia lahir pada tahun 1865 di Al-Qalamun, suatu desa di Lebanon yang letaknya tidak jauh dari kota Tripoli (Suria). Ia berasal dari keturunan al-Husain, cucu Nabi Muhammad SAW. Oleh karena itu ia memakai gelar Al-sayyid depan namanya. Semasa kecil ia dimasukkan ke madrasah tradisional di Al-Qalamun untuk belajar menulis, berhitung dan membaca Al-Qur’an di tahun 1882, ia melanjutkan pelajaran di Al-Madrasah al-Wataniah Al-Islamiah (Sekolah Nasional Islam) di Tripoli .[25]
Di Madrasah ini, selain bahasa arab diajarkan pula bahasa Turki dan Prancis, dan disamping pengetahuan-pengetahuan agama juga pengetahuan-pengetahuan modern. Sekolah ini didirikan oleh Al-Syaikh Husain Al-Jisr, seorang ulama Islam yang telah dipengaruhi oleh ide-ide modern, tetapi umur sekolah tersebut tidak panjang. Kemudian Rasyid Ridha meneruskan pelajarannya di salah satu sekolah agama yang ada di Tripoli .[26]
Disamping itu Rasyid Ridha memperoleh tambahan ilmu dan semangat keagamaan melalui membaca kitab-kitab yang ditulis al-Ghozali, antara lain Ihya Ulumuddin sangat mempengaruhi jiwa dan kehidupannya, terutama sikap patuh pada hukum dan baktinya terhadap agama. Rasyid Ridha mulai mencoba dan menerapkan ide-idenya ketika masih berada di Suria, tetapi usaha-usahanya mendapat tantangan dari pihak kerajaan Usmani. Ia merasa terikat dan tidak bebas, karena itu ia memutuskan pindah ke Mesir, dekat dengan Muhammad Abduh. Pada tahun 1898 M. Rasyid Ridha hijrah ke Mesir untuk menyebarluaskan pembaharuan di Mesir. Dan dua tahun kemudian ia menerbitkan majalah yang diberi nama “al- Manar” untuk menyebarluaskan ide-idenya dalam pembaharuan.[27]
Pada dasarnya pokok pikiran Rasyid Ridha tidak jauh berbeda dengan gurunya, terutama dalam titik tolak pembaharuannya yang berpangkal dari segi keagamaan, tuntutan adanya kemurnian ajaran Islam, baik dari segi akidahnya maupun dari segi amaliyahnya. Menurut pendapat dari Rasyid Ridha ummat Islam mundur karena tidak lagi menganut ajaran-ajaran Islam yang sebenarnya, dan perbuatan mereka telah menyeleweng dari ajaran-ajaran Islam yang sebenarnya. Disamping itu sebab-sebab yang membawa kemunduran ummat Islam, karena faham fatalisme, ajaran-ajaran tariqad atau tasawuf yang menyeleweng semua itu membawa kemunduran ummat Islam menjadi keterbelakangan dan menjadikan ummat tidak dinamis.
Dalam hubungannya dengan akal pikiran, Rasyid ridha berpendapat bahwa derajat akal itu lebih tinggi, akan tetapi hanya dapat dipergunakan dalam masalah kemasyarakatan saja, tidak dapat dipergunakan dalam masalah ibadah. Diantara aktivis beliau dalam bidang pendidikan antara lain membentuk lembaga yang dinamakan dengan “al-dakwah wal irsyad” pada tahun 1912 di kairo.
Para lulusan dari seoah ini akan dikirim ke negeri mana saja yang membutuhkan bantuan mereka. Kemudian melalui majalah al-Manar ia menjelaskan bahwa inggris dan perancis yang berusaha membagi-bagi daerah arab ke dalam kekuasaannya masing-masing. Bentuk pemerintahan yang dikehendaki oleh Rasyid Ridha adalah bentuk kekhalifahan yang tidak absolute, kholifah hanya bersifat koordinator, tidaklah mungkin menyatukan ummat islam ke dalam satu system pemerintahan yang tunggal, karena khalifah hanya menciptakan hukum perundang-undangan dan menjaga pelaksanaannya.[28]
Rasyid Ridha menyadari pertentangan yang makin ada diantara nasionalisme dan kesetiaan kepada persatuan Islam. Menurutnya paham nasionalisme bertentangan dengan paham ummat Islam, karena persatuan dalam Islam tidak mengenal perbedaan bangsa dan bahasa. Meskipun Rasid Ridha berguru pada Muhammad Abduh, tetapi dalam hal pembaharuan mereka memiliki perbedaan. Muhammad Abduh lebih luas pergaulannya,disamping itu penguasaan bahasa asing lebih menguasai dibanding Rasyid Ridha.
Perbedaan antara guru dan murid tersebut sangat terlihat, misalnya dalam hal paham-paham teologi dan jujga dalam Tafsir al-Manar, ketika murid memberi komentar terhadap uraian guru. Sedangkan dalam masalah teologi, Muhammad Abduh menafsirkan ayat-ayat Mutajassimah secara filosofis rasional, sedangkan Rasyid Ridha menafsirkan apa adanya ia tidak mentakwil.[29]
Rasyid Ridha sebagai ulama yang selalu menambah ilmu pengetahuan dan selalu berjuang selama hayatnya, ia meninggal pada tanggal 23 jumadil ula 1354/ 22 agustus 1935, ia meninggal dunia dengan aman sambil memegang Al-Qur’an ditangannya.

7. PEMBAHARUAN QASYIM AMIN
Qasyim Amin lahir dipinggiran kota Kairo pada tahun 1863, ayahnya keturunan Qurdi, tetapi menetap di Mesir, ia belajar hukum di Mesir kemudian melanjutkan ke Perancis sebagai mahasiswa tugas belajar dari pemerintah untuk memperdalam ilmu hukum, setelah selesai dan pulang ke Mesir ia bekerja pada pengadilan Mesir. Dalam hal pembaharuan di masyarakat ia lebih mengutamakan dalam hal memperbaiki nasib wanita.
Ide inilah yang kemudian dikupas Qasyim Amin dalam bukunya tahrir al-mar’ah (“emansipasi wanita”). Wanita yang terbelakang dan jumlahnya sekitar seperdua dari jumlah penduduk Mesir, merupakan hambatan dalam pelaksanaan pembaharuan, karena itu kebebasan dan pendidikan wanita perlu mendapat perhatian. Ide Qasyim Amin yang banyak menimbulkan reaksi di zamannya ialah pendapat bahwa penutupan wajah wanita bukanlah ajaran Islam.[30]
Tidak terdapat dalam Al-Qur’an dan Hadist adalah ajaran yang mengatakan bahwa wajah wanita murupakan aurat dan oleh karena itu harus ditutup. Penutupan wajah adalah kebiasaan yang kemudian dianggap sebagai ajaran Islam.
Dan karena kritik dan protes terhadap ide inilah Qasyim Amin melihat bahwa ia perlu memberi jawaban yang keluar dalam bentuk buku bernama al-mar’ah al-jadilah (“wanita modern”). Ide-ide ini, tentu ada yang setuju dan ada pula yang tidak setuju, tapi sekarang ini usaha itu sudah dapat dirasakan hasilnya.[31]



Kesimpulan

Dari penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa dalam pembaharuan di Mesir sangat banyak sekali tokoh-tokoh yang berperan penting dalam sistem pembaharuannya, yang diantaranya yaitu Muhammad Ibnu Abdul Wahab, Muhammad Ali Pasya, Al-Tahtawi, Jamaluddin Al-Afghani, Muhammad Abduh, Rasyid Ridha, Qasyim Amin.
Meskipun mereka berperan dalam pembaharuan Mesir, tetapi cara mereka dalam bidang pembaharuan Mesir mengalami suatu perbedaan, diantaranya: pembaharuan yang dilakukan oleh Muhammad ibnu Abdul Wahab menyangkut masalah pada bidang akidah yang telah mengalami banyak penyelewengan, seperti yang terjadi pada tarekat yang permohonan dan doanya ditujukan kepada syekh dan guru tarekat bukan kepada Allah SWT. Yang pada intinya adalah syirik dan syirik adalah dosa besar. Kemudian pembaharuan Muhammad Ali Pasya yang dilaksanakan untuk kemajuan ummat Islam dalam hal kekuatan militer, ekonomi, pendidikan dan bidang pemerintahan baik dalam negeri maupun luar negeri.
Dalam pembaharuan Al-Tahtawi pembaharuannya berpegang pada agama dan akhlaq dalam kesejahterakan ummat Islam, pembaharuan Jamaluddin Al-Afghani menganggap musuh umat Islam adalah penjajah maka dari itu ummat Islam harus bersatu dalam menentang penjajah, pembaharuan Muhammad abduh yang bersumber pada aspek kebebasan, kemasyarakatan, keagamaan, dan pendidikan.
Menurut Rasyid Ridha paham nasionalisme harus dihapus dan di singkirkan karena bertentangan dengan paham persatuan ummat Islam, dan yang terakhir pembaharuan Qasyim Amin dalam memperbaiki nasib pendidikan wanita (emansipasi wanita) lebih diutamakan.



DAFTAR PUSTAKA

Abidin Ahmad, H. Zainal, 1979, Sejarah Islam dan Ummatnya, Bulan Bintang, Jakarta .

Asmuni, Yusran, 1998, Pengantar Studi Pemikiran dan Gerakan Pembaharuan Dalam dunia Islam, Raja Grafindo Persada, Jakarta .

Ris’an, Rusli, 2005, Pemikiran Teologi Modern dalam Islam, IAIN Raden Fatah Press, Palembang

Mufrodi , Ali, 1997, Islam di Kawasan Kebudayaan Arab, Logos Wacana Ilmu, Jakarta .

Nasution, Harun, 2003, Pembaharuan Dalam Islam, Bulan Bintang, Jakarta .


________________________________________
[1] H. Zainal Abidin Ahmad, Sejarah Islam dan ummatnya, Bulan Bintang, Jakarta , hlm. 284.
[2] Harun Nasution, Pembaharuan Dalam Islam Sejarah Pemikiran dan Gerakan, Bulan Bintang, Jakarta , hlm.15.
[3] Ibid, hlm.16-17.
[4] DR. Ali Mufrodi, Islam di Kawasan Kebudayaan Arab, Jakarta , hlm. 154.
[5] Harun Nasution, Op. cit, hlm. 25.
[6] Drs. H.M. Yusran Asmuni, Pengantar Studi Pemikiran dan Gerakan Pembaharuan dalam Dunia Islam, Jakarta , hlm. 69.
[7] Ibid.
[8] Ibid, hlm. 71.
[9] Harun Nasution, Op. Cit, hlm. 30-31.
[10] Drs. Yusran Asmuni, Op. Cit, hlm. 71-72.
[11] Harun Nasution, Op. Cit, hlm. 34.
[12] Ibid, hlm, 34-35.
[13] Drs. Yusran Asmuni, Op. Cit, hlm. 76.
[14] Dr. Ali Mufrodi, Op. Cit. hlm. 155-156.
[15] Ibid.
[16] Harun Nasution, Op. Cit, hlm. 44.
[17] Ibid, hlm. 45.
[18] Drs. Asmuni Yusran, Op. Cit, hlm. 77.
[19] Ibid.
[20] Ibid, hlm. 78.
[21] Dr. Ali mufrodi, Op. Cit, hlm. 159.
[22] Drs. Yusran Asmuni, Op. Cit, hlm. 79.
[23] Ibid, hlm. 80-82.
[24] Ibid.
[25] Dr. Ali Mufrodi, Op. Cit, hlm. 162.
[26] Harun Nasution, Op. Cit, hlm. 60.
[27] Ibid, hlm. 61.
[28] Ris’an Rusli, pemikiran teologi modern dalam islam, ( Palembang , IAIN Raden Fatah Press, 2005)hlm. 67-68
[29] Ibid, hlm. 71-72
[30] Harun Nasution, Op. Cit,hlm.70-71
[31] Ibid.

*********************************
TUGAS MAHASISWA (KELOMPOK)
Setiap Kelompok Harus:
1. BERIKAN KOMENTAR SEPUTAR MAKALAH DIATAS ( ISI, CARA PENULISAN DAN ketepatan analisis yang dibuat pemakalah)
2. BERIKAN 2 PERTANYAAN untuk PEMAKALAH / setiap kelompok harus berbeda pertanyaan

TULIS DI KERTAS FOLIO (1LEMBAR)

MASING-MASING KELOMPOK MENGIRIMKANYA/menuliskanya DIBAWAH MAKALAH DIATAS (DALAM KOLOM KOMENTAR ) DAN DIKIRIM MELALUI EMAIL KE : muhtarom84@yahoo.com atau

..... tugas ini sudah dikirim ke email dan posting komentar di blog ini mulai hari ini (SELASA) sampai besok (RABU) pukul 14.00

Sabtu, 03 Oktober 2009

Pengertian & Latar Belakang Pembaharuan dalam Islam





PENGERTIAN DAN LATAR BELAKANG PEMBAHARUAN DALAM ISLAM
Disusun Oleh
Elvarina (08 29 004)
Acep Gunawan (08 29 015)


Dosen Pembimbing
Muhtarom, S.Pd.i


FAKULTAS TARBIYAH
JURUSAN KEPENDIDIKAN ISLAM
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGRI RADEN FATAH
PALEMBANG
2009

Pendahuluan

Modernisasi mengandung pengertian pemikiran, aliran, gerakan, dan usaha untuk mengubah paham-paham, adat istiadat, institusi-institusi lama dan sebagainya. Agar emua itu dapat disesuaikan dengan pendapat-pendapat dan keadan baru yang ditimbulkan oleh kemajuan ilmu pengetahuan dan tekhnologi modern. Namun bukan berarti pembaharuan mengubah isi Al-Quran dan Hadits.
Mulai abad pertengahan merupakan abad gemilang bagi umat Islam. Abad inilah daerah-daerah Islam meluas di barat melalui Afrika Utara sampai Spanyol, di Timur Melalui Pesia sampai India.
Daerah-daerah ini kepada kekuasaan kholifah yang pada mulanya berkedudukan di Madinah, kemudian di Damaskus, dan terakhir di Bagdad. Dabad ini lahir para pemikir dan ulama besar seperti ;Maliki, Syafi’I, Hanafi, dan Hambali.
Untuk lebih jelasnya pemakalah akan membahas mengenai apa pemgertian pembaharuan dan apa saja yang melatarbelakangi lahirnya pembaharuan pemikiran dalam Islam.


Pembahasan

A. Pengertian Pembaharuan dalam Islam

Kata yang lebih di kenal untuk pembaharuan adalah modernisasi. Kata modernisasi lahir dari dunia barat, adanya sejak terkait dengan masalah agama. Dalam masyarakat barat kata modernisasi mengandung pengertian pemikiran, aliran, gerakan, dan usaha untuk mengubah paham-paham, adat istiadat, institusi-institusi lama dan sebagainya. Agar emua itu dapat disesuaikan dengan pendapat-pendapat dan keadan baru yang ditimbulkan oleh kemajuan ilmu pengetahuan dan tekhnologi modern.
Pembaharuan Islam adalah upaya untuk menyesuiakan paham keagamaan Islam dengan perkembangan dan yang ditimbulkan kemajuan ilmu pengetahuan dan terknologi odern. Dengan demikian pembaharuan dalam Islam ukan berarti mengubah, mengurangi atau menambahi teks Al-Quran maupun Hadits, melainkan hanya menyesuaikan paham atas keduanya. Sesuai dengan perkembangannya zaman, hal ini dilakukan karena betapapun hebatnya paham-paham yang dihasilkan para ulama atau pakar di zaman lampau itu tetap ada kekurangannya dan selalu dipengaruhi oleh kecendrunagan, pengetahuan, situasional, dan sebagainya. Paham-paham tersebut untuk di masa sekarang mungkin masih banyak yang relevan dan madih dapat digunakan, tetapi mungkin sudah banyak yang tidak sesuai lagi.
Kata tajdid sendiri secara bahasa berarti “mengembalikan sesuatu kepada kondisinya yang seharusnya”. Dalam bahasa Arab, sesuatu dikatakan “jadid” (baru), jika bagian-bagiannya masih erat menyatu dan masih jelas. Maka upaya tajdid seharusnya adalah upaya untuk mengembalikan keutuhan dan kemurnian Islam kembali. Atau dengan ungkapan yang lebih jelas, Thahir ibn ‘Asyur mengatakan,
Pembaharuan agama itu mulai direalisasikan dengan mereformasi kehidupan manusia di dunia. Baik dari sisi pemikiran agamisnya dengan upaya mengembalikan pemahaman yang benar terhadap agama sebagaimana mestinya, dari sisi pengamalan agamisnya dengan mereformasi amalan-amalannya, dan juga dari sisi upaya menguatkan kekuasaan agama.
Pengertian ini menunjukkan bahwa sesuatu yang akan mengalami proses tajdid adalah sesuatu yang memang telah memiliki wujud dan dasar yang riil dan jelas. Sebab jika tidak, ke arah mana tajdid itu akan dilakukan? Sesuatu yang pada dasarnya memang adalah ajaran yang batil –dan semakin lama semakin batil-, akan ditajdid menjadi apa? Itulah sebabnya, hanya Syariat Islam satu-satunya syariat samawiyah yang mungkin mengalami tajdid. Sebabnya dasar pijakannya masih terjaga dengan sangat jelas hingga saat ini, dan dapat dipertanggungjawabkan. Adapun Syariat agama Yahudi atau Kristen –misalnya-, keduanya tidak mungkin mengalami tajdid, sebab pijakan yang sesungguhnya sudah tidak ada. Yang ada hanyalah “apa yang disangka” sebagai pijakan, padahal bukan. Tidak mengherankan jika kemudian aliran Prostestan menerima “kemenangan” akal dan sains atas agama, sebab gereja pada mulanya tidak menerimanya, sebab teks-teks Injil tidak memungkinkan untuk itu. Dan yang seperti sama sekali tidak dapat disebut sebagai tajdid.
Dalam Islam sendiri, seputar ide tajdid ini, Rasulullah saw. sendiri telah menegaskan dalam haditsnya tentang kemungkinan itu. Beliau mengatakan, yang artinya:
“Sesungguhnya Allah akan mengutus untuk ummat ini pada setiap pengujung seratus tahun orang yang akan melakukan tajdid (pembaharuan) terhadap agamanya.” (HR. Abu Dawud , no. 3740).
Tajdid yang dimaksud oleh Rasulullah saw di sini tentu bukanlah mengganti atau mengubah agama, akan tetapi –seperti dijelaskan oleh Abbas Husni Muhammad maksudnya adalah mengembalikannya seperti sediakala dan memurnikannya dari berbagai kebatilan yang menempel padanya disebabkan hawa nafsu manusia sepanjang zaman. Terma “mengembalikan agama seperti sediakala” tidaklah berarti bahwa seorang pelaku tajdid (mujaddid) hidup menjauh dari zamannya sendiri, tetapi maknanya adalah memberikan jawaban kepada era kontemporer sesuai dengan Syariat Allah Ta’ala setelah ia dimurnikan dari kebatilan yang ditambahkan oleh tangan jahat manusia ke dalamnya. Itulah sebabnya, di saat yang sama, upaya tajdid secara otomatis digencarkan untuk menjawab hal-hal yang mustahdatsat (persoalan-persoalan baru) yang kontemporer. Dan untuk itu, upaya tajdid sama sekali tidak membenarkan segala upaya mengoreksi nash-nash syar’i yang shahih, atau menafsirkan teks-teks syar’i dengan metode yang menyelisihi ijma’ ulama Islam. Sama sekali bukan.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa tajdid dalam Islam mempunyai 2 bentuk:
Pertama, memurnikan agama -setelah perjalanannya berabad-abad lamanya- dari hal-hal yang menyimpang dari Al-Qur’an dan As-Sunnah. Konsekuensinya tentu saja adalah kembali kepada bagaimana Rasulullah saw dan para sahabatnya mengejawantahkan Islam dalam keseharian mereka.
Kedua, memberikan jawaban terhadap setiap persoalan baru yang muncul dan berbeda dari satu zaman dengan zaman yang lain. Meski harus diingat, bahwa “memberikan jawaban” sama sekali tidak identik dengan membolehkan atau menghalalkannya. Intinya adalah bahwa Islam mempunyai jawaban terhadap hal itu. Berdasarkan ini pula, maka kita dapat memahami bahwa bidang-bidang tajdid itu mencakup seluruh bagian ajaran Islam. Tidak hanya fikih, namun juga aqidah, akhlaq dan yang lainnya. Tajdid dapat saja dilakukan terhadap aqidah, jika aqidah ummat telah mengalami pergeseran dari yang seharusnya.

Banyak sekali peristilahan yang digunakan para pe-nulis yang dalam bahasa Indonesia berkonotasi pemba-haruan, umpamanya tajdid, ishlah, reformasi, ‘ashriyah, modernisasi, revivalisasi, resurgensi (resurgence), reassersi (reassertion), renaisans, dan fundamentalis. Peristilahan se-perti ini timbul, bukan sekedar perbedaan semantik bela-ka, akan tetapi dilihat dari isi pembaharuan itu sendiri.
1. Tajdid, Ishlah, dan Reformasi
Tajdid sering diartikan sebagai ishlah dan reformasi; karena itu, gerakannya disebut gerakan tajdid, gerakan ishlah, dan gerakan reformasi. Tajdid menurut bahasa al-i’adah wa al-ihya’ , mengembalikan dan menghidupkan. Tajdid al-din, berarti mengembalikannya kepada apa yang pernah ada pada masa salaf, generasi muslim awal. Tajdid al-Din menurut istilah ialah menghidupkan dan membangkitkan ilmu dan amal yang telah diterangkan oleh al-Quran dan al-Sunnah . Ulama salaf memberikan ta’rif tajdid sebagai berikut : Menerangkan/membersih-kan Sunnah dari bid’ah memperbanyak ilmu dan memu-liakannya, membenci bid’ah dan menghilangkannya” . Selanjutnya tajdid dikatakan sebagai penyebaran ilmu, meletakkan pemecahan secara Islami terhadap setiap problem yang muncul dalam kehidupan manusia, dan menentang segala yang bid’ah. Tajdid tersebut di atas dapat pula diartikan sebagaimana dikatakan oleh ulama salaf menghidupkan kembali ajaran salaf al-shaleh, meme-lihara nash-nash, dan meletakkan kaidah-kaidah yang disusun untuknya serta meletakkan metode yang benar untuk memahami nash tersebut dalam mengambil mak-na yang benar yang sudah diberikan oleh ulama.
Dari definisi di atas nampak, bahwa tajdid tersebut mendorong umat Islam agar kembali kepada al-Quran dan sunnah serta mengembangkan ijtihad. Inilah makna tajdid yang dianut oleh kaum puritan yang selama ini suaranya masih bergema. Tajdid seperti ini pula yang di-katakan sebagai ishlah atau reformasi dalam Islam. Refor-masi itu sendiri, berdasarkan sejarahnya, muncul akibat modernisasi muncul sebagai reaksi atas reformasi. Reformasi adalah vis a vis modernisasi. Reformasi sebagai akibat adanya penyimpangan agama dan teologi yang disebabkan oleh adanya sekularisme modern (reformation as a religious and theological and the cauce of modern secularism).
2. ‘Ashriyah dan Modernisasi
Istilah modernisasi atau ashriyah (Arab) diberikan oleh kaum Orientalis terhadap gerakan Islam tersebut di atas tanpa membedakan isi gerakan itu sendiri. Modernisasi, dalam masyarakat Barat, mengandung arti fikiran, aliran, gerakan dan usaha-usaha untuk merubah faham-faham, adat istiadat, institusi-institusi lama, dan sebagai-nya untuk disesuaikan dengan suasana baru yang ditim-bulkan oleh kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi modern. Tatkala umat Islam kontak dengan Barat, maka modernisasi dari Barat membawa kepada ide-ide baru ke dunia Islam, seperti rasionalisme, nasionalisme, demok-rasi, dan lain sebagainya.

Penyesuaian ajaran seperti di atas disebut modern karena dalam sejarahnya agama Katholik dan Protestan dahulu diajak menyesuaikan diri dengan ilmu pengeta-huan dan falsafat modern. Sayangnya, modernisaai di Barat ini akhirnya membawa kepada sekularisasi. Jika seandainya demikian ternyata perkataan modern tidak sedikit dampaknya dan bahayanya dalam pemahaman agama, seandainya tidak ada filter-filter tertentu untuk menyaringnya sebagaimana terjadi di dunia Barat tadi. Itulah sebabnya barangkali Harun Nasution tidak begitu sreg menggunakan kata modern sebagai gantinya dipilih kata pembaharuan.
3. Revivalisasi, Resurgensi, Renaisans, Reasersi
Kesemua peristilahan di atas mengandung arti te-gak kembali atau bangkit kembali. Peristilahan revivali-sasi, pada dasarnya, banyak sekali digunakan oleh para penulis. Fazlurrahman, misalnya, menggunakan istilah ini, bahkan ia membaginya kepada dua bagian yaitu revivalis pra-modernis dan revivalis neo modernis.
Penulis lain mengungkapkan kebangkitan kembali dengan kata resurgence. Chandra Muzaffar yang menge-mukakan istilah ini dalam tulisannya Resurgence A. Global Vew menyatakan bahwa adanya perbedaan antara istilah revivalis dengan resurgence. Resurgence, adalah tindakan bangkit kembali yang di dalamnya mengandung unsur :
1. kebangkitan yang datang dari dalam Islam sendiri dan Islam dianggap penting karena dianggap mendapatkan kembali prestisenya;
2. ia kembali kepada masa jayanya yang lalu yang pernah terjadi sebelumnya;
3. bangkit kem¬bali untuk menghadapi tantangan, bahkan ancaman dari mereka yang berpengalam-an lain.
Revivalisme juga berati bangkit kembali, tetapi kem-bali ke masa lampau, bahkan berkeinginan untuk meng-hidupkan kembali yang sudah usang. Renaisans, jika ha-nya diartikan secara umum nampaknya membangkitkan kembali ke masa-masa yang sudah ketinggalan zaman, bahkan ada konotasi menghidupkan kembali masa jahi-liyah, sebagaimana renaisans di Eropa yang berarti meng-hidupkan kembali peradaban Yunani. Jika istilah ini ter-paksa digunakan, maka Renaisans Islam harus berarti tajdid .
Karena itu, barangkali mengapa banyak para penu-lis menggunakan Renaisans dalam menerangkan tajdid atau Pembaharuan dalam Islam. Fazlurrahman, misalnya dalam bukunya Islam : Challenges and Opportunities, me-nulis tentang Renaisans Islam : Neo Modernis. Istilah ini-pun digunakan pula oleh editor buku A History of Islamic Phllisophy, M.M. Sharif, tatkala rnenerang¬kan tokoh-to-koh pembaharuan dunia Islam, seperti Muhammad ibn Abd al-Wahab, Muhammad Abduh dan lainnya di ba-wah judul Modern Renaissans. Sementara itu reassertion berarti tegak kembali tetapi tidak mengandung tan-tangan terhadap masalah sosial yang ada.
Demikianlah istilah tajdid, pembaharuan, yaitu dike-mukakan oleh para ahli, mereka bukan hanya sekedar berbeda pendapat dalam hal istilah yang digunakan, akan tetapi dalam makna dan isi pembaharuan itu sen-diri. Itulah sebabnya orang sering mengatakan bahwa istilah Pembahruan dalam Islam masih merupakan kon-troversi yang mengandung kebenaran. Dan itu pula sebabnya mengapa Harun Nasution tidak banyak meng-gunakan peristilahan yang banyak itu, kecuali menggu-nakan istilah pembaharuan, modern dan tajdid sewaktu-waktu. Karena, yang penting adalah isi dan tujuan dari pembaharuan itu sendiri kembali kepada ajaran-ajaran dasar dan memelihara ijtihad.

Pengertian Istilah
1. Harun Nasution cendrung menganalogikan istilah “pembaharuan” dengan “modernisme”, karena istilah terakhir ini dalam masyarakat Barat mengandung arti pikiran, aliran, gerakan, dan usaha mengubah paham-paham, adt-istiadat, institusi lama, dan sebagainya unutk disesuaikan dengan suasana baru yang ditimbulkan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi modern. Gagasan ini muncul di Barat dengan tujuan menyesuaikan ajaran-ajaran yang terdapat dalam agama Katolik dan Protestan dengan ilmu pengetahuna modern. Karena konotasi dan perkembangan yang seperti itu, harun Nasution keberatan menggunakan istilah modernisasi Islam dalam pengertian di atas.
2. Revivalisasi. Menurut paham ini, “pembaharuan adalah “membangkitkan” kembali Islam yang “murni” sebagaimana pernah dipraktekkan Nabi Muhammad Shalallahu ‘Alaihi Wassalam dan kaum Salaf.
3. Kebangkitan Kembali ( Resugence ) Dalam kamus Oxford, resurgence didefinisikan sebagai “kegiatan yang muncul kembali” (the act of rising again ). Pengertian ini mengandung 3 hal :
a. Suatu pandangan dari dalam, suatu cara dalam mana kaum muslimim melihat bertambahnya dampak agama diantara para penganutnya. Islam menjadi penting kembali. Dalam artian, memperoleh kembali prestise dankehormatan dirinya.
b. “Kebangkitan kembali” menunjukkan bahwa keadaaan tersebut telah terjadi sebelumnya. Jejak hidup nabi Muhammad shalallahu ‘alaihi wassalam dan para pengikutnya memberikan pengaruh besar terhadap pemikiran orang-orang yang menaruh perhatian pada jalan hidup Islam saat ini.
c. Kebangkitan kembali sebagai suatu konsep, mengandung paham tentang suatu tantangan, bahkan suatu ancaman terhadap pengikut pandangan-pandangan lain.
Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi modern memasuki dunia Islam terutama sesudah pembukaan abad ke-19 M, yang dalam sejarah Islam di pandang sebagai permulaan periode modern. Kontak dengan dunia barat selanjutnya membawa ide-ide baru ke dunia Islam seperti Rasionalisme, Nasionalisme, Demokrasi, dan sebagainya. Semua ini menimbulkan persoalan-persoalan baru dan pemimpin-pemimpin Islam pun mulai memikirkan cara mengatasi persoalan-persoalan itu.
Sebagaimana halnya di barat, di dunia Islam juga timbul pikiran dan gerakan untuk menyesuaikan paham-paham keagamaan Islam dengan perkembangan baru yang ditimbulkan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi modern itu. Dengan jalan demikian itu pemimpin-pemimpin Islam modern berharap akan dapat melepaskan umat Islam nilai suasana kemunduran untuk selanjutnya dibawa pada kemajuan.
Akan tetapi di sebagian umat Islam tradisional hingga sat ini tampak ada perasaan masih belum mau menerima apa yang di maksud dengan pembaharuan Islam. Hal ini, antara lain disebabkan karena salah persepsi dalam memahami arti pembaharuan dalam Islam.mereka memandang bahwa pembaharuan Islam adalah membuang ajaran Islam yang sama diganti dengan ajaran Islam baru, padahal ajaran Islam yang lama itu berdasarkan hasil Ijtihad ulama besar yang dalam ilmunya taat beribadah dan unggul kepribadiannya. Sedangkan ulama yang sekarang di pandang kurang mendalami ilmu agamanya, kurang taat, dalam beribadahnya, dan kurang baik budi pekertinya. Oleh Karena itu mereka masih beranggapan bahwa pemikiran ulama di abad yang lampau sudah cukup baik dan tidak perlu diganti dengan pemikiran ulama sekarang.
Selain itu ada pula yang memahami pembaharuan Islam dengan mengubah Al-Quran dan Hadits, memahami Al-Quran dan Hadits menurut selera orang yang memahaminya atau mencocokan-mencocokan makna Al-Quran dan Hadits dengan makna yang dimaui oleh orang-orang yang menafsirkannya, sehingga Al-Quran dan Hadits semacam setempel yang melegitimasi segala perbuatan yang dilakukan manusia. Dengan kata lain, pembahasan Islam mereka persepsikan dengan upaya mencocokkan kehendak Al-Quran dan Hadits dengan kehendak orang yang menafsirkannya, bukan mengajak orang untuk hidup sesuai dengan Al-Quran dan Hadits. Persepsi demikian hingga kini tampak di pegang terus oleh sebagian umat Islam Tradisional tanpa mau melakukan dialog atau dikusi dengan para tokoh Pembaharu Islam, sehingga munculah istilah kaum modernis dan kaum tradisional.
Modern berarti terbaru, mutakhir atau sikap dan cara berpikir serta bertindak dengan tuntutan zaman.
Sedangkan modernisasi adalah pergeseran sikap dan mentalitas sebagai warga masyarakat untuk bisa hidup sesuai dengan tuntutan hidup masa kini.
Selain itu pembaharuan dalam Islam dapat pula berarti mengubah keadaan umat agar mengikuti ajaran yang terdapat di dalam Al-Quran dan Sunnah. Hal ini perlu dilakukan, karena terjadi kesenjangan antara yang dikehendaki Al-Quran dengan kenyataan yamg terjadi di masyarakat. Al-Quran misalnya mendorong umatnya agar menguasai pengetahuan agama dan ilmu pengetahuan modern serta teknologi secra seimbang; hidup bersatu, rukun, dan damai sebagai suatu keluarga besar; bersikap dinamis, kreatif, inovatif, demokratis, terbuka, menghargai pendapat orang lain, menghargai waktu, menyukai kebersihan, dan lain sebagainya. Namun kenyatan umatnya menunjukan keadan yang berbeda. Sebagaian besar umat Islam hanya mengetahui pengetahuan agama sedangkan ilmu pengetahuan modern tidak dikuasai bahkan dimusuhi; hidup dalam keadan penuh pertentangan dan peperangan, satu dan lainnya saling bermusuhan, statis, memandang cukup apa yang ada, tidak ada kehandak untuk meningkatkan produktivitas dan efisiensi kerja, bersikap diktator, kurang menghargai waktu, kurang terbuka, dan lain sebagainya. Sikap dan pandangan hidup umat demikian jelas tidak sejalan dengan ajaran Al-Quran dan Sunnah, dan hal demikian harus diperbarui dengan jalan kembali kepada dua sumber ajaran Islam yang utama itu. Dengan demikian, maka pembaruan Islam mengandung maksud mengembalikan sikap dan pandangan hidup umat agar sejalan dengan petunjuk Al-Quran dan Sunnah.
Untuk mendukung pernyataan tersebut, Harun Nasution dalam bukunya berjudul Pembaharuan dalam Islam telah banyak mengemukakan ide-ide pembaharuan Islam dengan maksud seperti diungkapkan diatas.
B. Latar Belakang Pembaharuan dalam Islam

Mulai abad pertengahan merupakan abad gemilang bagi umat Islam. Abad inilah daerah-daerah Islam meluas di barat melalui Afrika Utara sampai Spanyol, di Timur Melalui Pesia sampai India.
Daerah-daerah ini kepada kekuasaan kholifah yang pada mulanya berkedudukan di Madinah, kemudian di Damaskus, dan terakhir di Bagdad. Dabad ini lahir para pemikir dan ulama besar seperti ;Maliki, Syafi’I, Hanafi, dan Hambali.
Dengan lahirnya pemikiran para ulama besar itu, maka ilmu pengetahuan lahir dan berkembang dengan pesat sampai ke puncaknya, baik dalam bidang agama, nono agama maupun dalam bidang kebudayaan lainnya.
Memasuki benua Eropa melalui Spanyol dan Sisilia, dan inilah yang menjadi dasar dari ilmu pengetahuan yang menguasai alam pikiran orang barat (Eropa) pada abad selanjutnya.
Di pandang dari segi sejarah kebudayaan, maka maka tugas memelihara dan menyebarkan ilmu pengetahuan itu tidaklah kecil nilainya dibanding dengan mencipta ilmu pengetahuan.
Di antara yang mendorong timbulnya pembaharuan dan kebangkitan Islam adalah:
Pertama, paham tauhid yang dianut kaum muslimin telah bercampur dengan kebiasaan-kebiasaan yang dipengaruhi oleh tarekat-tarekat, pemujaan terhadap orang-orang yang suci dan hal lain yang membawa kepada kekufuran.
Kedua, sifat jumud membuat umat Islam berhenti berfikir dan berusaha, umat Islam maju di zaman klasik karena mereka mementingkan ilmu pengetahuan, oleh karena itu selama umat Islam masih bersifat jumud dan tidak mau berfikir untuk berijtihad, tidak mungkin mengalami kemajuan, untuk itu perlu adanya pembaharuan yang berusaha memberantas kejumudan.
Ketiga, umat Islam selalu berpecah belah, maka umat Islam tidaklah akan mengalami kemajuan. Umat Islam maju karena adanya persatuan dan kesatuan, karena adanya persaudaran yang diikat oleh tali ajaran Islam. Maka untuk mempersatukan kembali umat Islam bangkitlah suatu gerakan pembaharuan.
Keempat, hasil dari kontak yang terjadi antara dunia Islam dengan Barat. Dengan adanya kontak ini umat Islam sadar bahwa mereka mengalami kemunduran dibandingkan dengan Barat, terutama sekali ketika terjadinya peperangan antara kerajaan Usmani dengan negara-negara Eropa, yang biasanya tentara kerajaan Usmani selalu memperoleh kemenangan dalam peperangan, akhirnya mengalami kekalahan-kekalahan di tangan Barat, hal ini membuat pembesar-pembesar Usmani untuk menyelidiki rahasia kekuatan militer Eropa yang aru muncul. Menurut mereka rahasianya terletak pada kekuatan militer modern yang dimiliki Eropa, sehingga pembaharuan dipusatkan di dalam lapangan militer, namun pembaharuan di bidang lain disertakan pula.

Pembaharuan dalam Islam berbeda dengan renaisans Barat. Kalau renaisans Barat muncul dengan menyingkirkan agama, maka pembaharuan dalam Islam adalah sebaliknya, yaitu untuk memperkuat prinsip dan ajaran-ajaran Islam kepada pemeluknya. Memperbaharui dan menghidupkan kembali prinsip-prinsip Islam yang dilalaikan umatnya. Oleh karena itu pembaharuan dalam Islam bukan hanya mengajak maju kedepan untuk melawan segala kebodohan dan kemelaratan tetapi juga untuk kemajuan ajaran-ajaran agama Islam itu.

Adapun yang melatarbelakangi pemikiran politik Islam adalah:
Pertama, kemunduran dan kerapuhan dunia Islam yang disebabkan oleh faktor internal dan yang berakibat munculnya gerakan-gerakan pembaharuan dan pemurnian.
Kedua, rongrongan Barat terhadap keutuhan kekuasaan politik dan wilayah dunia Islam yang berakhir dengan dominasi atau penjajahan oleh negara-negara Barat tersebut.
Ketiga, keunggulan Barat dalam bidang ilmu, teknologi, dan organisasi.
Ketiga hal tersebut ini juga memberi pengaruh pada pemikiran politik Islam yakni banyak di antara para pemikir politik Islam tidak mengetengahkan konsepsi tentang system politik Islam, tetapi lebih kepada konsepsi perjuangan politik umat Islam terhadap kezaliman penguasa, lebih-lebih terhadap imperialis dan kolonialis Barat. Perhatian mereka lebih banyak dipusatkan pada perjuangan pembebasan dunia Islam dari cengkraman atau dominasi Barat. Kalau gerakan pembaharuan umat Islam di Turki pada akhirnya menimbulkan Negara Turki yang bersifat sekuler, gerakan pembaharuan umat Islam di India melahirkan Negara Pakistan yang mempunyai agama sebagai dasar.
Gerakan yang diusung oleh tiga tokoh pembaharu, Jamaluddin Al-Afghani, Muhammad Abduh, dan Muhammad Rasyid Ridha, dikenal dengan gerakan Salafiyah yaitu suatu aliran keagamaan yang berpendirian bahwa untuk dapat memulihkan kejayaannya, umat Islam harus kembali kepada ajaran Islam yang masih murni seperti yang dahulu diamalkan oleh generasi pertama Islam.
Pemerintahan yang ideal menurut Muhammad Abduh kurang lebih seperti yang diangankan oleh ahli-ahli hukum pada abad pertengahan, penguasa yang adil, yang memerintah sesuai dengan hukum dan bermusyawarah dengan para pemimpin rakyat.
Kemunculan ide pembaruan dilatarbelakangi oleh suatu proses yang panjang. Sejak awal abad ke-2 H (8M). Islam dalam perkembangan dakwahnya yang makin meluas mengharuskan Islam berinteraksi dengan peradaban dan agama lain. Sehingga timbul pergolakan pemikiran antara Islam dengan pemikiran asing. Hal ini mendorong para pemikir Islam untuk membahas aqidah Islam dari berbagai segi. Termasuk mengemukakan argumentasi untuk mempertahankan aqidah Islam ketika menghadapi aqidah lain (terutama Nashrani dengan menggunakan cara berfikir filsafat Yunani). Akhirnya untuk menghadapi orang-orang Nashrani, umat Islam pun mempelajari filsafat untuk membantah tuduhan-tuduhan terhadap aqidah Islam, yang pada perkembangannya disebut dengan ilmu kalam.
Ilmu kalam ini dikembangkan oleh generasi setelah shahabat (khalaf) yang berbeda dengan generasi shahabat (salaf). Kalangan khalaf telah membahas lebih jauh tentang dzat Allah dengan menggunakan metode pembahasan filosof Yunani. Metode ini menjadikan akal sebagai dasar pemikiran untuk membahas segala hal tentang iman.
Para pemikir Islam berusaha mempertemukan Islam dengan pemikiran filsafat ini. Cara berfikir ini memunculkan interpretasi dan penafsiran yang menjauhkan sebagian arti dan hakekat Islam yang sebenarnya. Hal ini ditambahkan dengan masuknya orang-orang munafik ke tubuh umat Islam. Mereka merekayasa pemikiran dan pemahaman yang bukan berasal dari Islam dan justru menimbulkan saling pertentangan. Terlebih lagi kelalaian kaum muslimin terhadap penguasaan bahasa Arab dan pengembangan Islam yang terjadi sejak abad ke-7 H, mengakibatkan Islam semakin mengalami kemerosotan.

Terkikisnya pemahaman Islam yang hakiki terus berlanjut sampai awal abad ke-13 H. Saat itu umat Islam mulai mengupayakan pembaruan untuk memahami syariat Islam yang akan diterapkan dalam masyarakat. Islam ditafsirkan tidak semata-mata selaras dengan isi kandungan nash-nash.

Disaat kaum muslimin mengalami kemerosotan berfikir, cara pandang mereka mulai teracuni oleh cara pandang asing. Tsaqofah Islam kian melemah. Upaya-upaya pembaruan semakin merebak. Para pembaru memandang perlunya mengatasi masalah dengan melakukan interpretasi hukum-hukum Islam agar sesuai dengan kondisi yang ada. Mereka mengeluarkan kaidah-kaidah umum dan hukum-hukum terperinci sesuai dengan pandangan tersebut. Bahkan mereka membuat kaedah umum yang tidak berdasarkan perspektif wahyu (Al-Quran dan Hadits).

Sampai dengan perempat ketiga abad ini, gerakan Islam lebih merupakan pembaharuan dalam pengertian revitalitas atau semacam romantisme. Hampir seluruh gerakan Islam dimotori oleh semangat menghidupkan kembali tradisi Islam Klasik sebagai reaksi atas kebangkrutan kekuasaan politik Islam di satu sisi sementara didomonasi politik dan intelektual Barat modern merupakan fenomena mondial. Gerakan Islam baik di Timur Tengah maupun beberapa kawasan Asia seperti India bertumpu pada emansipasi politik dan intelektual dalam romantisme dan revitalisasi di atas

Walaupun kecendrungan di atas telah berhasil membebaskan beberapa kawasan Islam dari kolonialisme dan membangkitkan kembali kepercayaan diri dunia Islam, namun pembaharuan Islam bersifat eksternal. Di sisi lain, Negara-negara baru Islam pun berhadapan dengan realitas baru tumbuhnya Negara bangsa yang merupakan wacana baru pemikiran Islam.

Tanpa suatu tradisi intelektual yang mampu berdialog dengan peradaban modern, Negara-negara baru Islam mulai berhadapan dengan bagaimana membangun tata kehidupan sebagai realisasi semangat dan pesan universal Islam. Pengembangan kehidupan sosial muslimpun berhadapan dengan realitas obyektif yang kurang lebih serupa. Bagaimana membangun peradaban Islam dalam masyarakat modern, sesungguhnya merupakan agenda gerakan Islam masa depan.

Kesimpulan
Dari penjelasan di atas pemakalah dapat menyimpulkan bahwa:
Pembaharuan Islam adalah upaya untuk menyesuiakan paham keagamaan Islam dengan perkembangan dan yang ditimbulkan kemajuan ilmu pengetahuan dan terknologi odern. Dengan demikian pembaharuan dalam Islam ukan berarti mengubah, mengurangi atau menambahi teks Al-Quran maupun Hadits, melainkan hanya menyesuaikan paham atas keduanya.
Adapun yang mendorong timbulnya pembaharuan dan kebangkitan Islam adalah:
Pertama, paham tauhid yang dianut kaum muslimin telah bercampur dengan kebiasaan-kebiasaan yang dipengaruhi oleh tarekat-tarekat, pemujaan terhadap orang-orang yang suci dan hal lain yang membawa kepada kekufuran.
Kedua, sifat jumud membuat umat Islam berhenti berfikir dan berusaha, umat Islam maju di zaman klasik karena mereka mementingkan ilmu pengetahuan, oleh karena itu selama umat Islam masih bersifat jumud dan tidak mau berfikir untuk berijtihad, tidak mungkin mengalami kemajuan, untuk itu perlu adanya pembaharuan yang berusaha memberantas kejumudan.
Ketiga, umat Islam selalu berpecah belah, maka umat Islam tidaklah akan mengalami kemajuan.
Keempat, hasil dari kontak yang terjadi antara dunia Islam dengan Barat.

DAFTAR PUSTAKA


Asmuni, Yusran. 1998. Pengantar Studi Pemikiran dan Gerakan Pembaharuan dalam Dunia Islam. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Mulkhan, Abdul Munir. 1995. Teologi dan Demokrasi Modernitas Kebudayaan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Nasution, Harun. 1996. Pembaharuan dalam Islam Sejarah Pemikiran dan Gerakan. Jakarta: Bulan Bintang.
Nasution, Harun. 2003. Pembaharuan dalam Islam Sejarah Pemikiran dan Gerakan. Jakarta: Bulan Bintang.
Nata, Abuddin. 2008. Metodologi Studi Islam. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
http///www.google.com Afifi Fauzi Abbas
http///www.google.com. Muhammad Ikhsan, Tajdid dalam Syariat Islam Antara Upaya Pemurnian dan Usaha Menjawab Tantangan Zaman. (Ditulis oleh Administrator, 2006)
http///ww.google.com. Gunawan’s Site, Gerakan Pembaharuan Islam
http///www.google.com

----------------------------------------------------

Harun Nasution dalam Yusran Asmuni, Pengantar Studi dan Gerakan Pembaharuan dalam Dunia Islam (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1998) Hlm. 1.
Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2008) Hlm. 378-379.
http///www.google.com. Muhammad Ikhsan, Tajdid dalam Syariat Islam Antara Upaya Pemurnian dan Usaha Menjawab Tantangan Zaman. (Ditulis oleh Administrator, 2006)

http///www.google.com Afifi Fauzi Abbas
http///ww.google.com. Gunawan’s Site, Gerakan Pembaharuan Islam.
Harun Nasution, Pembaharuna dalam Islam Sejarah Pemikiran dan Gerakan (Jakarta: Bulan Bintang, 1996) Cet. 11 Hlm. 3-4

Harun Nasution, Pembaharuna dalam Islam Sejarah Pemikiran dan Gerakan (Jakarta: Bulan Bintang, 2003) Cet 13 Hlm. 3
Abuddin Nata, Loc.Cit.
Yusran Asmuni, Op.Cit. Hlm 2
Ibid
Abuddin Nata, Loc.Cit.
Yusran Asmuni, Op.Cit. Hlm. 4
Ibid, Hlm. 5
http///www.google.com
http///www.google.com
Abdul Munir Mulkhan, Teologi dan Demokrasi Modernitas Kebudayaan (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1995) Hlm. 116

TUGAS MAHASISWA (KELOMPOK)
Setiap Kelompok Harus:
1. BERIKAN KOMENTAR SEPUTAR MAKALAH DIATAS ( ISI, CARA PENULISAN DAN ketepatan analisis yang dibuat pemakalah)
2. BERIKAN 2 PERTANYAAN untuk PEMAKALAH / setiap kelompok harus berbeda pertanyaan

TULIS DI KERTAS FOLIO (1LEMBAR)

MASING-MASING KELOMPOK MENGIRIMKANYA MELALUI EMAIL KE : muhtarom84@yahoo.com atau di posting langsung di bawah tulisan ini (kolom komentar)

..... tugas ini sudah dikirim ke email/posting komentar di blog ini mulai hari ini sampai besok pukul 14.00






***************************************
NOTE : MAKALAH INI TANGGUNG JAWAB PENUH PENULIS MAKALAH

UNTUK SARAN, KRITIK,MASUKAN DAN PERTANYAAN:.............
TINGGALKAN KOMENTAR DIBAWAH INI
 

Translate

Total Tayangan Halaman

Islamic Education Copyright © 2009 Community is Designed by Bie