Tampilkan postingan dengan label 1. Materi Kuliah PPMDI. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label 1. Materi Kuliah PPMDI. Tampilkan semua postingan

Kamis, 05 November 2009

Pembaharuan di Turki ; Sultan Mahmud II, Tanzimat, Usmani Muda dan Turki Muda


PEMBAHARUAN DI TURKI ; SULTAN MAHMUD II,
TANZIMAT,
USMANI MUDA DAN TURKI MUDA

PENDAHULUAN
Pada abad pertengahan Dunia Barat telah maju, ditandai dengan beberapa kemajuan dan penemuan teknologi modern.
Islam sudah masuk ke daerah Turki mulai abad Hijriyah dan Islam berkembang dengan pesat , bangsa Turki mencapai puncak kemegahan dari tahun 1520-1566 kemudian mendapat gelar orang sakit (The Sick Men) karena bangsa Turki akhirnya juga lumpuh pada abad ke-19.
Pembaharuan di Turki ini, meliputi empat fase pembaharuan yang dimulai oleh Sultan Mahmud II, yang mengubah madrasah tradisional tanpa pengetahuan umum menjadi madrasah yang berpengetahuan umum. Tanzimat yaitu usaha untuk mengatur dan memperbaiki struktur organisasi pemerintahan sementara Usmani Muda dan Turki Muda ingin mengubah sistem pemerintahan konstitusional bukan dengan kekuasaan absolut.

PEMBAHASAN
Pada abad pertengahan Dunia Barat telah maju, ditandai dengan beberapa kemajuan dan penemuan teknologi modern seperti kaca lensa (1250), alat percetakan (1450), dan lain-lain. Perkembangan IPTEK ini disamping menimbulkan hal-hal yang positif adapula yang negatif, sedangkan umat Islam dibelahan bagian timur sedang bersimpuh dibawah penindasan dan juga terlena dibawah sisa kemegahan kurturnya di masa silam yang telah sirna, namun dibelahan barat (Asia Barat) kurang lebih tahun 1300 telah berdiri pula Kerajaan Turki, namun mereka kurang berbudaya. Mereka hanya mengandalkan kemajuan militer, keberanian dan fisik mereka yang kuat, namun mereka ini merupakan ancaman bagi Eropa.
Puncak kemajuan Turki tersebut berada pada zaman Sultan Mahmud II, antara lain pada tahun 1453 dapat menaklukkan Byzantium Romawi. dari Istanbul, mereka menguasai daerah sekitar laut tengah dan berabad-abad lamanya Turki sebagai suatu negara yang perlu diperhatikan dan diperhitungkan oleh ahli-ahli politik dari Eropa.[1]
A. PEMBAHARUAN DI TURKI
Bangsa Turki adalah bangsa yang pemberani dan disiplinnya sangat tinggi, bangsa campuran dari bangsa Mongol dan bangsa lainnya di Asia Tengah ini. Sebelum mereka masuk Islam, mereka memeluk agama Majusi, Budha atau agama besar lainnya.
Mulai abad pertama Hijriyah, Islam telah masuk ke daerah Turki dan dalam perjalanannya dari masa ke masa Islam berkembang dengan pesatnya di daerah itu. Pada tahun 1037 Turki dapat menguasai kekhalifahan Abassiyah, akan tetapi akhirnya lumpuh oleh bangsa Mongol, kecuali bangsa Turki yang dipimpin oleh Ertughril yang selanjutnya menjelma menjadi Turki Usmani yang puncak kemegahannya dari tahun 1520-1566 dibawah pemerintahan Sulaiman I, namun akhirnya juga lumpuh pada abad ke-19 dan mendapat sebutan orang sakit (The Sick Men).
Meskipun Turki mendapat gelar (sebutan) The Sick Men, tetapi sebenarnya berkat ketekunan para penbaharu dan para tokoh-tokoh negara itu dapatlah bangkit kembali dengan mengadakan beberapa fase modernisasi :
a. Usaha Rasyid Pasya (1839), yaitu sentralisasi pemerintahan dan modernisasi angkatan bersenjata.
b. Usaha dari Fuad, Namik, Ali Pasya dan Midat Pasya (1861-1876) terutama bidang pendidikan, Bank Nasional, hukum dan Perundang-undangan.
c. Usaha Turki Muda (1896-1918) yang berusaha dan bertujuan :
1. Reorganisasi negara secara modern
2. Nasionalisme Turki
3. Kesatuan bangsa, negara dan bahasa.
d. Usaha Kemal Pasya :
1. Ke dalam ialah menetapkan Undang-Undang Dasar (1942) pelajaran membaca dan menulis latin, keharusan nama keluarga, perkawinan, emansipasi wanita dan rencana industri besar-besaran.
2. Ke luar, ialah perjanjian nonagressi dengan Irak, Iran, Afghanistan, dan lain-lain dalam perdamaian.[2]
Jadi, Islam sudah masuk ke daerah Turki mulai abad Hijriyah dan Islam berkembang dengan pesat , bangsa Turki mencapai puncak kemegahan dari tahun 1520-1566 kemudian mendapat gelar orang sakit (The Sick Men) karena bangsa Turki akhirnya juga lumpuh pada abad ke-19.

B. SULTAN MAHMUD II


Mahmud lahir pada tahun 1785 dan mempunyai didikan tradisional, antara lain pengetahuan agama, pengetahuan pemerintahan, sejarah dan sastra Arab, Turki dan Persia. Ia diangkat menjadi Sultan di tahun 1807 dan meninngal di tahun 1839.
Di bagian pertama dari masa kesultanannya ia disibukkan oleh peperangan dengan Rusia dan usaha menundukkan daerah-daerah yang mempunyai kekuasaan otonomi besar, peperangan dengan Rusia selesai di tahun 1812. Setelah kekuasaannya sebagai pusat pemerintahan Kerajaan Usmani bertambah kuat, Sultan Mahmud II melihat bahwa telah tiba masanya untuk memulai usaha-usaha pembaharuan yang telah lama ada dalam pemikirannya.[3]
Sultan Mahmud II, dikenal sebagai Sultan yang tidak mau terikat pada tradisi dan tidak segan-segan melanggar adat kebiasaan lama. Sultan-sultan sebelumnya menganggap diri mereka tinggi dan tidak pantas bergaul dengan rakyat. Oleh karena itu, mereka selalu mengasingkan diri dan meyerakan soal mengurus rakyat kepada bawahan-bawahan. Timbullah anggapan mereka bukan manusia biasa dan pembesar-pembesar Negara pun tidak berani duduk ketika menghadap Sultan.
Tradisi aristokrasi ini dilanggar oleh Mahmud II. Ia mengambil sikap demokratis dan selalu muncul di muka umum untuk berbicara atau menggunting pita pada upacara-upacara resmi. Menteri dan pembesar-pembesar negara lainnya ia biasakan duduk bersama jika datang menghadap. Pakaiam kerajaan yang ditentukan untuk Sultan dan pakaian kebesaran yang biasa dipakai Menteri dan pembesar-pembesar lain ia tukar dengan pakaian yang lebih sederhana. Tanda-tanda kebesaran hilang, rakyat biasa dianjurkan pula supaya meninggalkan pakaian tradisional dan menukarnya dengan pakaian Barat. Perubahan pakaian ini menghilangkan perbedaan status dan sosial yang nyata kelihatan pada pakaian tradisional.
Kekuasaan-kekuasaan luar biasa yang menurut tradisi dimiliki oleh penguasa-penguasa Usmani ia batasi. Kekuasaan Pasya atau Gubernur untuk menjatuhkan hukum mati dengan isyarat tangan ia hapuskan. Hukuman bunuh untuk masa selanjutnya hanya bisa di keluarkan oleh hakim. Penyitaan negara terhadap harta orang yang dibuang atau dihukum mati juga ia tiadakan.
Sultan Mahmud II juga mengadakan perubahan dalam organisasi pemerintahan Kerajaan Usmani. Menurut tradisi Kerajaan Usmani dikepalai oleh seorang Sultan yang mempunyai kekuasaan duniawi dan kekuasaan rohani. Sebagai penguasa duniawi ia memakai titel Sultan dan sebagai kepala rohani umat Islam ia memakai gelar Khalifah. Dengan demikian, raja Usmani mempunyai dua bentuk kekuasaan, kekuasaan memerintah Negara dan kekuasaan menyiarkan dan membela Islam.[4]
Perubahan penting yang diadakan oleh Sultan Mahmud II dan yang kemudian mempunyai pengaruh besar pada perkembangan pembaharuan di Kerajaan Usmani ialah perubahan dalam bidang pendidikan. Seperti halnya di Dunia Islam lain di zaman itu, Madrasah merupakan satu-satunya lembaga pendidikan umum yang ada di Kerajaan Usmani. Di Madrasah hanya diajarkan agama sedangkan p-engetahuan umum tidak diajarkan. Sultan Mahmud II sadar bahwa pendidikan Madrasah tradisional tidak sesuai lagi dengan tuntutan zaman abad ke-19.
Di masa pemerintahannya orang kurang giat memasukkan anak-anak mereka ke Madrasah dan mengutamakan mengirim mereka belajar keterampilan secara praktis di perusahaan industri. Oleh karena itu, ia mengadakan perubahan dalam kurikulum Madrasah dengan menambah pengetahuan-pengetahuan umum di dalamnya, seperti halnya di Dunia Islam lain pada waktu itu memang sulit. Madrasah tradisional tetap berjalan tetapi disampingnya Sultan mendirikan dua sekolah pengetahuan umum. Mekteb-i Ma’arif (Sekolah Pengetahuan Umun) dan Mekteb-i Ulum-u Edebiye (Sekolah Sastra). Siswa untuk kedua sekolah itu dipilih dari lulusan Madrasah yang bermutu tinggi.
Selain itu, Sultan Mahmud II juga mendirikan Sekolah Militer, Sekolah Teknik, Sekolah Kedokteran dan Sekolah Pembedahan. Lulusan Madrasah banyak meneruskan pelajaran di sekolah-sekolah yang baru didirikannya. Selain dari mendirikan Sekolah Sultan Mahmud II juga mengirim siswa-siswa ke Eropa yang setelah kembali ke tanah air juga mempunyai pengaruh dalam penyebaran ide-ide baru di Kerajaan Usmani.
Pembaharuan-pembaharuan yang diadakan Sultan Mahmud II diataslah yang menjadi dasar bagi pemikiran dan usaha pembaharuan selanjutnya di Kerajaan Usmani abad ke-19 dan Turki abad ke-20.[5]





C. TANZIMAT
Istilah tanzimat berasal dari bahasa Arab dari kata Tanzim yang berarti pengaturan, penyusunan dan memperbaiki. Dalam pembaharuan yang diadakan pada masa tanzimat merupakan sebagai lanjutan dari usaha-usaha yang dijalankan oleh Sultan Mahmud II yang banyak mengadakan pembaharuan peraturan dan perundang-undangan. Secara terminologi tanzimat adalah suatu usaha pembaharuan yang mengatur dan menyusu serta memperbaiki struktur organisasi pemerintahan, sosial, ekonomi dan kebudayaan, antara tahun 1839-1871 M.
Tokoh-tokoh penting tanzimat antara lain : Mustafa Rasyid Pasya, Mustafa Sami, Mehmed Sadek Rif’at Pasya dan Ali Pasya seperti yang dijelaskan berikut ini :
1. Mustafa Rasyid Pasya (1880-1858)
Pemuka utama dari pembaharuan di zaman Tanzimat ialah Mustafa Rasyid Pasya, ia lahir di Istanbul pada tahun 1800, berpendidikan Madrasah kemudian menjadi pegawai pemerintah.
Mustafa Rasyid Pasya pada tahun 1034 diangkat menjadi Duta Besar untuk daerah Perancis, selain itu ia juga pernah diangkat menjadi Duita Besar Kerajaan Usmani di beberapa negara lain. Setelah itu ia dipanggil pulang untuk menjadi Menteri Luar Negeri dan p0ada akhirnya ia diangkat menjadi perdana Menteri.
Usaha pembaharuannya yang terpenting ialah sentralisasi pemerintahan dan modernisasi angkatan bersenjata pada tahun 1839.

2. Mustafa Sami Pasya (wafat 1855)
Mustafa Sami Pasya mempunyai banyak pengalaman di luar negeri antara lain di Roma, Wina, Berlin, Brussel, London, Paris dan negara lainnya sebagai pegawai dan duta.
Menurut pendapat Mustafa Sami Pasya, kemajuan bangsa Eropa terletak pada keunggulan mereka dalam lapangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Sebab lain dilihatnya karena toleransi beragama dan kemampuan orang Eropa melepaskan diri dari ikatan-ikatan agama, disamping itu pula pendidikan universal bagi pria dan wanita sehingga umumnya orang Eropa pandai membaca dan menulis.
3. Mehmed Sadik Rif’at Pasya
Seorang pemuka tanzimat lain yang pemikirannya lebih banyak diketahui orang adalah Mehmed Sadik Rif’at Pasyayang lahir pada tahun 1807 dan wafat tahun 1856 M. Pendidikannya selesai di madrasah, ia melanjutkan pelajaran ke sekolah sastra, yang khusus diadakan untuk calon-calon pegawai istana.
Tahun 1834 ia diangkat menjadi Pembantu Menteri Luar negeri, tiga tahun kemudian ia diangkat menjadi Menteri Luar Negeri dan selanjutnya Menteri Keuangan.
Pokok-pokok pemikiran dan pembaharuannya ialah Sultan dan pembesar-pembesar negara harus tunduk pada undang-undang dan peraturan-peraturan lainnya. Negara harus tunduk pada hukum(negara hukum), kodifikasi hukum, administrasi, pengaturan hak dan kewajiban rakyat, reorganisasi, angkatan bersenjata, pendidikan dan keterampilan serta dibangunnya Bank Islam Usmani pada tahun 1840.
Ide-ide yang dicetuskan Sadik Rif’at pada zaman itu merupakan hal baru karena orang tidak mengenal peraturan, hukum, hak dan kebebasan. pada waktu itu petani lebih banyak menjadi budak bagi tuan tanah dan rakyat budak bagi Sultan. Pemikiran Sadik Rif’at sejalan dengan pemikiran Mustafa Rasyid Pasya yang pada waktu itu mempunyai kedudukan sebagai Menteri Luar Negeri.


4. Ali Pasya (1815-1871)
Beliau lahir pada tahun 1815 di Istanbul dan wafat tahun 1871, anak dari seorang pelayan tokoh. Dalam usia 14 tahun ia sudah diangkat menjadi pegawai. Tahun 1840 diangkat menjadiDuta Besar London dan sebelum menjadi Duta Besar ia sering kali menjadi staf Perwakilan Kerajaan Usmani di berbagai negara Eropa dan di tahun 1852 ia menggantikan kedudukan Rasyid Pasya sebagai Perdana Menteri.
Usaha pembaharuannya antara lain : tentang pengakuan semua aliran spiritual pada masa itu, jaminan melaksanakan ibadahnya masing-masing, larangan memfitnah karena agama, suku dan bahasa, jaminan kesempatan belajar, sistem peradilan dan lain-lainnya.
Pembaharuan yang dilaksanakan oleh tokoh-tokoh pembaharuandi zaman tanzimat tidaklah seluruhnya mendapat dukungan bahkan mendapat kritikan baik dari dalam atau di luar Kerajaan Usmani karena gerakan-gerakan tanzimat untuk mewujudkan pembaharuan didasari oleh pemikiran liberalisme Barat dan meninggalkan pola dasar syariat agama, hal ini salah satu sebab yang utama sehingga gerakan tannzimat mengalami kegagalan dalam usaha pembaharuannya.[6]

D. USMANI MUDA
Sebagaimana dikatakan bahwa pembaharuan yang diusahakan dalam tanzimat belumlah mendapat hasil sebagaimana yang diharapkan, bahkan mendapat kritikan-kritikan dari luar kaum cendekiawan. Kegagalan oleh tanzimat dalam mengganti konstitusi yang absolut merupakan cambuk untuk usaha-usaha selanjutnya. Untuk mengubah kekuasaan yang absolut maka timbullah usaha atau gerakan dari kaum cendikiawan melanjutkan usaha-usaha tanzimat. Gerakan ini dikenal dengan Young Ottoman-Yeni Usmanilar (Gerakan Usmani Muda) yang didirikan pada tahun 1865.[7]
Usmani muda pada asalnya merupakan perkumpulan manusia yang didirikan di tahun 1865 dengan tujuan untuk mengubah pemerintahan absolut kerajaan Usmani menjadi pemerintahan konstitusional. Setelah rahasia terbuka pemuka-pemukanya lari ke Eropa di tahun 1867 dan disanalah gerakan mereka memperoleh nama Usmani Muda. Para tokoh Usmani Muda banyak yang melakukan gerakan rahasia dalam menentang kekuasaan absolut Sultan. Namun sikap politik mereka itu akhirnya diketahui oleh Sultan. Akhirnya mereka banyak yang pergi ke Eropa dan disana mereka menyusun kekuatan. Maka setelah situasi Turki aman kembali, mereka pun banyak yang pulang ke tanah air dan meneruskan cita-cita mereka, terutama tentang ide-ide pembaharuan.[8]
Beberapa tokoh dari gerakan itu membawa angin baru tentang demokrasi dan konstitusional pemerintahan yang menjunjung tinggi kekuasaan rakyat bukan kekuasaan absolut. Diantara tokoh itu ialah : Zia Pasya, Nanik Kemal, dan Midhat Pasya.
a. Zia Pasya
Zia pasya lahir pada tahun 1825 di Istanbul dan meninggal dunia pada tahun 1880. Ia anak seorang pegawai kantor beacukai di Istanbul. Pendidikannya setelah selesai sekolah di Sulaemaniye yang didirikan Sultan Mahmud II dalam usia muda dia diangkat menjadi pegawai pemerintah, kemudian atas usaha Mustafa Rasyid Pasya pada tahun 1854 ia diterima menjadi salah seorang sekretaris Sultan. Disinilah ia dapat mengetahui tentang sistem dan cara Sultan memerintah dengan otoriter. Untuk keperluan tugas barunya, ia mempelajari bahasa Perancis dan dalam waktu yang singkat ia menguasai dan dapat menerjemahkan buku-buku Perancis ke dalam bahasa Turki. Karena terjadi kesalahpahaman dengan Ali Pasya maka ia pergi ke Eropa pada tahun 1867 dan tinggal disana selama lima tahun.[9] Ketika berada di Eropa itulah banyak pengalaman yang di dapatkannya. Beberapa pemikirannya akhirnya menjurus kepada usaha pembaharuan.
Usaha-usaha pembaharuannya antara lain, kerajaan Usmani menurut pendapatnya harus dengan sistem pemerintahan konstitusional, tidak dengan kekuasaan absolut. Menurutnya negara Eropa maju disebabkan tidak terdapat lagi pemerintahan yang absolut, semuanya dengan sistem pemerintahan konstitusional. Dalam sistem pemerintahan konstitusional harus ada Dewan Perwakilan Rakyat. Kemudian Zia mengemukakan hadis ”Perbedaan pendapat dikalangan umatku merupakan rahmat dari Tuhan”, sebagai alasan untuk perlu adanya Dewan Perwakilan Rakyat, dimana perbedaan pendapat itu ditampung dan kritik terhadap pemerintah dikemukakan untuk kepentingan umat seluruhnya. Sebagai orang yang taat menjalankan agama Islam, Zia sebenarnya tidak sepenuhnya setuju terhadap pembaharuan yang hanya mencomot ide-ide Barat tanpa sikap kritis. Itulah sebabnya dia lebih melihat kesesuaian antara kepentingan rakyat dengan ide pembaharuan yang datangnya dari Barat. Dalam hal demikian, ia juga tidak sependapat dengan orang yang mengatakan bahwav agama Islam dapat dianggap sebagai penghalang kemajuan.
b. Midhat Pasya
Nama lengkapnya Hafidh Ahmad Syafik Midhat Pasya, lahir pada tahu 1822 di Istanbul. Pendidikan agamanya diperoleh dari ayahnya sendiri. Dalam usia sepuluh tahun ia telah hafal Al-Quran, oleh karena itu ia digelari Al-Hafidh. Pendidikannya yang tertinggi adalah pada Universitas Al-Fatih. Dia termasuk tokoh Usmani Muda yang mempunyai peranan cukup penting dalam ide pembaharuan. Ia anak seorang hakim agama yang dalam usia belasan tahun sudah menjadi pegawai di Biro Perdana Menteri. Tahun 1858 ia diberikan kesempatan untuk berkunjung ke Eropa selama enam bulan. Setelah itu beberapa saat kemudia, ia diangkat menjadi gubernur di berbagai daerah. Dengan kemampuan dan kecakapan yang luar biasa akhirnya Sultan mengangkatnya menjadi Perdana Menteri tahun 1872.
Ketika Sultan Abdul Hamid berkuasa menggantikan Sultan Murad V, ia diangkat kembali menjadi Perdana Menteri. Saat itu ada perjanjian langsungbahwa Sultan akan memberikan sokongan atas gerakan-gerakannya. Sultan juga nampaknya memberi angin segar atas pembaharuan kelompok Usmani Muda.
Beberapa langkah pembaharuan itu, seperti memperkecil kekuasaan kaum eksekutif dan memberikan kekuasaan lebih besar kepada kelompok legislatif. Golongan ini juga berusaha menggolkan sistem konstitusi yang sudah ditegakkan dengan memakai istilah terma-terma yang islami, seperti musyawarah untuk perwakilan rakyat, bai’ah untuk kedaulatan rakyat dan syariah untuk konstitusi. Dengan usaha ini sistem pemerintahan Barat lambat laun dapat diterima kelompok ulama dan Syaikh Al-Islami yang sebenarnya banyak menentang ide pembaharuan pada masa sebelumnya.[10]
Tanggal 23 Desember 1876 konstitusi yang bersifat semi-otokrasi di tanda tangani oleh Sultan Abdul Hamid. Isi dari konstitusi ini sebagian besar masih belum mencerminkan langkah nyata dari pembaharuan sistem pemerintahan, karena kekuasaan Sultan masih demikian besar. Salah satu contoh adalah pasal 113 dari Undang-Undang yang dibuat, berbunyi bahwa dalam keadaan darurat Sultan boleh memberikan pengumuman tertentu, dan boleh menangkap atau mengasih orang-orang yang dianggap membahayakan kepentingan negara.
Jadi, dari bunyi pasal tersebut Sultan masih diberi wewenang besar untuk menjalankan keputusan yang bersifat mutlak. Justru pasal ini nanti digunakannya untuk menangkap orang-orang yang tidak disenangi Sultan, termasuk diantaranya tokoh Usmani Muda Midhat Pasya ini.
c. Namik Kemal
Beliau termasuk pemikir terkemuka dari Usmani Muda, lahir pada tahun 1840 di Tekirdag. Dia berasal dari keluarga nigrat. Orangtuanya menyediakan pendidikan di rumah disamping pelajaran bahasa Arab, Persia, juga diberikan bahasa Perancis. Oleh karena itu, dalam usia yang sangat muda ia sudah menguasai berbagai bahasa. Dalam usia belasan tahun dia diangkat menjadi pegawai kantor penerjemah dan kemudian dipindahkan menjadi pegawai di istana Sultan.
Namik Kemal banyak dipengaruhi oleh pemikiran Ibrahim Sinasih (1826-1871) yang berpendidikan Barat dan banyak mempunyai pandangan modernisme. Nanik mempunyai jiwa Islami yang tinggi, sehingga walaupun ia berpengarug pemikiran Barat namun masih menjunjung tinggi moral Islam dalam ide-ide pembaharuannya,[11] menurutnya Turki saat ini mundur karena lemahnya politik dan ekonomi. Untuk bisa memajukan ekonomi dan politik Turki harus ada perubahan dalam sistem pemerintahan. Untuk mewujudkan sistem pemerintahan yang ideal, penguasa harus menjunjung tinggi kepentingan rakyat. Karena kepentingan rakyat menjadi asas negara, maka negara mesti demokratis, yaitu pemerintahan yang didasarkan atas dukungan dan kepentingan. Yang dikehendaki oleh Nanik Kemal adalah pemerintahan demokrasi dan pemerintahan serupa ini menurut pendapatnya tidak bertentangan dengan ajaran Islam. Negara Islam yang dibentuk dan dipimpin oleh empat khalifah besar, sebenarnya mempunyai corak demokrasi. Sistem bai’ah yang terdapat dalam pemerintahan Khilafah pada hakikatnya merupakan kedaulatan rakyat. Melalui bai’ah rakyat menyatakan persetujuan mereka tas pengangkatan khalifah yang baru. Dengan demikian. bai’ah merupakan kontrak sosial dan kontrak yang terjadi antara rakyat dan khalifah itu dapat dibatalkan jika khalifah mengabaikan kewajiban-kewajibannya sebagai Kepala Negara.
Di dalam Islam ada ajaran yang disebut al-maslahah al-’ammah dan ini sebenarnya adalah maslahat umum. Khalifah tidak boleh mengambil sikap atau tindakan yang bertentangan dengan maslahat umum. Maslahat umum oleh karena itu merupakan suatu bentuk dari pendapat umum. Khalifah harus selalu memperhatikan dan menghormati pendapat umum. Lebih lanjut lagi, musyawarah dasar penting dalam soal pemerintahan dalam Islam. Sistem musyawarah ini memperkuat corak demokrasi pemerintah Islam. Pembuat hukum dalam Islam ialah kaum ulama yang melaksanakan hukum adalah pemerintah.
Dengan membawa argumen-argumen seperti diatas, Namik Kemal berpendapat bahwa sistem pemerintahan konstitusional tidaklah merupakan bid’ah dalam Islam. Diantara ide-ide lain yang dibawa Namik terdapat cinta tanah air Turki, tetapi seluruh daerah kerajaan Usmani. Konsep tanah airnya tidak sempit. Sebagai orang yang dijiwai ajaran Islam, ia melihat perlunya diadakan persatuan seluruh umat Islam di bawah pimpinan Kerajaan Usmani, sebagai negara Islam yang terbesar dan terkuat di waktu itu.

E. TURKI MUDA
Setelah dibubarkannya parlemen dan dihancurkannya gerakan Usmani Muda, maka Sultan Abdul Hamid memerintah dengan kekuasaan yang lebih absolut. Kebebasan berbicara dan menulis tidak ada. Dalam suasana yang demikian timbullah gerakan oposisi terhadap pemerintah yang obsolut Sultan Abdul Hamid sebagaimana halnya di zaman yang lalu dengan Sultan Abdul Aziz. Gerakan oposisi dikalangan perguruan tinggi, mengambil bentuk perkumpulan rahasia, dikalangan cendekiawan dan pemimpin-pemimpinnya lari ke luar negeri dan disana melanjutkan oposisi mereka dan gerakan di kalangan militer menjelma dalam bentuk komite-komite rahasia. Oposisi berbagai kelompok inilah yang kemudian dikenal dengan nama Turki Muda.
Tokoh-tokoh Turki Muda, antara lain adalah Ahmad Riza (1859-1930), Mehmed Murad (1853-1912) dan Pangeran Sahabuddin (1887-1948).
a. Ahmad Riza
Ahmad Riza adalah anak seorang bekas anggota parlemen bernama Injilis Ali. Dalam pendidikannya ia sekolah di pertanian untuk kelak dapat bekerja dan berusaha mengubah nasib petani yang malang dan studinya ini diteruskan di Perancis sekembalinya ia dari perancis ia bekerja di kementerian pertanian, tapi ternyata hubungan pemerintah dengan petani yang miskin sedikit sekali, karena kementerian itu lebih disibukkan dengan birokrasi. Kemudia ia pindah ke kementerian pendidikan namun disini juga disibukkan dengan birokrasi tapi kurang disibukkan dengan pendidikan.
Pembaharuan yang dilakukan oleh Ahmad Riza antara lain adalah ingin mengubah pemerintahan yang absolut kepada pemerintahan konstitusional. Karena menurutnya akan menyeleamatkan Kerajaan Usmani dari keruntuhan adalah melalui pendidikan dan ilmu pengetahuan positif dan bukan dengan teologi atau metafisika. Adanya dan terlaksananya program pendidikan yang baik akan berhajat pada pemerintahan yang konstitusional.
b. Mehmed Murad (1853-1912)
Mehmed Murad berasal dari Kaukasus dan lari ke Istanbul pada tahun 1873 yakni setelah gagalnya pemberontakan Syekh Syamil di daerah itu. Ia belajar di Rusia dan disanalahia berjumpa dengan ide-ide barat, namun pemikiran Islam berpengaruh pada dirinya.
Ia berpendapat bahwa bukanlah Islam yang menjadi penyebab mundurnya Kerajaan Usmani, dan bukanlah pula rakyatnya, namun sebab kemunduran ituterletak pada Sultan yang memerintah secara absolut. Oleh karena itu, menurutnya kekuasaan Sultan harus dibatasi. Dalam hal ini dia berpendapat bahwa musyawarah dalam Islam sama dengan konstitusional di dunia Barat. Ia mengusulkan didirikan satu Badan Pengawas yangtugasnya mengawasi jalannya undang-undang agar tidak dilanggar oleh pemerintah. Disamping itu diadakan pula Dewan syariat agung yang anggotanya tersusun dari wakil-wakil negara islam di Afrika dan Asia dan ketuanya Syekh Al-Islam Kerajaan Usmani.
c. Pangeran Sahabuddin (1887-1948)
Pangeran Sahabuddin adalah keponakan Sultan Hamid dari pihak ibunya, sedang dari pihak bapaknya adalah cucu dari Sultan Mahmud II, oleh karena itu ia keturunan raja. Namun ibu dan bapaknya lari ke Eropa menjauhkan diri dari kekuasaan Abdul Hamid, maka dengan demikian kehidupan Sahabuddin lebih banyak dipengaruhi oleh pemikiran Barat.
Menurutnya yang pokok adalah perubahan sosial, bukan penggantian Sultan. Masyarakat Turki sebagaimana masyarakat Timur lainnya mempunyai corak kolektif, dan masyarakat kolektif tidak mudah berubah dalam menuju kemajuan. Dalam masyarakat kolektif orang tidak percaya diri sendiri, oleh karena itu ia tergantung pada kelompok atau suku sedangkan masyarakat yang dapat maju menurutnya adalah masyarakat yang tidak banyak bergantung kepada orang lain tetapi sanggup berdiri sendiri dan berusaha sendiri untuk mengubah keadaannya.[12]



________________________________________
[1] Yusran Asmuni. PengantarStudi Pemikiran dan Gerakan Pembaharuan dalam Dunia Islam. (Jakarta:PT.Raja Grafindo Persada.1998) hal. 11-12
[2] Ibid. hal 14-15
[3] Harun Nasution. Pembaharuan dalam Islam Sejarah Pemikiran dan Gerakan. (Jakarta : PT. Bulan Bintang. 2003) hal. 83
[4] Harun Nasution. Pembaharuan dalam Islam Sejarah Pemikiran dan Gerakan. (Jakarta : PT. Bulan Bintang. 1996) hal;93
[5] Ibid. hal. 95
[6] Yusran Asmuni. Loc. Cit. hal. 19-21
[7] Ibid. hal.21
[8] Muhammad Al-Bahy. Pemikiran Islam Modern. (Jakarta : Pustaka Panjimas. 1986) hal. 97
[9] Yusran Asmuni. Op. Cit. hal 22
[10] Muhammad Al-Bahy. Loc. Cit. hal 99
[11] Ibid. hal 100
[12] Hamka. Sejarah Umat Islam. (Singapura : Pustaka Nasional. 2005) hal. 603
KESIMPULAN
Dari uraian di atas dapat kami simpulkan bahwa pemabaharua-pembaharuan yang dilakukan oleh Sultan Mahmud II merupakan landasan atau dasar bagi pemikiran dan usaha pembaharuan selanjutnya, antara lain : pembaharuan tanzimat, pembaharuan di kerajaan usmani abad ke-19 dan Turki abad ke-20. Dimana tanzimat yang dimaksudkan adalah suatu usaha pembaharuan yang mengatur dan menyusun serta memperbaiki struktur organisasi pemerintahan tetapi tanzimat ini belum berhasil seperti yang diharapkan oleh tokoh-tokoh penting tanzimat, yaitu Mustafa Rasyid Pasya, Mustafa Sami, Mehmed Sadek, Rif’at Pasya dan Ali Pasya.
Kemudian dilanjutkan dengan pembaharuan Usmani Muda, dimana usaha-usaha pembaharuannya adalah untuk mengubah pemerintahan dengan sistem konstitusional tidak dengan kekuasaan absolut setelah dibubarkannya parlemen dan dihancurkannya usmani muda dilanjutkan dengan pembaharuan turki muda.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Bahy, Muhammad.1986. Pemikiran Islam Modern. Jakarta : Pustaka Panjimas.
Asmuni, Yusran. 1998. Pengantar Studi Pemikiran dan Gerakan Pembaharuan dalam Dunia Islam. Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada.
Hamka. 2005. Sejarah Umat Islam. Singapura : Pustaka Nasional Pte Ltd.
Nasution, Harun. 1996. Pembaharuan dalam Islam Sejarah Pemikiran dan Gerakan. Jakarta : PT. Bulan Bintang.
Nasution, Harun. 2003. Pembaharuan dalam Islam Sejarah Pemikiran dan Gerakan. Jakarta : PT. Bulan Bintang

**************************************************
KELOMPOK IV :
1). FRANCISCA DWIKA (08 29 005)
2). MEILANDA SARI (08 29 010)

ci_hyun_kimfrance@yahoo.com

***************************************************************

TUGAS MAHASISWA (KELOMPOK)
Setiap Kelompok Harus:
1. BERIKAN KOMENTAR SEPUTAR MAKALAH DIATAS ( ISI, CARA PENULISAN /METHODOLOGI DAN ketepatan analisis)
2. BERIKAN 2 PERTANYAAN

TULIS DI KERTAS FOLIO (1LEMBAR)

MASING-MASING KELOMPOK MENGIRIMKANYA/menuliskanya :
1. DIBAWAH MAKALAH DIATAS (DALAM KOLOM KOMENTAR )
2. DIKIRIM MELALUI EMAIL KE : muhtarom84@yahoo.com

..... tugas ini sudah dikirim ke email dan posting komentar di blog ini mulai hari ini sampai Sabtu pukul 16.00

Kamis, 29 Oktober 2009

Pendudukan Napoleon & Pengaruhnya Terhadap Pembaharuan di Mesir




Pendudukan Napoleon dan Pengaruhnya Terhadap Pembaharuan di Mesir



PENDAHULUAN

            Masyarakat Mesir adalah masyarakat religius yang sangat menghormati agama. Mereka memandang agama di atas segala-galanya, sebagai bagian integral dari budaya, adat istiadat, dan masyarakat. Kelompok-kelompok Islam, masing-masing menurut doktrinnya, memanfaatkannya dengan menggunakan semua kekuatan untuk menrongrong negara dan meraih tujuan bersama, penerapan hukum Islam  (syariah) dan menegakkan pemerintahan Islam yang terbebas dari segala pengaruh Barat. Demikianlah kelompok-kelompok itu yakin pada masa Nabi Muhammad dan para pengikut awalnya. Mereka mengidealisasikan periode awal Islam dan menurut ajaran mereka hanya kembali ke zaman keemasan inilah Mesir modern bisa sembuh dari segala penyakit. Dengan berdalih  bahwa pengaruh Barat yang dimulai dari invasi Napoleon sebagai akar segala kebobrokan, mereka mendukung  tulisan-tulisan dan deklarasi-deklarasi mereka dengan tafsir Al-Qur’an dari Ibnu Hanbal dan Ibnu Taimiyah yang keduanya menyeru untuk membaca Al-Qur’an  secara tekstual, sembari menolak semua penafsiran, filsafat, dan teks-teks yang menyertai.
            Di makalah ini kami membahas tentang pendudukan Napoleon dan pengaruhnya terhadap pembaharuan di Mesir. Untuk lebih jelasnya lagi anda bisa membaca hasil pembahasan kami mengenai ini.
           

PEMBAHASAN
TOKOH PEMBAHARUAN DI MESIR
PENDUDUKAN NAPOLEON DAN PENGARUHNYA TERHADAP PEMBAHARUAN DI MESIR

             Sebelum membahas tentang pendudukan Napoleon dan pembaharuan di Mesir, kami akan membahas terlebih dahulu sedikit tentang mengenai perkembangan modern di Mesir sebelum gagasan Modernisme.


A.     Perkembangan Modern Di Mesir Sebelum Gagasan Modernisme
         Memulai sejarah Mesir, akan lebih menarik dilacak dari munculnya (kekhalifahan) dinasti Fatimiyah, sebab pada masa inilah dibangunan Universitas Al-Azhar sebagai Perguruan Tinggi Islam besar tertua yang dianggap mewakili peradaban dan basis ilmiah-intelektual pasca-kalsik sampai modern, yang kini dianggap masih ada dan tidak terhapus oleh keganasan perang, berbeda dengan Universitas Nizamiyah di Bagdad yang hanya tinggal kenangan. Setelah keruntuhan Bagdad, Al-Azhar dapat disimbolkan  sebagai khasanah pewarisan bobot citra keagamaan yang cukup berakar di dunia Islam. Tonggak inilah yang membawa Mesir memiliki aset potensial dikemudian hari dalam gagasan-gagasan modernisme.
         Setelah Dinasti Fatimiyah dan penerus-penerusnya dilanjutkan lagi oleh Sultan Mamluk, yang pertama adalah Aybak (1250-1257 M), salah satu yang termasyhur  diantara pemimpin dinasti ini adalah Sultan Baybars (1260-1277) yang sanggup mengalahkan panglima Hulagu Khan di ‘Ain Jalut. Dinasti  Mamluk berkuasa di Mesir sampai tahun 1517 M. mereka inilah yang terkenal  sanggup membebaskan Mesir dan Suriah dari peperangan Salib serta yang  membendung kedahsyatan tentara Mogol di bawah pimpinan Hulagu dan Timur Lenk, dengan demikian Mesir terbebaskan dari penghancuran terutama dari  pasukan Mogol sebagaimana yang terjadi di dunia Islam yang lain.
         Mesir di bawah kekuasaan Kaum Mamluk kian menurun pamornya, sampai bangkit Kerajaan Turki Usmani yang mengadakan penyerbuan militer ke arah Kerajaan Bizantium di Asia Kecil. Setelah ia meninggal, ekspansi militer ini diteruskan  oleh anaknya Orkhan I (1326-1389 M) yang sanggup menaklukkan bagian Timur dari Benua Eropa, benteng Tzimpe dan gallipoli jatuh ke tanganya dan masih banyak penerus-penerusnya setelah Orkhan I.
         Situasi kekuasaan dan pemerintahan di Mesir pada  waktu itu sudah tidak dapat lagi dikatakan stabil. Kekacauan, kemerosotan sosial-kemasyarakatan sebagai wilayah yang selalu diperebutkan  dan diincar oleh negara-negara Islam kuat sungguh-sungguh membuat rakyat Mesir diliputi rasa ketakutan. Perhatian untuk membangun pun sangat lemah, sebab setiap saat selalu dihantui oleh perang. Dengan keadaan sedemikian lemah posisi Mesir, datanglah tentara Napoleon yang melebarkan sayap imperialnya ke wilayah-wilayah lain yang mempunyai potensi kekayaan alam, peradaban dan warisan-warisan historis yang memungkinkan untuk  dijadikan batu pijakan bagi kejayaan mereka dalam membangun impian menguasai dunia.
         Metode penguasaan  ilmu yang sangat doktrinal seperti  menghafal di luar kepala tanpa ada kengkajian dan telaah pemahaman, membuat ajaran-ajaran Islam seperti dituangkan demikian rupa ke kepala  murid dan mahasiswa. Para murid dan mahasiswa tinggal menerima apa  adanya. Diskusi dan dialog menjadi barang langka dalam pengkajian keislaman. Selain itu  filsafat dan logika dianggap tabu sebagai mata kuliah di perguruan tinggi dan madrasah. Sebagaimana dikatakan Muhammad Abduh, ia merasa jenuh dengan cara menerima ilmu dengan metode menghafal luar kepala.[1]
         Belum lagi realitas sosial-keagamaan secara umum yaitu berkembangnya pengaruh paham keagamaan dalam Tarikat yang membuat klaim Islam makin terorientasi kepada akhirat. Zuhud ekstrem dari metode Tarikat membuat ummat Islam lebih berusaha mengurusi alam ghaib, ketimbang dunia realitas. Pelarian kepada dunia akhirat membuat umat Islam tidak mempunyai semangat perjuangan melawan dominasi kezaliman disekitarnya, termasuk kezaliman penguasa. Guru-guru tarikat akhirnya menjadi  top figur dalam kepemimpinan agama.
         Setelah meninggal dunia pun kuburan para syaikh Tarikat ini masih dimuliakan dan dianggap sebagai wali yang selalu diziarahi. Namun ummat Islam yang menziarahi itu tidak benar-benar menginsyaratkan kepada akhirat, tapi hanya meminta berkah dan mengais keberuntungan material terhadap makna kekeramatan yang dihajatkan mereka. Pada klimaksnya, timbullah pengkultusan individu berlebihan yang membuat seseorang akan mudah terpuruk kepada perilaku mensyariatkan Allah. Karena mereka lebih mengutamakan meminta kepada para wali yang ada di dalam kubur sehingga mengabaikan berdoa langsung kepada-Nya.
         Kondisi sosial-keagamaan demikian, sebagaimana dilukiskan oleh Muhammad al-Bahy telah membuat rakyat Mesir dan dunia Islam pada umumnya lebih mementingkan tindakan individual. Ukhuwah Islamiyah yang menekankan kepada kebersamaan, persatuan, dinamisme hidup, rasionalitas berpikir dalam lapangan keagamaan, dan sebagainya telah hilang dikalangan ummat Islam. Termasuk di kalangan Universitas Al-Azhar sendiri, yang digambarkan  oleh Muhammad Abduh sudah kehilangan roh intelektual dan jihad keagamaan yang berpijak kepada kebenaran Al-Qur’an dan Sunnah Nabi.[2]
         Lebih jauh Muhamamd Abduh menggambarkan bahwa metode pendidikan yang otoriter juga merupakan  salah satu pendorong mandegnya kebebasan intelektual, sehingga ia sendiri merasa tidak begitu tertarik mendalami agama pada masa kecil lantaran kesalahan metode itu, yakni berupa cara menghafal pelajaran di luar kepala.[3]


B.     Pendudukan  Napoleon dan Pembaharuan di Mesir
         Setelah selesai revolusi 1789 Prancis mulai menjadi negara besar yang mendapat saingan dan tantangan dari Inggris. Inggris di waktu itu telah meningkat kepentingan-kepentingannya di India dan untuk memutuskan komunikasi antara Inggris di Barat dan India di Timur, Napoleon melihat bahwa  Mesir perlu diletakkan di bawa kekuasaan  Prancis. Di samping itu Prancis perlu pada pasaran baru untuk hasil perindustriannya. Napoleon  sendiri kelihatnnya mempunyai tujuan  sampingan lain. Alexander  Macedonia pernah menguasai Eropa dan Asia sampai ke India, dan Napoleon ingin mengikuti  jejak Alexander ini. Tempat strategis untuk menguasai kerajaan besar seperti yang dicita-citakannya itu, adalah Kairo dan bukan Roma atau Paris. Inilah beberapa hal yang mendorong Perancis dan Napoleon untuk menduduki Mesir.
         Mesir pada waktu itu berada di bawah kekuasaan kaum Mamluk, sungguh pun sejak ditaklukkan oleh Sultan Salim di tahun 1517, daerah ini pada hakikatnya merupakan bagian dari Kerajaan Usmani. Tetapi setelah bertambah lemahnya kekuasaan sultan-sultan diabad ke 17, Mesir mulai melepaskan diri dari kekuasaan Istambul dan akhirnya menjadi daerah otonom.
         Sultan-sultan Usmani tetap mengirim seorang Pasya Turki ke Kairo untuk bertindak sebagai wakil mereka dalam memerintah daerah ini. Tetapi karena kekuasaan sebenarnya terletak di tangan kaum Mamluk, kedudukannya di Kairo tidak lebih dari kedudukan seorang duta besar
         Kaum Mamluk berasal dari budak-budak yang dibeli di Kaukasus, suatu daerah pegunungan yang terletak di daerah perbatasan antara Rusia dan Turki.
         Bagaimana lemahnya pertahanan Kerajaan Usmani dan kaum Mamluk di ketika itu, dapat digambarkan  dari perjalanan perang di Mesir. Napoleon mendarat di Alexandria pada tanggal 2 Juni 1798 dan keesokan harinya kota pelabuhan yang penting ini jatuh.sembilan hari kemudian, Rasyid, suatu kota yang terletak  di sebelah timur Alexadria, jatuh pula. Pada tanggal 21 Juli tentara Napoleon  sampai di daerah piramid di dekat Kairo. Pertempuran melawan terjadi di tempat itu dan kaum Mamluk karena tak sanggup melawan senjata-senjata  meriam Napoleon, lari ke Kairo. Tetapi di sini mereka  tidak mendapat simpati dan sokongan dari rakyat Mesir. Akhirnya mereka terpaksa  lari lagi  ke daerah Mesir sebelah selatan. Pada tanggal 22 Juli, tidak sampai tiga minggu setelah mendarat di Alexandaria, Napoleon telah dapat   menguasai Mesir.
         Usaha Napoleon untuk menguasai daerah-daerah lainnya di Timur tidak berhasil dan sementara  itu perkembangan politik di Prancis menghendaki  kehadirannya di Paris. Pada tanggal 18 Agustus 1799, ia meninggalkan  Mesir kembali ke tanah airnya. Ekspedisi yang dibawanya ia tinggalkan di bawah pimpinan Jendral Kleber. Dalam pertempuran  yang terjadi di tahun  di tahun 1801 dengan armada Inggris, kekuatan Prancis di Mesir mengalami kekalahan. Ekspedisi yang dibawa Napoleon itu meninggalkan  Mesir pada tanggal 31 Agustus 1801.[4]
         Kedatangan Napoleon tersebut secara  umum membawa semangat imperialisme (kolonialisme) untuk menaklukkan Mesir agar menjadi daerah jajahannya. Namun ada beberapa hal yang dianggap positif dan meniupkan angin                                                                                                        segar bagi persentuhan antara dunia Arab (Islam) dengan Eropa, yaitu terbukanya mata dan pengetahuan tentang ketinggian peradaban Perancis. Hal ini membersitkan isyarat bahwa Mesir dan Dunia Arab umumnya saat ini berada di alam kegelapan dan keterbelakangan. Yang menguntungkan bagi Mesir, Perancis ketika datang di bawah komando Napoleon  juga menyertakan kaum cerdik pandai dan kalangan ilmuwan. Di dalam  rombongan itu terdapat 500 kaum sipil dan 500 wanita. Di antara kaum sipil itu ada 167 pakar yang menguasai pelbagai disiplin pengetahuan. Ekspedisi ini memang  berorientasi  militer namun  juga mengandung nilai ilmiah. Semangat dan keperluan ilmiah ini meliputi antara lain:  dibentuknya lembaga ilmiah  bernama  institut d’Egypte yang mempunyai empat bidang bahasan; Bagian Ilmu Pasti, bagian Ilmu Alam, Bagian Ekonomi-Politik dan Bagian Sastra-Seni. Sebagai sarana pendukung rombongan tersebut juga membawa peralatan yaitu dua  set percetakan huruf Latin Arab, dan Yunani. Alat-alat perlengkapan Ilmu Alam seperti teleskop, mikroskop dan percobaan-percobaan kimiawi dan sebagainya. Ditambah  dengan sarana bantu berupa perpustakaan besar yang menghimpun buku-buku dalam berbagai bahasa eropa dan buku-buku agama dalam bahasa Arab, Persia dan Turki yang amat lengkap.
         Institut d’Egypte boleh dikunjungi orang Mesir, terutama para ulamanya, yang diharapkan oleh ilmuwan-ilmuwan Prancis yang bekerja di lembaga itu, akan menambah pengetahuan mereka tentang Mesir, adar istiadatnya, bahasa dan agamanya. Disinilah orang-orang Mesir dan umat Islam buat pertama kali mempunyai kontak langsung dengan peradaban Eropa yang baru lagi asing bagi mereka itu.
         Abd al-Rahman al-Jabarti, seorang ulama dari Al-Azhar dan penulis sejarah, pernah mengunjungi  lembaga itu di tahun 1799. yang menarik perhatiannya ialah perpustakaan besar yang mengandung buku-buku, bukan hanya dalam bahasa-bahasa Eropa, tetapi juga buku-buku agama dalam bahasa Arab, Persia dan Turki. Diantara ahli-ahli yang dibawa Napoleon memang terdapat kaum orientalis yang pandai dan mahir berbahasa Arab. Merekalah yang menerjemahkan perintah dan maklumat-maklumat Napoleon ke dalam bahasa Arab.
         Alat-alat kimiah, seperti teleskop, mikroskop, alat-alat untuk percobaan kimiawi, dan sebagainya, eksperimen-eksperimen yang dilakukan di lembaga itu, kesungguhan orang Perancis bekerja dan kegemaran mereka pada ilmu-ilmu pengetahuan, semua itu ganjil dan menakjubkan bagi al-Jabarti.
         Kesimpulan tentang kunjungan itu ia tulis dengan kata-kata berikut:
“Saya lihat  di sana benda-benda dan percobaan-percobaan  ganjil yang menghasilkan hal-hal yang besar untuk dapat ditangkap oleh akal seperti yang ada pada diri kita”.

         Demikianlah kesan seorang cendekiawan Islam waktu itu terhadap kebudayaan Barat. Ini menggambarkan berapa mundurnya umat Islam si ketika itu. Keadaan menjadi berbalik 180 derajat. Kalau diperiode Klasik orang Barat yang kagum  melihat kebudayaan dan peradaban Islam. Di periode Modern kaum Islam yang heran melihat kebudayaan dan kemajuan barat.
         Ada hal-hal baru selain kemajuan  materi yang dianggap sebagai ide-ide hasil revolusi Perancis yang dibawah Napoleon, yaitu memperkenalkan:
1.      Sistem Pemerintah Republik.
Selama ini belum ada dikenal seorang kepala negara dipilih oleh parlemen yang berkuasa dalam masa tertentu dan harus tunduk kepada Undang-Undang Dasar. Sedangkan UUD itu sendiri dibuat bukan oleh kepala negara atau raja melainkan oleh parlemen. Parlemenlah yang menentukan  kredibiltas seorang kepala negara, yang kalau menyimpang dari kedudukannya. Sedangkan sistem pemerintah Islam selama ini bersifat absolut.
2.      Ide persamaan  (egalite) yaitu adanya persamaan kedudukan antara penguasa dengan rakyat yang diperintah, serta turut berperan aktifnya rakyat dalam pemerintahan. Sebelumnya rakyat mesir tidak tahu menahu dalam soal pemerintahan, maka ketika Napoleon mendirikan suatu badan kenegaraan yang terdiri dari ulama-ulama Al Azhar dan pemuka-pemuka dalam dunia bisnis dari Kairo dan daerah-daerah. Tugas badan ini membuat UU, memelihara ketertiban umum dan menjadikan perantara penguasa-penguasa Perancis dengan rakyat Mesir. Disamping itu dibentuk pula suatu badan yang bernama Diwan Al Ummah yang pada waktu tertentu mengadakan sidang untuk membicarakan hal-hal yang bersangkutan dengan kepentingan nasional.
3.      Ide kebangsaan yang terkandung dalam maklumat Napoleon bahwa orang Perancis merupakan suatu bangsa, dan kaum Mamluk adalah orang asing yang datang ke Mesir dari Kaukasus, jadi sungguh pun orang Islam tapi berlainan bangsa dengan rakyat Mesir.[5]

         Beberapa  gambaran ide-ide Napoleon tersebut merupakan kontak pertama antara Mesir dengan Barat (Eropa) dan walaupun belum mempunyai pengaruh nyata yang kuat kepada rakyat Mesir, namun lambat laun telah membuka mata ummat Islam tentang kelemahan dan kemunduran mereka selama ini. Dan di abad ke 19  ide-ide ini makin  dapat diterima karena terdapat nilai-nilai positif di dalamnya yang kalau dipraktikkan akan mendorong kemajuan bagi dunia Islam khususnya rakyat Mesir.
         Keuntungan positif inilah nantinya yang menghidupkan gairah intelektual untuk banyak-banyak menyerap peradaban Barat dalam semua aspeknya. Khusus bagi kemajuan pemahaman dinamika beragama, bangkitnya kesadaran bahwa selama ini umat telah salah kaprah dalam mengapresiasi komitmen roh yang terkandung dalam al-Qur’an. Artinya Barat yang tidak secara langsung diilhami oleh spirit al-Qur’an pun dapat maju dan jaya karena pola hidup dan orientasi akal yang benar, sedangkan  ini hanya sebagian kecil dari isi kandungan al-Qur’an yang bisa diserap oleh Barat dalam mencapai kemajuan-kemajuannya.
         Setelah persentuhan peradaban Eropa terhadap Mesir itulah, kondisi umat Islam kian menata diri memperhitungkan  kemungkinan langkah-langkah modernisme yang bisa mengangkat citra kaum muslimin secara umum nantinya sebagai negara maju melalui pemikiran-pemikiran cemerlang dan tercerahkan pada modernis seperti Jamaluddin Al Afghani, Muhammad Abduh dan murid-muridnya.
             Setelah membahas tentang pendudukan Napoleon kami akan menambahi sedikit tentang ekspedisi-ekspedisi yang dibawah oleh Napoleon:
a.       Ekspedisi Napoleon
          Pendudukan negeri Mesir merupakan penduduk campuran dari bermacam-macam ras, agama, budaya dan peradaban. Di samping itu daerah Mesir masih merupakan daerah di belahan Timur yang terbanyak dikunjungi dan derasnya arus gelombang pengaruh Barat dengan bibit-bibit peradaban Eropa.[6]
          Mesir sebelum ditaklukkan oleh Napoleon berada di bawah kekuasaan Turki Usmani dan sebagian di bawah pengaruh/kekuasaan Mamluk.
          Asal-usul kaum Mamluk berasal dari daerah pengunungan Kaukasus yaitu daerah dipengunungan yang berbatasan antara Rusia dan Turki. Mereka didatangkan  ke Istambul atau Mesir untuk dididik menjadi militer. Dalam perkembangan selanjutnya kedudukan mereka dalam kemiliteran meningkat bahkan di antara mereka ada yang dapat mencapai jabatan militer yang tinggi.[7] Akhirnya di antara mereka ada yang mengambil alih daerah kekuasaan Turki Usmani dan tidak tunduk pada Istambul.
          Pemimpin Mamluk disebut Syekh Balad, akan tetapi Syekh Balad ini sering bertabiat kasar, sehingga hubungan mereka dengan  rakyat Mesir tidak baik. Hal ini salah satu faktor yang memudahkan tentara Napoleon menguasai daerah-daerah yang dikuasai Mamluk.[8]
         
b.      Penaklukan Napoleon Terhadap Mesir
          Napoleon menyerbu Mesir pada tanggal 2 Juli 1798. mula-mula mendarat di Iskandariyah dan dalam waktu tiga minggu Napoleon dapat menguasai seluruh Mesir. Setelah menguasai Mesir Napoleon terus menyerang Palestina. Akan tetapi setelah sampai terus menyerang Palestina, akan tetapi setelah selesai di Palestina sedang berjangkit  penyakit kolera, sehingga banyak tentara Palestina yang meninggal dunia.
          Walaupun Napoleon menguasai Mesir hanya dalam waktu sekitar tiga tahun, namun pengaruh yang ditinggalkannya sangat besar dalam kehidupan bangsa Mesir.

c.       Tujuan Ekspedisi Napoleon ke Mesir
          Perancis adalah salah satu negara yang cukup besar dan menjadi saingan Inggris yang telah menguasai India untuk  memutuskan hubungan Inggris dan India. Napoleon berpendapat, Mesir harus dapat dikuasai. Dengan penguasaan Mesir maka hubungan Inggris ke India terhambat dan di samping itu Mesir merupakan daerah yang cukup  baik untuk pemasaran baru hasil-hasil produksi industri Perancis.
          Selain dari tujuan tersebut di atas, tampaknya Napoleon mempunyai tujuan tertentu pula yaitu ingin mengikuti jejak Alexander yang pernah menguasai Eropa dan Asia sampai ke India. Tempat yang strategis untuk maksud harus menguasai Mesir, bukan Roma atau Paris yang dapat dijadikan  basis ekspansi ke India.

d.      Pengaruh Ekspedisi dalam pembaharuan di Mesir
          Walaupun Napoleon menguasai Mesir hanya sekitar tiga tahun saja (1789 – 1801) namun pengaruhnya besar sekali terhadap   hidup dan kehidupan bangsa Mesir.
          Takkala Napoleon menyerbu Mesir ia membawa dua set alat percetakan (alat cetak Bahasa Arab Latin) hasil rampasan  Napoleon di Vatican, di samping itu dibawa pula 600 orang sipil yang diantaranya terdapat 167 orang ilmuwan-ilmuwan dalam berbagai disiplin ilmu.
          Untuk keperluan ilmu pengetahuan Napoleon membentuk lembaga ilmiah yang diberi nama “ Institut de Egypte” di dalamya terdapat empat   bidang pengetahuan, yaitu Ilmu pasti, ilmu alam, ekonomi, politik dan seni sastra.
          Lembaga ini telah meneritkan majalah “le Courie’d Egypte” yang ditertibkan oleh seorang  pengusaha perrancis yang ikut rombongan  ekpedisi napoleon.
          Alat percetakan dibawa  Napoleon tersebut  di atas menjadi perusahaan  percetakan Balaq,  perusahaan tersebut berkembang sampai sekarang.        Peralatan moder pada Institut ini seperti mikroskop, teleskop, atau alat-alat percobaan lainnya serta kesungguhan kerja orang Perancis merupakan hal yang asing dan menakjubkan  bagi orang Mesir.
          Keberhasilan lainnya yang telah dicapai oleh orang sipil Perancis:
  1. Membuat saluran air di lembah Sungai Nil, sehingga hasil pertaniannya berlibat ganda.
  2. Di bidang sejarah, ditemukan batu berukir yang terkenal dengan Rossetta Stone.
  3. Di Bidang pemerintahan, merambahnya ide sistem pemerintahan yang kepala negaranya dipilih dalam waktu tertentu dan tunduk pada perundang-undangan. Hal ini tentu saja sulit diterima oleh para menguasa.[9]




KESIMPULAN


            Setelah  kami membaca dari beberapa referensi yang bisa kami pergunakan sebagai landasan kami dalam membahas makalah,  dan telah kami baca dapat ditarik kesimpulan bahwa:
·        Metode penguasaan ilmu yang sangat doktrinal seperti menghafal di luar kepala tanpa ada pengkajian dan tela’ah pemahaman membuat ajaran-ajaran Islam seperti dituangkan demikian rupa ke kepala murid dengan mahasiswa.
Para murid dan mahasiswa tinggal  menerima apa adanya, sehingga Muhammad  Abduh menggambarkan bahwa metode pendidikan yang otoriter juga merupakan salah satu mandegnya kebebasan intelektual, sehingga ia sendiri merasa tidak bagitu tertarik mendalami agama pada masa kecil lantaran kesalahan metode itu, yakni berupa cara menghafal pelajaran di luar kepala.
·        Napoleon dapat menguasai Mesir ketika mereka bertempur dengan Kaum  Mamluk di daerah Piramid di dekat Kairo, karena kaum Mamluk  tidak sanggup melawan senjata-senjata meriam Napoleon. Tetapi, usaha, Napoleon untuk menguasai daerah-daerah lainnya di Timur tidak berhasil.
·        Ada beberapa hal baru selain kemajuan materi yang dianggap   sebagai ide-ide hasil revolusi Perancis yang dibawa oleh Napoleon diantaranya : Sistem pemerintahan republik, ide persamaan (legalite)  ide kebangsaan yang terkandung dalam maklumat Napoleon, sehingga ide-ide Napoleon tersebut adalah gambaran yang merupakan kontak pertama antara Mesir dengan Barat (Eropa).
·        Ekspedisi Napoleon, terdapat asal-usul kaum Mamluk yang datang ke Istambul atau Mesir untuk dididik menjadi militer  sehingga kedudukan militer mereka meningkat, bahkan antara mereka mendapat jabatan militer yang tinggi.
·        Dalam waktu tiga minggu Napoleon dapat menguasai seluruh Mesir, tetapi Napoleon dapat menguasai Mesir hanya dalam waktu sekitar tiga tahun.
·        Tujuan ekspedisi Napoleon ialah ingin mengikuti jejak Alexandr yang pernah  menguasai Eropa dan Asia sampai ke India.
·        Pengaruh Napoleon dalam pembaharuan di Mesir sangat besar sekali, terhadap hidup dan kehidupan bangsa Mesir, yaitu Napoleon membentuk lembaga  ilmiah yang diberi nama “Institut de Egypte” yang terdapat empat bidang pengetahuan, yaitu ilmu pasti, ilmu alam, ekonomi, politik dan seni sastra.

 

DAFTAR PUSTAKA

Asmuni, Yusran, 1998, Pengantar Studi Pemikiran dan Gerakan Pembaharuan dalam Dunia Islam, Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada

Nasution, Harun, 2003, Pembaharuan dalam Islam, Jakarta : Bulan Bintang

-------------------, 1975, Sejarah Pemikiran dan Gerakan, Jakarta : Bulan Bintang

Sani, Abdul, 1998, Lintas Sejarah Pemikiran, Jakarta : PT. Grafindo Persada

Rais, M. Amien dan David Sagiv, 1997, Islam Orientalis Liberalisme, Yogyakarta : Bulan Bintang


[1] Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam, Bulan Bintang, Jakarta, 1986, hlm. 59
[2] Muhammad Al-Bahy, Pemikiran Islam Modern, Pustaka,  Panjimas, Jakarta, 1986, hln. 90-92
[3] T. Al-Tanawi, Muzzakir Al-Imam Muhammad Abduh, Qahirah Darul Hilal, t.t. hlm. 29
[4] Harun Nasution, Pembaharuan Dalam Islam Sejarah Pemikiran dan Gerakan, cet. Ke-14 PT. Bulan Bintang, Jakarta, 2003, hlm. 21-22
[5] Ibid., hal. 27-29
[6] Drs. Sucipto Wiryosuparto, Sejarah Dunia II, Balai Pustaka, jakarta, 196, hal. 29
[7] Dr. Harun Nasution, Op.cit., hal. 29
[8]  Drs. H.M. Yusran Asmuni, Pengantar Studi Pemikiran dan Gerakan pembaharuan dalam Dunia Islam,  PT. Raja Grafindo Persada. 1998, hal. 65-66.
[9]  Ibid., hal. 68

###################################################################################

TUGAS  MAKALAH
Pemikiran modern dalam islam
Pendudukan Napolion dan Pengaruhnya Terhadap Pembaharuan di Mesir











DISUSUN OLEH:
1.      DWI SANTOSO         : 08 29 018
2.      DWI SUSILAWATI    :  08 29 019

DOSEN PEMBIMBING
 MUHTAROM, S.Pd.I




Fakultas  TARBIYAH
JURUSAN KEPENDIDIKAN ISLAM
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI RADEN FATAH
PALEMBANG
2009
 #####################################################
TUGAS MAHASISWA (KELOMPOK)
Setiap Kelompok Harus:
1. BERIKAN KOMENTAR SEPUTAR MAKALAH DIATAS ( ISI, CARA PENULISAN /METHODOLOGI DAN ketepatan analisis)
2. BERIKAN 2 PERTANYAAN

TULIS DI KERTAS FOLIO (1LEMBAR)

MASING-MASING KELOMPOK MENGIRIMKANYA/menuliskanya :
1. DIBAWAH MAKALAH DIATAS (DALAM KOLOM KOMENTAR ) 
2. DIKIRIM MELALUI EMAIL KE : muhtarom84@yahoo.com

..... tugas ini sudah dikirim ke email dan posting komentar di blog ini mulai hari ini sampai Sabtu pukul 14.00



Sabtu, 17 Oktober 2009

Tokoh2 Pembaharuan Islam di Mesir

TOKOH-TOKOH PEMBAHARUAN DI MESIR
Muhammad Ibnu Abdul Wahab, Muhammad Ali Pasya, Al-Tahtawi, Jamaluddin Al Afghani, Muhammad Abduh, Rasyid Ridha, Qasyim Amin




Makalah ini disusun sebagai tugas diskusi kelompok, semester 111/ 2009
Kelompok 11

Disusun Oleh:
KHUSNUL KHOLIQ (08 29 025)
DETA KARTITA (08 29 003)

(detakartita@yahoo.co.id)

Dosen Pembimbing:
Muhtarom M.Pd.I

FAKULTAS TARBIYAH
JURUSAN KEPENDIDIKAN ISLAM
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI RADEN FATAH
PALEMBANG
2009

Pendahuluan

Sebagaimana telah dikemukakan dalam makalah sebelumnya bahwa pembaharuan dalam Islam itu timbul dalam masa periode sejarah Islam yang disebut modern dan mempunyai tujuan untuk membawa ummat Islam pada suatu kemajuan.
Maka jika kita membahas tentang Tokoh-Tokoh Pembaharuan Islam dalam Masyarakat Mesir, terlebih dahulu kita harus mengetahui siapa-siapa saja tokoh-tokoh yang ikut berperan dalam pembaharuan ummat Islam di Mesir baik dari segi politik, kemasyarakatan, agama ataupun pendidikan serta bagaimana sistem pembaharuannya.
Tokoh-tokoh di Mesir merupakan salah satu jalan bagi ummat Islam untuk mengawali perubahan dan menjadikan ummat Islam untuk lebih memahami Agama Islam, dengan demikian pemakalah membahas tentang Tokoh-Tokoh Pembaharuan di Mesir, diantaranya yaitu: Muhammad Ibnu Abdul Wahab, Muhammad Ali Pasya, Al-Tahtawi, Jamaluddin Al-Afghani, Muhammad Abduh, Rasyid Ridha, dan Qasyim Amin.



TOKOH-TOKOH PEMBAHARUAN DI MESIR

1. PEMBAHARUAN MUHAMMAD IBNU ABDUL WAHAB

Muhammad bin Abdul Wahab ibn Sulaiman ibn Ali bin Muhammad ibn Rasyid ibn Bari ibn Musyarif ibn Umar ibn Muanad Rais ibn Zhahir ibn Ali Ulwi ibn Wahib, lahir pada tahun 1703 dan meninggal pada tahun 1787 M. di Uyainah, daerah Nejeb Saudi Arabia . Ia seorang pembaharu di Arabia , pengikut paham Ibnu Taimiyah dan bermazhab Hambali.[1] Pelajaran agama sangat digemarinya, sejak kecil ia telah belajar ilmu agama pada ayahnya seorang Qadhi di Uyainah. Dengan kecerdasannya, dalam usia 10 tahun ia hafal Al-Qur’an.
Muhammad ibnu Abdul Wahab adalah seorang yang sangat sibuk mengembara ke berbagai daerah untuk menuntut ilmu pengetahuan, kemudian ia sampai ke Bagdad dan di sinilah kemudian ia menikah dengan wanita kaya. Setelah lima tahun istrinya meninggal dan ia mendapatkan warisan sebesar 2000 dinar. Setelah itu ia kembali mengembara ke Kurdistan selama dua tahun, di Hamadan dua tahun dan pernah pula ke Isfahan , Qum ( Iran ). Perjalanannya ke berbagai daerah ternyata sangat bermanfaat baginya, bahkan ia melihat beberapa penyimpangan-penyimpangan akidah, yang diantaranya ialah:[2]
a. Ia melihat kuburan atau makam para ulama syekh atau guru tarikat yng bertebaran di tiap kota ataupun desa ramai dikunjungi oleh masyarakat islam, dengan maksud memohon penyelesaian atas persoalan hidup sehari-hari.
b. Aspek lain yang menjadi perhatinnya adalah masalah Taqlid. Taqlid merupakan sumber kebekuan ummat Islam itu sendiri, disamping itu untuk memahami ajaran yang terkandung dalam Al-Qur’an dan Hadist, orang harus melakukan ijtihad, karena itu pintu ijtihad tidak pernah ditutup dan tidak perlu ditutup.

Dalam hal tauhid ini Muhammad ibnu Abdul Wahab memusatkan perhatiannya terhadap pokok-pokok pikirannya, yang berpendapat bahwa:[3]
1. Yang boleh dan harus disembah itu hanyalah Tuhan, dan orang yang menyembah selain dari Tuhan telah menjadi musyrikn dan boleh dibunuh.
2. Kebanyakan orang Islam bukan menganut faham tauhid yang sebenarnya karena mereka meminta pertolongan bukan lagi pada Tuhan, tetapi dari syekh atau wali dan dari kekuatan gaib.
3. Menyebut nama Nabi, syekh atau malaikat sebagai pengantara dalam do’a juga merupakan syirik.
4. Meminta syafaat selain dari kepada Tuhan dan bernazar kepada selain Tuhan juga syirik.
5. Memperoleh pengetahuan selain dari Al-Qur’an, Hadits dan Qias (analogi) merupakan kekufuran.
6. Tidak percaya pada qada dan qadar Tuhan juga merupakan kekufuran.
7. Demikian pula menafsirkan Al-Qu’ran dengan ta’wil adalah kufur.

Semua yang diatas dianggap bid’ah dan bid’ah adalah kesesatan. Kepercayaan-kepercayaan dan praktek-praktek lain yang timbul sesudah zaman itu bukanlah ajaran Islam yang asli dan harus ditinggalkan. Dengan demikian taqlid dan patuh kepada pendapat ulama tidak dibenarkan. Muhammad ibnu Abdul Wahab bukanlah hanya seorang teroris tetapi juga pemimpin yang dengan aktif berusaha mewujudkan pemikirannya. Ia mendapat dorongan dari Muhammad ibn Su’ud dan putranya Abd al-Aziz di Nejd . Tahun 1787 Muhammad Abduh meninggal dunia, tetapi ajarannya tetap hidup dengan mengambil bentuk aliran yang dikenal dengan nama Wahabiah.[4]

Pemikiran-pemikiran Muhammad ibnu Abdul Wahab yang mempunyai pengaruh pada perkembangan pemikiran pembaharuan di abad kesembilan belas adalah sebagai berikut:[5]
1. Hanya Al-Qur’an dan Haditslah yang merupakan sumber asli ajaran-ajaran Islam. Pendapat ulama tidak merupakan sumber.
2. Taklid kepada ulama tidak dibenarkan.
3. Pintu ijtihad terbuka dan tidak tertutup.

2. PEMBAHARUAN MUHAMMAD ALI PASYA

Muhammad Ali, adalah seorang keturunan Turki yang lahir di Kawalla, Yunani, pada tahun 1765, dan meninggal di Mesir pada tahun 1849. orang tuanya bekerja sebagai seorang penjual rokok dan dari kecil Muhammad Ali telah harus bekerja. Ia tak memperoleh kesempatan untuk masuk sekolah dengan demikian dia tidak pandai menulis maupun membaca, meskipun ia tak pandai membaca atau menulis, namun ia adalah seorang anak yang cerdas dan pemberani, hal itu terlihat dalam karirnya baik dalam bidang militer ataupun sipil yang selalu sukses.[6]
Setelah dewasa, Muhammad Ali Pasya bekerja sebagai pemungut pajak dan karena ia rajin bekerja jadilah ia kesenangan Gubernur dan akhirnya menjadi menantu Gubernur. Setelah kawin ia diterima menjadi anggota militer, karena keberanian dan kecakapan menjalankan tugas, ia diangkat menjadi Perwira. Pada waktu penyerangan Napoleon ke Mesir, Sultan Turki mengirim bantuan tentara ke Mesir, diantaranya adalah Muhammad Ali Pasya, bahkan dia ikut bertempur melawan Napoleon pada tahun 1801.[7] Rakyat Mesir melihat kesuksesan Muhammad Ali dalam pembebasan mesir dari tentara Napoleon, maka rakyat mesir mengangkat Muhammad Ali sebagai wali mesir dan mengharapkan Sultan di Turki merestuinya. Pengakuan Sultan Turki atas usul rakyatnya tersebut baru mendapat persetujuannya dua tahun kemudian, setelah Turki dapat mematahkan Intervensi Inggris di Mesir.
Setelah Muhammad Ali mendapat kepercayaan rakyat dan pemerintah pusat Turki, ia menumpas musuh-musuhnya, terutama golongan mamluk yang masih berkuasa di daerah-daerah akhirnya mamluk dapat ditumpas habis. Dengan demikian Muhammad Ali menjadi penguasa tunggal di Mesir, akan tetapi lama kelamaan ia asyik dengan kekuasaannya, akhirnya ia bertindak sebagai diktator. Pada waktu Muhammad Ali meminta kepada sultan agar Syiria diserahkan kepadanya, Sultan tidak mengabulkannya. Muhammad Ali Pasya marah dan menyerang dan menguasai Syiria bahkan serangan sampai ke Turki. Muhammad ali dan keturunannya menjadi raja di Mesir lebih dari satu setengah abad lamanya memegang kekuasaan di Mesir. Terakhir adalah Raja Farouk yang telah digulingkan oleh para jenderalnya pada tahun 1953. Dengan demikian berakhirlah keturunan Muhammad Ali di Mesir.,[8]
Kalau diteliti lebih mendalam, maka terkesan bahwa Muhammad Ali walaupun tidak pandai membaca dan menulis, akan tetapi ia seorang yang cerdas, tanpa kecerdasan ia tidak akan mendapat kekuasaan dan tujuan akhirnya adalah untuk menjadi penguasa umat Islam, ia adalah seorang yang ambisius menjadi pimpinan umat Islam.
Hal-hal ini memberi gambaran tentang apa yang dikehendaki Muhammad Ali sebenarnya, pengetahuan tentang soal-soal pemerintahan, militer dan perekonomian, yaitu hal-hal yang akan memperkuat kedudukannya. Ia tak ingin orang-orang yang dikirimnya ke Eropa, menyelami lebih dari apa yang perlu baginya, dan oleh karena itu mahasiswa-mahasiswa itu berada dibawah pengawasan yang ketat.[9] Mereka tak diberi kemerdekaan bergerak di Eropa. Tetapi, dengan mengetahui bahasa-bahasa Eropa, terutama Prancis dan dengan membaca buku-buku Barat seperti karangan-karangan Voltaire, Rousseau, Montesquieu dna lain-lain, timbullah ide-ide baru mengenai Demokrasi, Parlemen, pemilihan wakil rakyat, paham pemerintahan republic, konstitusi, kemerdekaan berfikir dan sebagainya.
Pada mulanya perkenalan dengan ide-ide dan ilm-ilmu baru ini hanya terbatas bagi orang-orang yang telah ke Eropa dan yang telah tahu bahasa Barat. Kemudian faham-faham ini mulai menjalar kepada orang-orang yang tak mengerti bahasa Barat, pada permulaannya dengan perantaraan kontak mereka dengan mahasiswa-mahasiswa yang kembali dari Eropa dan kemudian dengan adanya terjemahan buku-buku Barat itu kdalam bahasa arab. Yang penting diantara bagian-bagian tersebut bagi perkembangan ide-ide Barat ialah bagian Sastra. Di tahun 1841, diterjemahkan buku mengenai sejarah Raja-raja Perancis yang antara lain mengandung keterangan tentang Revolusi Perancis. Satu buku yang serupa diterjemahkan lagi tahun 1847.[10]

Pembaharuan yang dilaksanakan oleh Muhammad Ali :
1. Politik luar negeri
Muhammad Ali menyadari bahwa bangsa mesir sangat jauh ketinggalan dengan dunia Barat, karenanya hubungan dengan dunia Barat perlu diperbaiki seperti Perancis, Itali, Inggris dan Austria . Menurut catatan antara tahun 1813-1849 ia mengirim 311 pelajar Mesir ke Itali, Perancis, Inggris dan Austria . Selain itu dipentingkan pula ilmu Administrasi Negara, akan tetapi system politik Eropa tidak menarik perhatian Muhammad Ali.
2. Politik dalam negeri
a. Membangun kekuatan militer.
b. Bidang pemerintahan.
c. Ekonomi.
d. Pendidikan.

Sepintas pembaharuan yang dilakukan oleh Muhammad Ali hanya bersifat keduniaan saja, namun dengan terangkatnya kehidupan dunia ummat Islam sekaligus terangkat pula derajat keagamaannya. Pembaharuan yang dilaksanakan oleh Muhammad Ali merupakan landasan pemikiran dan pembaharuan selanjutnya. Pembaharuan Muhammad Ali dilanjutkan oleh tahtawi, Jalaludin Al-Afghani, Muhammad Abduh, Rasyid Ridha dan murid-murid Muhammad Abduh lainnya.

3. PEMBAHARUAN AL-TAHTAWI

Al-Tahtawi adalah Rifa’ah Badawi Rafi’I, Al-tahtawi lahir pada tahun 1801 M. di Tanta (Mesir Selatan), dan meninggal di Kairo pada tahun 1873. Dia adalah seorang pembawa pemikiran pembaharuan yang besar pengaruhnya di pertengahan pertama dari abad ke-19 di Mesir. Dalam gerakan pembaharuan Muhammad Ali Pasya, al- Tahtawi turut memainkan peranan. Ketika Muhammad Ali mengambil alih seluruh kekayaan di Mesir harta orang tua al-Tahtawi termasuk dalam kekayaan yang dikuasai itu. Ia terpaksa belajar di masa kecilnya dengan bantuan dari keluarga ibunya. Ketika berumur 16 tahun, ia pergi ke Kairo untuk belajar di Al-Azhar. Setelah lima tahun menuntut ilmu ia selesai dari studinya di Al-Azhar pada tahun 1822.[11]
Ia adalah murid kesayangan dari gurunya Syaikh Hasan al-‘Atthar yang banyak mempunyai hubungan dengan ahli-ahli ilmu pengetahuan Perancis yang datang dengan Napoleon ke Mesir. Syaikh Al-Attar melihat bahwa Tahtawi adalah seorang pelajar yang sungguh-sungguh dan tajam pikirannya, dan oleh karena itu ia selalu memberi dorongan kepadanya untuk senantiasa menambah ilmu pengetahuan. Setelah selesai dari study di Al-Azhar, Al-Tahtawi mengajar disana selama dua tahun, kemudian diangkat menjadi imam tentara di tahun 1824. Dua tahun kemudian dia diangkat menjadi imam mahasiswa-mahasiswa yang dikirim Muhammad ali ke Paris . Disamping tugasnya sebagai imam ia turut pula belajar bahasa Perancis sewaktu ia masih dalam perjalanan ke Paris . [12]
Buku-buku yang dibaca Al-Tahtawi mencakup berbagai ilmu pengetahuan, dan ujiannya yang terakhir di Paris pun adalah dalam lapangan terjemahan. Sekembalinya di Kairo ia diangkat sebagai guru bahasa Prancis dan penerjemah di sekolah Kedokteran. Di tahun 1836 didirikan “Sekolah Penerjemahan” yang kemudian diubah namanya menjadi “Sekolah Bahasa-bahasa Asing”. Bahasa yang diajarkan adalah Arab, Perancis, Turki, Itali dan juga ilmu-ilmu teknik, sejarah serta ilmu bumi. Salah satu jalan kesejahteraan menurut Al-Tahtawi adalah berpegang teguh pada agama dan akhlak (budi pekerti) untuk itu pendidikan merupakan sarana yang penting.
Dalam hal agama dan peranan ulama, al-Tahtawi menghendaki agar para ulama selalu mengikuti perkembangan dunia modern dan mempelajari berbagai ilmu pengetahuan modern.
Diantara hasil-hasil karyanya yang terpenting adalah:[13]
a. Takhlisul Abriiz Ila Takhrisu Bariiz.
b. Manahijul Bab Al-Mishriyah fi Manahijil Adab al-Ashriyah.
c. Al-Mursyid al-amin lil banaat wal banien.
d. Al-Qaulus sadid fiijtihadi wat taliid.
e. Anwar taufiq al-jalil fi akhbari mishra wa tautsiq bani Isra’il.


4. PEMBAHARUAN JAMALUDDIN AL-AFGHANI

Jamaludin al-Afghani adalah seorang pemimpin pembaharuan yang tempat tinggal dan aktifitasnya berpindah-pindah dari satu negara ke negara Islam lainya pengaruh terbesar yang ditinggalkannya adalah di Mesir, oleh karena itu uraian mengenai pemikiran dan aktivitasnya dimasukkan kedalam bagian tentang pembaharuan di dunia Arab. Jamaludin al-Afghani lahir di Afghanistan pada tahun 1839 M. dan meninggal dunia pada tahun 1897 M. Dalam silsilah keturunannya al-afghani adalah keturunan Nabi melalui Sayyidina Ali ra. Ketika baru berusia duapuluh dua tahun ia telah menjadi pembantu bagi pangeran Dost Muhammad Khan di Afghanistan. Di tahun 1864 ia menjadi penasehat Sher Ali Khan. Beberapa tahun kemudian ia diangkat oleh Muhammad A’zam Khan menjadi Perdana Menteri.[14]
Kemudian al-Afghani merasa lebih aman apabila meninggalkan tanah tempat lahirnya dan pergi ke India di tahun 1869. tetapi di India dia juga merasa tidak bebas untuk bergerak karena negara ini telah jatuh ke bawah kekuasaan Inggris, oleh karena itu ia pindah ke Mesir di tahun 1871. Ia menetap di Kairo, pada mulanya menjauhi persoalan-persoalan politik Mesir dan memusatkan perhatian pada bidang ilmiah dan sastra Arab.[15]
Tetapi ia tidak lama dapat meninggalkan lapangan politik. Di tahun 1876 turut campur tangan Inggris dalam soal politik di Mesir makin meningkat. Ketika itu ide-ide al-Tahtawi sudah mulai meluas di kalangan masyarakat Mesir, diantaranya ide trias politica dan patriotisme, maka pada tahun 1879 atas usaha Al- Afghani terbentuklah partai Al-Hizb al-Watani (partai nasional). [16]
Tujuan partai ini untuk memperjuangkan pendidikan universal dan kemerdekaan pers. Atas sokongan partai ini al-Afghani berusaha menggulingkan Raja Mesir yang berkuasa waktu itu, yakni Khedewi Ismail. Masa delapan tahun menetap di Mesir itu mempunyai pengaruh yang tidak kecil bagi umat Islam disana menurut M.S. Madkur, al-Afghanilah yang membangkitkan gerakan berpikir di Mesir sehingga negara ini dapat mencapai kemajuan. “Mesir modern,”demikian Madkur, “ adalah hasil dari usaha-usaha Jamaludin al-Afghani”.[17]
Selama di Mesir al-Afghani mengajukan konsep-konsep pembaharuannya, antara lain:[18]
a) Musuh utama adalah penjajahan (Barat), hal ini tidak lain dari lanjutan perang Salib.
b) Ummat Islam harus menantang penjajahan dimana dan kapan saja.
c) Untuk mencapai tujuan itu ummat Islam harus bersatu (Pan Islamisme).
Pan Islamisme bukan berarti leburnya kerajaan-kerajaan Islam menjadi satu, tetapi mereka harus mempunyai satu pandangan bersatu dalam kerja sama. Persatuan dan kerja sama merupakan sendi yang amat penting dalam Islam.
Untuk mencapai usaha-usaha pembaharuan tersebut di atas:[19]
a) Rakyat harus dibersihkan dari kepercayaan ketakhayulan.
b) Orang harus yakin bahwa ia dapat mencapai tingkat atau derajat budi luhur.
c) Rukun Iman harus betul-betul menjadi pandangan hidup, dan kehidupan manusia bukan sekedar ikutan belaka.
d) Setiap generasi ummat harus ada lapisan istimewa untuk memberikan pengajaran dan pendidikan pada manusia-manusia bodoh dan juga memerangi hawa nafsu jahat dan menegakkan disiplin.

Selama delapan tahun menetap di Mesir ia pergi ke Paris , disini ia mendirikan perkumpulan “Al-Urwatul Wusqa” yang anggotanya terdiri dari orang-orang Islam dan India , Mesir, Suria, Afrika Utara dan lain-lain. Diantara tujuan yang ingin dicapai ialah memperkuat rasa persaudaraan Islam, membela Islam dan membawa Islam kepada kemajuan. Kemudian di Paris inilah ia bertemu dengan muridnya yang setia yaitu Muhammad Abduh dan kemudian ia kembali ke Istambul, sampai akhir hayatnya.[20]


5. PEMBAHARUAN SYEKH MUHAMMAD ABDUH

Muhammad Abduh lahir di desa Mahillah di Mesir Hilir, ibu bapaknya adalah orang biasa yang tidak mementingkan tanggal dan tempat lahir anak-anaknya. Ia lahir pada tahun 1849, tetapi ada yang mengatakan bahwa ia lahir sebelum tahun itu, tetapi sekitar tahun 1845 dan beliau wafat pada tahun 1905. Ayahnya bernama Abduh ibn Hasan Khairillah, silsilah keturunan dengan bangsa Turki, dan ibunya mempunyai keturunan dengan Umar bin Khatab, khalifah kedua (khulafaurrasyidin).[21]
Orang tuanya sangat memperhatikan terhadap pendidikannya, pada tahun1862 ia dikirim oleh ayahnya ke perguruan agama di mesjid Ahmadi yang terletak di desa Tanta . Hanya dalam waktu enam bulan ia berhenti karena tidak mengerti apa yang diajarkan gurunya. Setelah belajar di Tanta pada tahun 1866 ia meneruskan ke perguruan tinggi di Al-Azhar di Kairo, disinilah ia bertemu dengan Jamaludin al-Afghani dan kemudian ia belajar filsafat di bawah bimbingan Afghani, di masa inilah ia mulai membuat karangan untuk harian al-Ahram yang pada saat itu baru didirikan. Pada tahun 1877 studinya selesai di al-Azhar dengan hasil yang sangat baik dan mendapat gelar Alim. Kemudian ia diangkat menjadi dosen al-Azhar disamping itu ia mengajar di Universitas Darul Ulum.[22]
Dalam peristiwa pemberontakan Urabi Pasya (1882)
Muhammad Abduh ikut terlibat didalamnya, sehingga ketika pemberontakan berakhir, ia diusir dari Mesir. Dalam pembuangannya ia memilih di Syiria ( Beirut ) di sini ia mendapat kesempatan mengajar pada perguruan tinggi Sultaniah, kurang lebih satu tahun lamanya. Kemudian ia pergi ke Paris atas panggilan Sayyid Jamaludin al-Afghani, yang pada waktu itu tahun1884 sudah berada disana. Muhammad Abduh kebetulan diperkenankan pulang ke Mesir, sedang Jamaluddin mengembara di Eropa kemudian terus ke Moskow.
Di Mesir Muhammad Abduh diserahi jabatan Mufti Mesir, disamping itu ia diangkat menjadi anggota Majelis Perwakilan (Legilative Council), Muhammad Abduh pernah juga di serahi jabatan hakim Mahkamah, dan di dalam tugas ini ia dikenal sebagai seorang Hakim yang adil.
Pokok-pokok pikiran Muhammad Abduh dapat disimpulkan dalam empat aspek, yaitu:[23]
Pertama, aspek kebebasan, antara lain; dalam usaha memperjuangkan cita-cita pembaharuannya, MuhammadAbduh memperkecil ruang lingkupnya, yaitu Nasionalisme Arab saja dan menitikberatkan pada pendidikan.
Kedua, aspek kemasyarakatan, antara lain usaha-usaha pendidikan perlu diarahkan untuk mencintai dirinya, masyarakat dan negaranya. Dasar-dasar pendidikan seperti itu akan membawa kepada seseorang untuk mengetahui siapa dia dan siapa yang menyertainya.
Ketiga, aspek keagamaan, dalam masalah in Muhammad Abduh tidak menghendaki adanya taqlid, guna memenuhi tuntutan ini pintu ijtihad selalu terbuka.
Keempat, aspek pendidikan antara lain, al-Azhar mendapatkan perhatian perbaikan, demikian juga bahasa Arab dan pendidikan pada umumnya cukup mendapat perhatiannya.
Menurut Muhammad Abduh bahasa Arab perlu dihidupkan dan untuk itu metodenya perlu diperbaiki dan ini ada kaitannya dengan metode pendidikan. System menghafal diluar kepala perlu diganti dengan system penguasaan dan penghayatan materi yang dipelajari.[24]

6. PEMBAHARUAN RASYID RIDHA

Rasyid Ridha adalah murid Muhammad Abduh yang terdekat. Ia lahir pada tahun 1865 di Al-Qalamun, suatu desa di Lebanon yang letaknya tidak jauh dari kota Tripoli (Suria). Ia berasal dari keturunan al-Husain, cucu Nabi Muhammad SAW. Oleh karena itu ia memakai gelar Al-sayyid depan namanya. Semasa kecil ia dimasukkan ke madrasah tradisional di Al-Qalamun untuk belajar menulis, berhitung dan membaca Al-Qur’an di tahun 1882, ia melanjutkan pelajaran di Al-Madrasah al-Wataniah Al-Islamiah (Sekolah Nasional Islam) di Tripoli .[25]
Di Madrasah ini, selain bahasa arab diajarkan pula bahasa Turki dan Prancis, dan disamping pengetahuan-pengetahuan agama juga pengetahuan-pengetahuan modern. Sekolah ini didirikan oleh Al-Syaikh Husain Al-Jisr, seorang ulama Islam yang telah dipengaruhi oleh ide-ide modern, tetapi umur sekolah tersebut tidak panjang. Kemudian Rasyid Ridha meneruskan pelajarannya di salah satu sekolah agama yang ada di Tripoli .[26]
Disamping itu Rasyid Ridha memperoleh tambahan ilmu dan semangat keagamaan melalui membaca kitab-kitab yang ditulis al-Ghozali, antara lain Ihya Ulumuddin sangat mempengaruhi jiwa dan kehidupannya, terutama sikap patuh pada hukum dan baktinya terhadap agama. Rasyid Ridha mulai mencoba dan menerapkan ide-idenya ketika masih berada di Suria, tetapi usaha-usahanya mendapat tantangan dari pihak kerajaan Usmani. Ia merasa terikat dan tidak bebas, karena itu ia memutuskan pindah ke Mesir, dekat dengan Muhammad Abduh. Pada tahun 1898 M. Rasyid Ridha hijrah ke Mesir untuk menyebarluaskan pembaharuan di Mesir. Dan dua tahun kemudian ia menerbitkan majalah yang diberi nama “al- Manar” untuk menyebarluaskan ide-idenya dalam pembaharuan.[27]
Pada dasarnya pokok pikiran Rasyid Ridha tidak jauh berbeda dengan gurunya, terutama dalam titik tolak pembaharuannya yang berpangkal dari segi keagamaan, tuntutan adanya kemurnian ajaran Islam, baik dari segi akidahnya maupun dari segi amaliyahnya. Menurut pendapat dari Rasyid Ridha ummat Islam mundur karena tidak lagi menganut ajaran-ajaran Islam yang sebenarnya, dan perbuatan mereka telah menyeleweng dari ajaran-ajaran Islam yang sebenarnya. Disamping itu sebab-sebab yang membawa kemunduran ummat Islam, karena faham fatalisme, ajaran-ajaran tariqad atau tasawuf yang menyeleweng semua itu membawa kemunduran ummat Islam menjadi keterbelakangan dan menjadikan ummat tidak dinamis.
Dalam hubungannya dengan akal pikiran, Rasyid ridha berpendapat bahwa derajat akal itu lebih tinggi, akan tetapi hanya dapat dipergunakan dalam masalah kemasyarakatan saja, tidak dapat dipergunakan dalam masalah ibadah. Diantara aktivis beliau dalam bidang pendidikan antara lain membentuk lembaga yang dinamakan dengan “al-dakwah wal irsyad” pada tahun 1912 di kairo.
Para lulusan dari seoah ini akan dikirim ke negeri mana saja yang membutuhkan bantuan mereka. Kemudian melalui majalah al-Manar ia menjelaskan bahwa inggris dan perancis yang berusaha membagi-bagi daerah arab ke dalam kekuasaannya masing-masing. Bentuk pemerintahan yang dikehendaki oleh Rasyid Ridha adalah bentuk kekhalifahan yang tidak absolute, kholifah hanya bersifat koordinator, tidaklah mungkin menyatukan ummat islam ke dalam satu system pemerintahan yang tunggal, karena khalifah hanya menciptakan hukum perundang-undangan dan menjaga pelaksanaannya.[28]
Rasyid Ridha menyadari pertentangan yang makin ada diantara nasionalisme dan kesetiaan kepada persatuan Islam. Menurutnya paham nasionalisme bertentangan dengan paham ummat Islam, karena persatuan dalam Islam tidak mengenal perbedaan bangsa dan bahasa. Meskipun Rasid Ridha berguru pada Muhammad Abduh, tetapi dalam hal pembaharuan mereka memiliki perbedaan. Muhammad Abduh lebih luas pergaulannya,disamping itu penguasaan bahasa asing lebih menguasai dibanding Rasyid Ridha.
Perbedaan antara guru dan murid tersebut sangat terlihat, misalnya dalam hal paham-paham teologi dan jujga dalam Tafsir al-Manar, ketika murid memberi komentar terhadap uraian guru. Sedangkan dalam masalah teologi, Muhammad Abduh menafsirkan ayat-ayat Mutajassimah secara filosofis rasional, sedangkan Rasyid Ridha menafsirkan apa adanya ia tidak mentakwil.[29]
Rasyid Ridha sebagai ulama yang selalu menambah ilmu pengetahuan dan selalu berjuang selama hayatnya, ia meninggal pada tanggal 23 jumadil ula 1354/ 22 agustus 1935, ia meninggal dunia dengan aman sambil memegang Al-Qur’an ditangannya.

7. PEMBAHARUAN QASYIM AMIN
Qasyim Amin lahir dipinggiran kota Kairo pada tahun 1863, ayahnya keturunan Qurdi, tetapi menetap di Mesir, ia belajar hukum di Mesir kemudian melanjutkan ke Perancis sebagai mahasiswa tugas belajar dari pemerintah untuk memperdalam ilmu hukum, setelah selesai dan pulang ke Mesir ia bekerja pada pengadilan Mesir. Dalam hal pembaharuan di masyarakat ia lebih mengutamakan dalam hal memperbaiki nasib wanita.
Ide inilah yang kemudian dikupas Qasyim Amin dalam bukunya tahrir al-mar’ah (“emansipasi wanita”). Wanita yang terbelakang dan jumlahnya sekitar seperdua dari jumlah penduduk Mesir, merupakan hambatan dalam pelaksanaan pembaharuan, karena itu kebebasan dan pendidikan wanita perlu mendapat perhatian. Ide Qasyim Amin yang banyak menimbulkan reaksi di zamannya ialah pendapat bahwa penutupan wajah wanita bukanlah ajaran Islam.[30]
Tidak terdapat dalam Al-Qur’an dan Hadist adalah ajaran yang mengatakan bahwa wajah wanita murupakan aurat dan oleh karena itu harus ditutup. Penutupan wajah adalah kebiasaan yang kemudian dianggap sebagai ajaran Islam.
Dan karena kritik dan protes terhadap ide inilah Qasyim Amin melihat bahwa ia perlu memberi jawaban yang keluar dalam bentuk buku bernama al-mar’ah al-jadilah (“wanita modern”). Ide-ide ini, tentu ada yang setuju dan ada pula yang tidak setuju, tapi sekarang ini usaha itu sudah dapat dirasakan hasilnya.[31]



Kesimpulan

Dari penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa dalam pembaharuan di Mesir sangat banyak sekali tokoh-tokoh yang berperan penting dalam sistem pembaharuannya, yang diantaranya yaitu Muhammad Ibnu Abdul Wahab, Muhammad Ali Pasya, Al-Tahtawi, Jamaluddin Al-Afghani, Muhammad Abduh, Rasyid Ridha, Qasyim Amin.
Meskipun mereka berperan dalam pembaharuan Mesir, tetapi cara mereka dalam bidang pembaharuan Mesir mengalami suatu perbedaan, diantaranya: pembaharuan yang dilakukan oleh Muhammad ibnu Abdul Wahab menyangkut masalah pada bidang akidah yang telah mengalami banyak penyelewengan, seperti yang terjadi pada tarekat yang permohonan dan doanya ditujukan kepada syekh dan guru tarekat bukan kepada Allah SWT. Yang pada intinya adalah syirik dan syirik adalah dosa besar. Kemudian pembaharuan Muhammad Ali Pasya yang dilaksanakan untuk kemajuan ummat Islam dalam hal kekuatan militer, ekonomi, pendidikan dan bidang pemerintahan baik dalam negeri maupun luar negeri.
Dalam pembaharuan Al-Tahtawi pembaharuannya berpegang pada agama dan akhlaq dalam kesejahterakan ummat Islam, pembaharuan Jamaluddin Al-Afghani menganggap musuh umat Islam adalah penjajah maka dari itu ummat Islam harus bersatu dalam menentang penjajah, pembaharuan Muhammad abduh yang bersumber pada aspek kebebasan, kemasyarakatan, keagamaan, dan pendidikan.
Menurut Rasyid Ridha paham nasionalisme harus dihapus dan di singkirkan karena bertentangan dengan paham persatuan ummat Islam, dan yang terakhir pembaharuan Qasyim Amin dalam memperbaiki nasib pendidikan wanita (emansipasi wanita) lebih diutamakan.



DAFTAR PUSTAKA

Abidin Ahmad, H. Zainal, 1979, Sejarah Islam dan Ummatnya, Bulan Bintang, Jakarta .

Asmuni, Yusran, 1998, Pengantar Studi Pemikiran dan Gerakan Pembaharuan Dalam dunia Islam, Raja Grafindo Persada, Jakarta .

Ris’an, Rusli, 2005, Pemikiran Teologi Modern dalam Islam, IAIN Raden Fatah Press, Palembang

Mufrodi , Ali, 1997, Islam di Kawasan Kebudayaan Arab, Logos Wacana Ilmu, Jakarta .

Nasution, Harun, 2003, Pembaharuan Dalam Islam, Bulan Bintang, Jakarta .


________________________________________
[1] H. Zainal Abidin Ahmad, Sejarah Islam dan ummatnya, Bulan Bintang, Jakarta , hlm. 284.
[2] Harun Nasution, Pembaharuan Dalam Islam Sejarah Pemikiran dan Gerakan, Bulan Bintang, Jakarta , hlm.15.
[3] Ibid, hlm.16-17.
[4] DR. Ali Mufrodi, Islam di Kawasan Kebudayaan Arab, Jakarta , hlm. 154.
[5] Harun Nasution, Op. cit, hlm. 25.
[6] Drs. H.M. Yusran Asmuni, Pengantar Studi Pemikiran dan Gerakan Pembaharuan dalam Dunia Islam, Jakarta , hlm. 69.
[7] Ibid.
[8] Ibid, hlm. 71.
[9] Harun Nasution, Op. Cit, hlm. 30-31.
[10] Drs. Yusran Asmuni, Op. Cit, hlm. 71-72.
[11] Harun Nasution, Op. Cit, hlm. 34.
[12] Ibid, hlm, 34-35.
[13] Drs. Yusran Asmuni, Op. Cit, hlm. 76.
[14] Dr. Ali Mufrodi, Op. Cit. hlm. 155-156.
[15] Ibid.
[16] Harun Nasution, Op. Cit, hlm. 44.
[17] Ibid, hlm. 45.
[18] Drs. Asmuni Yusran, Op. Cit, hlm. 77.
[19] Ibid.
[20] Ibid, hlm. 78.
[21] Dr. Ali mufrodi, Op. Cit, hlm. 159.
[22] Drs. Yusran Asmuni, Op. Cit, hlm. 79.
[23] Ibid, hlm. 80-82.
[24] Ibid.
[25] Dr. Ali Mufrodi, Op. Cit, hlm. 162.
[26] Harun Nasution, Op. Cit, hlm. 60.
[27] Ibid, hlm. 61.
[28] Ris’an Rusli, pemikiran teologi modern dalam islam, ( Palembang , IAIN Raden Fatah Press, 2005)hlm. 67-68
[29] Ibid, hlm. 71-72
[30] Harun Nasution, Op. Cit,hlm.70-71
[31] Ibid.

*********************************
TUGAS MAHASISWA (KELOMPOK)
Setiap Kelompok Harus:
1. BERIKAN KOMENTAR SEPUTAR MAKALAH DIATAS ( ISI, CARA PENULISAN DAN ketepatan analisis yang dibuat pemakalah)
2. BERIKAN 2 PERTANYAAN untuk PEMAKALAH / setiap kelompok harus berbeda pertanyaan

TULIS DI KERTAS FOLIO (1LEMBAR)

MASING-MASING KELOMPOK MENGIRIMKANYA/menuliskanya DIBAWAH MAKALAH DIATAS (DALAM KOLOM KOMENTAR ) DAN DIKIRIM MELALUI EMAIL KE : muhtarom84@yahoo.com atau

..... tugas ini sudah dikirim ke email dan posting komentar di blog ini mulai hari ini (SELASA) sampai besok (RABU) pukul 14.00
 

Translate

Total Tayangan Halaman

Islamic Education Copyright © 2009 Community is Designed by Bie