Senin, 02 November 2009

Pendidikan Islam dan Politik di Indonesia

PENDIDIKAN ISLAM DAN POLITIK DI INDONESIA
Muhtarom, S.Pd.I


A. Pendahuluan

Sistem pendidikan nasional tak dapat dilepas dari konteks politik yang sedang berlaku di Negara kita, karena kerangka paradigma dan konsep- konsep serta pengewantahanya memiliki latar belakang kesejahteraan yang berbeda dengan Negara- Negara yang system pendidikan nasionalnya tidak di campur tangani oleh pemerintah atau kalaupun ada itu dalam derajat yang sangat rendah.

Sejak lahir dan berkembangnya pergerakan nasional menuju Indonesia merdeka pendidikan menjadi tulang punggungnya yang utama, karena dari sanalah proses penyadaran masyarakat akan hak- hak dan kewajibanya sebagai manusia dan masyarakat pribumi ditanamkan.

Dari judul yang ada yaitu pendidikan Islam dan politik pada dasarnya dapat difahami dengan dua pengertian, Pertama, pendidikan Islam dan politik dimaksudkan suatu proses transformasi nilai-nilai sosial politik melaui institusi pendidikan Islam. Kedua, pendidikan Islam dan politik dimaksudkan mendeskripsikan perkembangan dan pertumbuhan pendidikan Islam berdasarkan sejarah perpolitikan di Indonesia pada masa pra dan pasca kemerdekaan Republik Indonesia. Dalam tulisan ini, penulis mencoba focus sesuai dengan pengertian pertama yakni melihat terjadinya proses transformasi nilai-nilai politik melalui institusi pendidikan Islam. Pembahsan ini akan banyak menggunakan pendekatan aspek historis, dengan mencoba menampilkan beberapa persoalan yaitu korelasi antara pendidikan Islam dan politik, implikasi sosialisasi politik dalam system pendidikan dan bagaimana pasrtisipasi mahasiswa dalam aktifitas politik.

B. Hubungan Antara Pendidikan dan Politik

Sering dilupakan oleh kalangan pendidik bahwa salah satu aspek penting dalam pendidikan Islam adalah aspek politik. Dalam aspek ini di jelaskan hubungan antara masyarakat dengan pemerintahan, hubungan antar Negara, hubungan antarorganisasi, dan sebagainya. Atas dasar ini, antara pendidikan islam dengan politik punya hubungan erat yang sulit untuk dipisahkan.

Dalam sejarah, hubungan antara pendidikan dengan politik bukanlah suatu hal yang baru. Sejak zaman Plato dan Aristoteles, para filsuf dan pemikir politik telah memberikan perhatian yang cukup intens terhadap persoalan politik. Kenyataan ini misalnya ditegaskan dengan ungkapan “As is the state, so is the school ”, atau “What you want is the state, tou must put into the school “. Selain terdapat teori yang dominant dalam demokrasi yang mengasumsikan bahwa pendidikan adalah sebuah korelasi bagi suatu tatanan demokratis[1].

Dalam sejarah Islam misalnya, hubungan antara pendidikan dengan politik dapat dilacak sejak masa- masa pertumbuhan paling subur dalam lembaga- lembaga pendidikan Islam. Sepanjang sejarah terdapat hubungan yang amat erat antara politik dengan pendidikan. Kenyataan ini dapat dilihat dari pendirian beberapa lembaga pendidikan Islam di Timur Tengah yang justru disponsori oleh penguasa politik. Contoh yang paling terkenal adalah madrasah Nizhamiyah di Bagdad yang didirikan sekitar 1064 oleh Wazir Dinasti Saljuk, Nizham al- Mulk. Madrasah ini terkenal dengan munculnya para pemikir besar. Misalnya, Al- Ghozali sempat mentransfer pengetahuanya di lembaga ini, yakni menjadi guru.

Di Indonesia, munculnya madrasah merupakan konsekuensi dari proses modernisasi surau yang cenderung di sebabkan oleh terjadinya tarik menarik antara system pendidikan tradisional dengan munculnya lembaga pendidikan modern dari Barat. Namun, disadari oleh Ki Hajar Dewantara bahwa peran ulama telah melahirkan system budaya kerakyatan yang bercorak kemasyarakatan dan politik, disamping spiritual. Hal ini terbukti bayangkanya para alumni pesantren yang melanjutkan studi ke universitas terkemuka baik di dalammupun di luar negeri[2].

Madrasah di Indonesia yang dikelola oleh suatu organisasi social kemasyarakatan banyak dipengaruhi oleh orientasi organisasinya. Madrasah yang didirikan oleh Muhammadiyah lebih bersifat ala Muhammadiyah. Demikian halnya denga madrasah yang dikelola oleh NU orientasi pendidikanya lebih menitik beratkan pada kemurnian mazhab.

Konsekuensi dari keragaman orientasi pendidikan tersebut adalah munculnya para tokoh formal dan informal yng memiliki pemikiran dan pergerakan politik yang berbeda[3], ada yang berfikir lebih modernis, fundamentalis, tradisionalis dan nasionalis. Meski prilaku politik seorang tokoh semata- mata tidak hany di tentukan oleh institusi pendidikan tertentu dan masih ada factor lain ( lingkungan, sosiokultural, potensi berfikir, dan sebagainya ), pengaruh suatu institusi pendidikan cukup berarti dalam membentuk karakter dan kepribadian seseorang untuk mempunyai paradigma berfikiryang berbeda.

Sejarah GUPPI (Gabungan Usaha Perbaikan Pendidikan Islam) juga amat menarik untuk dijadikan sebagai sample mengenai korelasi signifikan antara pendidikan Islam dan politik. Sebab pada kasus ini politik menjadi mediasi untuk menumbuh kembangkan institusi pendidikan Islam. GUPPI yang sejak awal berdirinya merupakan wadah organisasi Islam yang terbentuk sebagai sikap peduli para tokoh muslim setelah melihat gejala besarnya partisipasi politik para tokoh – tokoh muslim yang berakibat kurangnya perhatian mereka terhadap pendidikan Islam.

Namun dalam perjalanan berikutnya, strategi untuk meningkatkan perkembangan dan kualitas pendidikan Islam, para tokoh- tokoh aktivis GUPPI lebih memilih untuk bergabung dan berafiliai pada partai politik tertentu, dengan harapan bahwa melalui jalur ini kepentingan GUPPI untuk mengembangakan dan meningkatkan mutu pendidikan dapat terpenuhi. Sayangnya, peran politik yang dimainkan oleh para aktivis GUPPI di partai Golkar kurang maksimal, akhirnya cita- cita dan impian yang di capai untuk menyalurkan kepentingan umat Islam dalam meningkatkan pendidikan Islam kurang memenuhi harapan.

Terlepas dari seluruh kegagalan tersebut, penulis hendak mengatakan bahwa keterlibatan dalam berpolitik dapat menjadikan mediasi untuk mnyalurkan kepentingannya secara individual maupun organisasi.

Secara umum bahwa pendidikan (Dalam konteks politik Indonesia) pada masa orba jelas hanya berorietasi mengabdi kepada kepentingan Negara dan penguasa. Penciptaan manusia penganalis sebagimana di canangkan DR. Daud Yusuf, dalam prakteknya justru merupakan proses pengebirian kebebasan akademik dan kreativitas mahasiswa serta melahirkan para birokrat kampus. Sehingga hasilnya adalah generasi yang apatis dengan lingkungan sekitar namun sangat self- centered. Mereka jelas bukan manusia yang dicita- citakan Muhammad Hatta dan Djarir dimana pencerahan, pemahaman, dan penyadaran akan hak dan kewajibannya sebagi anak bangsamenjadi landasan kiprahnya.

Reformasi yang telah bergulir, semestinya dapat merintis jalan bagi pemulihan kembali demokratisasi yang selama beberapa dasawarsa mengalami diskontinuitas. Termasuk dalam hal ini adalah upaya mengembalika fungsi dan peran pendidikan sebagiamana dicita- citakan oleh para pendiri bangsa yang termaksud dalam konstitusi, yang difomulasikan dalam kalimat mencerdaskan kehidupan bangsa. Pembenahan secara fundamental terhadap system Pendidikan Nasional merupakan conditiosine quainin yang harus dimulai dari tataran yang paling dasar visi sampai dengan implementasi dalam kurikulum. Pada tataran paling dasar, tujuan pendidikan untuk membentuk kepribadian manusia Indonesia yang tercerahkan dan memiliki tanggung jawab, merupakan substansinya. Dengan landasan visi seperti ini, maka pendidikan tidak lagi hanya ditujukan untuk memproduksi manusia terpelajar dan berkeahlian demi malayani keperluan pasar tenaga kerja manusia yang di kuasai oleh kehendak untuk mengontrol, mengekploitasi, dan berkuasa, tetapi yang di pentingkan adalah pertumbuhannya manusia berbudaya yang dapat menghayati dan memahami kehidupan bersama, sebagai komunitas mengada (the community of being) yang saling terkait satu sama lain dan karena saling menjaga dan membuahkan mengeksploitasi.

Untuk mewujudkan visi semacam itu di perlukan proses pendidikan yang menggunakan pendekatan pendidikan demokratis. Bukan lagi proses searah one way communication. sebagaimana yang kita temukan diruang-ruang kelas mulai dari TK hingga keuniversitas, proses belajar mengajar bukan lagi proses pencekokan murid/mahasiswa dengan berbagai materi yang terkesan sangat normatif bahkan sacral, tapi marupakan proses dialektika antara para pelakunya, dengan mempersalahkan fenomena-fenomena yang hangat dalam masyarakat.

Akhirnya denga perombakan system pendidikan nasional itulah kita berharap bahwa, pendidikan akan menjadi factor utama dalam proses menjadi bangsa yang modern beradab serta tercerahkan.

C. Sosialisasi Politik Dalam System Pendidikan Islam

Signifikansi dan implikasi politik terhadap pendidikan suatu institusi pendidikan dan pengembangan madrasah atau pendidikan Islam pada umumnya bagi para penguasa muslim sudah jelas. Dalam banyak kasus madrasah- madrasah didirikan untuk menunjang kepentingan – kepentingan politik tertentu dari penguasa muslim, di antaranya untuk menciptakan dan memperkokoh citra penguasa sebagai orang- orang yang mempunyai kesalehan, minat dan kepedulian terhadap kepentingan umat, dan ini lebih penting lagi sebagai pembela ortodoksi Islam.

Semua ini pada giliranya untuk memperkuat legitimasi penguasa vis-à-vis rakyat mereka. Persoalanya kemudian, sejauh mana madrasah dan lembaga–lembaga pendidikan Islam lainya sebagai wahana “ pendidikan politik” anak- anak didik atau masyarakat muslim umumnya?

Menurut Azyumardi, bahwa lembaga – lembaga pendididkan Islam sejak masa klasik hingga masa pertengahan, atau tepatnya masa pramodern, tidak menjadikan “ pendidikan politik” sebagai agenda. Sebagaimana diketahui bahwa lembaga- lembaga pendidikan Islam, dimasa- masa tersebut lebih merupakan salah satu wahana utama bagi transmisi bahkan” pengawetan ilmu- ilmu Islam”, meski pendirian madrasah misalnya sering dikaitkan erat dengan motif- motif politik, namun jika ditelusuri lebih jauh terdapat indikasi yang kuat bahwa ia tidak terlibat dalam proses- proses politik. Absolutisme politik muslim sebagaimana terlihat dalam eksistensi berbagai macam dinasti tidak memberikan ruang bukan hanya bagi keterlibatan komunitas madrasah, melainkan bahkan masyarakat muslim umumnya, untuk turut serta dalam proses – proses politik, dan mewujudkan partisipasi politik mereka[4].

Pendidikan politik, dengan demikian mungkin sedikit sekali mempunyai relevansi dengan system dan kelembagaan pendidikan Islam klasik dan abad pertengahan. Tetapi ini tidak berarti bahwa apa yang kita sebut sebagai” pendidikan politik” – terlepas dari tingkatan intensitas dan kedalamanya – tidak berlangsung dalam masyarakat muslim umumnya. Bahkan “ pendidikan politik” itu mungkin menjadi salah satu concern utama bagi para pemikir politik muslim untuk merumuskan dan mengajarkan, misalnya, hak- hak dan kewajiban timbale balik antara penguasa dan rakyat. Bahkan para pemikir semacam ini menerbitkan kitab- kitab panduan, termasuk karya Al- Ghozali Nashihat al- Mulk yang di peruntukan bagi para penguasa dalam menjalankan kekuasaanya. Semua hal yang bias dipandang sebagai” pendidikan politik” ini, pada umumnya dilihat dari perspektif syari’ah atau fiqh[5].

Dengan demikian, terjadi ketidak sesuaian ( incongruence) antara sosialisasi Politik yang diperoleh melaui pendidikan dengan apa yang di dapat dari lembaga – lembaga social lainnya. Kembali dalam konteks Negara- Negara muslim, ketidak sesuaian itu disebabkan oleh dua factor, pertama, tetap dominannya keutaman keluarga dalam proses sosialisasi masyarakat yang sebagainya bermukim di wilayah pedesaan; kedua, system pendidikan formal memikul beban sosialisasi yang cukup berat.

Terjadinya dominasi keluarga dalam proses sosialisasi di negara- negara muslim, khususnya di pedesaan, banyak disebabkan antara lain oleh terbatasnya mobilitas social, lemahnya penetrasi pemerintah, langkanya fasilitas transportasi dan komunikasi, dan tidak tersedianya pendidikan yang merata. Pada saat yang sama juga terjadi “ fragmentasi cultural”, yakni diskontinuitas kebudayaan politik di antara system- system politik tradisional yang ada disebabkan munculnya kebudayaan politik baru negara- bangsa

Pada pihak lain, system dan lembaga pendidikan bermuatan terlalu banyak dikembangkan hampir di seluruh Negara muslim. Dalam batas tertentu beban lembaga pendidikan yang overloading itu bisa difahami.

Pertama, negara- negara muslim yang relative baru merdeka ingin mengukuhkan integritas dan kesatuan Negara melalui pendidikan. Dengan pendidikan diharapkan loyalitas- loyalitas tradisional yang mulai memudar itu akan lenyap sam sekali untuk digantikan dengan sense of mationhood yang baru.

kedua, lembaga pendidikan terpaksa memikul beban yang berat itu, karena kelangkaan lembaga cultural lain, yang mampu sedikit banyak melakukan sosialisasi politik sebagaimana di harapkan para pemimpin Negara.

Akan tetapi, harapan ini kebanyakan tidak terpenuhi karena beban yang berat itu, pada giliranya menjadi tidak lebih dari sekadar distraction bagi anak didik umumnya. Sosialisasi politik terhimpit oleh beban kurikulum lain, yang dipandang anak didik lebih penting bagi pendidikan masa depan mereka. Kenyataan ini paling jelas di Indonesia, dimana aktivitas politik mahasiswa menyurut secara signifikan setelah diberlakukanya system SKS sejak tahun 1970an.

Masalah besar ketiga, yakni dampak sosialisasi politik yang nyata dan terbuka ( manifest ) melalui lembaga pendidikan juga tak kalah rumitnya.Sosialisasi politik terbuka itu merupakan upaya sengaja untuk menanamkan sikap politik tertentu melalui pemasukan kandungan politik tertentu kedalam kurikulum pendidikan.semua ini bisa dilakukan dalam bentuk penyajian subjek tertentu dalam kurikulum (seperti mata pelajaran/kuliah pancasila); indoktrinasi atau penataran (seperti penataran P4), atau bahkan kegiatan-kegiatan brainwashing. hasil dari sosialisasi politik secara terbuka ini sering diragukan orang,[6] bahkan public hari ini tidak sampai ketidak percayaan.

Pengajaran atau penataran terbuka bisa memperkuat kesadaran individu tentang kompetensi politik, tetapi juga dapat sekadar menjadi formalitas dan, lebih jauh lagi menimbulkan sinisme. Hasil dari sosialisasi politik melalui kurikulum pada kegiatan penataran P4 tidak lebih hanya sebagai alat untuk memperkuat legitimasi penguasa. Selain itu, menanamkan wawasan yang sama agar mempunyai loyalitas secara bersama terhadap penguasa.

Hasil dari sosialisasi politik melalui kurikulum dalam kasus Indonesia ini, menyebabkan wacana demokrasi politik tidak terbangun secara ideal. Kecurigaan para penguasa terhadap aksi-aksi frontal semakin kuat,ditambah oleh ambisius penguasa untuk tetap mempertahankan kekuasaannya. Karena itu, sosialisasi politik melalui kurikulum pendidikan ini merupakan strategi politik penguasa untuk mempertahankan kekuasaannya.

Persoalan keempat, berkaitan dengan dampak lingkungan atau”kultur” lembaga pendidikan itu sendiri dalam pembentukan sikap dan orientasi politik.dinegara-negara berkembang umumnya termasuk Negara-negara muslim,lembaga pendidikan menghasilkan dua dampak yang signifikan pada sosialisasi politik, yakni orientasi prestasi (achievement) dan elitisme. Pendidikan memberikan kepada anak didik dorongan dan rasa berprestasi melalui penguasaan pelajaran dengan sebaik-baiknya. Prestasi akademis yang mereka capai, pada gilirannya mendorong munculnya rasa elistisme, yang kemudian memunculkan sikap dan gaya hidup tersendiri, termasuk dalam kehidupan politik .

Semakin terpisah oleh lingkungan sekolah dari lingkungan masayrakat pada umumnya,maka semakin tinggi pula sikap elitisme tersebut.elitisme yang bersumber dari sekolah ini kemudian memunculkan elite yang”terpisah” dari masyarakat,tetapi pada saat yang bersamaan, mereka memegangi pendapat bahwa dengan keunggulan dan privileges yang mereka miliki, mereka mempunyai”hak”alamiah untuk memerintah masyarakat.

D. Perguruan Tinggi dan Pendidikan politik

“Pendidikan politik”atau”sosialisasi politik”, sebagai mana diharapkan, berlangsung paling intens pada tingkat perguruan tinggi (universitas). Kenyataan ini bisa dengan mudah dapat dipahami. Universitas memiliki mahasiswa yang sudah”matang” dan siap untuk terlibat secara langsung dalam proses-proses politik yang berlangsung. Kemudian,dari segi lain, mahasiswa merupakan bagian atau lapisan masyarakat yang potensial untuk menjadi lahan rekrutmen politik, karena itu, mereka sebenarnya sangat rawa terhadap manipulasi politik[7].

Akan tetapi penting untuk dicatat bahwa orang harus menahan diri untuk tidak melakukan semacam mitologisasi tentang keterlibatan dan peran mahasiswa dalam politik. Sejarah terpolitikan diIndonesia telah membuktikan bahwa peralihan kekuasaan dari tangan orde lama keorde baru adalah sebagai wujud partisipasi politik mahasiswa. Demikian pula runtuhnya kekuatan orde baru dan selanjutnya beralih ketangan orde reformasi disebabkan oleh kepedulian politik dan partisipasi politik mahasiswa itu melalui pendidikan politik?

Azyumardi mengatakan bahwa aktivitas politik mahasiswa itu, muncul terutama bukan disebabkan”pendidikan politik”atau sosialisasi piolitik”yang berlangsung di universitas itu sendiri, melainkan lebih bersumber dari lembaga-lembaga ekstrauniversitas, khususnya organisasi-organisasi mahasiswa off-campus sebab penelitian yang di lakukan disembilan Negara berkembang(Nigeria, kolombia dan panama) hanya sepertiga dari jumlah mahasiswa secara keseluruhan yang sangat tertarik pada politik. Bahkan mahasiswa yang redikal secara politik itu hanya merupakan minoritas yang amat kecil, berkisar dari 0,3 persen sampai 4 persen di beberapa Negara tertentu[8].

Dalam kondeks Islam kenyataan ini bida dilihat dalam kemunculan Himpunan Mahasiswa Islam ( HMI ) di Indonesia organisasi kemahasiswaan Islam yang lahir di Jogyakarta pada tahun 1947[9], yang meduduki peranan krusial dalam kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI) dalam proses pengambilan keputusan politik untuk menumbangkan orde lama tahun 1966. para pelaku dalam proses penumbangan rezim orde lama tersebut hingga saat ini membentuk suatu wadah organisasi yang disebut Ikatan Keluarga Besar Laskar Ampera (IKBLA) Arief Rahman Hakim. Sjarah angkatan 66 inilah sebagai symbol partisipasi politik mahasiswa terlihat kembali secara langsung dalam aksi menumbangkan kekuatan orde baru hingga kekuasaan berpindah menuju Orde Reformasi. Ini menunjukkan bahwa sat ini mahasiswa sebagai kekuatan terpenting dalam proses politik Indonesia. Dengan melihat kasus seperti HMI inilah, Emmerson menyatakan bahwa terdapat korelasi positif diantara religiusitas dan politisasi mahasiswa[10].

Dengan demikian,jelas bahwa aktivitas politik mahasiswa bukanlah penomena yang sederhana. Seperti dijelaskan dalam empat hal diatas,”pendidikan pilitik” atau “sosialisasi politik” berlangsung melalui sistem dan kelembagaan pendidikan merupakan satu variable lainnya, yang mengait satu sama lain

Betapa besar peran mahasiswa dalam proses pengambilan keputusan politik sejak tumbangnya Orde Baru. Berbagai kelompok dan wadah yang terbentuk dikalangan mahasiswa sebagian besar memperlihatkan sikap keperduliannya terhadap proses-proses politik adalah suatu zaman yang tidak terjadi dimasa Orde Baru.

E. Pendidikan Islam dan Politik

Jika pada pembahasan sebelumnya lebih banyak berbicara bagaimana internalisasi politik dalam institusi pendidikan atau lebih terfokus pada persoalan politik, maka pada poin ini akan dibahas bagimana pendidikan Islam memberikan dampak pada kehidupan berpolitik. Hal ini akan diurai dalam beberapa pointer berikutnya .

1. Pendidikan Islam sebagai sarana untuk kepentingan politik penguasa.

Satudy kasus ini sangat nyata ketika pemerintah orde baru melanggengkan kekuasaanya selama 32 tahun, intervensi pemerintah melaui penyajian subjek tertentu dalam kurikulum (seperti mata pelajaran/kuliah pancasila); indoktrinasi atau penataran (seperti penataran P4), adalah bukti nyata bahwa pendidikan adalah salah satu sarana kepentingan politik penguasa.

Mochtar Buchori[11] menyatakan dalam pandanganya bahwa generasi politik yang mengatur kehidupan bangsa selama periode orde baru tumbuh pada waktu kondisi pendidikan kita sudah mulai menurun. Ekspansi system pendidikan yang berlangsung sangat cepat pada waktu itu, tanpa diketehui dan dikehendaki, telah merosotkan mutu sekolah-sekolah. Kemerosotan ini terjadi, karena elit pendidikan yang sangat kecil yang dimiliki saat itu, harus direntang panjang-panjang untuk memungkinkan ekspansi system yang cepat tersebut.

Pada masa Orde Baru birokrasi sebagai sarana efektif untuk melakukan intervensi kepada semua aspek kehidupan bernegara. Eksistensi penguasa concern utama bagi pemerintah, sehingga intervensi yang dilakukan oleh penguasa terhadap semua aspek kehidupan bernegara sebagai instrumen penting untuk mendorong kelestarian dan kelangsungan penguasa. Akibat dari system sentralis ini mebuat sikap apatis dikalangan cendikiawan dan semua lapisan masyarakat untuk berfikir secara demokratris, kristis, dan kreatif.

Sistem pemerintahan Orde Baru ini, menghalangi munculnya gerakan oposisi sebagai social control terhadap pemerintahan atau penguasa. Oposisi dalam suatu Negara yang demokratis menjadi suatu keharusan poltik yang harus di tempatkan pada posisi yang penting. Di Indonesia ini di gerakan oposisi di pandang oleh penguasa sebagai pendobrak terhadap eksistensi pengauasa, sehingga munculnya oposisi selalu tidak sepi oleh kecurigaan pengausa, di dukung oleh otoritarian.

Berbeda dengan pernyataan sebelumnya kasus yang sama terjadi dimana masih terdapatnya pemimpin kita baik dalam skala nasional maupun daerah menjadikan pendidikan (apalagi pendidikan Islam) sebagai komoditas politik, sehingga “tema-tema” pendidikan kadang-ladang menjadi slogan politis dalam upaya melanggengkan kekuasaanya, entah dalam kasus masih dalam pemerintahanya maupun ketika menjelang Pilkada.

2. Pendidikan Islam sebagai wahana kepentingan keagamaan dan sarana mempertahankan identitas ke-Islaman.

Seluruh tujuan lembaga pendidikan Islam yang paling menonjol adalah pewarisan nilai-nilai ajaran agama Islam. Hal ini sangat beralasan mengingat aspek-aspek kurikulum yang ada menyajikan seluruhnya memasukan mata pelajaran agama Islam secara komprehensif dan terpadu (walaupun di sekolah-sekolah umum dipelajari juga mata pelajaran agama Islam tetapi tidak komprehensif dan mendalam) sementara di lembaga-lembaga pendidikan Islam kurikulum pendidikan agama Islam menjadi kosentrasi dan titik tekan.

Mengingat pendidikan Islam menjadi titik fokusnya maka akan sangat jelas perbedaan (ideology) keagamaan. Secara umum di Indonesia terdapat dua organisasi keagamaan terbesar yakni Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah. Pendidikan Islam sebagai wahana pewarisan nilai-nilai ajaran Islam menjadi sarana untuk kepentingan keagamaan. Misalnya lembaga-lembaga pendidikan yang dimiliki Muhammadiyah, tentu akan mencoba mempertahankan nilai-nilai ke-Muhammadiyah-an melalui lembaga tersebut, dengan berdirinya sekolah-sekolah dan perguruan tinggi Muhamadiyah. Demikian juga pada kasus NU kebanyakan pesantren yang ada di Nusantara ini memiliki sosiokultur dengan NU, sangat wajar jika banyak pesantren yang menjadi wadah pewarisan nilai-nilai Ahlussunah Waljama’ah.

Dalam kasus politis yang lebih luas adalah dimana ketika yang menjadi decision maker adalah kelompok-kelompok dalam organisasi keagamaan tertentu, maka hampir dipastikan kebijakan-kebijakan yang dibuat akan memnguntungkan kelompok tersebut (kepentingan kelompok keagamaan tersebut).

3. Pendidikan Islam sebagai sarana melahirkan warga Negara yang baik.

Sebagaimana halnya pendidikan baik pendidikan Islam maupun umum, memiliki tujuan yang sangat filosofis diantaranya adalah mencerdaskan kehidupan bangsa, yang ini juga berarti pendidikan akan melahirkan warga Negara yang baik.

Sistem pendidikan Islam sangat mendukung terlahirnya pribadi-pribadi yang utuh tidak split personality, pribadi yang mampu menterjemahkan ajaran-ajaran Tuhan keadalam bahasa perilaku dan perbuatan, jika hal ini sudah dilakukan maka tujuan tersebut dapat terwujud. Sebagai lembaga pendidikan yang memiliki karakteristik dan cirri khusus pendidikan Islam menempatkan perubahan moral atau etika menjadi sangat penting disamping yang lain.

Pendidikan Islam dengan ini juga memberikan kontribusi terhadap perwujudan menjadi warga Negara yang baik dengan memiliki kesadaran akan kemajemukan, kesadaran hokum dan sosial, kesadaran membangun bersama.



4. Pendidikan Islam sebagai wahana melahirkan elit-elit bangsa.

Pendidikan Islam merupakan suatu wahana untuk melahirkan elit-elit bangsa. Dalam kaitan ini dalam sejarah pergerakan politik di Indonesia misalnya secara general tidak bisa melupakan kontribusi para kyai pesantren, KH. Hasyim Asy’ari misalnya, yang merupakan symbol perjuangan rakyat dalam melawan hegemoni kolonial belanda dengan “revolusi jihad” yang dikumandangkanya, selanjutnya KH.Wahid Hasyim putra Hasyim Asy’ari selain kyai pejuang kemerdekaan, belia juga seorang birokrat sejati yang menduduki menteri Agama RI pertama pasca-kemerdekaan. Sementara kyai lain yang juga pernah menjabat menteri adalah KH.Syaifudin Zuhri, kemudian mantan Rois ‘Am NU KH.Ahmad Siddiq adalah mantan kakanwil Depag Jawa Timur yang memiliki kemampuan berbicara dengan bahasa pemerintah[12].

Tokoh selanjutnya adalah KH. Abdurrahman Wahid atau yang sering dikenal Gus Dur adalah tokoh fenomenl di dalam aras perpolitikan di Indonesia yang pernah menjabat Presiden RI adalah jebolan dari pendidikan Islam pesantren. Kemudian tampilnya Amin Rais yang juga pernah menjadi ketua MPR RI bahkan pada periode berikutnya ketua MPR RI dijabat oleh jebolan pesantren yakni Hidyat Nurwahid. Tokoh-tokoh lain yang juga merupakan “produksi” pendidikan Islam misalnya Nurcholish Madjid, Quraish Sjihab dan yang lainya. Hadirnya beberapa tokoh Bangsa misalnya adalah kontribusi nyata dari pendidikan Islam, ini membuktikan bahwa bagaimana produktifnya kontribusi pendidikan Islam dalam melahirkan elit-elit bangsa yang pada ahirnya mampu menjadi kelompok kepentingan dalam mengawal kebijakan-kebijakan yang berpihak kepada kepentingan pendidikan Islam.

5. Pendidikan Islam sebagai wahana untu melahirkan hight politik (politik tingkat tinggi)

Secar umum dapat dikatakan bahwa makin kokohnya atau makin baiknya pendidikan yang diterima seseorang, makain besar pula kemampuan orang tersebut untuk menguasai kecakapan-kecakapan politik yang bersifat mendasar (basic political competenscies).

Hubungan antara pendidikan Islam dan politik mempunyai pengaruh tak langsung terhadap prilaku para politikus dan terbentuknya budaya politik. Pendidikan Islam yang baik, yang menghasilkan kemampuan intelektual muslim yang memadai pada waktunya akan melahirkan budaya politik yang humanistic-theosentris, humanistic-patriotik, dan sebaliknya pula pendidikan dasar Islam yang gagal memupuk intelektualitas pada waktunya akan melahirkan budaya politik yang hedonistic-egoistik yang berarti low politic.

Melihat kondisi politik kita dewasa ini, pendidikan (khususnya pendidikan Islam) harus berbuat sesuatu untuk melahirkan suatu budaya politik baru, budaya politik yang akan mendorong para pelaku politik untuk bertindak secara bersih, jujur dan cerdas. Sehingga dapat terwujud perilaku politik tingkat tinggi (hight politic).

Pendidikan Islam merupakan suatu wahana yang harus dipergunakan untuk melahirkan generasi politik baru yang kemudian akan membentuk budaya politik baru pula. Lahirnya generasi politik yang baru dimasa depan, generasi politik yang lebih humanistic-thesosentris, lebih patriotik, lebih santun, lebih bersih dan lebih cerdas dari pada generasi politik yang ada sekarang ini hanya akan terjadi bila kita berhasil mengikatkan mutu lembaga-lembaga pendidkan Islam, peningkatan ini terutama harus kita lakukan melalui dua jalur. Pertama, perbaikan mendasar dari kurikulum yang sekarang berlaku di lembaga pendidikan Islam kita dan kedua, pembaharuan system pendidikan guru mulai dari TK/raudhatul Athfal sampai guru SLTA.

F. Politik dan Peningkatan Kualitas Pendidikan

Banyak ahli politik sepakat bahwa proses pembentukan kebijkan adalah integral bagi system politik yang ada. Pembentukan kebijakan merupakan tahap penentu pada proses politik, tempat tuntutan politik yang efektif di ubah menjadi keputusan yang berwenang[13].

Hal ini amatlah relevan dengan cara yang dilakukan untuk mengikatkan kualitas pendidikan, dimana politik adalah sarana yang amat tepat untuk mencapai tujuan tersebut. Melalui keikuitsertaan dalam membuat kebijakan dan keputusan, maka upaya tersebut dalam terlaksana. Pern-peran nyata tersebut aklan dapat terwujud jika kita mampu masuk dalam system yang ada, sehingga wacana pembaharuan misalnya sebagai wujud dari upaya peningkatan kualitas pendidikan dapat di lakukan.





G. Simpulan

Pendidikan Islam dan politik dimaksudkan sebagai suatu proses transformasi nilai-nilai sosial politik melaui institusi pendidikan Islam. Kemudian juga pendidikan Islam dan politik dimaksudkan mendeskripsikan perkembangan dan pertumbuhan pendidikan Islam berdasarkan sejarah perpolitikan di Indonesia pada masa pra dan pasca kemerdekaan Republik Indonesia.

Tarnsformasi nilai-nilai politik melalui institusi pendidikan dilakukan dengan melakukanintervensi terhadap kebijakan pendidikan Islam di Indonesia, sementara ada beberapa peran dan fungsi pendidikan Islam dalam Politik diantaranya adalah Pendidikan Islam sebagai sarana untuk kepentingan politik penguasa, Pendidikan Islam sebagai wahana kepentingan keagamaan dan sarana mempertahankan identitas ke-Islaman, Pendidikan Islam sebagai sarana melahirkan warga Negara yang baik, Pendidikan Islam sebagai wahana melahirkan elit-elit bangsa, Pendidikan Islam sebagai wahana untu melahirkan hight politik (politik tingkat tinggi).

Kemudian juga melalui politik kebijakan-kebijakan yang mengarah pada upaya pengikatan kulitas pendidikan dapat dilakukan dengan ikut serta dalam system perpolitikan atau paling tidak berada dalam lingkaran kebijakan baik berskala local maupun nasional.



Daftar Pusataka



Azra, Azyumardi, Pendidikan Tinggi Islam dan Kemajuan Sains, (sebuah pengantar) dalam charles micheal Stanton, Pendidikan Tinggi dalam Islam, Terj. H.Afandi dan Hasan Asari, Jakarta, Logos, 1994

Nata, Abudin, Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan Lembaga-lembaga Pendidikan Islam di Indonesia, Jakarta, Grasindo, 2001

Noer , Deliar, Administrasi Islam di Indonesia, Yayasan Risalah, Jakarta, 1983

Rahardjo, Dawam, Intelektual, Intelejensia Dan Perilaku Politik, Risalah Cendikiawan Muslim, Bandung, Mizan, 1993

Sindhunata, Menggagas Paradigma Baru Pendidikan, Yogyakarta, Kanisius, 2000, hal.19

Sirozi, Muhammad, Politik kebijakan pendidikan di Indonesia, ; peran tokoh-tokoh Islam dalam penyusunan UU No. 2/ 1989, Terj. Lilian D Tedjasudhana, Jakartam INIS, 2004

Tolkhah, Imam, dkk Membuka Jendela Pendidikan ; Mengurai Akar Tradisi dan Integrasi Keilmuan Pendidikan Islam, Jakartra, Raja Grafindo Persada, 2004, hal.68

[1] James.S.Colemanditulis oleh Supriyanto dalam H. Abudin Nata, Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan Lembaga-lembaga Pendidikan Islam di Indonesia, Jakarta, Grasindo, 2001

[2] M. Dawam Rahardjo, Intelektual, Intelejensia Dan Perilaku Politik, Risalah Cendikiawan Muslim, Bandung, Mizan, 1993, hlm. 192

[3] Deliar Noer, Administrasi Islam di Indonesia, Yayasan Risalah, Jakarta, 1983, hlm. 6-7

[4] Azyumardi Azra, Pendidikan Tinggi Islam dan Kemajuan Sains, (sebuah pengantar) dalam charles micheal Stanton, Pendidikan Tinggi dalam Islam, Terj.H.Afandi dan Hasan Asari, Jakarta, Logos, 1994

[5] Lambton, dikutip oleh Supriyanto dalam H. Abudin Nata, Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan Lembaga-lembaga Pendidikan Islam di Indonesia, Jakarta, Grasindo, 2001

[6] Azyumardi Azra, Sosialisasi Politik dan Pendidikan Islam, dalam Jurnal Komunikasi Dunia Perguruan Madrasah, vol.I. nomor, 02/1/1997, hlm. 22

[7] Ayumardi Azra, Ibid, hlm. 23

[8] Donal K. Emmerson, Student and Politics In Development Nations, London, Pall Mall Press, 1968, ditulis oleh Azyumardi Azra dalam Jurnal Komunikasi Dunia Madrasah, 1997

[9] Konstitusi HMI, Jakarta, PB HMI, 2006, hlm. 61

[10] Emmerson, Ibid, hlm. 394

[11] Mochtar Buchori “Peranan Pendidikan dalam Pembentukan Budaya Politik di Indonesia”, dalam Sindhunata, Menggagas Paradigma Baru Pendidikan, Yogyakarta, Kanisius, 2000, hal.19

[12] Imam Tolkhah,, Gelisah Politik Kyai Pesantren dalam Perspektif Pendidikan Islam, dalam Membuka Jendela Pendidikan ; Mengurai Akar Tradisi dan Integrasi Keilmuan Pendidikan Islam, Jakartra, Raja Grafindo Persada, 2004, hal.68

[13] Almond & Powell (1978) dalam M. Sirozi, Politik Kebijakan Pendidikan di Indonesia : Peran Tokoh-tokoh Islam dalam Penyusunan UU No. 2/1989, Penerjemah Lilian D. Tedjasudhana , Jakarta, INIS, 2004 hal. 73

Epistemologi ; Metode Ilmiah

Epistemologi ; Metode Ilmiah

A. Pendahuluan

Filsafat erat kaitanya dengan segala sesuatu yang yang bisa difikirkan oleh manusia dan bahkan dapat dikatakan tidak akan pernah habisnya, karena daripadanya mengandung dua kemungkinan yaitu proses berfikir dan hasil berfikir. Sebagaimana juga diungkapkan oleh M.J. Langeveld, bahwa pada hakikatnya filsafat menggunakan ratio (berfikir)[1], tetapi kemudian tidak semua proses berfikir disebut filsafat. Kemudian juga Filsafat juga mempunyai konotasi dengan segala hal yang bersifat teoritis, rumit, transendental, abstrak dan lain sebagainya.

Sebagaimana diketahui bahwa Filsafat adalah disiplin ilmu yang terkait dengan perihal kebenaran atau kebijaksanaan. Kebijaksanaan merupakan titik ideal dalam kehidupan manusia. Namun kebijaksanaan yang dicapai dengan asal bertindak sebagaimana tindakan manusia sehari- hari. Karena kebijaksanaan tersebut merupakan tindakan terus menerus yang berkaitan dengan apa yang dilakukan. Hal ini sejalan dengan pengertian filsafat secara etimologi dan pengertian filsafat secara terminology. Filsafat berasal dari bahasa Yunani yaitu fhilosofhia, ini merupakan kata majemuk dari philo yang artinya cinta dalam arti yang seluas-luasnya dan sofia artinya kebijaksanaan. Bijaksana inipun kata asing adapaun artinya ialah pandai, tahu dengan mendalam atau cinta kepada kebijaksanaan[2]”jadi dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan filsafat adalah cinta akan kebijaksanaan,dan kebijaksanaan itu mengalir terus-menerus dalam kehidupan manusia melalui suatu proses berpikir mendalam.

Pengertian filsafat sering berbeda antara tokoh yang satu dengan yang lain, perbedaan tersebut disebabkan oleh perbedaan konotasi filsafat dan juga bisa disebabkan oleh lingkungan dan pandangan hidup. Dalam kaiatan ini sebagaimana sebelumnya diatas secara terminologi defisi filsafat banyak dikemukakan oleh filosof terkemuka, seperti: Plato yang menyebutkan bahwa ”filsafat tidak lain dari pengetahuan tentang segala yang ada”. Aristoteles murid dari plato menyebutkan bahwa ”filsafat itu menyelidiki sebab dan asas segala benda[3]”.dalam pengertian lain disebutkan

Pengertian atau definisi yang dikemukakan diatas dapat dipahami bahwa untuk mengetahui tentang segala sesuatu dibutuhkan suatu penyelidikan dan penyelidikan inilah yang menjadi proses yang melibatkan akal pikiran untuk memperoleh kebenaran.dalam kajian Filsafat Ilmu kegiatan untuk mengungkap kebenaran tersebut membutuhkan bahasa sebagai sarana untuk mempermudah memahaminya. Istilah- istilah tersebut dalam filsafat Ilmu dikenal dengan istilah Ontology, Epitemologi, dan Aksiologi. Berkenaan dengan hal tersebut Makalah ini mencoba membahas tentang Epistemologi ilmu dengan fokus bahasan metode ilmiah,

B. Epistemologi

Epistemology adalah cabang study tentang filsafat yang membahas ruang lingkup dan batas-batas pengetahuan. Epistemologi berasal dari berasal dari kata Yunani yng berarti studi atau penelitian tentang pengetahuan[4]. Sedangkan Epistemologi dlam bahasa inggris disebut The Teory Of Konowledge, tetapi dalam bahasa Indonesia istilah “Teori dari Pengetahun” tampak merupakan hal yang agak janggal, maka menggunakan epistemology saja[5]. Dari defenisi epistemology tersebut dapat difahami bahwa dalam pembahasanya epistemology mengkaji tentang asal mula pengetahuan, perbedaan- perbadaan antara teori – teori pengetahuan, dan peran pengalaman dan akal dalam pengetahuan. Lebih jauh membahas bagaimana proses pengetahuan tersebut, dalam epistemology dikenal dua istilah yang menjadi latar belakang terjadinya pengetahuan yaitu empiristime dan rasionalisme.

Thomas Hobbes salah satu filosof empirisme mengemukakan bahwa “ pengenalan atau pengetahuan diperoleh karena pengalaman. Pengalaman adalah awal pengetahuan.”[6] Proses terbentuknya pengetahuan yang dikemukakan oleh Hobbes merupakan pijakan bagi para kaum empirisme dalam memperoleh pengetahuan. Peran dan fungsi akal disana ditempatkan sebagai abtraksi yang dibentuk melalui pengalaman yang telah terjadi. Pengalaman empiris ini juga tidak lepas dari peran indrawi, sebab akal sendiri tidak bisa memberikan pengetahuan tentang realitas tanpa adanya acuan pengalaman indrawi yang menggunakan panca indra. Inilah yang membedakan proses pengatahuan yang dikemukakan oleh kaum rasionalisme.

Descartes, salah satu filosof rasionalisme yang terkenal mengemukakan bahwa secara umum prinsip rasionalisme merupakan “ pendekatan filosofis yang menekankan akal budi (rasio) sebagai sumber utama pengetahuan, dan bebas dari pengamatan indrawi.”[7] Dari penjelasan diatas, terlihat perbedaan prinsip antara empirisme dan rasionalisme. Rasionalisme melihat bahwa realitas dapat diketahui secara tidak tergantung pada pengamatan, pengalaman secara empiris. Hal ini karena akal budi adalah sumber utama pengetahuan yang dapat difahami secara rasional yang hanya secara langsung berhubungan dengan panca indra.

Tetapi kemudian antara empirisme dan rasionalisme tetaplah menjadikan panca indra, pengalaman, dan akal budi sebagai unsur penting sebagai pembentuk pengetahuan tersebut. Jika kemudian terdapat perbedaan antara keduanya hanyalah terletak pada unsure yang paling diutamakan apakah itu pengalaman ataukah akal budi, juga apa unsur yang menjadi penjelas dari prinsip dasar rasionalisme dan empirisme tersebut, yang demikian itu semua ada dalam pikiran manusia.

Uraian diatas yang sederhana mengenai pengetahuan yang secara epitemologi ilmu kebenaran ilmiah yang dihasilkan harus melalui suatu tahapan ilmiah. Karena pada dasarnya “ objek material dan objek formal epistemologi adalah tentang pengetahuan dan hakekat pengetahuan.”[8] Sebagai sarana untuk menjelaskan proses ilmu pengetahuan tersebut maka digunakan metode ilmiah untuk menggambarkan jalan atau cara pengetahuan ilmiah itu dibangun, sehingga “ ternetuk kesesuaian antara pikiran dan kenyataan,[9]” dan nilai kebenaran tersebut diputuskan melaui pembuktian.

C. Sumber dan Dasar-Dasar Epistemologi

Sumber epistemology[10] diantaranya :

1. Sumber epistemologi eksternal

Epistemology eksternal adalah gambaran alam yang menembus akal melalui panca indrea dan variasinya menurut kemampuan sensasi dan kejadian ilmiah

2. Sumber potensi bawaan

3. Sumber tendensi kebaikan

4. Sumber tendensi kejahatan

5. Sumber proses ujian

Dasar epistemology sebagaimana di kemukakan oleh beberapa filsof seperti pendapat Plato dan sebagaian filsof Islam dengan teori “dunia idea” secara singkat berpendapat bahwa ilmu pengetahuan secara fitri ada pada jiwa manusia, merka percaya akan adanya jiwa sebelum bercampur dengan fisik di alamyang lebih tinggi, bersama wujud-wujud lainya yang diciptakan Allah dalam ide sebelum muncul di alam nyata.

Tidak demikian dengan pendapat aliran Descrates bahwa adanya ilmu pengetahuan fitriah berdsarkan realitas esensial yang tidak diragukan lagi. Pengetahuan fitri hakiki ini tiada lain dari pengetahuan menusia terhadap esensinya sendiri.

Kebanyakan filsof modern mengingkari adanya pengetahuan fitri yang ada pada jiwa manusia. Para filsof modern berpendapat bahwa pengetahuan yang sampai melaui sensasi, kemudian sensasi itu bergabung menjadi fikiran. Pemikiran mempolakan bentuk-bentuk baru didalam akal, dan menurut mereka anak yang baru lahir akalnya bagaikan tabula rasa.

D. Metode Ilmiah

1. Pengertian Metode Ilmiah

Pengertian dan definisi metode dalam bahasa Yunani berasal dari kata “ methodos, meta, yang berarti sesuadah atau diatas, dan hodos berarti suatu jalan atau suatu cara.” Terkait dengan defenisi diatas, metode ilmiah dapat diartikan sebagai “ system konseptual yang bersifat empiris, eksperimental, logika matematis. System ini mengatur dan mengaitkan fakta- fakta dalam suatu struktur teori- teori dan inferensi ( penyimpulan)[11].

Kemudian ada defenisi lain yang menyebutkan bahwa “ metode ilmiah merupkan suatu prosedur yang mencangkup berbagai tindakan pikiran, pola kerja, cara teknis, dan tata langkah untuk memperoleh pengetahuan baru atau mengembangkan pengetahuan yang telah ada.”[12]

Jadi metode ilmiah secara harfiah menggambarkan jalan atau suatu cara mendekati suatu bidang pengetahuan secara metodis, sistematis, mempelajarinya sesuai dengan rencana atau pola kerja yang ada untuk memperoleh kebenaran pengetahuan. Objek yang dikajipun merupakan objek empiris. M.Solihin menyatakan bahwa kajian empiris ini dilakukan dengan proses pengolahan data-data melaui pengindraan manusia, tentunya dengan memasukan metode untuk memperoleh pengetahuan tersebut[13].

Dengan demikian kedudukan metode ilmiah dapat dikatakan sebagai bagian dari langkah- langkah sistematika kailmuan ( metode ilmiah ) secara tuntas harus dilanjutkan dengan langkah- langkah sistematis pelaksanaan penelitian ( teknik penelitian ).

2. Metode Ilmiah dan Ilmu pengetahuan

Metode ilmiah merupakan prosedur atau langkah-langkah sitematis dalam mendapatkan ilmu pengetahuan ilmiah. Secara garis besar langkah-langkah sistematis tersebut antara lain sebagai berikut : (a). mencari, merumuskan dan mengidentifikasi masalah, (b). menyusun kerangka berfikir, (c) merumuskan hipotesis (d). menguji hipotesis secara empirik, (d). melakukan pembahasan, (e) menarik kesimpulan[14].

Langkah diatas, secara umum dimulai dengan mencari, merumuskan dan mengidentifikasi masalah yatiu menetapkan maslah penelitian, apa yang dijadikan masalah dalam penelitian dan apa objeknya. Hal penting dalam poin ini adalah kesadaran akan adanya persoalan. Persoalan atau masalah sebagai tanda dimulainya penelitian harus dilukiskan dengan jelas dan benar, hal ini sangat penting karena tanpa definisi yang jelas tentang persoalan itu tidak dapat diketahui fakta mana yang layak dikumpulkan. Sedangkan mengidentifikasi masalah yang spesifik dilakukan dengan mengajukan pertanyaan penelitian atau menyatakan masalah yang spesifik dengan mengajukan pertanyaan penelitian. Namun yang dimaksud dengan pertnyaan tersebut adalah pertanyaan yang belum dapat memberikan penjelasan yang memuaskan berasarkan teori yang ada. Dengan demikian secara tidak langsung dari pertanyaan-pertanyaan ini berarti telah merumuskan masalah penelitian. Jika dikaitkan dengan langkah-langkah yang telah disebutkan diatas maka ini masuk pada langkah proses pencarian atau penentuan masalah sampai ke tahap perumusan dugaan sementara.

Kemudian langkah selanjutnya menyusun kerangka berfikir dengan tujuan membuka jalan pikiran menurut kerangka yang logis. Dengan kata lain meletakan perkara masalah yang diteliti dalam kerangka teoritis yang relefan dan mampu menerapkan dan menunjukan suatu sudut pandang terhadap masalah itu. Hal ini dilakukan dengan tujuan untuk menjawab dan menerangkan pertanyaan penelitian yang didentifikasi.

Salah satu langkah yang dilakukan untuk memperoleh jawaban tersebut adalah dengan penalaran deduktif, penalaran deduktif dilakukan dengan cara pengamatan ilmiah yang bertitik tolak dari masalah yang bersift umum kemudian mearik kesimpulan yang bersifat khusus.[15] Hal-hal yang umum tersebut adalah teori-teori yang terkait dengan msalah penelitian, dan hal yang bersifat khusus adalah yang menjadi masalah yang diidentifikasi. Langkah ini sampai pada tahap penyusunan kerangka berfikir untuk memperoleh rumusan hipotesis. Dalam simpulan sementara inilah yang akan menjadi rumusan hipotesis dalam proses penelitian. Penjelasan diatas sekilas dapat dipahami bagaimana merumuskan hipotesis, sesuai proposi deduksi. Tentunya proposi-proposi tersebut sesuai dengan hubungannya serta nilai-nilai informasi

Proposi, teori dan hipotesis ini dapat dijelaskan melaui tiga komponen, Yaitu : antiseden, konsekuen dan depedensi[16]. Sedangkan dua komponen sebelumnya merupakan bagian integral dari proposi, sedang komponen depedensi merupakan sifat hubungan dari antiseden dan konsekuen. Sehingga depedensi dapat mengandung arti bahwa hubungan antara antiseden dan konsekuen merupakan hubungan sebab akibat yang benar. Selanjutnya hipotesis adalah kesimpulan yang diperoleh dari penyusunan kerangka pikiran. Merumuskan berarti membentuk proposi yang sesuai dngan kemungkinan-kemungkinan serta tingkat-tingkat kebenaranya.

Hipotesis mengandung beberapa syarat logika, antara lain : (a). dapat menjelaskan kenyataan yang menjadi masalah dan dasar hipotesis, (b). mengandung sesuatu yang mungkin, (c). dapat mencari hubungan kausal dengan argumentasi yang tepat, (d). dapatdi uji kebenaran maupun kesalahanya.[17] Tahapan-tahapan ini dapat dilihat bagaimana langkah-langkah sistematis sehingga hipotesis dapat di uji. Menguji hipotesis adalah dengan membandingkan atau menyesuaikan dengan data empiric. Dengan kata lain, suatu sebab meungkin akan menimbulkan beberapa akibat atau pula suatu akibat yang ditimbulkan oleh beberapa penyebab.

Deskripsi ini sebagaimana juga dikemukakan oleh John Stuart Mills bahwa cara paling sederhana untukmengetahui factor penyebab timbulnya suatu akibat adalah dengan membandingkan suatu peristiwa dengan fenomena.[18] Dalam pengujian ini , peneliti dapat memilih langkah pengujian yang tepat dengan sifat-sifat data atau variable hipoesisnya. Misalnya denganmenggunakan metode syatistika. Membahas dan menarik kesimpulan termasuk dalam interpretasi terhadap hal-hal yang ditemukan dalam penelitian. Pembahasan tidak lain adalah mencocokan deduksi dalam kerangka pikiran dengan induksi dari empiric (hasil pengujian hipotesis) atau pula kepada induksi-induksi yang diperoleh oleh orang lain yang relevan[19]. Hasil pencocokan tersebut bila sesuai (parallel) ataukah bertentangan (kontradiktif), jika bertentangan maka harus dilacak dimana letak perbedaan dan apa kemungkinan penyebabnya.

Oleh sebab itu, penemuan–penemuan dari interpretasi danpembahasan tersebut merupakan jawaban terhadap pertanyaan penelitian sebagai masalah atau bukti dari penerimaan hipotesis yang diajukan. Pertanyaan-pertanyaan tersebut sesuai dengan identifikasi masalah atau sesuai dengan susunan hipotesis. Sehingga hasil pembahasan tidak lain adalah kesimpulan penelitian yaitu penemuan-penemuan dari hasil interpretasi dan pembahasan.

3. Metode Ilmiah dan Pembatasan Ilmu

Uraian-uraian sebelumnya diatas dapat dilihat langkah- langkah bagaimana ilmu pengetahuan diperoleh. Tentunya langkah- langkah ini sesuai dengan cabang ilmu pengetahuan yang teliti. Sebagaimana dijelaskan oleh O. Burniston Brown ( 1961 ) tentang pola umum, adalah sebagai berikut: “ Meskipun ada perbedaan pendapat dalam pokok soal. Semua ilmu menunjukkan prosedur umum yang sama disebut metode ilmiah,atau ilmu saja.oleh karena itu ilmu adalah suatu metode khusus yang telah diperkembangkan secara berangsur-angsur sepanjang berabad-abad untuk meningkatkan pengetahuan tentang dunia. Pada dasarnya pola umum dalam metode ilmiah ini dapat dipakai dalam melihat sejarah perkembangan ilmu itu sendiri yang telah berlangsung dari abad kea bad. Sekaligus dengan melihat perkembangan ilmu pengetahuan tersebut, dapat dipaham bahwa tersebarnya ilmu pengetahuan menjadi banyak cabang ilmu-ilmu khusus antara lain juga berkaitan dengan metode ilmiah yang diterapkan. Ilmu-ilmu terutama berbeda satu dengan yang lain, karena digunakannya metode-metode yang sangat berlainan untuk menyelidiki,melukiskan, dan mengerti realitas.”[20]

Munculnya Spesialisasi dalam bentuk ilmu- ilmu khusus merupakan konsekuensi logis dari pengembangan macam- macam metode, objek, dan tujuan yang dicapai. Misalnya ilmu- ilmu kealaman, bahwasanya ilmu ini melukiskan kenyataan menurut aspek empiris secara langsung. Data- data empiris yang merupakan objeknya, ilmu kealaman ini memperoleh objektivitas yang khas, yaitu bersifat empiris dan eksperimental. Sebagaimana dikutip, cirri ilmu- ilmu kealaman dan ilmu sosial humanistik adalah:

“ Ilmu kealaman melukiskan kenyataan menurut aspek yang memungkinkan registrasi indrawi secara langsung. Registrasi indrawi ini yang dilakukan secara eksperimen. Ilmu kealaman mampu menjangkau objek potensi- potensi alam sehingga yang sulit diamati ( missal: electron dan inti protein ). Berbeda dengan ilmu sosial humanistic yang pengamatanya bercirikan normative dan teologis. Metode yang digunakan ilmu- ilmu sosial humanistic ini adalah dengan mengamati gejala- gejala, nalar, sebagai suatu fakta empiris.”[21]

Dengan demikian dapat dilihat perbedaan antara ilmu- ilmu mempengaruhi metode ilmiah yang dilakukan untuk mendapatkan kebenaran ilmiah. Ilmu kealaman yang bersifat empiris dan eksperimental, dalam melakukan penelitian ilmiahdilakukan dengan kegiatan yang dilaksanakan berulang- ulang. Tahapan dimulai dengan melakukan observasi, yaitu dengan melakukan pengamatan biasa. Observasi terhadap objek empiris tersebut disoroti dalam suatu kerangka ilmiah yaitu dengan pertanyaan- pertanyaan observasi, kemudian dari pertanyaan- pertanyaan ini disimpulkan dalam suatu pernyataan yang lebih umum. Data- data empiric dikumpulkan dengan menggunakan alat Bantu matematik (secara kuantutatif) dengan symbol matematik. Pernyataan- pernyataan tersebut kemudian diuji dengan melakukan verifikasi secara empiric. Ini bertujuan untuk mengukuhkan pernyataan- pernyataan rasional tersebut sebagai teori.

Sedangkan untuk ilmu sosial humanistik, metode yang digunakan untuk memperoleh kebenaran ilmiah berbeda dari ilmu alam, yaitu dengan menangkap data melalui panca indra, sebagaimana telah disebutkan di atas bahwa aspek tingkah laku manusiawi, roh manusia yang tampak dalam bahasa, syair, agama, intitusi, dll merupakan objek ilmu- ilmu sosial humanistik. Dari gejala- gejala tersebut yang dijadikan sebagai fakta empiris. Dalam fakta- fakta empiris tersebut terdapat nilai, arti dan tujuan. Jadi ilmu sosial humanistic dalam penyelidikanya meliputi apa yang diperbuat manusia dan apa yang difikirkan manusia tentang dunia. Dalam tahapan metode ilmu sosial humanistic mengolah data yang di anggap melalui panca indra, kemudian mengolah dan menyusun data- data tersebut dalam suatu system, dengan tujuan memperoleh suatu kesimpulan sekaligus pengalaman.

Tahap- tahap diatas masuk kedalam metode linier , dimana ilmu sosial humanistic umumnya menggunakan metode linier, dengan tiga tahapan yaitu: “ perepsi yaitu dengan penangkapan data melalui indra. Konsepsi yaitu dengan pengolahan data dan penyusunannya dalam suatu system. Prediksi yaitu penyimpulan sekaligus pemahaman.”

Terahir yang penting diketahui dari metode ilmiah, bahwa metode ilmiah memiliki kedudukan penting dalam ilmu, baik itu ilmu kealaman, ilmu sosial ataupun ilmu keterampilan. “ metode ilmiah mengadakan pengumpulan data yang belum ditata biasanya merupakan tumpukan yang kacau balau, metode ilmiah kemudian menjadi pembimbing penelitian untuk arah tertentu “[22].

Kesimpulan

Metode ilmiah merupakn sebuah upaya untuk menggambarkan jalan atau suatu cara mendekati suatu bidang pengetahuan secara metodis, sistematis, mempelajarinya sesuai dengan rencana atau pola kerja (eksperimen) untuk memperoleh kebenaran pengetahuan. Objek yang dikajipun merupakan objek empiris. Empiris yang dimaksud merupakan unsure- unsure yang dapat di indrai atau fenomena (gejala – gejala) yang menjadi data empiris. Dalam penyususan langkah-langkah penerapan metode ilmiah, belum ditemukan referensi yang menetapkan aturan baku tentang jumlah, macam, dan urutan tentang prosedur metode ilmiah. Namun secara umum perlu dipahami setiap tahapan dalam istilah-istilahnya, penentuan masalah, perumusan hiotesis, pengujian hiotesis, pengumpulan data, dan perumusan kesimpulan.

Kemudian juga penerapan metode ilmiah ini bisa dilakukan pada berbagai bidang ilmu, misalnya: pada ilmu alam, sosial humanistic, penciptaan seni, ilmu budaya dll. Hal ini dapat diterapkan karena metode ilmiah dapat membimbing penelitian menuju arah tertentu sesuai bidang keilmuan.

Daftar Pustaka



Azhim, Ali Abdul, Epistemologi dan Aksiologi Ilmu Perspektif al-Qu’an, Bandung, CV. Rosda, 1989



Bagus, Loren, Kamus Filsafat, Jakarta, Gramedia Pustaka Utama, 2002



Bawengan, G.W, Sebuah Study Tentang Folsafat, Jakarta, Pradnya Paramita, 1983



Dirjosisworo, Soedjono, Pengantar Epistemologi dan logika, Bandung, Remaja Rosda Karya, 1986



Gallagher, Kenneth T. Epistemologi (Filsafat Pengetahuan), (Terj.P.Hartono Hadi), Yogyakarta, Kanisius, 1999



Langelveld, M.J. Menuju Ke Pemikiran Filsafat, (Terjemahan G.J. Klaisen), Jakarta, PT. Pembangunan, 1959



Mustansyir, Rizal, Misnal Munir, (ed), Filsafat Ilmu, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2001



Poedjawijatna, I.R. Pembimbing Ke Arah Filsafat , Jakarta, Pembangunan, 1974



Peursen, C.A. Van, Susunan Ilmu Pengetahuan (Sebuah Pengantar Filsafat Ilmu), Penj.J. Dorst, Jakarta, Gramedia Pustaka Utama, 1993, Cet.ke-3



Salam, Baharudin, Pengantar Filsafat, Jakarta, Bumi Aksara, 2005, cet. Ke-6,



Soeritno, SRDm Rita Hanafi (ed) Filsafat Ilmu dan Metodologi Penelitian , Jogyakarta, Andi, 2007



Solihin, Epistemologi Ilmu (Dalam Sudt Pandang Alghozali), Bandung, Pusataka Setia, 2001



Sudarsono, Ilmu Filsafat (Suatu Pengantar) , Jakarta, Rineka Cipta, 2001, cet.ke-2 hal



Sudarto, Metodologi Penelitian Filsafat, Jakarta, Raja Grafindo Persada, 1996



Tim Dosen Filsafat Ilmu , Filsafat Ilmu (Sebagai Dasar Pengembangan Ilmu Pengetahuan ), Yogyakarta, Libety, 1993, cet.ke-3



[1] M.J. Langelveld, Menuju Ke Pemikiran Filsafat, (Terjemahan G.J. Klaisen), Jakarta, PT. Pembangunan, 1959, Hal. 19

[2] I.R. Poedjawijatna, Pembimbing Ke Arah Filsafat , Jakarta, Pembangunan, 1974, Hal. 1

[3] Baharudin Salam, Pengantar Filsafat, Jakarta, Bumi Aksara, 2005, cet. Ke-6, hal. 67

[4] Soedjono Dirjosisworo, Pengantar Epistemologi dan logika, Bandung, Remaja Rosda Karya, 1986, Hal. 1

[5] G.W. Bawengan, Sebuah Study Tentang Folsafat, Jakarta, Pradnya Paramita, 1983, hal. 44

[6] Sudarsono, Ilmu Filsafat (Suatu Pengantar) , Jakarta, Rineka Cipta, 2001, cet.ke-2 hal. 138

[7] Loren Bagus,Kamus Filsafat, Jakarta, Gramedia Pustaka Utama, 2002, hal. 929

[8] Rizal Mustansyir, Misnal Munir, (ed), Filsafat Ilmu, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2001, hal. 17

[9] Kenneth T. Gallagher, Epistemologi (Filsafat Pengetahuan), (Terj.P.Hartono Hadi), Yogyakarta, Kanisius, 1999, Hal. 26

[10] Ali Abdul Azhim, Epistemologi dan Aksiologi Ilmu Perspektif al-Qu’an, Bandung, CV. Rosda, 1989, hal. 102

[11] Loren Bagus, op.cit, hal. 642

[12] Soeritno, SRDm Rita Hanafi (ed) Filsafat Ilmu dan Metodologi Penelitian , Jogyakarta, Andi, 2007, hal. 157

[13] M. Solihin, Epistemologi Ilmu (Dalam Sudt Pandang Alghozali), Bandung, Pusataka Setia, 2001, hal. 41

[14] Soeritno, op.cit. , hal. 157

[15] Sudarto, Metodologi Penelitian Filsafat, Jakarta, Raja Grafindo Persada, 1996, hal. 58

[16] Soeritno, op.cit Hal. 159

[17] Ibid, hal. 160

[18] Ibid, Hal. 161

[19] Ibid, Hal. 163

[20] Tim Dosen Filsafat Ilmu , Filsafat Ilmu (Sebagai Dasar Pengembangan Ilmu Pengetahuan ), Yogyakarta, Libety, 1993, cet.ke-3 hal.128

[21] Ibid, Hal. 131

[22] C.A. Van Peursen, Susunan Ilmu Pengetahuan (Sebuah Pengantar Filsafat Ilmu), Penj.J. Dorst, Jakarta, Gramedia Pustaka Utama, 1993, Cet.ke-3 Hal. 16

Tantangan Profesionalisme Guru

TANTANGAN PROFESIONALISME GURU

A. Pendahuluan
Problem guru merupakan topik yang tidak habis-habisnya dibahas dalam berbagai seminar, diskusi, dan workshop untuk mencari berbagai alternatif pemecahan terhadap berbagai persoalan yang dihadapi oleh guru dalam menjalankan tugasnya sebagai pengajar dan pendidik dilingkungan sekolah. Penyebabnya karena berdasarkan sejumah penelitian pendidikan, guru diyakini sebagai salah satu faktor yang menentukan tingkat keberhasilan anak didik dalam melakukan proses transformasi ilmu pengetahuan dan teknologi serta internalisasi etika dan moral. Karena itu tidaklah berlebihan apabila para pemerhati pendidikan senantiasa mengarahkan perhatiannya pada persoalan guru dan keguruan.
Masalah yang berkaitan dengan guru dan keguruan antara lain persoalan kurang memadainya kualifikasi dan kompetensi guru, rendahnya tingkat kesejahteraan guru, rendahnya etos kerja dan komitmen guru, hingga kepada kurangnya penghargaan masyarakat terhadap guru ( Sidi, Indra Djati:2000). Meskipun pemerintah bersama orang tua dan masyarakat telah melakukan berbagai upaya yang mengarah langsung kepada perbaikan profesi guru, namun berbagai dimensi persoalan guru tetap muncul sebagai masalah utama dalam dunia pendidikan nasional ditanah air.
Guru, selain diperhadapkan pada berbagai persoalan internal seperti yang disebutkan tadi, juga mendapat dua tantang eksternal yaitu krisis etika dan moral anak didik serta tantangan menghadapi persaingan bebas diera globalisasi. Diera globalisasi yang penuh dengan persaingan guru diperhadapkan pada kenyataan untuk menghasilkan sumber daya manusia yang bermutu,baik secara intelektual maupun emosional supaya dapat survive dalam persaingan. Karena itu peran seorang guru masa depan harus diarahkan untuk mengembangkan tiga intelegensi sekaligus yakni : intelektual, emosional dan moral. Untuk dapat melaksanakan peran tersebut seorang guru dituntut untuk bekerja secara profesional.
Cukup banyak artikel berupa opini maupun berita yang membahas masalah profesi guru. Banyak pula guru yang membicarakannya dengan mata berbinar karena dengan pengakuan guru professional berarti juga peningkatan kesejahteraan. Satu syarat yang dapat dijadikan indikator guru professional adalah jika dia telah lulus uji sertifikasi. Sesuai dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, jabatan guru sebagai pendidik merupakan jabatan profesional. Untuk itu profesionalisme guru dituntut agar terus berkembang sesuai dengan perkembangan zaman, ilmu pengetahuan dan teknologi, serta kebutuhan masyarakat termasuk kebutuhan terhadap sumber daya manusia yang berkualitas dan memiliki kapabilitas untuk mampu bersaing di forum regional, nasional, maupun internasional.
Kualitas guru di Indonesia dari beberapa kajian masih dipertanyakan, seperti yang dilaporkan oleh Bahrul Hayat dan Umar (dalam Adiningsih,: 2002). Mereka memperlihatkan nilai rata-rata nasional tes calon guru PNS di SD, SLTP, SLTA, dan SMK tahun 1998/1999 untuk bidang studi matematika hanya 27,67 dari interval 0-100, artinya hanya menguasai 27,67% dari materi yang seharusnya. Hal serupa juga terjadi pada bidang studi yang lain, seperti fisika (27,35), biologi (44,96), kimia (43,55), dan bahasa Inggris (37,57). Nilai-nilai di atas tentu jauh dari batas ideal, yaitu minimum 75% sehingga seorang guru bisa mengajar dengan baik.
Hasil lain yang lebih memprihatinkan adalah penelitian dari Konsorsium Ilmu Pendidikan (Adiningsih:2002) memperlihatkan bahwa 40% guru SMP dan 33% guru SMA mengajar bidang studi di luar bidang keahliannya. Paparan ini menggambarkan sekilas kualitas guru di Indonesia, bagimana dapat dikatakan profesional jika penguasaan materi mata pelajaran yang diampu masih kurang, dan bagaimana dikatakan profesional jika masih ada 33% guru yang mengajar diluar bidang keahliannya.Ironis memang ditengah komitmen kita untuk mengedepankan budaya mutu dalam mengantisipasi era persaingan ternyata kualitas guru sebagai ujung tombak pendidikan masih diperlu ditinjau kembali. Permasalahanya adalah bagaimana guru dapat menyelesaikan tantangan yang dihadapi dengan baik, jika profesionalismenya masih dipertanyakan. Tulisan singkat ini akan mengulas tentang profesionalisme guru dan tantangan yang dihadapi.

B. Profesi Keguruan
Secara sederhana pekerjaan apapun akan dinilai professional adalah apabila out put yang dihasilkan dapat memenuhi keinginan semua pihak. Semua profesi bisa dikatakan professional bila pekerjaan itu dilakukan oleh mereka secara khusus bukan karena tidak bisa melakukakan pekerjaan lainnya. Begitu pula profesi guru, guru adalah sangat penting karena ia akan menyampaikan ilmu pengetahuan yang tidak akan pernah rusak sampai kapanpun. Beberapa pakar mengatakan bahwa pekerjaan guru Jabatan guru memerlukan keahlian khusus adalah pekerjaan yang sangat mulia sebab :
• Untuk menjadi guru harus memepunyai beberapa sifat diantaranya memiliki bakat dan keahlian, memiliki kepribadian yang baik dan memiliki mental dan fisik yang kuat.
• Memiliki pengalaman dan pengetahuan yang luas.
• Seorang warga negara yang baik (Sudjana, 1989: 15).

Kemudian Profesi guru menurut Undang-Undang No. 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen harus memiliki prinsip-prinsip profesional seperti tercantum pada pasal 5 ayat 1, yaitu; ”Profesi guru dan dosen merupakan bidang pekerjaan khusus yang memerlukan prinsip-prinsip profesional sebagai berikut: a. Memiliki bakat, minat, panggilan jiwa dan idealisme b. Memiliki kualifikasi pendidikan dan latar belakang pendidikan sesuai dengan bidang tugasnya. c. Memiliki kompetensi yang diperlukan sesuai dengan bidang tugasnya. d. Mematuhi kode etik profesi. e. Memiliki hak dan kewajiban dalam melaksanakan tugas. f. Memperoleh penghasilan yang ditentukan sesuai dengan prestasi kerjanya. g. Memiliki kesempatan untuk mengernbangkan profesinya secara berkelanjutan. h. Memperoleh perlindungan hukurn dalam rnelaksanakan tugas profesisionalnya. i. Memiliki organisasi profesi yang berbadan hukum”.
Pada prinsipnya guru yang profesional adalah guru yang dapat menjalankan tugasnya secara profesional, yang memiliki ciri-ciri antara lain:1. Ahli di Bidang teori dan Praktek Keguruan. Guru profesional adalah guru yang menguasai ilmu pengetahuan yang diajarkan dan ahli mengajarnya (menyampaikannya). Dengan kata lain guru profesional adalah guru yang mampu membelajarkan peserta didiknya tentang pengetahuan yang dikuasainya dengan baik. 2. Senang memasuki organisasi Profesi Keguruan.
Suatu pekerjaan dikatakan sebagai jabatan profesi salah satu syaratnya adalah pekerjaan itu memiliki organiasi profesi dan anggota-anggotanya senang memasuki organisasi profesi tersebut. Guru sebagai jabatan profesional seharusnya guru memiliki organisasi ini. Konsekuensinya organisasi profesi turut mengontrol kinerja anggota, bagaimana para anggota dalam memberikan pelayanan pada masyarakat. PGRI sebagai salah satu organisasi guru di Indonesia memiliki fungsi: (a) menyatukan seluruh kekuatan dalam satu wadah, (b) mengusahakan adanya satu kesatuan langkah dan tindakan, (3) melindungi kepentingan anggotanya, (d) menyiapkan program-program peningkatan kemampuan para anggotanya, (e) menyiapkan fasilitas penerbitan dan bacaan dalam rangka peningkatan kemampuan profesional, dan (f) mengambil tindakan terhadap anggota yang melakukan pelanggaran baik administratif maupun psychologis.
3. Memiliki latar belakang pendidikan keguruan yang memadai. Keahlian guru dalam melaksanakan tugas-tugas kependidikan diperoleh setelah menempuh pendidikan keguruan tertentu, dan kemampuan tersebut tidak dimiliki oleh warga masyarakat pada umumnya yang tidak pernah mengikuti pendidikan keguruan. Ada beberapa peran yang dapat dilakukan guru sebagai tenaga pendidik, antara lain: (a) sebagai pekerja profesional dengan fungsi mengajar, membimbing dan melatih (b) pekerja kemanusiaan dengan fungsi dapat merealisasikan seluruh kemampuan kemanusiaan yang dimiliki, (c) sebagai petugas kemaslahatan dengan fungsi mengajar dan mendidik masyarakat untuk menjadi warga negara yang baik. Peran guru ini seperti ini menuntut pribadi harus memiliki kemampuan managerial dan teknis serta prosedur kerja sebagai ahli serta keihlasan bekerja yang dilandaskan pada panggilan hati untuk melayani orang lain.
4. Melaksanakan Kode Etik Guru. Sebagai jabatan profesional guru dituntut untuk memiliki kode etik, seperti yang dinyatakan dalam Konvensi Nasional Pendidikan I tahun 1988, bahwa profesi adalah pekerjaan yang mempunyai kode etik yaitu norma-norma tertentu sebagai pegangan atau pedoman yang diakui serta dihargai oleh masayarakat. Kode etik bagi suatu organisasi sangat penting dan mendasar, sebab kode etik ini merupakan landasan moral dan pedoman tingkah laku yang dijunjung tinggi oleh setiap anggotanya. Kode etik berfungsi untuk mendorong setiap anggotanya guna meningkatkan diri, dan meningkatkan layanan profesionalismenya demi kemaslahatan orang lain. 5.Memiliki otonomi dan rasa tanggung jawab. Otonomi dalam artian dapat mengatur diri sendiri, berarti guru harus memiliki sikap mandiri dalam melaksanakan tugasnya. Kemandirian seorang guru dicirikan dengan dimilikinya kemampuan untuk membuat pilihan nilai, dapat menentukan dan mengambil keputusan sendiri dan dapat mempertanggung jawabkan keputusan yang dipilihnya.
6. Memiliki rasa pengabdian kepada masyarakat. Pendidikan memiliki peran sentral dalam membangun masyarakat untuk mencapai kemajuan. Guru sebagai tenaga pendidikan memiliki peran penting dalam mencerdaskan kehidupan masyarakat tersebut. Untuk itulah guru dituntut memiliki pengabdian yang tinggi kepada masyarakat khususnya dalam membelajarkan anak didik. 7. Bekerja atas panggilan hati nurani. Dalam melaksanakan tugas pengabdian pada masyarakat hendaknya didasari atas dorongan atau panggilan hati nurani. Sehingga guru akan merasa senang dalam melaksanakan tugas berat mencerdaskan anak didik.
Usman (dalam Adiningsih:2002) membedakan kompetensi guru menjadi dua, yaitu kompetensi pribadi dan kompetensi profesional. Kemampuan pribadi meliputi; (1) kemampuan mengembangkan kepribadian, (2) kemampuan berinteraksi dan berkomunikasi, (3) kemampuan melaksanakan bimbingan dan penyuluhan. Sedangkan kompetensi profesional meliputi: (1) Penguasaan terhadap landasan kependidikan, dalam kompetensi ini termasuk (a) memahami tujuan pendidikan, (b) mengetahui fungsi sekilah di masyarakat, (c) mengenal rinsip-prinsip psikologi pendidikan; (2) menguasai bahan pengajaran, artinya guru harus memahami dengan baik materi pelajaran yang ajarkan. Penguasaan terhadap materi pokok yang ada pada kurikulum maupun bahan pengayaan; (3) kemampuan menyusun program pengajaran, kemampuan ini mencakup kemampuan menetapkan kopetensi belajar, mengembangkan bahan pelajaran dan mengembangkan strategi pembelajaran; dan (4) kemampuan menyusun perangkat penilaian hasil belajar dan proses pembelajaran.

C. Profesionalisme Guru dalam wacana Pendidikan
Masalah Profesionalisme guru sering menjadi bahan yang menarik untuk dibicarakan dan disoroti, sebab keberadaan guru dan kelayakan seorang guru baik dalam tugas akademisnya maupun sikapnya dalam masyarakat menjadi slah satu penentu kualitas pendidikan.
Semua komponen masyarakat menginginkan guru yang professional, guru yang kompten dalam memikul tugasnya di dunia pendidikan. Selalu diharapakan akan danya seorang guru yang yang professional yang layak membimbing generasi muda kearah yang diinginkan dimana para generasi muda akan memiliki bekal untuk meneruskan cita-citanya. Tetapi malangnya hanya sedikit dari masyarakat yang mengahargai profesi guru. Masyarakat terkadang masih hanya menginginkan dan menrima saja tanpa ada usaha untuka meningkatkan atau membantu tenaga professional guru, bahkan kebanyakan masyarakat tidak tahu apa dan bagaimana sebenarnya yang disebut guru professional. Masyarakat hanya tahu anak-anak mereka dapat belajar dengan baik dan mendapatkan nilai yang baik.
Disisi lain guru dalam menjalankan tugasnya mendapatkan lebih banyak tantangan dari berbagai sisi terutama dalam bidang pendidikan sendiri. Tantangan yang telah dihadapi para guru harus bertambah lagi dengan krisis ekonomi golabal yang telah mempengaruhi pendiidkan di Indonesia. Pada masa krisis berkepanjangan yang dialami bangsa Indonesia semakn sulit bagi para guru dalam menjalankan tugas-tugasnya. Semakin hari semakin besar tantangan yang akan di hadapi para guru dalam dunia pendidikan. Saat ini Indonesia membutuhkan tenaga lebih handal, karena dengan pengaruh kondisi saat ini kita butuh guru yang bukan hanya bertugas mengajar melainkan mendidik, membentuk dan menempa siswanya untuk mencapai tujuan pendiidkan dan tentu saja akan menambah beban bagi para guru.
Seorang guru profesional, guru mempunyai citra yang baik di mata masyarakat apabila dapat menunjukan kepada masyarakat bahwa ia layak menjadi panutan atau teladan masyarakat di sekelilingnya. Saat ini guru harus melakukan usaha yang cukup agar dirinya menjadi layak, dan satu satunya usaha yang harus dilakukan adalah meningkatkan profesionalisme yang telah dimilikinya kearah yang lebih baik. Dahulu kehidupan guru cukup terhormat, secara ekonomis, memiliki penghasilan yang memuaskan dan guru sangat disanjung masyarakat. Tetapi dua puluh tahun terahir hal tersebut tidak lagi terjadi dan bahkan kenangan belaka. Profesi guru tidak lagi menjadi cita-cita yang hebat, bahkan tidak jarang hanya menjadi pilihan terahir dan satu-satunya karena tidak ada pekerjaan lain.
Maka untuk mendapatkan kembali gelar kehormatan bagi profesi guru dalam kehidupan bermasyarakat dimasa lalu, guru harus bersikap dan bertindak lebih profesional dalam menjalankan profesinya. Gguru yang profesional dituntut meliki kualifikasi pendidikan profesi ya ng memadai, memiiki kompeensi keilmuan sesuai bidang yangdigelutinya, memiliki kemampuan komunikasi yang baik dengan anak didiknya, mempunyai jiwa kreatif dan produktif, mempunyai etos kerja dan komitmen tinggi terhadap profesinya dan selalu melakukan pengembangan diri secara terus menerus. (indrajati, 2001). Dari kualifikasi yang telah dimiliki guru ini, maka seorang guru dapat menjalankan tugas-tugasnya dengan baik.
Tentu untuk mendapatkan kualifikasi tersebut banyak yang harus dilakukan oleh guru, termasuk persiapan untuk mendapatkanya. Seperti di kutip Tilaar, ”professional teacher of course should have a professional preparation. Teacher professionalism needs minimum requirements : a good program of teacher of education, a strong and massive general education program, and higly selcted, intelleigent and anthusiatic intake of young people as student in training institusion” (H.A.R Tilaar, 1999). Guru yang benar-benar professional yang memiliki kualifikasi pendiidkan akan membimbing anak didikanya dengan baik sesuai harapan masyarakat. Para orang tua murid tidak akan segan untuk membayar lebih mahal agar naka-anaknya mendapatkan pendidikan terbaik. Hal ini membuat pendidikan menjadi komoditi yang mahal dikalangan masyarakat, jika hal ini terjadi maka profesionalitas guru tidak perlu khawatir akan kekurangan pendapatan. Apabila guru dapat menempatkan diri dengan baik dihadapan masyarakat dengan segala kualifikasi yang dimilikinya guru tidak perlu takut akan dipandang rendah bahkan tidak dihargai.
Lain daripada itu guru yang bermutu adalah guru yang kreatif dan mampu menjadi pembangkit kreativitas dan guru yang berkualitas adalah guru yang berikir kritis dan kreatif. Pada umumnya guru yang kreatif itu pernah dididik oleh orang-orang yang kreatif dalam lingkungan yang memanfaatkan ilmu dan keahlinya untuk selalu mengkomunikasikan kepada anak-anak didiknya ide-ide lama dan ide-ide baru dalam bentuk yang baru (Balnadi Sutadipura, 1985). Yang dimaksud dengan berfikir kritis adalah cara berfirkir yang otonom dan objektif dan berfirkir kreatif adalah mengolah apa yang kita ahayati secara otonomo dan objektif sedemikian rupa sehingga mutunya dapat ditingkatkan. (Ki Muhammad Said Reksohadi Pridjo, 1989).
Seandainya seorang guru telah memiliki profesionalisme keguruan maka tidak hanya berhenti sampai disana melainkan guru harus terus mengmebangkan sikap profesionalnya dalam jabatan keguruanya. Peningkatan profesi profesi keguruan dapat dilakukan secara formal melalui kegiatan penatan guru, lokakarya, seminar atau kegiatan ilmiah lainya ataupun secara informal melalui media massa. Hal ini akan meningkatkan pengetahuan dan ketrampilan seorang guru. (Soetjipto & Raflis Kosasih; 1999).


D. UU No. 14 2005 ; Profesionalitas Guru Antara Harapan Dan Tantangan
Sejak dari dulu keberadaan guru mendapat tempat tersendiri dalam masyarakat, dan dalam bidang pendidikan merupakan faktor kunci dari keberhasilan tujuan pendidikan dan kualitas peserta didik. Meskipun sedemikian strategis peran guru, setelah puluhan tahun Indonesia merdeka kita belum memiliki undang-undang yang khusus mengatur tentang guru dan dosen. Dari sisi ini, kelahiran UU Nomor 14 Tahun 2005 pantas disambut baik, terlepas dari berbagai kelemahan dan kekurangannya. Bagaimana pun strategisnya peran guru dan dosen dalam dunia pendidikan, apabila tidak ada undang-undang yang mengaturnya, ia tidak saja melahirkan kerumitan dalam pengembangan profesi, juga melemahkan etos kerja guru dan dosen. Dalam konteks ini haruslah dipahami, bahwa UU No.14 Tahun 2005 tidak terlepas dari fungsinya sebagai hukum.
Fungsi peraturan perundang-undangan sebagaimana halnya dengan UU No.14 Tahun 2005 meliputi fungsi ketertiban, fungsi keadilan, fungsi penunjang pembangunan, fungsi mendorong perubahan sosial. Atas dasar itu, maka dengan diundangkannya UU No.14 Tahun 2005, maka guru telah memiliki pijakan dan pegangan dalam menjalankan profesi. Guru yang selama ini cenderung hanya dipandang sebagai profesi mulia dan strategis, namun belum diikuti dengan pengembangan dan peningkatan profesi yang berkualiatas dan bermartabat. Disisi lain guru dituntut beban untuk menghasilkan peserta didik yang bermutu. Diakui memang, ada sejumlah peraturan perundang-undangan yang menyentuh pengembangan dan peningkatan profesi guru, tetapi hal itu lebih kepada aspek prosedur administrative profesi dan bukan menyakut profesi guru dan dosen itu sendiri. Dari sisi inilah saya pikir arti penting kehadiran UU No.14 Tahun 2005.
Pengundangan UU No.14 Tahun 2005 mau tidak mau membawa perubahan mendasar pada dunia profesi guru dan dosen dan dunia pendidikan dimasa datang. Hal ini dapat dipahami dengan mudah sebagaimana dituangkan dalam pasal 4 dan 5 UU No.14 Tahun 2005 yang pada intinya menyatakan; Kedudukan guru sebagai tenaga profesional berfungsi untuk meningkatkan martabat dan peran guru sebagai agen pembelajaran berfungsi untuk meningkatkan mutu pendidikan nasional dan Kedudukan dosen sebagai tenaga profesional berfungsi untuk meningkatkan martabat dan peran dosen sebagai agen pembelajaran, pengembangan ilmu pengetahuan, teknologi dan seni serta pengabdi kepada masyarakat berfungsi untuk meningkat mutu pendidikan nasional.
Meletakan kedudukan dan fungsi guru yang demikian adalah guna mewujudkan tujuan pendidikan nasional yaitu berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri serta menjadi warga Negara yang demokratis dan bertanggung jawab. Karena itu menjadi logis, bahwa tercapainya tujuan pendidikan nasional yang diharapkan, hanya apabila guru benar-benar menjadi tenaga profesional yang dibuktikan dengan sertifikat pendidik, yaitu bukti formal sebagai pengakuan yang diberikan kepada guru sebagai tenaga profesional. Disisi lain, tidak semua orang memiliki kesempatan untuk diangkat menjadi guru pada satuan pendidikan tertentu, melainkan hanya bagi mereka yang telah memperoleh sertifikat pendidik.
Ketentuan peraturan perundang-undangan sebagaimana dikemukakan di atas selain berkonsekuensi kepada pengelolaan sumber daya guru, manajemen pendidikan, dipihak lain pihak sekaligus UU No.14 Tahun 2005 menghendaki terwujudnya peserta didik yang bermutu. Dalam hubungan ini jelas penempatan guru sebagai pendidik profesional, tidak hanya melulu berkaitan dengan soal finasial, tetapi berjalan secara integral dengan kualifikasi, komptensi dan sertifikasi pendidik.
Mewujudkan guru sebagai pendidik profesinal, hanya dapat dicapai apabila ketentuan-ketentuan yang termuat dalam UU No.14 Tahun 2005 dijalankan dengan konsisten dan utuh.
1. Guru wajib memiliki kualifikasi akademik, kompetensi, sertifikat pendidik, sehat jasmani serta memiliki kemampuan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional.
2. Guru berkewajiban ;
a. merencanakan pembelajaran, melaksanakan proses pembelajaran yang bermutu, serta menilai dan mengevaluasi pembelajaran. b. Meningkatkan dan mengembangkan kualifikasi akademik dan komptensi secara berkelanjutan sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi dan seni. c. Bertindak objektif dan tidak deskriminatif atas pertimbangan jenis kelamin, agama, suku, ras dan kondisi fisik tertentu, latar belakang keluarga, status sosial ekonomi peserta didik dalam pembelajaran. d. Menjunjung tingggi peraturan perundang-undangan, hukum dan kode etik guru serta nilai agama dan etika, dan; e. Memelihara dan memupuk persatuan dan kesatuan bangsa.
3. Tenaga kerja asing yang dipekerjakan sebagai guru pada satuan pendidikan di Indonesia wajib memenuhi kode etik guru dan peraturan perundang-undangan.
4. Guru yang diangkat oleh pemerintah atau pemerintah daerah wajib menanda tangani pertanyaan kesanggupan untuk ditugaskan didaerah khusus paling sedikit 2 tahun.
5. Guru wajib menjadi anggota organisasi profesi
6. Dosen wajib memiliki kualifikasi akademik, kompetensi, sertifikat pendidik, sehat jasmani dan rohoni dan memenuhi kualifikasi lain yang dipersyaratkan satuan pendidikan tinggi tempat bertugas, serta memiliki kemampuan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional.
7. Setiap orang yang akan diangkat menjadi dosen wajib mengikuti proses seleksi
9. Tenaga kerja asing yang diperkerjakan sebagai dosen pada satuan pendidikan tinggi di Indonesia wajib mematuhi peraturan perundang-undangan.
10. Pemerintah dan pemerintah daerah wajib menyediakan anggaran untuk peningkatan kualifikasi akademik dan sertifikasi pendidik bagi guru dalam jabatan yang diangkat oleh satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh pemerintah, pemerintah daerah dan masyarakat.
11. Pemerintah Wajib memenuhi kebutuhan guru, baik dalam jumlah, kualifikasi akademik maupun dalam kompetensi secara merata untuk menjamin keberlangsungan satuan pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal serta menjamin keberlansungan pendidikan dasar dan menengah yang diselenggarakan pemerintah
12. Pemerintah provinsi, kabupaten/kota wajib memenuhi kebutuhan guru, baik dalam jumlah, kualifikasi akademik, maupun dalam kompetensi secara merata untuk menjamin keberlangsungan satuan pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal serta menjamin keberlansungan pendidikan dasar dan menengah yang diselenggarakan pemerintah sesuai dengan kewenangan.
13. Dalam hal terjadi kekosongan guru, pemerintah atau pemerintah daerah wajib menyediakan guru pengganti
14. Pemerintah dan pemerintah daerah wajib membina dan mengembangkan kualifikasi akademik dan kompetensi guru pada satuan pendidikan yang diselenggaran oleh pemerintah, pemerintah daerah dan/atau masyarakat,
15. Pemerintah dan pemerintah daerah wajib memberikan anggaran untuk meningkatkan profesionalitas dan pengabdian guru pada satuan pendidikan yang diselenggaran oleh pemerintah, pemerintah daerah dan/atau masyarakat.
16. Pemerintah, pemerintah daerah, masyarakat organisasi profesi dan/atau satuan pendidikan wajib memberikan perlindungan terhadap guru dalam pelaksanaan tugas.
17. Pemerintah, pemerintah daerah wajib memfasilitasi satuan pendidikan tinggi yang diselenggarakan oleh masyarakat untuk menjamin terlenggaranya pendidikan yang bermutu.
18. Pemerintah wajib membina dan mengembangkan kualifikasi akademik dan kompotensi dosen pada satuan pendidikan tinggi yang diselenggarakan oleh Pemerintah dan atau masyarakat.
19. Pemerintah wajib memberikan anggaran untuk meningkatkan profesionalitas dan pengabdian dosen pada satuan pendidikan tinggi yang diselenggarakan oleh pemerintah dan atau masyarakat.
20. Pemerintah, pemerintah daerah masyarakat organisasi profesi dan atau satuan pendidikan tinggi wajib memberikan perlindungan terhadap dosen dalam pelaksanaan tugas.
21. Penyelenggara pendidikan yang diselenggarakan masyarakar, wajib memenuhi kebutuhan guru tetap, baik dalam jumlah, kualifikasi akademik, maupun komptensinya untuk menjamin keberlansungan pendidikan.
22. Satuan Pendidikan yang diselenggarakan masyarakat wajib membina dan mengembangkan kualifikasi akademik dan kompetensi guru.
23. Satuan pendidikan tinggi yang diselenggarakan masyarakat wajib membina dan mengembangkan kualifikasi akademik dan kompetensi dosen,
24. Organisasi profesi guru wajib melaksanakan rekomendasi dewan kehormatan guru.
Dari sejumlah kewajiban guru dan dosen, kewajiban pemerintah dan masyarakat sebagaimana dikemukakan di atas, ternyata untuk mewujudkan guru dan dosen sebagai pendidik profesional membutuhkan perhatian dan kebijakan yang sungguh-sungguh dari guru dan dosen, dari pemerintah dan masyarakat. Ini pun baru hanya didasarkan pada sejumlah ketentuan yang dinyatakan dengan tegas dalam UU No.14 Tahun 2005 dengan kata “WAJIB”. Penegasan demikian, memperlihatkan suatu komitmen yang kuat dari kebijakan nasional dalam upaya mewujudkan guru dan dosen sebagai pendidik profesional. Namun persoalannya, ketentuan-ketentuan yang imperatif dalam UU No.14 Tahun 2005 itu secara konsisten dilaksanakan guru dan dosen, pemerintah dan masyarakat. Ketentuan yang imperatif dalam UU guru dan dosen tersebut, ternyata tidak disertai dengan ketentuan yang memberikan ruang bagi terlaksananya kebijakan-kebijakan yang sudah diberi penekanan “wajib” dalam UU guru dan dosen.

E. Tantangan Profesionalisme Guru
Pengesahan Undang-Undang Guru dan Dosen Nomor 14 Tahun 2005 menjadi penanda bahwa profesi guru tidak hanya sebatas pengabdian dengan jaminan kesejahteraan minim. Dengan keberadaan UU ini, guru adalah orang yang betul-betul profesional dengan jaminan kesejahteraan memadai. Ini merupakan elan baru dalam dunia keguruan Indonesia. Dengan jaminan UU ini, terdekonstruksilah makna profesionalisme guru yang dulunya tidak diminati menjadi profesi yang paling diminati di antara profesi lainnya, seperti ditunjukkan dari hasil jajak pendapat yang dilakukan Litbang Kompas beberapa waktu lalu. Dari hasil jajak pendapat tersebut diketahui bahwa profesi guru menjadi profesi yang paling diminati di antara profesi lain, seperti dokter dan wartawan.
Profesi guru merupakan profesi yang paling diminati. Profesionalisme dalam arti dasar adalah ketika seseorang bekerja sesuai dengan basis pendidikannya masing-masing. Seorang pengajar di lembaga pendidikan haruslah berpendidikan dari lembaga pendidikan tinggi keguruan (LPTK). Ketika lulusan LPTK bekerja menjadi akuntan, itu tidak bisa dikatakan profesional. Dalam kaitannya dengan kesejahteraan (baca: imbalan) adalah hal wajar ketika seorang profesional mendapatkan imbalan memadai karena dia akan bekerja maksimal sehingga menghasilkan sesuatu yang berkualitas. Hubungan antara profesionalisme dan imbalan bersifat linear.
Namun, dalam konteks pendidikan Indonesia, khususnya dunia keguruan, gambaran tersebut baru berlaku setelah UU Guru dan Dosen disahkan. Sebelumnya profesi guru tidak lebih seperti "pepesan kosong". Dari luar kelihatannya sangat elok dan menarik, tetapi isinya kosong. Jabatan guru memang mendapatkan tempat di hati masyarakat, tetapi ketika berbicara tentang kesejahteraan, nilainya sangat minim (baca: kosong). Di Indonesia hal yang linear itu tidak terjadi.
Alibi dari minimnya kesejahteraan tersebut adalah kemampuan negara yang memang minim. Di satu sisi alibi ini bisa diterima, tetapi di sisi lain sulit diterima. Di luar alibi tersebut realitas berkata, sebelum UU Guru dan Dosen disahkan, kesejahteraan guru betul-betul sangat minim. Jangka waktu disahkannya UU Guru dan Dosen ini sangatlah lama. Dalam amatan penulis, secara sederhana kondisi ini telah menimbulkan beberapa masalah dalam dinamika kehidupan guru yang tampaknya masih terkandung sampai sekarang, termasuk ketika UU Guru dan Dosen telah disahkan pemerintah baru-baru ini. Masalah tersebut adalah masalah kultural/tradisi, moral, dan struktural.
Kemunculan masalah kultural/tradisi bertitik tolak dari permasalahan waktu. Lamanya kondisi guru berada dalam ketidaksejahteraan telah membentuk tradisi-tradisi yang terinternalisasi dalam kehidupan guru sampai sekarang. Konkretnya, tradisi itu lebih mengacu pada ranah akademis.
Minimnya kesejahteraan guru telah menyebabkan konsentrasi guru terpecah menjadi beberapa sisi. Di satu sisi seorang guru harus selalu menambah kapasitas akademis pembelajaran dengan terus memperbarui dan berinovasi dengan media, metode pembelajaran, dan kapasitas dirinya. Di sisi lain, sebagai efek demonstrasi dari minimnya kesejahteraan, seorang guru dituntut memenuhi kesejahteraannya secara berbarengan.
Dalam praktiknya, seorang guru sering kali lebih banyak berjibaku (baca: berkonsentrasi) dengan usahanya dalam memenuhi kesejahteraan keluarga. Akhirnya, seiring dengan perjalanan waktu, sisi-sisi peningkatan kualitas akademis menjadi tersisihkan dan hal ini terus berlangsung sampai sekarang. Minimnya kesejahteraan guru dalam jangka waktu lama telah menggiring budaya/tradisi akademis menjadi terpinggirkan. Permasalahan moral muncul hampir berbarengan dengan permasalahan kultural. Hemat penulis, permasalahan moral ini bisa disamakan dengan permasalahan watak dari guru itu sendiri. Akar masalahnya sama, muncul sebagai efek demonstrasi dari minimnya kesejahteraan guru. Minimnya kesejahteran guru secara tidak langsung telah menggiring guru-guru dalam ruang-ruang sempit pragmatisme. Yang terbayang oleh seorang guru ketika melaksanakan proses pendidikan adalah bagaimana seorang guru bisa dengan cepat menyelesaikan target studi yang telah dirancang. Setelah itu guru bisa langsung beralih profesi sejenak demi mendapatkan tambahan pendapatan karena kesejahteraannya minim. Akhirnya, pendidikan yang seyogianya diselenggarakan melalui proses memadai terabaikan. Hasil akhir menjadi target utama dibandingkan dengan proses yang dilaksanakan. Inilah wujud nyata dari watak-watak pragmatis sekaligus tantangan berat profesionalisme guru.
Permasalahan dan tantangan secara struktural lebih mengacu pada kondisi atau struktur sosial seorang guru di luar proses pendidikan (baca: lingkungan sosial). Jika mengacu pada sumber masalah, hal ini berasal dari minimnya kesejahteraan yang dimiliki seorang guru. Minimnya tingkat kesejahteraan secara materialistis dari seorang guru telah menyebabkan posisi sosial guru di masyarakat tersubordinasi. Posisi sosial guru menjadi terkesan lebih rendah daripada masyarakat lain yang berprofesi bukan guru, katakanlah itu seorang konsultan, manajer, pengacara, dan lainnya. Padahal, seperti kita ketahui, secara hakikat, profesi yang digeluti seseorang adalah sama, tidak saling menyubordinasi. "Inferiority complex"
Yang perlu mendapatkan perhatian serius dalam hal ini adalah efek dari subordinasi sosial tersebut. Efek tersebut adalah perasaan rendah diri dari seorang guru, atau dalam bahasa Pramoedya Ananta Toer sebagai inferiority complex. Bagi seorang guru, perasaan rendah diri seperti ini merupakan hal yang harus dihindari. Fungsi guru sebagai pentransformasi sosial kepada peserta didik memerlukan kepercayaan diri yang besar. Bukan tidak mungkin perasaan-perasaan rendah diri tersebut akan menular kepada peserta didik. Hal ini tentu saja sangat berbahaya.
Apa yang bias disimpulkan secara sederhana dari ketiga masalah tersebut adalah bahwa akar permasalahan guru kontemporer adalah tingkat kesejahteraan. Minimnya tingkat kesejahteraan guru menjadi permasalahan pokok. Di luar kontroversi tentang UU Guru dan Dosen tersebut, kita mendapatkan pembenaran dari UU Guru dan Dosen tersebut, yaitu untuk meningkatkan kesejahteraan guru.
Lima tahun pascapengesahan UU Guru dan Dosen merupakan masa transisi menuju profesionalisme guru seutuhnya. Oleh karena itu, dalam konteks menuju profesionalisme guru seutuhnya tersebut, masalah-masalah di atas seyogianya diposisikan sebagai sebuah tantangan yang harus segera dijawab.
Ketika tahun 2009 diisi oleh kerja keras guru dalam menjawab ketiga tantangan tersebut, perjuangan menuju profesionalisme guru telah melaju beberapa langkah ke depan. Dengan demikian, menjadi hal wajar apabila tahun 2009 dijadikan sebagai tahun menuju profesionalisme guru seutuhnya. Semoga tahun 2009 menjadi kado manis bagi dunia pendidikan Indonesia
F. Referensi


Adiningsih, NU. Kualitas dan Profesionalisme Guru, Pikiran Rakyat(Online) Oktober 2002. (http://www.pikiranrakyat.com)
Ilham Radi Azis, Menjadi Guru Profesional Di Tengah Euphoria UUSPA, artikel, (Panrannuang Pos edisi Januari 2007).
http://wwwilhamradi-sanrobone.blogspot.com/2008/12/profesionalisme-guru-dan-tantangannya.html
http://tyaeducationjournals.blogspot.com/2008/04/profesi-guru-di-tengah-masalah-masalah.html
http://guru-sditharbun.blogspot.com/2008/04/tantangan-membangun-guru-profesional.html
Sudjana, Nana, Dasar-dasar Proses Belajar Mengajar, Bandung: Sinar Baru, 1989.
Soetjipto & Raflis Kosasih; 1999, profesi keguruan, Jakarta : Rineka Cipta
Sidi, Indra Djadi, Menju Masyarakat Belajar, Jakarta:logos
Tilaar, H.A.R 1999, Beberapa Agenda Reformasi Pendidikan dalm Perspektif abad 21, Jakarta: Tiara Indonesia

Minggu, 01 November 2009

Silabus Matakuliah Kapita Selekta Pendidikan Islam

Mata Kuliah : Kapita Selekta Pendidikan Islam
Komponen : MKK
Fak : Tarbiyah
Jurusan : Semua Jurusan
Program : Strata 1
Bobot : 2 SKS
Semester : VII
Kode : TAR 708

A. KOMPETENSI DASAR
Agar mahasiswa memahami dan menguasai persolan-persoalan aktual Pendidikan Islam baik secara konsep maupun operasionalnya, terutama di Indonesia.

B. HASIL BELAJAR
Mahasiswa dapat menguasai, menyelesaikan dan menerapkan prinsip-prisnip Pendidikan Islam dalam menyelesaikan persoalan-pesoalan Pendidikan di lingkungan rumah tangga, sekolah maupun masyarakat secara konseptual maupun operasional.

C. INDIKATOR
Mahasiswa dapat :
1. Mengidentifikasi tantangan dan persoalan-persoalan pendidikan Islam baik konsep mauapun operasionalnya.
2. Menentukan langkah-langkah strategis pengembangan pendidikan Islam di era globalisasi.
3. Menjelaskan dan menyelesaikan persolan-persoalan pendidikan Agama di madrasah dan sekolah umum.
4. Menjelaskan dan menyelesaikan persolan-persoalan pendidikan di Pesantren.
5. Menjelaskan kebijakan-kebijakan pemerintah sejak sejak zaman kolonial saampai reformasi terhadap Pendidikan Islam di Indonesia.
6. Merumuskan konsep Pendiidkan Islam tentang pengembangan Islam era globalisasi dan konsep pemberdayaan umat.
7. Mengkaji secara kritis terhadap pemikiran-pemikiran tokoh Islam tentang Pendidikan tentang Pendidikan Islam.

D. MATERI POKOK
1. Tantangan Lembaga Pendidikan Islam.
2. Langkah-langkah strategis pengembangan pendidikan Islam di era globalisasi.
3. Isu-isu pendidikan Islam di madrasah.
4. Isu-isu pendidikan Islam di sekolah umum.
5. Pengembangan sistem pendidikan Islam di Pesantren.
6. Kebijakan pemerintah terhadap Pendidikan Islam di Indonesia (Kolonial-Reformasi)
7. Pendidikan Islam dan Sistem Pendidikan Nasional
8. Pendidikan Islam dan IPTEK
9. Pendidikan Islam di era Globalisasi
10. Pendidikan Islam pengembangan SDM .
11. Pendidikan Islam dan pemberdayaan ummat
12. Tokoh-tokoh pendidikan Islam

E. STRATEGI PEMBELAJARAN
Untuk mencapai hasil yang be.lajar yang optimal, maka strategi belajar yang ditempuh sebagai berikut :

13. Dosen memberikan penjelasan tentang materi kuliah secara komprehensif, baik materi, pola pendekatan pemecahan dan strategi penguasaan materi.
14. Mahasiswa diberikan tugas-tugas mengidentifikasi masalah-masalah yang dihadapi pendiikan Islam baik formal, informal, maupun non-formal.
15. Mahasiswa dibagi dalam beberpa kelompok dan diberi wewenang penuh untuk mermuskan, menyajikan dan menyelesaikan beban tugas masing-masing.
16. Dosen dan mashasiswa bersama-sama mendiskusikan topik-topik yang disajikan, sehingga penguasaaan terhadap materi lebih intensif dan komprehensif.
17. Dosen dan dan mahasiswa bersama-sama mengevaluasi hasil belajar yang diharapakan dengan proses belajar yang dialami.

F. URAIAN TUGAS MAHASISWA
1. Meriview buku KSPI Karangan Drs. Akmal Hawi, M.Ag untuk setiap kelompok sebagai bahan diskusi belajar di kelas
2. Membuat Tugas makalah (pribadi) dengan tema yang sama dengan review dikumpul di ahir semester dan digunakan sebagai pengganti semesteran (materi 70% di ambil dari internet)
3. Setiap Mahasiswa mempunyai Blog pribadi untuk kpentingan kuliah dan nama blog akan dikumpul bersamaan dengan tugas makalah serta mem-postingkanya- dalam blog tersebut.


F. SARANA DAN SUMBER BELAJAR
1. Papan tulis, penghapus dan spidol.
2. Buku sumber tentang Pendidikan Islam seperti Jurnal, makalah, Buku, dan karya ilmiah yang relefan
3. Dosen Kapita Selekta Pendidikan Islam yang berkompeten
4. Buku acuan :
 Drs. Akmal Hawi, M.Ag, Kapita Selekta Pendidikan Islam, Palembang; P3RF, 2005
 Drs. Hasbullah, Kapita Selekta Pendidikan Islam, Jakarta; Rajawali Press, 1998
 Prof. Muzayyin Arifin, M.Ed, Kapita Selekta Pendidikan Islam, Semarang; Toha Putra, 1987

G. PENILAIAN
Penilaian didasarkan pada :
18. Kehadiran dan keaktifan dalam perkuliahan
19. Ujian mid dan ahir semester
20. Makalah kelompok dan individu

Palembang, Juli 2009
Muhtarom, S.Pd.I
Dosen

Silabus Pembekalan KKN

Mata Kuliah : KKN (Pembekalan)
Komponen : MBB (Mata Kuliah Berkehidupan Bermasyarakat)
Fak : Tarbiyah
Jurusan : Semua Jurusan
Program : Strata 1
Bobot : 2 SKS
Semester : VI
Kode : INS 701

A. KOMPETENSI DASAR
Agar mahasiswa memahami filosofi, tujuan, dan misi KKN IAIN Raden Fatah, mampu menyusun program KKN yang relevan dengan situasi dan potensi masyarakat dan memiliki kesiapan mental untuk melaksanakan Kuliah Kerja Nyata.

B. HASIL BELAJAR
Mahasiswa memiliki wawasan seputar KKN dan mampu mendasain program-program yang relevan dengan situasi dan potensi masyarakat yang kemudian diharapkan mampu melaksanakan program-program tersebut pada saat praktek KKN

C. INDIKATOR
Mahasiswa dapat :
1. Menjelaskan tentang misi dan tujuan program KKN
2. Menjelaskan tentang teknik pendekatan kepada masyarakat melalui tinjauan sosiologi
3. Menyusun desain program-program pelaksanaan KKN
4. Mengidentifikasi kebutuhan-kebutuhan dimasyarakat sebagai bahan untuk perumusan program KKN
5. Menjelaskan dan melaksanakan keterampilan yang terkait dengan ilmu-ilmu keagamaan untuk bekal pengabdian kepada masyarakat.

D. MATERI POKOK
1. Pengabdian kepada masyarakat sebagai salah satu Tri Dharma Perguruan Tinggi
2. Pembangunan di pedesaan
3. Teknik pendekatan kepada masyarakat desa
 Sosiologi Pedesaan
 SDM masyarakat Sumatera Selatan
4. Riset dan survey desa untuk keperluan KKN
5. Lembaga-lembaga perekonomian masyarakat desa (koperasi, BPR, BaZIS, asuransi Islam) dan lain-lain
6. Pembinaan kepemudaan, manajemen masjid, TPA
7. Penyusunan proram KKN, praktek penyusunan program (simulasi) dan pembuatan laporan. ----------------------(praktek menyusun program)
8. Praktek keterampilan khusus (Imam, Muazzin, Khatib, Berzanji, Mengurus Jenazah dan memimpin pelaksanaan kegiatan keagamaan dan bimbingan lainya di pedesaan)

E. STRATEGI PEMBELAJARAN
Strategi pembelajaran didasarkan pada prinsip belajar aktif (active learning) yang di orientasikan agar mahasiswa memahami, menghayati, memiliki nilai dan sikap serta keterampilan dalam melaksanakan persiapan KKN secara mandiri (inquiry).

Beberapa strategi yang dapat digunakan adalah : Small group discussion, interaktif lecturing, the power of two, information search, everyone is a teaceher here, collaborative learning dan independent learning.

F. SARANA DAN SUMBER BELAJAR
1. Dosen yang berkompeten dibidangnya
2. Jurnal, makalah, Buku, karya ilmiah yang relefan.
3. Buku acuan :
 Ahmad Fida’ dkk, Pedoman Pelaksanan KKN, Jakarta: Penerbit Rineka Cipta, 1977
 P.Hagul,. Pembangunan Desa dan Lembaga Swadaya Masyarakat, Yogyakarta: yayasan Dian, 1985
 Imam Sutrisno, KKN Sebagai kegiatan Intrakurikuler, Semarang: Undip, 1991
 ___________, Langkah-Langkah Pemecahan Masalah Masyarakat, Semarang: Undip, 1991
 Nisyamhuri, Mahasiswa dan Pembangunan Desa, Semarang: Undip, 1991
 Hasil seminar dan pertemuan mengenai pengabdian kepada masyarakatoleh Ditbinpertais Departemen Agama.
 Buku Panduan KKN STAIN Kudus.

G. PENILAIAN
Disamping melalui tes tertulis, penilaian (evaluasi) juga dilakukan melalui pengamatan terhadap partisipasi mahasiswa di kelas sewaktu perkuliahan berlangsung, prosentase kehadiran (presensi), hasil eksplorasi dan tugas praktek pembekalan KKN serta tugas-tugas yang relefan terhadap materi perkuliahan.

Palembang, Juli 2009




Muhtarom, S.Pd.I
Dosen
 

Translate

Total Tayangan Halaman

Islamic Education Copyright © 2009 Community is Designed by Bie