Tampilkan postingan dengan label 8. Sejarah Pendidikan Islam. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label 8. Sejarah Pendidikan Islam. Tampilkan semua postingan

Senin, 02 November 2009

Profil Lembaga Pendidikan Islam Ideal Dalam Menjawab Tantangan Zaman

Profil Lembaga Pendidikan Islam Ideal Dalam Menjawab Tantangan Zaman
Muhtarom, S.Pd.I

A. Pendahuluan

Tuntutan perubahan di segala aspek kehidupan, sepertinya tidak bisa ditawar-tawar lagi, perkembangan masyarakat dunia dari waktu ke-waktu terus mendorong kearah perubahan, kita sebagai bagian dari masyarakat dunia tersebut,mau tidak mau dipaksa untuk ikut dalam perubahan itu. Sekarang ini arus globlisasi tidak terhindarkan lagi, era informasi telah berubah wajah dunia menjadi semakin indah. Era ini ditandai denganm cirri-ciri seperti menguasai dan mampu mendayagunakan arus informasi, bersaing terus menerus belajar, dan menguasai kemampuan menggunakan berbagai teknologi.

Kondisi ini selanjutnya akan mempengaruhi dunia pendidikan, yang pada giliranya menjadi tantangan yang harus dijawab oleh dunia pendidikan khususnya Lembaga Pendidikan Islam. Oleh karena itu dalam makalah ini mencoba menjelaskan tentang kajian kritis pendidikan islam dari masa kemasa dan bentuk-bentuk dari tantangan yang dihadapi oleh Lembaga Pendidikan Islam serta upaya dalam menghadapi tantangan itu sehingga pada ahirnya terumus satu konsep desain profile Lembaga Pendidikan Islam ideal dalam menghadapi tantangan zaman tersebut.

B. Kajian Kritis Pendidikan Islam dalam Perspektif Sejarah

Kelahiran pendidikan Islam di mulai dengan dimualinya syiar dakwah Nabi Muhammad SAW, sebab antara dakwah dan pendidikan memiliki keterkaitan yang erat, dimana dalam dakwah ada misi dakwah dan dalam pendidikan ada misi dakwah. Hal inilah yang melatarbelakangi klaim wacana pertumbuhan dan perkembangan pendidikan Islam dalam lintasan sejarah mulai dari masa Nabi, Sahabat dan setersunya.

Pendidikan Islam mempunyai sejarah yang cukup panjang, Pendidikan Islam tumbuh dan berkembang sejalan dengan perkembangan sosial budaya manusia di permukaan bumi itu sendiri. Pada zaman awal perkembangan Islam, tentukan saja pendidikan formal yang sistemais belum terselenggara. Pendidikan yang berlangsung dapat dikatakan informal dan inipun lebih dikaitkan dengan upaya-upaya dakwah islamiyah, penyebaran dan penanaman dasar-dasar kepercayaan dan ibdah Islam[1]

Jika kita ingin melihat dan mengkaji pendidikan Islam dalam perkembangan dan pertumbuhanya paling tidak kita bagi dalam beberapa periode sehingga nanti dapat dilakukan kajian kritis, diantaranya adalah :

Pertama, periode pembinaan pendidikan Islam, yang berlangsung pada zaman nabi Muhammad SAW dan Khulafaurrasyidin

Kedua, periode pertumbuhan pendidikan Islam dan ilmu pengetahuan pada masa khilafah Umayah

Ketiga, perkembangan pendidikan Islam pada masa masa khalifah Abbasiyah

Keempat, periode kumnduran pendidikan Islam, yaitu sejak jatuhnya Baghdad sampai jatuhnya mesir ke tangan Napoleon yang di tandai dengan rutuhnya sendi-sendi kebudayaan Islam danberpindahnya pusat-pusat pengembangan kebudayaan ke dunia barat

Kelima, periode pembaharuan pendidikan Islam yang berlangsung sejak pendudukan mesir oleh Napoleon sampai saat ini yang ditandai dengan kebangkitan kembali ummat dan kebudayaan Islam.

Pendidikan Islam pada masa Nabi berlangsung ketika Muhammad SAW menerima wahyu pertama kalidi gua hira’ di mekkah pada tahun 610 masehi, inti pendidikan Islam di mekkah ditekankan pada pendidikan tauhid dan pengajaran Alqur’an. Sedangkan di Madinah pembinaan pendidikan Islam dikatakan sebagai pendidikan sosial dan politik (dalam arti luas tentunya)

Pendidikan Islam pada masa khulafaurrasyidin terjadi setelah Nabi wafat pada masa itu telah ada pusat-pusat pendidikan Islam yaitu : di kota Mekkah dan Madinah (hijaz), dikota basra dan kufah (irak), kota damsyik dan palestina (syam) dan kota fistat (mesir). Yang kemudian sebelumnya di sebut madarasah.

Pendidikan Islam pada masa Bani Umayah (khilafah umayah) memberikan batu loncatan atau meletakan dasar-dasar bagi kemajuan pendidikan Islam dan pemikiran pada masa pemerintahan khilafah selanjutnya. Pertumbuhan pendidikan atau ilmu pengetahuannya seperti admisnistrasi Negara, penyempurnaan tulisan Alqur’an, penulisan hadist, Madrasah Hasal Albasri, ilmu fiqih, sastra , filsafat dan ilmu eksakta,

Pendidikan Islam mengalami puncak keemasan pada masa khalifah Abbasiyah mengingat banyaknya kontribusi keilmuan yang disumbangkan, karya dan tokoh-tokohnya menjadi inspirasi dalam pengembangan ilmu pengetahuan, hal ini juga ditandai dengan banyak munculnya pusat-pusat pengembangan ilmu pengetahuan.

Dengan mengkaji ini tentunya kita akan mengetahui kelebihan dan kelemahan system pendidikan yang diterapkan. Pola-pola pendidikan pada masa ini tentu sangat perlu kita contoh mengingat yang menjadi motivasi dan latar belakang tumbuh dan berkmbangnya minta ummat Islam untuk menuntut ilmu diawali dengan tuntutan Alqu’ran sendiri sehingga motivasi ini benar-benar menjadi cambuk bagi mereka karna Islam sudah selayaknya memegang peranan penting dalam pengembangan ilmu pengetahuan.

Seiring dengan perjalanan waktu pendidikan Islam dalam masa ini mengalami berbagai kemunduran diantara beberapa faktornya ialah karena factor internal ummat Islam sendiri yaitu pergolakan politik, hal ini selayaknya menjadi inspirasi kita dimasa ini untuk terus berbuat yan terbaik bagi Islam dengan tidak terlalu banyak terlibat dalam konflik politik. Kemudian ada juga factor eksternal mengingat Barat dengan berbagai kekeuatanya yang ada mampu menaklukan bahgdad sehingga membuat kemajuan ilmu pengetahun Islam lenyap.

C. Kajian Kritis Pendidikan Islam Indonesia Dewasa Ini

Memasuk era baru, era kebersatuan ummat manusia (globalisasi) seperti sekarang ini, pendidikan Islam dihadapkan kepada berbagai macam persoalan yang semakin berat. Sementara diahadapanya, dunia sosial (masyarakat) sedang diterpa krisis moralitas melalui media massa dan elektronik dapat diperoleh informasi mengenai berbagai gejala dekadensi moral yang ahir-ahir ini sering terjadi, khususnya dikota-kota besar.

Kondisi yang sama melalui gejala itu juga terjadi dalam dunia pendidikan, yang ditandai dengan maraknya tawuran, kekerasan antar pelajar, bahkan penyalahgunaan obat-obat terlarang[2]. Kecendrungan tersebut tampaknya merupakan fenomena yang terkait dengan ketidak mampuan lembaga pendidikan dalam memperkuat kelembagaan dan nilai-niali Islam bagi kehidupan individu dan sosial.

Ketidak mampuan pendidikan dalam menciptakan tatanan hubungan sosial yang kuat antar warga sekolah dan masyarakat menyebabkan mereka hidup seperti liar tidak memiliki ikatan organic yang mantap. Sementara ikatan-ikatan tradisional dalam bentuk kekerabatan dan kekeluargaan telah terporak-poranda diterpa arus globalisasi yang cepat dan fundamental. Akibatnya manusia mengalami keterasingan, yang makin lama, makin mendorongnya kepada hilangnya orientasi kemanusiaan.

Situai ini telah berlangsung lama dirasakan masyarakat sebagai dampak globalisasi yang terus menyeruak ke berbagai segi kehidupan. Kini masyarakat Indoensiua sedang memasuki zaman baru, zaman globalisasi dimana persaingan antar bangsa dalam suasana perekonomian pasar bebas, dan perekonomian dunia semakin melebar dengan berbagai konsekwensinya. Kehidupan terhadap tatanan hubungan sosial yang bersifat organic mulai dirasakan.

D. Lembaga Pendidikan Yang Menghasilkan SDM Yang Mampu Menghadapi Tantangan Zaman

Tantang lembaga pendidikan sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, menurut Cece Wijaya dapat di lukiskan sebagai perubahan masyarakat dibidang sosial, ekonomi, budaya, ilmu pengetahuan, dan teknologi yang berpengaruh terhadap system pendidikan yang sedang berjalan[3]. Pengaruh tersebut menuntut lembaga pendidikan untuk mampu menyesuaikanya dengan upaya pembaharuan dengan upaya pembaharuan pendidikan dan pengajaran yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Berikut akan dijelaskan bentuk- bentuk tantangan tersebut:

1. Tantangan di Bidang Politik

Dalam kehidupan politik, tentu politik kenegaraan banyak berkaitan dengan masalah bagaimana lembaga itu membimbing, mengarahkan dan mengembangkan kehidupan bangsa dalam jangka panjang. Pengarahan tersebut didasarkan atas falsafah Negara yang mengikat semua sector perkembangan bangsa dalam proses pencapaian tujuan Negara yang mengikat atau tujuan nasional itu. Dengan kata lain lembaga pendidikan yang ada di dalam wilayah suatu Negara adalah merupakan sector perkembangan kehidupan budaya bangsa yang commited (terikat) denga tujuan perjuangan nasional yang berlandaskan pada falsafah negaranya. Oleh karena itu, maka suatu lembaga pendidikan yang tidak tersedia mengikuti politik negaranya, akan merasakan bahwa politik tersebut menjadi pressure ( tekanan ) terhadap cita kelembagaan tersebut. Sudah barang tentu hal ini merupakan tantangan yang perlu dijawab secara ” politics fundamental” pula. Karena hal tersebut menyangkut kepentingan perkembangan bangsa dimasa depan dan dalam maknanya bagi pemeliharaan watak dan kepribadian, kreatifitas dan disiplin bangsa itu sendiri[4].

Jadi lembaga pendidkan Islam harus menghadapi tantangan ini dengan objektif, artinya lembaga pendidikan Islam mau takamau harus mengikuiti prosedur-prosedur yang telah ditetapkan oleh pemerintah di dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas) demi mencapai tujuan perjuangan nasional bangsa yaitu dengan cara terlibat aktif dalam perumusan kepeutusan yang berhuungan dengan kepentingan kependidikan, misalnya dalam perumusan UU Sisdiknas tersebut.

2. Tantangan di Bidang Kebudayaan

Kebudayaan yaitu hasil budi daya manusia baikbersifat material maupun mental spiritual dari bangsa itu sendiri atau bangsa lain. Satuaperkembangan kebudayaan dalamabad modern ini adalah tidak dapat terhindar dari pengaruh kebudayaan bangsa lain. Kondisi demikian menyebabkan timbulnya proses akulturasi (perpaduan atau saling berbaurnya antara kebudayaan yang satu dengan yang lain ), dimana factor nilai mendasari kebudayaan sendiri sangat menentukan survive (daya tahan) bangsa tersebut. Bila mana nilai-nilai cultural bangsa itu melemah karena berbagai sebab, maka bangsa itu akan mudah terperangkap atau terteln oleh kebudayaan lain yang memasukinya, sehingga adientitas kebudayaan bangsa itu sendiri akan lenyap.

Sikap selektif dalam menerima atau menolak kebudayaan asing perlu dilandasi dengan penganalisaan mendalam yang bersumberkan dari pandangan hidupnya sendiri baik sebagai institusi maupun sebagai bangsa. Sikap selektif pada hakikatnya bukanlah sikap-sikap menyerah atau sikap netral, melainkan sikap kreatif yang hati-hati berdasarkan atas pertimbangan untung rugi bagi perkembanganya lebih lanjut. Oleh karena itu memerlukan pengetahuan yang mendalam dan wawasan yang menjangkau kemasa depan bagi eksistensi hidupnya. Diantara budaya asing yang mempengaruhi kebudayaan bangsa ini adalah trend sex bebas. Ini merupakan tantangan besar bagi lembaga pendidikan Islam untuk membentengi anak-anak bangsa dari pengaruh negaatif yang diakibatkan oleh kebudayaan tersebut. Karena kalau tidak, nilai-nilai cultural bangsa ini akan terancam pudar dan akan musnah seiring berlalunya waktu.

3. Bidang Ilmu Pengetahuan dan Teknologi

Melinium ketiga dengan ciri-ciri dimana diantara manusia satud engan yang lain berbeda keadaan geografis, budaya, nilai0nilai, bahasa dan sebagaimnya sudah dapat disatukan melalui teknologi komunikasi, seperti: telepon, computer, faximily dan sebagainya.melalui berbagai peralatan tersebut, manusia bersamaan. Era informasi yang akan dating menyebabkan lingkungan sosial semakin luas karean disatukan oleh teknologi dibidang komunikasi yang memunculkan era globalisasi.[5]

Collin Rose dalam bukunya accelerated learning menggambarkan wajah masa depan sebagai dunia yang berubah dengan laju semakin kencang; problem kehidupan, masyarakat dan perekonomian menjadi sangat komplek, jenis0jenis pekerjaan menghilang dengan cepat tak terbayangkan dan masa lalu yang semakin tidak dapat dijadikan pedoman bagi masa depan[6].

Kehadiran alat-alat canggih seperti, radio, televise, computer dan alat-alat elektronik lainya akan akan berpengaruh terhadap proses pembelajaran. Alat canggih ini akan membawa tantangan bagi pendidikan dalam pengmbangan sumber daya manusia. Dan umunya alat-alat teknologi ini diciptakan untu mempermudah manusia bekerja dan berbuat serta dapat memberikan rasa senang kepada pemaikainya[7].

Bentuk lain dari kecanggihan teknologi informasi sekarang adalah internet. Internet merupakan sebuah koleksi golabl dari ribuan jaringan yang dikelola secara bebas. Internet menjadi popular karena merupakan media yang tepat untuk memperoleh informasi terkini dengan berbagai variasinya secara cepat dan mudah

Internet sangat populer khususnya dikalangan muda, selain mudah untuk digunakan siapa saja, internet dapat menjadi ajang gaul yang murah, tempat mencari informasi pendidikan dnlowongan kerja yang up to date, khususnya dibidang pendiidkan, internet menawarkan berbagai manfaat,diantaranya ketersediaan informasi yang up to date yang telah mendorong perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang terjadi diberbagai belahan dunia.[8] Ini merupakan tantangan bagi kita semua untuk mengembangkan keterampilan-keterampilan yang tepat untuk menguasai kekutan kecepatan, kompleksitas dan ketidak pastian. Kecepatan dunia berubah menuntut dan mensyatatkan kemampuan belajar yang cepat pula sehingga mampu menganalisa setiap situasi secara logis dan memecahkan dunia berubah menuntut dan mensyaratkan kemampuan belajar yang cepat, sehingga mampu menganalisa setiap situasi logis dan memecahkan masalah secara kreatif.

Kemajuan dibidang tenologi ini pada ahirnya akan berpengruh pada kejiwaan dan kepribadian masyarakat. Pada era informasi yang sanggup bertahan hanyalah mereka yang berorientasi kedepan, yang mampu mengubah pengetahuan menjadi kebijakan. Oleh karena itu dunia pendidikan Islam dimasa sekaranh benar-benar dihadapkan pada tantangan yang cukup berat, untuk mengantisipasinya maka dilakukan upaya strategis antara lain, tujuan pendidi8kan dimasa sekarang tidak cukup hanya dengan memberikan bekal pengethauan keterampilan, keimanan dan ketakwaan saja. Tetapi juga harus diarahkan pada upaya melahirkan manusia yang kreatif, inovatif, mandiri dan produktif mengingat dunia yang akan dating adalah dunia yang kompetitif (dunia yang penuh persaingan)

Menurut Sailing Wen salah seorang usahawan teknologi di Taiwan mengatakan yang dihadapi dunia pendidikan sekarangini adalah revolusi dalam belajar di zaman ini, zaman internet harus menyesuaikan diri dan berubah kalau tidak tidak akan tinggal sejarah[9]. Dan tidak menutup kemungkinan lembaga pendidikan Islam akan menjadi bagian dari sejarah tersebut, kalau tidak mulai membenahi system yang ada, serta bergerak menuju penguasa ilmu pengetahuan dan teknologi modern sehingga mampu bersaing di era globalisasi sekarang ini.

4. Tantangan di Bidang Ekonomi

Ekonomi merupakan tulang punggung dari kehidupan bangsa yang dapat menetukan maju mundurnya, lemah-kuatnya, lambat cepatnya suatu proses perkembangan system pendidikan dalam masyarakat bangsa. Oleh karena itu kehidupaan ekonomi suatu bangsa hanya mempengaruhi pertumbuhan lembaga pendidikan. Bahkan juga mempengaruhi system kependidikan apa yang diberlakukan serta kelembagaan kependidikan yang bagaimana dapat menunjang ataupun mengembangkan system ekonomi yang di inginkan.

Bila dilihat dari sector ini, maka problem-problem kehidupa ekonomi perlu dijawab oleh lembaga-lembag pendidikan. Apabila diingat bahwa hasil pendidikan adalah sama prosesnya dengan hasil produksinya tenaga ahli. Maka uykuran ekonomi bagi suatu lembaga penbdidikan yang demikian itu adalah suatu hal yang terlalu alistis dan pragmatis. Namun dalam bidang inilah saat ini banyak memberikan tantangan kepada lembaga pendidikan kita. Jawaban yang diberikan oleh lembaga kependidikan antara laian tercermin dalam system kependidikan serta kurikulum atau program kependidikan yang ditetapkan.

5. Tantangan di Bidang Kemasyarakatan

Kemasyarakatan adalah merupakan suatu lapangan hidup manusia yang mengandung ide-ide yang sangat laten terhadap pengaruh kebudayaan, ilmu pengetahuan dan teknologi, sebagai system kehidupan kemasyarakatan adalah tidak statsi dan tidak bebas beku, kecendrungan ke arah perkembangan dinamis yang mengandung implikasi perubahan-perubahan yang biasa dikenal sebagai perubahan sosial.

Perubahan-peribahan sosial yang ada dimasyarakat adalah suatu hal yang pasti dan tidak terhindarkan lagi. Misalnya pada era agricultural kekuatan ekonomi terletak pada kepemilikan tanah atau sumber daya alam. Kemudian setelah itu beralih ke era industrial, dimana kekuatan ekonomi terletak pada kemampuan memiliki modal dan alat produksi dan sekarang kit telah memasuki era globalisai atau era informasi. Pada era ini kekuatan ekonomi seorang terletak pada kepemilikan terhadapa informasi seorang yang memiliki informasi akan lebih memiliki peluang dari pada yang tidak tahu informasi.[10]

Dari perubahan yang terjadi pada masyarakat terutama pada era iinformasi sekarang tentu ada dampak yang ditimbulkan, baik itu dampak positif maupun negative. Menurut arifin dalam bukunya kapita selekta pendidikan mengemukakan manfaat positif yang dapat diambil dari kecanggihan teknologi informasi ini adalah dapat memepermudah semua kegiatan menusia, sedangkan dampak negatifnya adalah melemahnya fungsi daya mental-spritual jiwa yang sedang timbul dan berkembang seperti kecerdasan pikiran ingatan kemauan dan perasaan[11].

Inilah problema yang dihadapi oleh masyarakat yang harus dipecahkan oleh lembaga pendidikan Islam. lembaga pendidikan sebagai agent of change bertugas menetralisir dampak-damapk negative yang ditimbulkan olehkemajuan teknologi tersebut. Selain itu lembaga pendidkan Islam juga bertugas sebagai pemberi arah yang jelas terhadap perubahan yang ada di masyarakat, karena perubahan yang terjadi dalam system kehidupan sosial seringkali mengalami ketidakpastian tujuan.



6. Tantangan di Bidang Sistem Nilai

System nilai adalah tumpuan norma-norma yang dipegangi oleh manusia ebagai mahkluk individu dan sebagai mahkluk sosial, baik itu berupa norma transional maupun norma agama yang telah berkembang dalam masyarakat. System nilai juga dijadikan tolak ukur bagi tingkah laku manusia dalam masyarakat yang mengandung potensi mengendalikan, mengatur dan mengarahkan perkembangan masyarakat itu sendiri. Bahkan juga mengandung potensi rohaniah yang melestariakan eksisitensi masyarakat itu. Namun demikian, system nilai tersebut bukanya tidak dapat mengalami perubahan. Terutama diakibatkan oleh kemajuan befikir manusia itu sendiri maupaun desakan dari system nilai yang dianggap lebih baik. Diseluruh dunia, saat ini sedang dilanda perubahan sistim nilai tradisional yang ada. Hal ini disebabkan oleh budaya matrealistis yang mendidik masyarakat menilai sesuatu dari nilai materinya. Sesuatu dianggap berharga kalau mengandung nilai-nilai materi, yang pada giliranya akan melahirkan paham komunis.

Inilah yang menjadi titik sentral problem yang menjadi tantangan terhadap lembaga pendidikan, yang salah satu fungsinya adalah mengawetkan system nilai yang berkembang dalam masyarakat. Sehingga akulturasi budaya asing tidak menenggelamkan nilai0nilai cultural bangsa ini. Oleh, karena itu lembaga pendidikan perlu memberikan jawaban-jawaban yang tepat, sehingga kecendrungan dan sikap berfikir msyarakat tidak terombang-ambing tanpa arah yang jelas.

- SDM

Pendidikan Islam mengarahkan kepada pengembangan bakat-bakat manusia dan membangkitkan nilai-nilai kebajikan yang mulia dalam dirinya. Tujuan ini merupakan pondasi utama tempat dibangunya kepribadian manusia, masyarakat dan perdaban Islam. Oleh karena itu dalam pandangan Islam seperangkat system pendidikan yang konstruktif dan perwujudunya melui orang tua, guru, lembaga pendidikan, Negara dan para pembaharu sosial Islam memiliki arti yang sangat penting.

Ada beberapa point tujuan pendidikan Islam yang berkenaan dengan pembentukan sumber daya manusia yang berkualitas, yaitu :

Pendidikan islam bertujuan untuk mengembngkan sumberdaya manusia untuk dimanfaatkan bagi kemaslahatan umat manusia. Selanjutnya yaitu untuk menuntun manusia kearah metode berfikir ilmiah serta penguasaaan ileum pengetahuan. Membantu anak-anak sera kaum muda memberi mereka semangat menuntut ilmu, keahlian dan spesialisasi dalam berbagai bidang.[12]

Dari pernyataan diatas, kita dapat menyimpulkan bahwa sumber daya manusia yang berkualitas mustahil akan terwujud tanpa adanya peran pendidikan Islam, dan untuk itu semua diperlukan suatu pendidikan Islam yang tepat.

Begitu pun sebaliknya system pendidikan Islam yang baik dan tepat serta universal sesuai dengan keinginan ummat Islam dan umat manusia pada umumnya tidak akan tercipta tanpa adanya kepedulian dari pad intelektula muda islam yang berkualitas dan tangguh dalam memperjuangkan kemaslahatan ummat Islam.

Cukup beralasan jika kita katakan bahwa lembaga pendidikan Islam belum siap memasuki era mellinium ketiga, jika tidak segera berbenah diri di era ii akan menjadi medan kematian bagi lembaga pendidikan Islam. Untuk itu setidaknya ada empat jenis strategi yang harus ditawarkan dalam upaya menjadikan lembaga pendidikan Islam yang kuat tanpa harus kehilangan jati diriya sehingga mampu mencetak sumber daya manusia yang berkualitas. Kempat strategi itu adalah :

1. Strategi Substantive

Lembaga pendidikan Islam perlu menyajikan program-program yang kompetitif. Dilihat dari metode penyajianya, program-program tersebut menyentuh tiga aspek pembelajaran, yaitu kognitif (pemahaman), afektif ( penerimaan/sikap) dan psikomotorik (pengalaman). Jika mengacu pada konsep dasar pendidikan oleh UNESCO, proses pembelajaran di Lembaga Pendidikan Islam harus dapat membantu peserta didik memiliki lima kemmpuan, yaitu to know (meraih pengetahuan) , to do (berbuat sesuatu), to be (menjadi diri sendiri), to live together (hidup berdampingan), to know god’s creation (mengenal ciptaan Tuhan). Bila semua aspek dan kemampuan ini disajikan secara terpadu, maka para lulusan Lembaga Pendidikan Islam diharapkan memiliki keseimbangan antara kualitas ilmu/intelektual, iman dan amal/akhlak.

2. Strategi bottom-up

Hal ini berarti bahwa Lembaga Pendidikan Islam harus tumbuh dari bawah. Konsep dan desaigne program serta struktur kelembagaan pendidikan Islam harus disesuaikan dengan potensi, situasi dan aspirasi masyarakat. Strategi ini diperlukan agar Lembaga Pendidikan Islam tidak terkesan miliki suatu rezim, Departemen Agama atau pengurus yayasan yang mengelolanya, tetapi milik masyarakat lingkunganya. Masyarakat perlu dilibatkan agar memiliki concern (kepedulian), sense of belonging (rasa memiliki) dan sense of responsibility (rasa turut bertanggung jawab) terhadap keberadaan Lembaga Pendidikan Islam di lingkungan mereka.

3. Strategi deregulatory

Lembaga Pendidikan Islam sedapat mungkin tidak terlalu terikat pada ketentuan-ketentuan baku yang terlalu sentralistik dan mengikat. Agar tidak terkesan liar atau anarkis, diperlukan kebijaksanaan khusus dari jajaran Departemen Agama atau pemerintah daerah, agar Lembaga Pendidikan Islam bebas berkreasi dan berimpropisasi, sehingga dapat mengembangkan program-program yang sesuai dengan sifat-sifat khusus yang dimilikinya.

Lembaga Pendidikan Islam perlu di beri peluang yang seluas-luasnya untuk mendesaigne kurikulum, khususnya kurikulum local, mengembangkan sumber belajar, merekrut tenaga pengajar, terutama tenaga pengajar luar biasa dan mengembangkan organisasi sekolah sesuai kebutuhan

4. Strategi cooperative[13]

Lembaga Pendidikan Islam perlu mengembangkan jaringan baik antara sesame Lembaga Pendidikan Islam maupun dengan Lembaga Pendidikan lain. Disamping itu, Lembaga Pendidikan Islam memerlukan semangat kepeloporan dan kerjasama saling menguntungkan dengan semua unsure dalam masyarakat.

Stragei dan profile lembaga-lembaga pendidikan Islam ini penulis kaji secara universal dan integratif, penulis berpandangan profile lembaga pendidikan Islam ideal kedepan tidak dilihat secara fisik (labelisasi) saja tetapi lebih kepada substansi dan esensi. Dengan demikian konsep ini bisa dipakai dan di aplikasikan kepada lembaga pendidikan Islam yang sudah ada saat ini, sehingga perwujudan tujuan pendidikan yang berahir pada out put sumber daya manusia berkulaitas dapat terpenuhi.

D. Simpulan

Dari kajian strategis ini ada beberapa poin penting yang menjadi simpulan ahir yaitu :

1. Kajian kritis pendidikan Islam secara hostoris khususnya pada masa-masa awal pertumbuhan dimulai pada masa Nabi, Khulafaurasyidin, Khalifah Umayah, Khalifah Abbasiyah ditujukan untuk mencari akar kelebihan dan kelemahan system pendidikan yang diterapkan pada saat itu sehingga diketahui titik mana yang harus dipertahankan dan titik mana yang harus dirubah sehingga dapat menjadi refleksi menuju pengembangan pendidikan Islam saat ini

2. Pendidikan Islam saat ini tengah mengalami berbagai macam persolan, sehingga Pendidikan Islam diklaim saat ini mengalami kemunduran, dan lebih tragis lagi belum bampu menjawab tantangan zaman. Problem ini mendorong seluruh stekhholder pendidikan Islam saat ini untuk mencari solusi alternative pengmbangan dan pembaharuan kearah perbaiakan sehingga tetap survive menghadapi tantangan zaman.

3. Tantangan-tantangan yang dihadapi pendidikan Islam saat ini adalah antara lain : bidang politik, budaya, ekonomi, kemsyarakatan ,sistim nilai, ilmu pengetahuan dan teknologi. Tantangan ini menjadi salah satu landasan filosofis pengembangan Pendidikan Islam menju kearah peningkatan kualitas SDM melalui Rekontruksi kelembagaan pendidikan Islam

4. Upaya peningkatan kualitas SDM dilakukan dengan strtegi cooperative, deregulatory, bottom-up, Substantive.





Daftar Pusataka



Arifin,HM. Kapita Selekta Pendidikan Islam, Jakarta, Bumi Aksara, 1995



…………., Kapita Selekta Pendidikan ( Islam dan Umum ) , Jakarta, Bumi Aksara, 2000

Azra, Azyumardi, Pendidikan Islam; Tradisi Dan Modernisasi Menuju Meilenium Baru, Jakarta, Logos Wacana Ilmu, 2002

Djuwaeli, M. Irsyad, Pembaharuan Kembali Pendidikan Islam, Jakarta, Karsa Utama Mandiri, 1998

Hawi, Akmal Kapita Slekta Pendidikan Islam, palembang, IAIN Raden Fatah Press, 2005

Oetomo, Budi Sutedjo Dharmo, e-education (Konsep, Teknologi Dan Aplikasi Internet Pendidikan), Yogyakarta, 2002

Magazine, Mahjub, Pendidikan Anak Sejak Dini Hingga Masa Depan, Jakarta, Firdaus, 1992

Nata ,Abudin, Paradigma Pendidikan Islam, Jakarta, Gramedia, 2001



Rose , Collin & Malcom J. Nicholl, Cara Belajar Cepat Abad Xxi, Bandung, 2002,

Wen, Sayling, Future Of Education (Masa Depan Pendidikan), Batam, Lucky Publisher, 2003

Wijaya, Cece, Pendidikan Remedial Sarana Pengembangan Mutu Sumber Daya Masnusia, Bandung, Remaja Rosdakarya, 1999





Tantangan – tantangan lembaga pendidikan di atas mengandung implikasi bahwa lembaga pendidikan Islam mempunyai peran ganda yakni :

1. sebagai pewaris budaya ( agent of conservative )

Pendidikan islam mengarah kepada pengembangan bakat-bakat manusia dan membangkitkan nilai-nilai kebajikan yang mulia dalam dirinya.tujuan ini merupakan pondasi utama tempat dibangunnya kepribadian manusia,masyarakat dan peradaban islam.oleh karena itu,dalam pandangan islam,seperangkat system pendidikan yang konstruktif dan perwujudannya melalui orang tua,guru,lembaga pendidikan,Negara dan para pembaharu sosial islam memiliki arti yang sangat penting.

Ada beberapa point tujuan pendidikan islam yang berkenaan dengan pembentukan sumber daya manusia yang berkualitas ,yaitu :

“pendidikan islam bertujuan untuk mengembangkan sumber daya manusia untuk di manfaatkan bagi kemaslahatan umat manusia.selanjutnya yaitu untuk menuntun manusia kearah metode berfikir ilmiah serta penguasaan ilmu pengetahuan.membantu anak-anak serta kaum muda memberi mereka semangat menuntut ilmu,keahlian dan spesialisasi dalam berbagai bidang”(mahjubah magazine,1992:10)

Dari pernyataan diatas,kita dapat menyimpulkan bahwa sumber daya manusia yang berkualitas mustahil akan terwujud tanpa adanya peran pendidikan islam.dan untuk itu semua diperlukan suatu pendidikan islam yang tepat

begitu pula sebaliknya,system pendidikan islam yang baik dan tepat serta universal sesuai dengan keinginan umat islam dan umat manusia pada umumnya tidak akan tercipta tanpa adanya kepedulian daripada intelektual muda islam yang berkualitas dan tangguh dalam memperjuangkan kemaslahatan umat islam.

[1] Azyumardi Azra, Pendidikan Islam; Tradisi Dan Modernisasi Menuju Meilenium Baru, Jakarta, Logos Wacana Ilmu, 2002, hlm.vi

[2] M. Irsyad Djuwaeli, Pembaharuan Kembali Pendidikan Islam, Jakarta, Karsa Utama Mandiri, 1998, hlm. 66

[3] Cece Wijaya , Pendidikan Remedial Sarana Pengembangan Mutu Sumber Daya Masnusia, Bandung, Remaja Rosdakarya, 1999, hlm. 38

[4] HM. Arifin, Kapita Selekta Pendidikan ( Islam dan Umum ) , Jakarta, Bumi Aksara, 2000, hlm. 41

[5] Abudin Nata, Paradigma Pendidikan Islam, Jakarta, Gramedia, 2001, 144-145

[6] Collin Rose & Malcom J. Nicholl,Cara Belajar Cepat Abad Xxi, Bandung, 2002, hlm. 11

[7] HM.Arifin, op.cit. hlm 35-36

[8] Budi Sutedjo Dharmo Oetomo, e-education (Konsep, Teknologi Dan Aplikasi Internet Pendidikan), Yogyakarta, 2002, hlm. 11-12 s

[9] Sayling Wen, Future Of Education (Masa Depan Pendidikan), Batam, Lucky Publisher, 2003, 63

[10] Abudin Nata, op.cit, hlm. 145

[11] HM. Arifin, Kapita Selekta Pendidikan Islam, Jakarta, Bumi Aksara, 1995, hlm. 8



[12] Mahjub Magazine, Pendidikan Anak Sejak Dini Hingga Masa Depan, Jakarta, Firdaus, 1992, hlm.10

[13] Akmal Hawi, Kapita Slekta Pendidikan Islam, palembang, IAIN Raden Fatah Press, 2005, hlm. 31-31

Karakteristik dan Ciri Khusus Lembaga Pendidikan Islam di Indonesia

KARAKTERISTIK DAN CIRI KHUSUS LEMBAGA PENDIDIKAN ISLAM DI INDONESIA

Muhtarom, S.Pd.I


A. PENDAHULUAN

Sebagaimana kita tahu bahwa sejarah perkembangan dan pertumbuhan pendidikan Islam di Indonesia antara lain ditandai oleh adanya lembaga-lembaga pendidikan Islam yang amat bervariasi, namun antara satu dan yang lainya memiliki hubungan subtansial dan fungsional. Dinamika pertumbuhan dan perkembaanga lembaga-lembaga pendidikan Islam tersebut selain dipengaruhi oleh factor internal dari para pendirinya, juga tidak lepas dari pengaruh eksternal yang bersifat global. Kedua pengaruh ini satu dan yang lainya secara akumulatif berpadu menjadi satu dan menghasilkan bentuk dan corak dari lembaga pendidikan yang bersangkutan.

Menurut Azyumardi Azra ada beberapa lembaga pendidikan Islam yang bersifat tradisional diantaranya surau, langgar, meunasah, madrasah dan pesantren ada juga perguruan tinggi dan madrasah yang sifatnya unggulan[1], dengan demikian apa saja yang menjadi karakteristik dan cirri khusus lembaga pendidikan Islam tersebut ? dalam makalah ini penulis mencoba akan menguraikanya sesuai dengan porsi masing-masing. Namun penulis secara komprehensif akan banyak memfokuskan bahasan pada lembaga pendidikan Islam pesantren, mengingat lembaga ini sampai saat ini tetap eksis dengan berbagai corak ragam dan perkembanganya.

B. LEMBAGA PENDIDIKAN ISLAM

Wacana kelembagaan pendidikan Islam khususnya pada masa-masa awal merupakan persoalan yang sangat menarik untuk dikaji, hal ini setidaknya disebabkan oleh empat factor. Pertama, lembaga pendidikan merupakan sarana yang strategis bagi proses terjadinya transformasi nilai dan budaya pada suatu komunitas social. Kedua, pelacakan eksistensi lembaga pendidikan Islam tidak bisa dilepaskan dari proses masuknya Islam Ketiga, kemunculan lembaga pendidikan Islam dalam sebuah komunitas, tidak mengalami ruang hampa, tetapi senantiasa dinamis, baik dari fungsi maupun system pembelajaranya. Keempat kehadiran lembaga pendidikan Islam telah memberikan spectrum tersendiri dalam membuka wawasan dan dinamika intelektual Islam[2].

Perkembangan pendidikan Islam di Indonesia antara lain juga ditandai oleh munculnya berbagai lembaga pendidikan secara bertahap, mulai dari yang amat sederhana sampai dengan yang sudah terhitung modern dan lengkap. Lembaga-lembaga pendidikan Islam tersebut telah memainkan fungsi dan peranya sesuai dengan tuntutan masyarakat pada zamanya. Perkembangan lembaga-lembaga pendidikan tersebut selanjutnya menarik perhatian para ahli baik dari dalam maupun luar negeri untuk melakukan study ilmiah secra komprehensif. Kini sudah banyak hasil karya peneliti para ahli yang menginformasikan tentang pertumbuhan dan perkembangan lembaga-lembaga pendidikan Islam tersebut. Tujuanya selain untuk memperkaya khazanah ilmu pengetahuan yang bernuansa keislaman, juga sebagai bahan rujukan dan perbandingan bagi para pengelola pendidikan Islam pada masa-masa berikutnya, hal ini sejalan dengan prinsip yang umumnya dianut masyarakat Islam Indonesia, yaitu mempertahankan tradisi masa lampau yang masih baik dan mengambil tradisi baru yang lebih baik lagi.

Pendidikan Islam secara kelembagaan tampak dalam berbagai bentuk yang bervariasi. Disamping lembaga yang bersifat umum seperti masjid, terdapat lembaga-lembaga lain yang mencerminkan kekhasan orientasinya. Pada abad ke-4 dikenal beberapa system pendidikan (madaris at-tarbiyah) Islam[3]. Dalam lintas sejarah kita mengenal beberapa lembaga pendidikan Islam di Indonesia antaranya meunasah, dayah, rangkang, surau, pesantren dan madrasah. Lembaga-lembaga pendidika ini disamping sebagai pusat pengembangan ilmu pengetahuan Islam juga merupakan potensi dasar ummat Islam Indonesia mengingat ini adalah khazanah bangsa dan akan menjadi salah satu katalisator menuju kebangkitan peradaban Islam.

C. KARAKTERISTIK DAN CIRI KHUSUS PENDIDIKAN ISLAM

1. Ciri Menonjol Dari Seluruh LPI

Seluruh tujuan lembaga pendidikan Islam yang paling menonjol adalah pewarisan nilai-nilai ajaran agama Islam. Hal ini sangat beralasan mengingat aspek-aspek kurikulum yang ada menyajikan seluruhnya memasukan mata pelajaran agama Islam secara komprehensif dan terpadu (walaupun di sekolah-sekolah umum dipelajari juga mata pelajaran agama Islam tetapi tidak komprehensif dan mendalam) sementara di lembaga-lembaga pendidikan Islam kurikulum pendidikan agama Islam menjadi kosentrasi dan titik tekan. .

2. Pesantren ( Salaf dan Modern )

รจ Pesantren Tradisional ( Salaf )

Untuk mengetahui karakteristik pendidikan pesantren salaf atau tradisional, maka dapat di lacak dari berbagai segi diantaranya adalah sebagaiberikut :

a. Materi pelajaran dan metode pengajaran

Sebagai lembaga pendidikan Islam, pesantren pada pada dasarnya hanya mengajarkan agama, sedangkan sumber kajian atau mata pelajaranya ialah kitab-kitab dalam bahasa Arab. Pelajaran agama yang dikaji di pesantren ialah Al-Qur’an dengan tajwidnya dan tafsinya, aqa’id dan ilmu kalam, fiqh dan ushul fiqh, hadis dengan mushthalah hadis, bahasa Arab dengan ilmu alatnya seperti nahwu, sharaf, bayan, ma’ani, badi’ dan ’arudh, tarikh, mantiq, dan tasawuf. kitab yang dikaji di pesantern umumnya kitap-kitap yang ditulis dalam abad pertengahan, yaitu antara abad ke-12 sampai abad ke-15 atau azim disebut dengan “kitap kuning”[4].

Adapun metode yang lazim dipergukan dalam pendidikan pesantern ialah wetonan, sorogan, dan hafalan. Metode wetonan adalah metode kuliah di mana para santri mengikuti pelajaran dengan duduk di sekeliling kiai yang menerang pelajaran. Santri menyimak kitap masing-masing dan mencatat jika perlu. Iistilah weton berasal dari kata waktu (jawa) yang berarti waktu karena pengajian tersebut diberikan pada waktu-waktu tertentu, yaitu sebelum dan sesudah melakukan shalat fardu (lima waktu). Di Jawa Barat, metode ini dusebut dengan bandongan; sedangkan disumatra disebut dengan halaqah, yaitu belajar secara kelompok (group) yang di ikuti oleh santri. Biiasanya kiai mengunakan bahasa daerah setempat dan langsung menerjemahkan kalimat demi kalimat dari kitab yang di pelajarinya.

Metode serogan ialah suatau metode dimana santri menghadap guru atau kiai seoarang demi seorang dengan membawa kitap yang dipelajari. Kiai membacakan dan menerjemahkan kalimat demi kalimat; kemudian menerangkan maksudnya santri mmenyimak bacaan kiai dan mengulanginya sampai memahaminya, kemudian kiai mengesahkan (jawa:ngesahi), jika santri sudah benar-benar mengerti, dengan memberiikan catatan pada kitabnya untuk mensahkan bahwa ilmu itu telah diberikan kiai kepadanya. Istilah sorogan berasal dari kata sorog ( jawa ) yang berarti menyodorkan kitab kedepan kiai atau asistenya. Pengajian dengan metode ini merupakan pelimpahan nilai- nilai sebagai proses delivery of culture di pesantren dengan istilah tutorship atau mentorship. Menurut Dhofier[5], metode sorogan ini merupakn bagian yang paling sulit dari keseluruhan metode pendidikan Islam tradisional; sebab system ini menuntut kesabaran, kerajianan, ketaatan, dan disiplin pribadi santri. Kendatipun demikian,” metode seperti ini diakui paling intensif, karena dilakukan seorang demi seorang dan ada kesempatan untuk tanya jawab langsung”.[6]

Metode hafalan ialah suatu metode dimana santri menghafal teks atau kalimat tertentu dari kitab yang di pelajarinya. Biasanya cara menghafal ini dijarkan dalam bentuk syair atau nazham. Dengan cara ini memudahkan santri untuk menghafal, baik ketika sedang belajar muapun disaat berada di luar jam belajar. Kebiasaan menghafal, merupakan tradisi yang sudah berlangsung sejak awal berdirinya. Hafalan tidak saja terbatas pada ayat- ayat Al- Qur’an dan hadits ataupun nazham tetapi juga isi atau teks kitab tertentu. Karena itu pula, oleh sebagian kiai diajarkan kitab kepada santrinya tidak sekaligus tetapi secara berangsur – angsur ( gradual ), kalimat demi kalimat sehingga santrinya mengerti benar apa yang diajarkannya. Dalam kaitan ini, oleh Deliar Noer disebutkan bahwa pengajian seperti itu merupakan pola lama dimana kiai tidak ingin santrinya lebih pandai padanya.

Dari pernyataan diatas tampak bahwa metode hafalan mengandung sisi kelemahan, antara lain santri cenderung mengikuti apa saja yang dikatakan oleh kiainya, tanpa ada penalaran dan analisis yang cermat. Tradisi ini tentu saja dapat di berlakukan untuk seluruh pesantren dan kiai. Kasus diatas merupakan pengecualian. Namuan, pesantren tradisional sampai sekarang masih menggunakan ketiga metode tersebut dalam system pengajaranya. Dengan begitu pesantren masih mempertahankan keunikanya.





b. Jenjang pendidikan

Jenjang pendidikan pesantren tidak dibatasi seperti dalam lembaga- lembaga pendidikan yang memakai system klasikal. Umumnya, kenaikan tingkat seorang santri ditandai dengan tamat dan bergantinya kitab yang dipelajarinya. Apabila seorang santri telah menguasai satu kitab atau beberapa kitab dan telah lulus imtihan ( ujian ) yang diuji oleh kiainya, maka ia berpindah ke kitab lain. Jadi, jenjang pendidikan tidak ditandai dengan naiknya kelas seperti dalam pendidikan formal, tetapi pada penguasaan kitab- kitab yang telah di tetapkan dari yang paling rendah sampai yang paling tinggi[7].

Diantara para santri ada yang mendalami secara khusus salah satu fan (cabang ilmu), misalnya ilmu hadis atau tafsir. Dijawa, misalnya, seorang santri untuk memperoleh spesialisasi, selain mendatangi seorang kiai besar juga harus memilih pesantren memiliki keunikan; dan dengan begitu menjadi karakteristiknya. Misalnya, untuk mendapat ijazah fath al- wahab dan mahalli, seorang santri harus pergi kepesantren kiai Ma’sum Lasem; untuk Tafsir Baidhawi mengaji pada kiai Baidhawi juga di Lasem; untuk hadits Bukhori dan muslim harus mengaji pada kiai HasyimAsy’ari; untuk mendapat ijazah al- Asybah wa al- Nadzair dan jauhar Maknun harus mengaji ke pesantren Termas Pacitan[8].

Sebagai gambaran lebih lanjut, berikut ini disebutkan beberapa pesantren terkemuka di jawa yang sudah terkenal dengan spesialisasinya atau Fan- Fan tertentu yang menjadi focus kajianya dan kiai yang mengajarkanya, sebagai berikut.

a) Pesantren Tebuireng ( Kiai Hasyim Asy’ari ), Tambak Beras ( Kiai Wahab Hasbullah ), Den anyar ( Kiai Bisri Syamsuri ), Termas ( Kiai Dimyathi dan Hamid Dimyathi ), Bangil, terkenal dengan fiqh dan ilmu hadits

b) Pesantren Lasem ( Kiai ma’sum ) Nglirap ( Banyumas ) dan pesantren di Kediri, Jawa Timur: Lirboyo Kiai Mahrus ), Bendo, Jampes, terkenal dengan ilmu alat, nahwu, sharaf, bayan, badi’, dan lain- lain.

c) Pesantren Krapyak ( Kiai Munawwir dan Ali Ma’sum ), Cinta pada Tasikmalaya ( Kiai Dimyathi ), Wonokromo ( Kiai Abdul Aziz dan Hasbullah ), terkenal dengan qiro’at al- qur’an.

d) Pesantren Rejoso ( Kiai Musa’in Romli ), Tegal Rejo ( Kiai khudhri), al- Falak Pegentongan ( Kiai Falak ), Watu Congol ( Kiai Dahlan ), terkenal dengan bidang tasawuf.

e) Pesantren Kiai Haji Bidhawi Lasem, Jamsaren ( Kiai Abu Amar ), terkenal dengan spesialisasi tafsir al- qur’an[9].

f) Pesantren Inabah ( Kiai Abah Anom ), terkenal dengan pengobatan korban narkotika; pesantren modern Gontor ( Kiai Ahmad Sahal, Zainuddin fananie, dan Imam Zarkasyi ), terkenal dengan bahasa Arabdan Inggris; pesantren pabelan di Magelang yang menekankan pada keterampilan santri; pesantren Darul Falah Bogor yang berkecimpung di bidang pertanian[10].

Adanya bidang – bidang khusus yang merupakan fokus masing- masing pesantren dapat menarik minat para santri untuk memilih bidang- bidang yang diminati. Hal ini menunjukan keanekaragaman bidang kajian di pesantren – pesantren di mana antara satu dengan yang lainnya tidak ada kesamaan. Secara umum dapat dipahami bahwa setiap pesantren memberikan porsi yang lebih besar pada bidang- bidang tertentu sebagai kekhasan pendidikan yang dimilikinya; dan sekaligus ia dikenal karena kekhususanya itu.

c. Fungsi pesantren

Pesantren tidak hanya berfungsi sebagai lembaga pendidikan, tetapi juga berfungsi sebagai lembaga social dan penyiaran agama[11]. Sementara Azyumardi Azra menyatakan bahwa ada tiga fungsi pesantren tradisional. Pertama, transmisi dan transfer ilmu- ilmu Islam. Kedua, pemeliharaan tradisi Islam, dan ketiga, reproduksi ulama[12].

Sebagai lembaga pendidikan, pesantren menyelenggarakan pendidikan formal ( Madrasah , sekolah umum, dan perguruan tinggi ), dan pendidikan non formal yang secara khusus mengajarkan agama yang sangat kuat di pengaruhi oleh pikiran- pikiran ulama fiqh, hadits, tafsir, tauhid, dan tasawuf. Sebagai lembaga social, pesantren menampung anak- anak dari segala lapisan masyarakat muslim, tanpa membedakan tingkat social ekonomi mereka. Sementara itu, setiap hari menerima tamu yang dating dari masyarakat umum, baik dari masyarakat sekitar maupun masyarakat jauh. Mereka yang dating bertamu mempunyai motif yang berbeda- beda; ada yang ingin bersilaturahmi, ada yang berkonsultasi, meminta nasihat, memohon do’a, berobat, dan ada pula yang meminta jimat untuk penangkal gangguan dalam kehidupan sehari- hari. Sebagian lembaga penyiaran agama Islam, masjid pesantren juga berfungsi sebagai masjid umum, yakni sebagai tempat belajar agama dan ibadah bagi para jama’ah. Masjid pesantren sering dipakai untuk majlis ta’lim ( pengajian ), diskusi- diskusi keagamaan, dan sebagainya. Selain itu, kiai dan santri- santri senior, di samping mengajar juga berda’wah baik di dalam kota maupun di luarnya; bahkan sampai ke derah- daerah pedalaman[13].

Sehubungan dengan tiga fungsi tersebut, pesantren memiliki tingkat integritas yang tinggi dengan masyarakat sekitarnya, dan menjadi rujukan moral bagi kehidupan masyarakat umum. Masyarakat umum memandang pesantren sebagai komunitas khusus yang ideal terutama dalam kehidupan moral keagamaan. Karakteristik pesamtren dilihat dari segi fungsinya, dan sangat berperan di tengah- tengah masyarakat, menjadikanya semakin eksis dan dapat diterima ( acceptable )oleh semua kalangan.

D. Prinsip-prinsip pendidikan pesantren

Sesuai dengan fungsinya yang komprehensif dan pendekatanya yang holistic, pesantren memiliki prinsip- prinsip utama dalam menjalankan pendidikanya. Setidak- tidaknya ada dua belas prinsip yang di pegang teguh pesantren: (1) theocenric, (2)sukasela dalam pengabdian;(3) kearifan; (4) kesederhanaan;(5) kolektivitas;(6) mengatur kegiatan bersama; (7) kebebasan terpimpin kemandirian;(9) pesantren adalah tempat mencari ilmu dan mengabdi;(10)mengamalkan ajaran agama;(11) belajar di pesantren bukan untuk mencari ijazah;(12) restu kiai, artinya semua perbuatan yang dilakukan oleh setiap warga pesantren sangat bergantung pada kerelaan dan do’a dari kiai[14].

Prinsip- prinsip pendidikan tersebut, agaknya, merupakan nilai- nilai kebenaran universal; dan pada dasarnya sama dengan nilia- nilai luhur kehidupan masyarkat pada umumnya. Dengan nilai- nilai itu pula di pesantren senantiasa tercipta ketentraman, kenyamanan, dan keharmonisan.

Kehidupan pesantren diwarnai dengan asketisme, yang di kombinasikan dengan kesediaan melakukan segenap perintah kiai guna memperoleh berkah pada jiwa seorang santri, keberkahan ini tentu saja, memberikan bekas pada jiwa seorang santri, dan bekas inilah yang pada giliranya nanti akan membentuk sikap hidupnya. Asketisme yang digunakan pesantren merupakan proyeksi pilihan ideal bagi pola kehidupan umum yang di landa krisis, yang akhirnya menumbuhkan pesantren sebagai unit budaya yang berdiri terpisah dari kehidupan social ( social life ) dan pada waktu yang sama menjadi bagian dari kehidupan masyarakat. Peranan ganda inilah yang sebenarnya dapat dikatakan menjadi cirri utama pesantren sebagai salah satu subkultur. Dalam menjalankan peranan ganda ini, pesantren terlibat dalam proses penciptaan nilai atau tata nilai yang memiliki dua unsure utama: peniruan dan pengekangan.unsur pertama, yaitu peniruan, adalah adalah usaha yang dilakukan terus menerus secara sadar untuk memindahkan pola kehidupan para sahabat Nabi Muhammad s.a.w. dan pada ulama salaf kedalam praktik kehidupan di pesantren. Pola kehidupan ini tercermin dalam ketaatan beribadat secara maksimal, penerimaan material yang relatif serba kurang, dan kesadaran kelompok yang tinggi[15].

Unsur kedua ialah pengekangan ( ostracization ), yaitu penerapan kedisiplin social yang ketat di pesantren. Kesetian tunggal pada pesantren adalah dasar pokok disiplin ini, sedangkan pengucilan yang dijatuhkan atas pembangkanganya merupakan konsekuensi mekanisme pengekangan yang digunakan. Pengusiran seorang santri adalah hukuman yang luar biasa beratnya, karena ia mengandung implikasi penolakan total oleh semua pihak, disamping kehilangan dukungan moral dari kiainya. Kriteria yang biasa di pakai untuk mengukur krsetiaan seorang santri kepada pesantren adalah kesungguhanya dalam melaksanaka pola kehidupan yang tertera dalam leteratur fiqh dan tasawuf . penyimpangan kriteria ini di anggap sebagai “ahli maksiat” bagi santri yang di kucilkan; juga bagi santri yang enggan menaati norma- norma yang telah mengakar dalam pesantren.[16]

Keterangan di atas semakin memperjelas karakteristik pesantren dilihat dari fungsinya. Dalam kehidupan social ia menjadi rujuan moral ( reference of morality)bagi masyarakat sekitarnya. Kiai sebagai figur yang dihormati tidak saja karena kedalaman dan keluasan ilmunya tetapi juga karena kepribadian dan akhlaknya. Di samping itu, prinsip keikhlasan dan kesetiaan santri kepada kiai dan lembaganya serta kehidupan asketis ( sufistik ) di lingkungan pesantren semakin mempertegas identitasnya di tengah kehidupan masyarakat banyak dimana ia merupakan sebuah subkultur. Semua ini mencirikan pesantren sebagai wahana pembinaan moral yang andal, selain penggemblengan intelektual dan kultur islami.

d. Sarana dan tujuan pesantren

Dalam bidang sarana, pesantren tradisional ditandai oleh cirri khas kesederhanaa. Sejak dulu lingkungan atau kompleks pesantren sangat sederhana. Tentu saja kesederhanaan secara fisik kini sudah berubah total. Banyak pesantren tradisional yang memiliki gedung yang megah. Namun, kesederhanaan dapat dilihat dari sikap dan perilaku kiai dan santri serta sikap mereka dalam pergaulan sehari- hari. Sarana belajar, misalnya, masih tetap dipertahankan seperti sediakala dengan duduk di atas lantai dan di tempat terbuka dimana kiai yang tidak begitu mewah, tentu saja ada pengecualian. Kiai sekarang berbeda dengan kia dudlu; kalau dudlu para kiai sering berjalan kaki atau bersepeda; tetapi kiai sekarang sudah terbiasa mengendarai mobil, bahkan mempunyai mobil dan sopir pribadi. Begitu pula tempat kediaman santri yang masih sangat sederhana, terbuat dari kayu dengan fasilitas sekadarnya. Jika dibandingkan dengan system sekolah atau madrasah, dilihat dari segi sarana dan prasana pesantren tradisional jauh lebih sederhana.

Mengenai tujuan pesantren, sampai kini belum ada suatu rumusan yang definitive. Antara satu pesantren dengan pesantren yang lain terdapat perbedaan dalam tujuan, meskipun semangatnya sama, yakni untuk meraih kebahagiaan dunia dan akhirat serta meningkatkan ibadah kepada Allah s.w.t. adanya keragaman ini menandakan keunikan masing-masing pesantren dan sekaligus menjadi karakteristik kamandirian dan independensinya.

Tujuan pendidikan pesantren adalah menciptakan dan mengembangkan kepribadian muslim, yaitu kepribadian yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan, berakhlak mulia, bermanfaat bagi masyarakat dengan jalan menjadi kawula atau pengabdi masyarakat, sebagai rosul, yaitu menjadi pelayan masyarakat sebagaimana kepribadian Nabi Muhammad ( mengikuti sunnah Nabi ), mapu berdiri sendiri, bebas dan teguh dalam kepribadian, menyebarkan agama atau menegakkan Islam dan kejayaan umat Islam di tengah- tengah masyarakat ( ‘izzul Islamiwal muslimin ), dan mencintai ilmu dalam rangka mengembangkan kepribadian Indonesia[17].

Rumusan di atas menggambarkan bahwa pembinaan akhlak dan kepribadian serta semangat pengabdian menjadi target utama yang ingin dicapai pesantren. Karena itu, pimpinan pesantren memandang bahwa kunci sukses dalam hidup bersama adalah moral agama, yang dalam hal ini adalah perilaku keagamaan. Semua aktivitas sehari- hari di fokuskan pada pencarian nilai- nilai ilahiah. Hanya hidup seperti itu yang dapat mencapai kesempurnaan.

e. Kitab Kuning (kitab-kitab klasik)

Pondok pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam tradisional tidak dapat diragukan lagi berperan sebagai pusat transmisi dan desimasi ilmu-ilmu keislaman, terutama yang bersifat kajian-kajian klasik. Inilah kemudian khasanah Islam digali melalui kajia kitab-kitab klasik sekaligus yang membedakanya dengan lembaga pendidikan lainya. Makanya pengajaran kitab kuning telah menjadi karakteristik ciri khas dari proses pembelajaran di pondok pesantren.

Di dunia pesantren, kitab kuning juga sering disebut dengan kitab klasik (al-kutub al-qadimah) atau kitab kuno, karena memang ia merupakan produksi masa lampau yaitu sebelum abad ke-17-an M, atau khususnya masa lahirnya empat mazhab terbesar dalam Islam. Kitab kuning juga disebut dengan “kitab gundul” karena bentuk-bentuk hurufnya kadang tanpa disertakan sandangan (syakl)[18]

Nurcholish Madjid berpendapat bahwa untuk mendalami kitab-kitab klasik biasanya dipergunakan sistem weton dan sorogan, atau dikenal dengan sorogan dan bondongan[19]. Weton adalah pengajian yang inisiatifnya berasal dari kyai sendiri baik dalam menentukan tempat, waktu, maupun kitabnya. Sedangkan sorogan, adalah pengajian yang merupakan permintaan dari seorang atau beberapa orang santri kepada kyainya untuk diajarkan kitab tertentu[20].

Selanjutnya Nurcholis Madjid menyatakan bahwa di dalam kitab-kitab klasik mencakup beberapa cabang ilmu-ilmu antara lain; fiqih, tauhid, tasauf dan nahwu-sharf. Nurcholish Madjid juga merinci kitab-kitab yang menjadi kosentrasi keilmuan pesantren. Dalam ilmu fiqih misalnya digunakan kitab: safinat-u’l-Shalah, safinatu-u’l-Najah, fath-u ‘l-qarib, taqrib, fath-u ‘lmu’in, minhaj-u ‘l-qawim, mutma’inah, al-‘iqna, dan fath-u ‘lwahhab, yang termasuk cabang tauhid, aqidat-u ‘al’awamm, badiu ‘l-amal, dan sanusiyah. Kemudian dalam cabang ilmu tasauf; al-nasha-u ‘l-diniyah, irsyad-u ‘l-ibad, tanbih-u ‘l-ghafilin, minhaju-u ‘l-abidin, al-da’watu-u ‘l-tammah, al-hikam, risalat-u ‘lmuawanah wa ‘l-muzahaharah, dan bidayat-u ‘l-bidayah. Selanjutnya dalam nahwu-sahrf; al-maqsud (nazham), awamil (nazham), imrithi (nazham), ajurumiyah, kaylani, mirhat-u ‘-I’rab, alfiyah, dan ibnu ‘aqil[21]. Kitab-kitab klasik ini hanya sebagian yang disebutkan karena kekayaan khazanah kitab-kitab klasik ini sesungguhnya banyak sekali.

f. Ideologi

Pada umumnya ideology yang dianut adalah theosentris cendrung kepada persolan-persolan ketuhanan atau keahiratan, hal ini didukung oleh kurikulum yang hampir keseluruhan kitab-kitab klasik yang sarat akan nuansa filosofis.

รจ Pesantren Modern ( Khalaf )

Secara umum pesantren khalaf pada dsarnya adalah pesantren salaf yang sudah beradaptasi dengan dunia luar, dengan pengertian lain lembaga pendidikan pesantren yang telah memasukan kurikulum umum dalam system pembelejaranya, hal ini secara sederhana dapat dipahami sebagai lembaga pendidikan Islam yang sudah modern. Hal ini dapat diketahui melalui cirri-ciri khuusnya sebagai berikut :

a. Kehidupan kyai dan santri

Pesantren adalah sebuah kehidupan yang unik sebagaimana dapat dilihat dari penampilan lahiriahnya. Pesantren adalah sebuah kompleks dengan lokasi yang biasanya terpisah dari kehidupan sekitarnya. Dalam kompleks itu berdiri beberapa rumah kiai atau pengasuh pesantren, mesjid sebagai tempat pengajaran diberikan, dan tempat penginapan santri ( bilik ). Menurut Zamakhsyari Dhofier, baik pesantren khalafi kecuali pondok Gontor, tetap mempertahankan unsure- unsure tradisional, yaitu pondok, mesjid, pengajaran kitab- kitab Islam klasik, santri, dan kiai[22].

Dalam lingkungan fisik itu, diciptakan semacam cara kehidupan yang memiliki sifat dan cirri tersendiri dimulai dengan jadwal kegiatan yang memang menyimpang dari pengertian masyarakat pada umumnya. Kegiatan di pesantren berkisar pada pembagian waktu berdasarkan waktu shalat wajib yang lima. Dengan sendirinya pengertian waktu pagi, siang, dan sore di pesantren menjadi berbeda dengan pengertian di luar. Dalam hal inilah, misalnya, sering di jumpai santri yang menanak nasi di tengah malam, mencuci pakaian menjelang terbenam mata hari. Dimensi waktu yang unik ini ercipta karena kegiatan pokok pesantren di pusatkan pada pemberian pengajian kitab- kitab teks ( al- kutub al- muqarrah ) pada setiap selesai shalat wajib. Demikian pula ukuran lamanya waktu yang di pergunakan sehari- hari; pelajaran waktu di tengah hari dan malam lebih panjang dari pada waktu petang dan subuh[23].

Corak kehidupan pesantren juga dapat dilihat dari struktur pengajaran yang di berikan. Dari sistematika pengajaran, dijumpai jenjang pelajaran yang berulang – ulang dari tingkat ke tingkat, seakan- akan tanpa akhir. Persolan yang diajarkan seringkali pembahasan serupa yang di ulang- ulang selama jangka waktu bertahun- tahun, walaupun buku teks yang dipakai berbeda. Biasanya dimulai dengan kitab kecil ( mabsuthat ); kemudian berpindah ke kitab sedang ( mutawassithat ); sampai kitab yang besar ( al- kutub al- ulya ). Masing- masing kitab di pelajari bertahun- tahun; bahkan pengajaran di pesantren tidak mengenal kata selesai atau tamat. Demikian juga tentang kenaikan tingkat, seorang santri lebih cenderung memilih mengulang kembali kitab yang sebenarnya sudah di pelajarinya bertahun- tahun. Persoalan kenaikan tingkat bukan suatu yang harus di jalani, melainkan yang di pentingkan adalah kedalam dan keluasan ilmu dengan menguasai kitab- kitab yang di tetapkan[24].

b. Masjid

Pembelajaran di pesantren yang dilakukan kyai biasanya dilakukan di masjid. Masjid adalah pusat kegiatan ibadah dan belajar mengajar. Masjid merupakan sentral sebuah pesantren karena disinilah pada tahap awal bertumpu seluruh kegiatan di lingkungan pesantren. Tetapi seiring dengan perkembangan jumlah santri belajar berlangsung di bangku, tempat khusus dan ruangan-ruangan khusus untuk halaqah-halaqah. Bahkan perkembangan terahir menunjukan adanya ruang kelas-kelas sebagaimana terdapat pada madarasah.

Masjid dalam sejarah Islam, bukanlah sarana kegiatan peribadatan semata, lebih jauh dari itu masjid menjadi pusat bagi segenap aktivitas Nabi Muhammad dalam berinteraksi dengan umat. Masjid, menurut Nurcholish Madjid dapat juga dikatakan sebagai sarana terpenting masyarakat Islam, dalam pandangan Nurcholish Madjid, pembangunan masjid adalah modal utama Nabi ketika berjuang menciptakan masyarakat beradab[25].

c. Buku-buku modern

d. Materi Pelajaran

Materi pelajaran yang disajikan kolaborasi kurikulum pendidikan agama ( termsuk kitab-kitab lasik) dan mata pelajaran umum.

e. Ideologi

Pada umumnya menganut theosentris humanistic yang mengacu pada pada pandangan-pandangan ketuhanan dankemanusiaan.

Inilah beberapa karakteristik dan ciri khusus pendidikan Islam tradisional pesantren, tulisan ini tentu amat sangat sederhana mengingat kajian yang penulis lakukan belumlah sempurna oleh karena itu tulisan ini perlu banyak kritik dan masukan sehingga menjadi satu karya tulis ilmiah yang dapat bermanfaat bagi pengembangan lembaga pendidikan Islam.

3. Ciri Khusus Lembaga Pendidikan Islam Tradisional : Pesantren ( Salaf)

Dari pembahasan diatas dapat diketahui karakteristik kehidupan pesantren yang sebenarnya, sebagai sesuatu yang berbeda dengan system pendidikan pada umumnya. Berikut ini dipaparkan beberap ciri khusus yang sangat menonjol dalam kehidupan pesantren, sehingga membedakannya dengan system pendidikan yang lain. Setidak- tidaknya ada delapan cirri pendidikan pesantren, sebagai berikut:

1. Adanya hubungan yang akrab antara santri dengan kiainya. kiai sangat memperhatikan para santrinya. Hal ini dimungkinkan karena sama- sama tinggal dalam satu kompleks dan sering bertemu baik disaat belajar maupun dalam pergaulan sehari- hari.

2. Kepatuhan santri kepada kiai. Para santri menganggap bahwa menetang kiai, selain tidak sopan juga dilarang agama; bahkan tidak memperoleh berkah karena durhaka kepada guru.

3. Hidup hemat dan sederhana benar- benar di wujudkan dalam lingkungan pesantren. Hidup mewah hampir tidak di dapat disana. Behkan tidak sedikit santri yang hidupnya terlalu sederhana atau erlalu hemat sehingga kurang memperhatikan kesehatannya.

4. Kemandirian amat terasa di pesantren. Para santri mencuci pakaian sendiri, membersihkan kamar tidurnya sendiri, dan memasakpun sendiri.

5. Jiwa tolong menolong dan suasana persoudaraan ( ukhwah ) sangat mewarnai pergaulan di pesantren. Ini disebabkan, selain kehidupan yang merata di kalangan santri, juga karena mereka harus mengerjakan pekerjaan – pekerjaan yang sama, seperti shalat berjamaah, membersihkan masjid dan ruang belajar bersama.

6. Disiplin sangat di anjurkan di pesantren. Pagi- pagi antara pukul 04.30 atau 05.00, kiai membangunkan para santri untuk diajak shalat subuh berjamaah. Meskipun tidak semua pesantren yang memberikan kebebasan kepada santrinya untuk menetukan sendiri apa yang seharusnya dilakukan. Namun, pembinaan disiplin sejak masa belajar di pesantren akan meberikan pengaruh besar terhadap para santri; terutama pembentukan kepribadian dan moral keagamaan.

7. Berani menderita untuk mencapai suatu tujuan merupakan salah satu segi pendidikan yang di peroleh para santri di pesantren. Ini merupakan pengaruh kebiasaan puasa sunat, zikir, o’tikaf, shalat tahajud di malam hari, dan latihan- latihan spiritual lainya.

8. Pemberian ijazah, yaitu pencantuman nama dalam salah satu daftar rantai transmisi pengetahuan yang di berikan kepada santri- santri yang berprestasi. Ini menandakan perkenan atau restu kiai kepada murid atau santrinya untuk mengajarkan sebuah teks kitab setelah dikuasai penuh. Pemberian ijazah ini biasanya diucapkan secara lisan; walaupun kadang kala di tulis, maka catatannya hanya ada pada kiai.[26]

Perlu di catat bahwa ciri- ciri di atas merupakan gambaran sosok pesantren dalam bentuk yang masih murni, yaitu pesantren tradisional. Sementara dinamika dan kemajuan zaman telah mendorong terjadinya perubahan terus menrus pada sebagian besar pesantren. Adalah kurang relevan kalau ciri- ciri tersebut dilekatkan pada pesantren- pesantren yang telah mengalami pembaharuan dan pengadopsian system pendidikan modern.

4. Madrasah Model & Madrasah Terpadu

Madrasah sebagai lembaga pendidikan Islam di Indonesia relative lebih muda di banding pesantren, ia lahir pada abad 20 dengan munculnya madrasah manba’ul ulum kerajaan surakarta tahun 1905 dan sekolah adabiyah yang didirikan oleh Syekh Abdullah Ahmad di Sumatera Barat tahun 1909[27].

Madrasah memiliki metode pengjaran seperti hafalan, latihan dan praktek. Ini kielanjutan dari masa Rasulullah SAW. Terutama ketika beliau memberikan pelajaran Al-Qur’an, pada masa perkembangan berikutnya, pendidikan Islam yang dilakukan di Madrasah menggunakan metode talqin, dimana guru mendikte dan murid mencatat lalu menghafal. Setelah, hfalan guru lalu menjelaskan maksudnya.metode ini oleh maksidi disebut sebagai metode tradisional; murid mencatat, menuliskan materi pelajaran, membaca, mengahafal dan setelah itu berusaha memahami arti danmksud pelajaran yang diberikan[28]. Pada perkembangan selanjutnya pendidikan madrasah dikembangkan menjadi beberapa jenjang pendidikan, yaitu Madrasah Ibtidaiyah, Madrasah Tsanawiyah dan madrasah Aliyah.

Madrasah Model adalah madrasah yang secara khusus diformulasikan untuk meningkatkan kualitas bidang sains dan matematika[29]. Menurut Husni Rahim dengan merujuk pada hasil laporan yang berjudul “bekerja bersama madrasah membangun model pendidikan di Indonesia” menyebutkan sekurang-kurangnya ada bentuk keberhasilan program masrasah model tersebut, yaitu[30]: (1). Terjadinya peningkatan kualitas guru melalui berbagai program pendidikan (seperti S2 dan S3) dan program pelatihan, (2). Meningkatkan mutu lulusan pendidikan madrasah yang tampak dengan kecilnya kesenjangan prestasi siswa madrasah dengan sekolah umum., (3). Meningkatnya animo para orang tua untuk menyekolahkan anaknya ke madrasah seiring dengan meningkatnya daya tampung madrasah, (4). Mulai terbentuknya networking antara madrasah dengan berbagai perguruan tinggi, khususnya dengan STAIN, IAIN, dan UIN dan perguruan tinggi agama lainya.

Madrasah Terpadu adalah sebuah konsep pengembangan madrasah yang mencoba mensinergikan berbagai potensi kekuatan MI, MTs dan MA yan berada dalam satu lokasi untuk membantu, saling mengisi kekuatan dan kelemahan masing-masing untuk mendorong peningkatan kualitas pendidikan madrasah[31].





5. Sekolah Islam Terpadu (SDIT, SMPIT & SMAIT)

Sekolah Islam terpadu digagas karena melihat kejengahan sekolah-sekolah nasional yang mendidik anak sekuleristik dengan memisahkan kehidupan keagamaan dan kehidupan sosial bermasyarakat. Kemudian ada beberapa sekolah Islam yang juga bagin dari sekuleristik yang sangat focus terus di ibadah-ibadah mahdloh sehingga mengabaikan sehi ilmu pengetahuan. Ini berdampak pada umat Islam yang semakin terpuruk dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi.

Guna menjaga mutu dankualitas sekolah Islam terpadu, sejumlah praktisi danpemerhati pendidikan Islam, membentuk sebuah wadah yaitu Jaringan Sekolah Islam Terpadu (JSIT), dengan misi utamanya; Islami, efektif dan bermutu[32].

Konsep trepadu menurut JSIT. Pertama, keterpaduan antara orang tua dan guru dalam membimbing anaknya. Kedua, keterpaduan dalamkurikulum Ketiga, keterpaduan dalam konsep pendidikan. Ada sinergi antara stakeholder yang terkait dengan pendidikan tersebut[33]. Terpadu sebenarnya memiliki arti yang sangat luas mulai dari kurikulumnya, pembelajaranya, lingkungan sekolah yang memadukan dengan masyarakat, orang tuadan sebagainya. Banyak sekali orang yang melihat sekolah Islam terpadu begitu diminati sehingga beberapa orang berminat untuk mendirikan sekolah Islam terpadu tersebut. Data terahir disampaikn oleh Jaringan Sekolah Islam Terpadu (JSIT) bahwa anggotanya mulai dari TK sampai SMU jumlahnya sekitar 200 Sekolah dari seluruh Indonesia[34].

6. Sekolah Muhammadiyah

Salah satu titik berat Muhammadiyah adalah bidang pendidikan, yang system pengajaranya berpolakan system sekolah negeri. System pendidikan dan pengajaran tersebut bukan dimaksudkan untuk menciptakan sendiri sautu sistim pendidikan Islam, melainkan untuk mengorganisasi sistempendidikan swasta yang sejajar dengan system nasional[35].

Memang sejak awal kelahiran muhammadiyah cendrung menyesuaikan dengan system penbdidikan colonial, sekalipun hanya dalam tata cara penyelenggaraan pendidikan dan bukan dalam materi atau isi dan tujuan pendidikanya. Dan yang terpenting dari ini adalah bahwa sekolah-sekolah muhammadiyah menekankan doktrin-doktrin Muhammadiyah.

7. Lembaga Pendidikan Islam ; Meunasah

Meunasah merupakan satu bangunan yang terdapat di setiap gampong (kampong, desa). Bangunan ini seperti rumah tapi tidak mempunyai jendela dan bagian-bagian lain. Bangunan ini digunakan sebagai tempat belajar dan diskusi dan membicarakan masalah-masalah kemasyarakatan. Disamping itu, ia juga menjadi tempat bermalam para anak-anak muda serta orang laki-laki yang tidak mempunyai istri. Setelah Islam mapan di Aceh, Meunasah juga menjadi tempat sholat bagi masyarakat dalam satu ‘gampong’[36].

Dalam perkembangan selanjutnya meunasah bukan saja sebagai tempat ibadah saja , melainkan juga tempat pendidikan , tempat pertemuan, bahkan juga tempat transaksi jual beli barang takbergerak, kumudian juga sebagai tempat mengnap para musafir, tempat membaca hikayat dan tempat mendamaikan jika ad warga kampong yang bertikai[37]. Bahkan menurut Gazalba meunasah juga digunakan sebagai tempat berzikir, berdoa’a dan tempat praktik tarekat yang kemudian disebut suluk. .

Meunasah sebagai institusi pendidikan merupakan lembaga pendidikan terendah dan meunsah dipimpin oleh Tengku Meunasah, sedangkan untuk anak murid perempuan diajar oleh teungku perempuan yang disebut teungku inong.

8. Lembaga Pendidikan Islam ; Rangkang

Sebagai lembaga pendidikan lanjutan, murid yang diterima di rangkang ini umumnya mereka yang sudah belajar di meunasah, sedangkan lama belajar tidak ditentukan oleh batasan tahun, tetapi ditentukan oleh kemampuan murid dalam menyelesaikan pelajaranya





9. Lembaga Pendidikan Islam ; Dayah

Istilah dayah berasal dari bahasa Arab Zawiyah yang berarti pojok, sudut, bagan dari suatu tempat/bangunan. Berbeda dengan meunasah dayah didatangi khusus oleh orang dewasa yang sudah mempunyai pengetahuan dasar tentang keislaman, para penguasa, bahkan juga oleh para ulama. Dayah sebagai pendidikan formal tidak terdapat di setiap gampong sebagaimana meunasah, dayah ini terdapat pada setiap mukim. Mukim adalh gabungan dari beberapa gampong.

Selain meunasah, dayah dan rangkang ada juga bale atau sekolah di Aceh pada tingkat menengah atas. Dengan demikian jika runutkan sebagai berikut pendidikan tingkat meunasah (tingkat dasar), tingkat rangkang (menengah pertama), tingkat balee (menengah atas), dan dayah manyang (tingkat tinggi). Masing- masing tingkatan secara berturut- turut diajarkan oleh Teungku Meunasah, Teungku di Rangkang, Teungku di Balee, dan Teungku Chik.

10. Lembaga Pendidikan Islam ; Surau

Sebagimana telah diketahui bahwa di minangkabau lembaga pendidikan pertama adalah surau. Surau ini memiliki karakteristik yang berbeda dengan lembaga pendidikan pada umumnya yang ada di Indonesia. Kendatipun mendekati pesantren yang ada di jawa. Menurut Azra, kalaupun ada persamaan tidak lain karena terdapatnya beberapa karakeristik yang sama atau mirip dengan pesantren[38]. Untuk memberikan ciri- ciri khusus surau dapat di ketahui beberapa bentuk berikut ini:

f. Istilah guru.

Disurau mingkabau tidak dikenal istilah kyai. Akan tetapi, kiai itu disebut syekh (yang telah dipakai dakam penyebutan awal). Syek ini mempunyai kedudukan yang tinggi dan pengaruh yang kuat. Lingkungan sosiokultural dan keagamaan masyarakat telah menempatkan seorang syekh sebagai tugas utama pda surau dan mempengaruhi eksistensi surau itu sedikit.

g. Istilah murid yang menunut ilmu di surau disebut orang siak.

Hal ini ditujukan untuk mengikuti pelajara disuarau. Orang siak tidak dikenai pengutan atau biaya apapun seperti uang sekolah, asrama atau uang makan. Karena itu banyak orang siak jarang sekali memberikan uang kepada syekh kalaupun ada diberikan kepada keluarga dengan ikhlas[39].

h. Metode dan kurikulum surau

Metode dankurikulum di surau dalam pencapaian tujuan hasil belajar mengajar dapat dikategorikan dengan dua system yaitu Pertama, metode sorogan yakni murid secara persorangan dengan guru atau yang juga dikenal dengan metode individual. Kedua, metode halaqoh, dimana seorang guru atau syekh dalam memberikan pelajaran dikelilingi murid-muridnya atau yang juga dikenal dengan metode kolektif. Namun pada sisi lain, dipakai metode ceramah khususnya dalam mengajar akhlak.

Sedangkan dalam bidang kurikulum, pada masa permulaan masuknya Islam sampai setidak-tidaknya pada tahun 1900-an yang meliputi pelajaran agama saja, sedangkan pelajaran umum belum diajarkan . Masa perubahan, system pendidikan surau tahun 1908-1990 maka berubah pula kurikulum pendidikan surau terutama pada pengajian kitab yang mengalami penambahan mencapai dua belas kitab[40].

























11. Simpulan

Berdasarkan hasil kajian diatas, maka penulis dapat simpulkan dalam beberapa poin penting diantaranya :

1. Lembaga pendidikan Islam di Indonesia secara historis memiliki corak dan karakteristiknya masing-masing sesuai dengan factor internal dan eksternalnya.

2. Lembaga pendidikan Islam di Indonesia memiliki karakteristik dan cirri khusus yang menonjol dari hampir seluruh jenis dan bentuk pendidikan yaitu mewariskan dan mengembangkan nilai-nilai ajaran agama Islam.

3. Lembaga pendidikan Islam yang memiliki karakeristik dan cirri khusus yaitu Pesantren Tradisional atau salaf dan pesantren modern atau khalaf terletak pada materi pelajaran dan metode pengajaran, jenjang pendidikan, fungsi pesantren, prinsip-prinsip pendidikan pesantren, sarana dan tujuan pesantren, kehidupan kyai dan santri, kitab kuning dan masjid. Madrasah model dan madrasah terpadu terletak pada system pembelajaran dan guru dengan kualifikasi S2 atau S3 danketerpaduan kurikulum maupun pembinaan antara orang tua dengan sekolah. Sekolah Islam Terpadu (1), keterpaduan antara orang tua dan guru dalam membimbing anaknya. (2), keterpaduan dalam kurikulum (3) , keterpaduan dalam konsep pendidikan. Sekolah Muhammadiyah yang system pengajaranya berpolakan system sekolah negeri.dimaksudkan untuk mengorganisasi system pendidikan swasta yang sejajar dengan system pendidikan nasional

4. Meunasah, Rangkang dan Dayah adalah lembaga pendidikan Islam yang berada di Aceh jika urutkan sebagai berikut pendidikan tingkat meunasah (tingkat dasar), tingkat rangkang (menengah pertama), tingkat balee (menengah atas), dan dayah manyang (tingkat tinggi).

5. Surau adalah lembaga pendidikan Islam di minangkabau memiliki karakteristik yaitu istilah guru disebut syekh, istilah murid disebut orang siak, Metode dan kurikulum (metode sorogan dan metode halaqoh, namun pada sisi lain, dipakai juga metode ceramah khususnya dalam mengajar akhlak. Sedangkan dalam bidang kurikulum, yang meliputi pelajaran agama saja, sedangkan pelajaran umum belum diajarkan)

Daftar Pustaka



Bawani, Imam, Tradisionalisme Dalam Pendidikan Islam, Suarabay, al-Ikhlas, 1993

Deprtemen Agama RI, Madrasah Sejarah Madrasah; Pertumbuhan, Dinamika Dan Perkembangan Di Indonesia, Jakarta, Dirjen Kelembagaan Agama Islam, 2004.

Dhofier, Zamakhsyari, Tradisi Pesantren : Study Tentang Pandangan Hidup Kyai, Jakarta, LP3ES. 1982

Hurgronje, Snouck, Aceh, Rakyat dan Adat Istiadatnya, Jakarta, INIS, 1991

Kafrawi, Pembaharuan Sistem Pendidikan Pondok Pesantren Sebagai Usaha Peningkatan Prestasi Kerja dan Pembinaan Kesatuan Bangsa, Jakarta, Cemara Indah, 1978

Madjid ,Nurcholish, Bilik-Bilik Pesantren: Sebuah Potret Perjalanan, Jakarta, Paramadina, 1997

……………………, Kaki Langit Peradaban Islam, cet. ke-1, Jakarta; Paramadina, 1997

Maksum, Madrasah; Sejarah dan Perkembanganya, Jakarta, logos, 1999

Mastuhu, Dinamika System Pendidikan Pesantren, Jakarta, INIS, 1994

M.T Arifin, Muhammadiyah Potret Yang Berubah, Surakarta, Institut Gelanggang Pemikiran Filsafat Sosial Budaya dan Kependidikan, 1996

Nata, Abudin, (editor), Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan Lembaga-Lembaga Pendidikan Islam Di Indonesia, Jakarta, Grasindo, 2001

Raharjo, Dawam M, Pesantren dan Pembaharuan, Jakarta, LP3ES, 1974

Rahim, Husni, dalam Departemen Agama “Anatomi Madrasah di Indonesia” makalah diseminarkan pada acara Rountable Discussion Masa Depan Madrasah yang diselenggarakan oleh INCIS pada tanggal 27 Juli 2004

Syarifudin, Rachmat, “JSIT Memberdayakan Sekolah-Sekolah Islam” copyright©2007 www.republika.com

Tholkhah, Imam dkk, Membuka Jendela Pendidikan, Mengurai Akar Tradisi dan Integrasi Keilmuan Pendidikan Islam, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004

Zarkasyi, Amal Fathullah, Pondok Pesantren sebagai Lembaga Pendidikan dan Dakwah, dalam Solusi Islam, Atas Problematika Umat, Ekonomi, Pendidikan dan Dakwah, cet. ke-1, Jakarta; Gema Insani Press,1998


----------------


[1] Azyumardi Azra dalam pengantar Abudin Nata (editor), Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan Lembaga-Lembaga Pendidikan Islam Di Indonesia, Jakarta, Grasindo, 2001, hlm. Viii

[2] Samsul Nizar, Lembaga Pendidikan Islam di Nusantara dalam Abudin Nata (editor), Ibid, hlm. 6

[3] Maksum, Madrasah; Sejarah dan Perkembanganya, Jakarta, logos, 1999, hlm.51

[4] Mastuhu, Dinamika System Pendidikan Pesantren, Jakarta, INIS, 1994, hlm. 59

[5] Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren : Study Tentang Pandangan Hidup Kyai, Jakarta, LP3ES. 1982, hlm.28

[6] Kafrawi, Pembaharuan Sistem Pendidikan Pondok Pesantren Sebagai Usaha Peningkatan Prestasi Kerja dan Pembinaan Kesatuan Bangsa, Jakarta, Cemara Indah, 1978, hlm. 20

[7] Kafrawi, Ibid , hlm. 20-21

[8] Kafrawi, Ibid , hlm.23-24

[9] Ibid , hlm.927-956

[10] Imam Bawani, Tradisionalisme Dalam Pendidikan Islam, Suarabay, al-Ikhlas, 1993, hlm. 100

[11] Mastuhu, Dinamika System Pendidikan Pesantren, Jakarta, INIS, 1994, hlm. 59

[12] Azyumardi Azra, “Pesantren: Kontinuitas Dan Perubahan” dalam Nurcholish Madjid, Bilik-Bilik Pesantren: Sebuah Potret Perjalanan, Jakarta, Paramadina, 1997, hlm. xxi

[13] Mastuhu, op.cit, hlm. 59-60

[14] Ibid, hlm. 62-66

[15] Abdurrahman Wahid, “Pesantren Sebagai Subkultur” dalam Dawam M. Raharjo, Pesantren dan Pembaharuan, Jakarta, LP3ES, 1974, hlm.40-41

[16] Ibid, hlm. 45

[17] Mastuhu, op.cit, hlm.55-56

[18] Ali Yafiie, dikutip dalam Imam Tholkhah dan Ahmad Barizi, Membuka Jendela Pendidikan, Mengurai Akar Tradisi dan Integrasi Keilmuan Pendidikan Islam, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004. hlm. 74

[19] Nurcholish Madjid, Bilik Bilik Pesantren, Sebuah Potret Perjalanan, cet. Ke-1 Jakarta; Paramadina, 1997, hlm. 28

[20] Amal Fathullah Zarkasyi, Pondok Pesantren sebagai Lembaga Pendidikan dan Dakwah, dalam Solusi Islam, Atas Problematika Umat, Ekonomi, Pendidikan dan Dakwah, cet. ke-1, Jakarta; Gema Insani Press,1998, hlm. 103-104

[21] Nurcholish Madjid, Bilik-Bilik Pesantren, Op.Cit, hlm. 28-29

[22] Zamakhsyari Dhofier, op.cit. hlm. 44

[23] Abdurrahman Wahid, dalam Dawam Rahardjo, op.cit, hlm. 40-41

[24] Ibid, hlm. 41

[25] Nurcholish Madjid, Kaki Langit Peradaban Islam, cet. ke-1, Jakarta; Paramadina, 1997. hlm.34

[26] Hasan Basri, Pesantren: Karakteristik dan Unsure-Unsur Kelembagaan, dalam Nata (editor), Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan Lembaga-Lembaga Pendidikan Islam Di Indonesia, Jakarta, Grasindo, 2001, hlm. 120

[27] Malik Fajar, Madrasah dan Tantangan Modrnitas, Bandung, MIzan, 1998,

[28] Daprtemen Agama RI, Sejarah Madrasah; pertumbuhan, dinamika dan perkembangan di Indonesia, tahun 2004, hlm. 67

[29] Deprtemen Agama RI, Madrasah Sejarah Madrasah; Pertumbuhan, Dinamika Dan Perkembangan Di Indonesia, Jakarta, Dirjen Kelembagaan Agama Islam, 2004, hal. 160

[30] Husni Rahim dalam Departemen Agama “Anatomi Madrasah di Indonesia” makalah diseminarkan pada acara Rountable Discussion Masa Depan Madrasah yang diselenggarakan oleh INCIS pada tanggal 27 Juli 2004

[31] Deprtemen Agama RI, op.cit, hal. 162

[32] Rachmat Syarifudin, “JSIT Memberdayakan Sekolah-Sekolah Islam” copyright©2007 www.republika.com

[33] Ibid

[34] Ibid

[35] M.T Arifin, Muhammadiyah Potret Yang Berubah, Surakarta, Institut Gelanggang Pemikiran Filsafat Sosial Budaya dan Kependidikan, 1996, hal. 270

[36] Snouck Hurgronje, Aceh, Rakyat dan Adat Istiadatnya, Jakarta, INIS, 1991, hlm. 50

[37] Hawas Abdullah, Perkembangan Tasauf dan Tokoh-Tokohnya di Nusantara, Surabaya, al-Ikhlas, 1983, hlm. 120

[38] Ayumardi Azra, Surau Di Tengah Krisis: Pesantren Dalam Perspektif Masyarakat Dalam Pergulatan Pesantren Membangun Dari Bawah, dalam Dawam Rahardjo, Jakarta, 1985, hlm. 155

[39] Ibid, hlm. 161

[40] Amirsyah, Sistem Pendidikan Surau dalam Abudin Nata (editor), Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan Lembaga-Lembaga Pendidikan Islam Di Indonesia, Jakarta, Grasindo, 2001, hlm. 60
 

Translate

Total Tayangan Halaman

Islamic Education Copyright © 2009 Community is Designed by Bie