Senin, 11 Januari 2010

Pembaharuan Muhmmadiyah, Persis, NU & Masyumi



PENDAHULUAN


Masyarakat Indonesia dewsa ini merupakan masyarakat peralihan yang mengalami transformasi sosial, politik ekonomi dan budaya yang cepat serta memperoleh pengaruh dari dunia luar secara intens, industrialisasi, urbanisasi, sekulerisasi, polarisasi masyarakat Indonesia yang cendrung menjadi berbagai kelas merupakan proses yang terus berjalan dengan segala macam implikasinya. Dalm kontekes perubahan atau pembaharuan inilah organisasi islam yang berkembang dalam bidang agama dan politik yang banyak di bahas di kalangan masayarakat luas, dan juga di makalah ini terdapat empat organisasi islam yang berkembang di Indonesia yang berkenaan dengan masalah keagamaan dan politik dari prasejarah hinga hingga pembaharuan keislamannya.


PEMBAHASAN


A. Muhammadiyah

Ketika Muhammadiyah didirikan oleh KH, Ahmad Dahlan pada tahun 1912, umat islam sedang dalam kondisi yang sangat terpuruk, Bersama seluruh bangsa Indonesia, mereka terbelakang dengan tingkat pendidikan yang sangat rendah kemakmuran dan ekonomi yang parah serta kemampuan politis yang tidak berdaya. Lebih memperhatinkan lagi identitas keislaman merupakan salah satu poin negatif kehidupan umat, Islam waktu itu identik dengan profil kaum santri yang selalu mengurusi kehidupan akhirat sementara tidak tahu dan tidak mau tahu dengan perkembangan zaman, Sementara lembaga organisasi keagamaan juga masih berkelut dengan urusan yang tidak banyak bersentuh dengan dinamika realitas sosial apalagi berusaha untuk memajukan.

Ajaran islam seakan menjadi belenggu yang semakin membenamkan umatnya kepada situasi yang tidak berharga dan tidak berdaya, disisi lain kelompok masyarakat yang terdidik menjadi alergi dengan islam dan kaum muslim karena dianggap sebagai sumber keterbelakangan masyarakat dan tidak bisa dijadikan jalan untuk membangun masa depan yang lebih baik.

Sebagaimana tercermin dalam profil pendirinya Muhammadiyah hadir sebagai pendobrak di inspirasikan oleh gerakan pembaharuan islam di dunia internasional yang ditokohi jamaludin Al-afgani, Muhammad abduh, Rasyid Ridho dan lain-lain, Muhammadiyah bergerak menggali nilai-nilai islam yang benar dan universal sebagai petunjuk hidup dan kehidupan. Kemudian Muhammadiyah berkembang dalam arah gerakan modernis, sebagai avan grade masyarakat Indonesia yang sedang bangkit dari tidur panjang selama tiga setengah abad di bawah kolonialisme, sejalan dengan logika modernisme secera akumulatif Muhammadiyah berkembang menjadi jaringan organisasi besar dengan amal usaha yang makin meningkat dalam jumlah dan ragamnya.

Ada dua arah perkembangan Muhammadiyah dalam kerangka kemodernanya, yaitu yang pertama pertumbuhan dan kemajuan ide tentang pertumbuhan growth dan kemajuan progress merupakan dua kata kunci utama kebudayaan modern yang menggambarkan akumulasi jumlah quantity dan peningkatan keragaman diversity.Keduanya merupakan rumusan atau turunan dari ciri utama modernisme dan materialisme Muhammadiyah mencoba menyuntikkan nilai-nilai materialisme kedalam masyarakat yang telah keropos karena mengaggap kehidupan materi duniawi tidak memiliki nilai-nilai secara religius.

Arah perkembangan kedua adalah sistematisasi, yang merupakan rumusan turunaan dari prinsip modernisme, sistematisasi ini tidak mengarah organisasional dengan dibentuknya berbagai majelis dan organisasi otonom melainkan juga dalam kehidupan beragama, mulai di bentuk lembaga untuk mensisitematisir pemahaman, pemikiran dan pelaksanaan peribadatan yaitu majelis tarjih dan hasilnya disistematisir dalam sebuah manual himpunan putusan tarjih, kedua trobosan tersebut, pertumbuhan, perkembangan, kemajuan dan upaya membangun masyarakat umat islam dari masyarakat bodoh, miskin terbelakang dan terjajah hinga menjadi masyarakat yang mandiri, makmur dan berpendidikan. (Abdul Munir Mulkhan. 1990, hal; 1-2)

Dua arah perkembangan tersebut di jadikan oleh organisasi Muhammadiyah dalam kerangka modernisasi dan sistematisasi itu merupakan rumusan untuk memajukan agama islam yang murni menurut Al-Qur’an dan sunnah rosull

Karanka pandangan dunia modernis makin lama makin banyak maendapat kritik karena dianggap tidak lagi sesuai, orang-orang modrnis dianggap telah melangkah terlalu jauh dengan menjadikan rasionalisme dan materialisme bukan lagi perangkat analisis, melainkan sebagai ideologi, dengan menjadikan materialisme dan rasionalisme sebagai ideologi orang-orang modernis telah mutlak kedua nilai tersebut dan gagal melihat berbagai keterbatasan yang inheren di dalamnya.

Orang-orang muhamadiyah belum mampu memahami bahwa bentuk gerakan mereka merupakan sebuah hasil pemikirannya untuk mengatasi tuntutan keadaan, krangka organisasi modernis hanyalah sarana untuk mengaktualisasikan nilai-nilai keislaman dalam konteks masyarakat pada waktu itu, modernisme bisa dikatakan bukan substansi gerakan yang di bangun oleh K.H.A Dahlan hingga kinipun orang lebih mengenal gerakan anti TBC (tahayul, bid’ah, dan curafat) dan bukan gerakan sosial dan budaya.

Prinsip utama gerakan Muhammadiyah merupakan hasil pemahaman terhadap ajaran islam yang termaktub dalam al-qur’ann dan sunnah hasil pemahaman demikian dirumuskan sebagai pola kelakuan perjuangan muhammadiyah yang kemudian mendorong memberi arah dan bentuk setiap aktifitas Muhammadiyah, keseluruhan dari prinsip perjuangan Muhammadiyah dapat dikelompokan menjadi lima prinsip yaitu; Prinsip gerakan islam

1. Prinsip gerakn sosial
2. Prinsip gerakan dakwah
3. Prinsip gerakan ilmu
4. Prinsip gerakan tajdid

Dari 5 prinsip tersebut merupakan sistem gerakan muhammadiyah dalam pembaharuan islam, Dilain pihak KH, Ahmad Dahlan juga melihat perlunya dilakukan pembaharuan system pendidikan islam dari pesantren menjadi system pendidikan modern, karena itu tidak mengherankan jika berdirinya muhammadiyah diawali dengan “pendiri sekolah islam, yaini gabungan antara pendidikan umum dengan system madrasah, dirumah sendiri dikampung kauman yogyakarta, melalui lembaga pendidikan inilah pendiri Muhammadiyah ini mencoba merealisasikan gagasannya untuk menjadi organisasi sosial keagamaan berlebel Reformasi. (Abdul MM, 2000: 157), hubungan sistematik kelima prinsip gerakan Muhammadiyah menjadikan setiap akivitas harus menjalankan kelima prinsip tersebut, hal ini berarti bahwa suatu kegiatan sebagai penerapan satu prinsip lainnya bahkan sekaligus merupakan penrapan prinsip lainnya, namun demikian karena prioritas nya diterapkan sebagai nsatu prinsip gerakan tertentu, maka arh utama dari kegiatan tetap didasarkan pada prinsip garakan.

Kehadiran sebuah organisasi sosial keagamaan dengan predikat pembaharu pada dasa warsa kedua, abad kedua puluh ini dipandang sebagai satu kemajuan besar dikalangan umat islam.. Tradisi keagamaan yang dipengaruhi oleh budaya keraton dan sinkretis, menyebabkan K.H.A. Dhlan memilih pembaharuan sebagai upaya memurnikan ajaran islam, dengan cara mengembalikannya kepada dua sumber utama yaitu; Al-Qur’an dan As-sunnah. (M.Rusli Karim, 1986; 17-18)

Sejak Muhammadiyah didirikan “bernawitu” menjadi gerakan islam sesuai dengan bimbingan Allah dalam A-Qur’an serta teladan Rosulullah dalam fikiran modern yang selaras dengan kedua basis sebelumnya, dengan dasar-dasar tersebut Muhammadiyah mampu menumbuhkan cara hidup yang dinamik, rasional, dan individualistic serta gaya hidup kota yang duniawi dan mampu mengkombinasikan pola dan metodeorganisasi barat yang modern dengan prinsip dan nilai islam mempunyai kepercayaan pada diri sendiri, jadi jelas pilihan yang dijatuhkan, sebagai gerakan tjdid menempati dua sisi mata uang yang sama. Pemurnian islam dari segala bentuk bid’ah dan kurafat serta penerapan islam dalam masyarakat dengan pola dan metode modern.

Dengan Islam benar Muhammadiyah menjadi kokoh, teguh dan berpribadi dengan ilmu-ilmu modern Muhammadiyah lebih mudah menerapkan islam dalam kehidupan masyarakat.

Etos Muhammadiyah sebagai gerakan pembaharuan islam terlalu sederhana untuk hanya dikaitkan dengan masalah kekuasaan politik apa lagi jabatan presiden, menteri atau DPR. Karena itu, penting bagi Muhammadiyah untuk tetap konsisten pada jati dirinya sebagai gerakan sosial dan budaya, jika pada satu masa nampak ketergiuran kader gerakan ini pada permainan kekuasan adalah pertanda dari sebagai pusat keunggulan peradaban, walaupun demikian, bagi muhammmadiyah, kejkuasaan atau partai politik bukansesuatu yang di pandang tidak panting atu di luar keberadaan dirinya sebagai gerakan sosial atau kebudayaan.

Di dalam dinamika demokrasi politik kebangsaan dan orientasi pad aide masyarakat madani di masa depan peran penting Muhammadiyah justeru terletak psda kemampuan gerakan menempatkan diri sebagai pencerah peradaban sebagai etos gerakannya. Inilah sebenarnya pesan pembaharuan kiayi Ahmad Dahlan, sehingga pada awal kemunculannya ia mampu menyerap berbagai pusat keunggulan pada masanya.

Gerakan tersebut mulai berubah lagisetelah mengalami formalisasi atas pembaharuannya dalam berbagai lembaga dan terutama sesudah pengembangan Tarjih sebagai lembaga fatwa hukum fikih, sejak itu tidak lama pendiri wafat, sebenarnya gerakan ini mulai mengalami proses tradisionalisasi, Muhammadiyah seolah-olah identik dengan tarjih yang kemudian diartikan hanya sebagai lembaga fatwa syariah (fikih).

Formalisasi dan tradisionalisasi itu menjadi lebih hebat sesudah ketertarikan Muhammadiyah terhadap kekuasaan dan permainan politik praktis menjadi semakin besar tidak lama sesudah kemerdekaan, tahun 1945 khususnya bersamaan dengan berdirinya Masyumi, salah satu penyebabnya ialah kekaguman para aktivis Muhammadiyah terhadap keberhasilan kiayain Ahmad Dahlan dalam membangkitkan semangat sosial dan kebudayaan pemeluk islam, demikian pula keberhasilan kyaiA hmad Dahlan mendorong tumbuhnya berbagai amal usaha atau berbagai lambaga sosial yang terus bertambah hampir tanpa seinngat terutama di bidang pendidikan dan kesehatan, pemujaan kebesaran diri itulah kemudian yang menyebabkan aktivisnya merupakan peran sejarah yang bisa dan harus dimainkannya.











B. PERSIS (PERSATUAN ISLAM)

PERSIS sebagai organisasi yang berlebel Modernis lahirnya persatuan islam di telah memberi warna baru bagi sejarah peradaban islam di Indonesia, persis yang lahir pada abad ke-20 merupakan respon terhadap kerakter keberagaman masyarakat islam di Indonesia yang cendrung sinkretik, akibat pengaruh prilaku keberagaman masyarakat, Indonesia sebelum kedatangan islam praktik-2 sinkretisme ini telah berkembang subur, akibat sikap akomodatif para penyebar islam di Indonesia terhadap adat-istidat yang sebelumnya telah mapan. Meskipun tidak dapat di pungkiri, bahwa keberhasilan penyeberan islam juga tidak lepas dari sikap akomodatif. Bagi PERSIS, praktik sinkretisme merupakan kesesatan yang tidak boleh dibiarkan berkembang dan harus segera dihapus karena bias merusak sendi-sendi fundamental agama islam.

Hal lain yang mejadi sasaran reformasi yang dilakukan persis adalah kejumudan berfikir yang dialami oleh sebagian besar umat islam Indonesia akibat tklid buta yamg mereka lakukan dalam menjalankan syari’at agama. Sebagai mana diketahui, bahwa praktik peribadatan masyarakat Indonesia pada umumnya didasarkan pada hasil rumusan para imam mazhab 800 tahun silam, Mereka beranggapan bahwa, hasil ijtihad para imam mazhab tesebut merupakan keputusan terbaik dan harus di ikuti apa adanya.(M.muksin, 2007; 224)

Dilacak dari akar sejarahnya, reformasi yang diusung persis merupakan pengaruh dari faham wahabi melalui para pendirinya, yaitu ketika organisasi persis pertama kali didirikan dikaota, di pelopori oleh H. Zam-zam dan H. Muhammad Yunus, mereka adalah ulama persis yang pernah pengenyam pendidikan di darul ulum, mekkah tempat berkembangnya paham wahabi. Hasil beklajar H. Zam-Zam ini kemudian di tularkan kepada segenap rekannya seperti H. Muhammad Yunus dan beberapa rekan lainnya yang sama-sama melakukan kenduri secara rutin di bandung, yang di isi dengan kajian-kajian keislaman dan teks-teks klasik dari ulama salafi. Muhammad yunus sendiri, meskkipun dia tdak pernah belajar di mekkah, dia memiki kemampuan bahasa arab, serta memiliki semangat yang tinggi untuk mengkaji kitab-kitb bahasa arab yang di belinya, dari hasil kajian-kajian inilah kemudian lahir pemikiran gerakan dan keislaman sebagai refleksi kritis terhadap situasi dan kndisi masyarakat islam indonesi, pemikir pembaharu yang banyak menentang praktik keagamaan yang tradisional dan banyak di pengaruhi oleh pemikiran salafi. (Muksin jamil, 2007: 225-227)

Dalam kepemimpinan persis periode pertama (1923-1942) berada di bawah pimpinan H. Zam-zam, Muhammad yunus, Ahmad hasan, dan Muhammad Natsir yang menjalanka roda organisasi pada masa penjajahan colonial belanda, dan menghadapi tntangan yang berat dalm menyebarkan ide-ide dan pemikiranna. Pada masa penduduk jepang (1942-1945), ketika semua organisasi islam dibekukan, para para pemimpin dan anggot persis bergerak sendiri-sendiri menentang usaha Niposisasi dalam pemusyrikan ala jepang,hingga menjelang proklamasi kemerdekaan pasca kemerdekaan, persis mulai reorganisasi yang telah di bekukan selama penduduk jepang, Melalui reorganisasi tahun 1941, kepemimpinan persis di pegang oleh para ulama generasi kedua diantaranya KH. M. Isa Anshari, sebagai ketua umum persis (1948-1960), K.H.E. Abdurahman, Fakhrudin Al-khahiri, K.H.O. Qomaruddin Saleh, dan lain-lain.

Pada masa ini persis dihadapkan pada pergolakan politik yang belum stabil, pemerintah republik Indonesia seperti mulai tergiring kearah demokrasi terpimpin yang di rancangkan oleh presiden Soekarno dan mengarah pada pembentuk negara dan masyarakat dengan ideologi Nasionalis, agama, komonis (NASAKOM), Setelah berakhirnya periode kepemimpina K.H. Muhammad Isa Ansshary, kepemimpinan persis di pegang oleh K.H..E. Abdurahman (162-1982) yang dihadapkan pada berbagai persoalan eksternal dengan munculnya berbagai aliran keagamaan yang menyesatkan seperti aliran pembaharu isa bugis, isa bugis, islam jama’ah, darul hadist, inkarus sunnah, syi’ah, ahmadiyah dan faham sesat lainnya. Kepemimpinan K.H.E Abdurahman dilanjutkan oleh K.H.A LAtif Muctar, MA (1983-1997) dan K.H. Shiddiq Amien (1997-2005) yang merupakan proses regenerasi dari tokoh-tokoh persis kepada eksponen organisasi otonom kepemudaan (pemuda persis).

Pada masa kini persis berjuang menyesuaikan diri dengan kebutuhan umat pada masanya yang lebih realitis dan kritis, Gerak perjuangan persis tidak terbatas pada persoalan ibadah dalam arti sempit, tetapi meluas pada persoalan-persoalan ibadah dalam arti sempit, tetapi meluas kepada persoalan strategis yang di butuhkan oleh umat islam terutama pada urusan muamalah dan peningkatan pengkajian pemikir keislaman.(http://persatuan islam.wordpress.com, 2010, 14:30)

Jadi persis pada saat ini sangat dibutuhkan oleh umat islam terutama pada urusan muamalah dan pengkajian pemikiran keislaman dan juga gerak perjuangan persis itu tidak terbatas pada persoalan ibadah dalam arti sempit, tetapi juga meluas pada persoalan strategis.

Pada dasarnya, perhatian persis ditujukan terutama pada faham Al-Qur’an dan sunnah, hal ini dilakukan berbagai macam aktifitas diantaranya dengan mengadakan pertemuan-pertemuan umum, tablgh, khutbah, kelompok studi, tadarus, mendirikan sekolah-sekolah (pesantren ), menerbitkan majalah-majalah dan kitab-kitab, serta, serta berbagai aktifitas keagamaan lainnya, tujuan utmanya adalah terlaksananya syari’at islam secara kaffa dalam segala aspek kehidupan, untuk mencapai tujuan jam’iyyah, persis melaksanakan berbagai kegiatan antara lain pendidikan yang mulai dengan mendirikan pesaantren persis pada tanggal 4 maret 1936, dari pesantren persis ini kemudian berkembang berbagai lembaga pendidikan mulai dari Raudlatul Athfal (taman kanak-kanak ) hingga perguruan tinggi, kemudian menerbitkan berbagai buku, kitab-kitb, dan majalah antaralain majalah pembela Islam (1929 ), majalah Al-fatwa,(1931), Al-lissan (1935), majalah At-taqwa (1937) majalah Al-hikam (1939), majalah Aliran islam (1948), majalah risalah (1962), serta berbagai majalah yang di terbitkan di cabang-cabang persis.

Selain pendidikan dan penerbitan, kegiatan rutin adalah menyelenggarakan pengajian dan diskusi yang banyak di gelar di daerah-daerah, baik atas inisiatif pimpinan pusat persis maupun permintaan dari cabang-cabang persis, undang-undang dari organisasi islam lainnya, serta masyarakat luas..



C. Nahdatul Ulama (NU)

Nahdatul ulama (NU) lahir pada tanggal 31 januari 1926 di Surabaya, organisasi ini di prakarsai oleh sejumlah ulama terkemuka, yang artinya kebangkitan para ulam, NU didirikan untuk menampung gagasan keagamaan para ulama tradisional, atau sebagai reaksi atas prestasi ideologi gerakan modernisme islam yang mengusung gagasan purifikasi puritanisme, pembentukan NU merupakan upaya peorganisasian dan peran para ulama, pesantren yang sudah ada sebelumnya, agar wilayah kerja keulamaan lebih ditingkatkan, dikembangkan dan di luaskan jangkauannya dengan kata lain didirikannya NU adalah untuk menjadi wadah bagi usaha mempersatukan dan menyatukan langkah-langkah para ulama dan kiai pesantren. (Muksin jmil, 2007; 227)

Dalam pandangan NU tidak semua tradisi buruk, usang, tidak mempunyai relevansi kekirian, bahkan tidak jarang, tradisi biasa memberikan inspirasi bagi munculnya modernisasi islam penegasan atas pemihakkan terhadap “warisan masa lalu “ islam di wujudkan dalam sikap bermazhab yang menjadi typical NU, dalam memahami maksud Al-Qur’an dan hadist tanpa mempelajari karya dan pemikiran-pemikiran ulama-ulama besar seperti, Hanafi, Syafi’I, Maliki, dan Hambali hanya akan sampai pada pemahaman ajaran islam yang keliru.

Demikian juga dalam pandangan kiai, hasyim yang begitu jelas dan tegas mengenai keharusan umat Islam untuk memelihara dan menjaga tredisi islam ditorehkan para ulama klasik. Dalam rangka memelihara system mazhab kiai Hasyim merumuskan gagasan ahlusunnah waljama’ah yang bertumpa pada pemikiran, AbuHasan al-asyari, Mansur Al-Maturdi imam Hana fi, Maliki, syafi’I, dan Hambali, serta ima Al-ghozali, junaid Albaghdadi dan imam mawrdi.



Pada dasawarsa 1980 dan 1990 terjadi perubahan mengejutkan didalam lingkungan Nahdatul Ulama ormas terbesar di Indonesia. Perubahan yang paling disoroti media massa dan sering menjadi bahan kajian akademis ialah proses kembali ke khitthah 1926: NU menyatakan diri keluar dari politik praktis dan kembali menjadi jam’iyyah diniyyah, bukan lagi wadah politik, dengan kata lain, sejak muktamar sutibondo (1984)p ara kiai bebas berafiliasi dengan partai politik manapun mksudnya dengan partai golkar dan menikmati kedekatan pemerintah, NU tidak asing lagi oleh pemerintah, sehingga segala aktifitasnya, pertamuan, seminar tidak lagi dilarang dan malah sering difasilitasi.(http://organiasi islam.wordpres.com, 207, 11:05).

Jadi, dapat di pahami perubahan tersebut merupakan momentum dalam politik orde baru, NUsebagai politik sunni, yang selalu mencari akomodasi dengan penguasa.

Terdapat pula perubahan lainnya dikalangan generasi muda NU terlihat dinamika baru dengan menjamurnya aktivitas sosial dan intelektual, yang nyaris tak tertandingi oleh kalangan masyarakat lain, selama ini NU di anggap ormas yang paling konservatif dan tertutup, dan sedikit sekali punya sumbangan kepada perkembangan pemikiran keagamaan maupun pemikiran sosial dan politik, prihal pemikiran keagamaan NU justru didirikan sebagai wadah para kiai untuk bersama-sam bertahan terhadap garakn pembaharuan pemikiran islm yang di wakili oleh Muhammadiyah, Al-irsyad dan persis, Nu hanya manerima interprestasi islam yang tercantum dalam kitab kuning “ortodoks” al-kutub al- mu’tabarah, terutama fiqh Syafi’I dan aqidah menurut mazhab asy’ari, dan menekan tklid kepada ulama besar pada masa lalu.

Dengan latar belakang aktivitas-aktivitas kemasyarakatan dan ekonomi di sekitar pesantren yang mulai menjamur pada akhir dasawarsa 1970 dan 1980, muncul wacana-wacana baru, yang berani mempertanyakan interprestasi khazana klasik yang sudah mapan dan mencari relevansi tradisi islam untuk msyarakat yang sedang mengalami perubahan secara cepat, merupakan suatu perkembangan revolusioner, baik daalam aktivitas LSM maupun dalam wacana yang berkembang.



Perhatian mulai bergeser dari para kiai sebagai tonggak organisasi NU kepada massa besar, akar rumput yang merupakan mayoritas jama’ahnya tetapi kepentingannya selama ini lebih sering terabaikan. Dominasi akivitas dan wcana NU dan keturunan mereka (kaum Gus-gus), telah mulai terdobrak, sebagian besar aktivis dan pemikir muda yang memberi nuansa kepada NU pada dasawarsa 1980 dan 1990 tidak berasal dari kasta kiai melainkan dari keluarga awam, yang mengalami mobilitas sosial, tetapi perlu kita dicatat bahwa mereka bias muncul karena mnendapat dukungan dan perlindungan dari sejumlah tokoh muda dari kalangan elit seperti, Fahmi sifuddin, Mustafa bisri, dan Abdurahman Whid.

Nahdatul Ulama (NU) adalah salah satu organisasi Massa Islam yang sangat berperan dalam pembentukan Masyumi, tokoh NU, K.H. Hasyim asy’ari terpilih sebagai pimpinan tertinggi masyumi pada saat itu, tokoh-tokoh NU lainnya banyak yang duduk dalam pengurusan Masyumi dank arena keterlibatan NU dalam masalah politik menjadi sulit dihindari.

Nahdatul ulama kemudian keluar dari masyumi melalui surat keputusan pengurusan besar Nahdatul Ulama (PBNU) pada tanggal 5 april 1952 akibat adanya pergesekan politik diantara kaum intelektual Masyumi yang ingin melokalisasikan para kiai NU pada persoalan agamanya saja.(http://organisasi Islam, worrdpress.com) Hubungan antara kedua partai tersebut NU keluar dari partai Masyumi diakibatkan, pergesekkan politik kaum intelektual partai Masyumi yang ingin melokalisasi para kiai NU yang mengurusi pada persoalan agama saja.



D. MASYUMI

Proklamasi kemerdekaan RI membawa angin Segar bagi perkembangan politik dan demokrasi bangsa ini, setiap anak bangsa larut dalam keindahan nasionalisme, hal itu juga terjadi pada tokoh-tokoh Islam saat itu sebelum kemerdekaan mereka begitu semangat untuk menegakkan cita-cita islam.

Pada masa awal kemerdekaan Indonesia PNI menjadi partai Negara, namun menjelang Oktober 1945, PNI muncul dengan wajah baru karena di mulainya system banyak partai yang juga berarti terbukanya kembali ruang bagi kalangan islam untuk ikut serta di dalamnya serta sebagai sarana bagi mereka untuk menegakkan cita-cita islam

Kebijakan pemarintah dalam pendirian partai-partai ini pada awalnya banyak disesalkan oleh kalangan Islam, argument mereka antara lain didasarkan pada penikiran bahwa di waktu genting setelah proklamasi yang di butuhkan persaudaraan rakyat bukan malah kebijakan atau penerapan sistem banyak partai justru dapat memicu terjadinya perpecahan.

Masyumi didirikan pad 24 oktober 1943 sebagai pengganti MIAI karena jepang memerlukan satu badan untuk menggalang dukungan masyarakat Indonesia melalui lembaga agama islam, meskipun demikian, jepang tidak terlalu tertarik dengan partai-partai islam yang telah ada di zaman belanda yang kebanyakan berlokasi di perkotaan dan berpola piker modern, sehingfga pada minggu-minggu pertama, jepang telah melarang partai sarikat islam Indonesia (PSII) dan partai islam Indonesia (PII).

Pada tanggal 7-8 Oktober diadakan muktamar islam di yogyakarta yang di hadiri oleh hamper semua tkoh berbagai organisasi islam dari masa sebelum perang serta masa pendudukan jepang.

Kongres memutuskan untuk mendirikan syuro pusat bagi umat islam Indonesia , masyumi yang dianggap sebagai satu-satunya partai politik bagi umat islam pada awal pendiri masyumi, hanya empat organisasi yang masuk masyumi yaitu; Muhammadiyah, NU, perikatan ulama islam, dan persatuan umat islam.

Setelah itu barulah organisasi islam yang lainnya ikut bergabung kemasyumi antara lain persatuan islam (bandung), al-irsyad (Jakarta), Al-jamiatul Washliyah dan Al-ittihadiyah (dari sumatera utara), selain itu pada tahun 1949 setelah rakyat pendudukan belanda mempunyai hubungan leluasa dengan rakyat di daerah yang dikuasai oleh RI, banyak di antara organisasi islam di daerah pendudukan itu bergabung dengan masyumi mudahnya persyaratan untuk masuknya organisasi isalam kedalam Masyumi menjadi slah satu penyebab banyaknya organisasi-organisasi islam yang masuk kedalamnya, namun yang lebih penting mengenai alas an mereka masuk kedalam Masyumi di karenakan semus pihak merasa perlu bergabung dan memperkuat barisan islam. (organisasi islam wordpress.com)

Hampir di seluruh wilayah Indonesia terdapat cabang Masyumi atau organisasi-organisasi islam yang bergabung dengan Masyumi, disamping afiliasi organisasi -organisasi, Faktor penyebab Masyumi cepat berkembang, ialah peranan ulama masing-masing daerah serta ukhwa islamiah yang relatif tinggi pada masa-masa sesudah revolusi.

Tanpa mengetahui dengan dalam dasar dan cita-cita perjuangan Masyumi itu merupakan partai islam, setelah banyak orang yang dalam politik mengidenkkan dengan dirinya dengan partai tersebut. Pada awal pendirinya, yang menjadi perdebatan yaitu mengenai struktur masyumi yang ideal, hal itu disebabkan karena masyumi adalah sebuah organisasi yang terdiri dari berbagai organisasi islam yang mnembuat setiap pembahasan hal itu selalu dinamis. Diantara tokoh-tokoh masyumi yang cukup terkenal adalah:

1. K..H. Hasyim ASy”ri

2. K.H.Wahid Hasyim

3. H. Abdul Malik Karim Amrullah (Hamka)

4. Muhammad Nasir

5. Syafrudin Prawiranegara.



Setelah diproklamirkannya kemerdekaan RI, Islam merupakan agama mayoritas yang dianut oleh masyarakat Indonesia, namun dengan kemayoritasan itu tidak dibarengi dengan adanya pandangan yang sama terhadap Islam dan Politik, Dalam hal ini ada dua pandangan masyarakat Indonesia mengenai hubungan tersebut, yang pertama bahwa, Islam merupakan agama yang lengkap, yang mengatur semua sendi kehidupan, termasuk di dalamnya, mengatur hubungan dengan politik (Negara). Sedangkan pandangan kedua, bahwa Islam sebagai sebuah panduan dan kode etik dalam kehidupan bernegara, bahkan juga terdapat pemisahan total antara keduanya.


Masyumi, yang didirikan oleh hampir semua organisasi Islam, baik pasca maupun pra kemerdekaan RI, adalah sebagai partai yang berniat merealisasikan pandangan Islam dan Politik di Indonesia, Lahirnya partai ini ditujukan guna untuk menjaga dan memperjuangkan kepentingan tanggal 7 November 1945, diadakanlah muktamar umat Islam Indonesia di Yogyakarta, di dalam keputusannya, diambil kesepakatan bahwa diperlukannya suatu wadah untuk menampung aspirasi umat Islam dan menyalurkannya melalui wadah tersebut.

Maka, partai Masyumi pun dibentuk, Besarnya partai Masyumi ternyata tidak bisa dielakkan dari perpecahan bahkan terjadi pembubaran pada tahun 1960 oleh rezim pada saat itu, Setelah bergantinya dua rezim, ternyata tidak mampu menghilangkan roh partai itu, justru sebaliknya, sisa-sisa para pegiatnya sanggup membangkitkan dan melahirkannya kembali, Namun, disayangkan persatuan para pegiatnya itu tidak ada, sehingga melahirkan beberapa bentuk partai Islam yang berbeda dari partai Masyumi atau sebagai metamorfosis partai Masyumi.

Hubungan yang terjadi antara Masyumi dengan partai yang lahir dalam pemilu 1999 dan partai apa yang merupakan partai metamorfosis dari partai Masyumi Untuk mendapatkan hasil yang maksimal dari penyusunan ini, maka pendekatan yang digunakan adalah sosio-historis, yaitu menela’ah fenomena sosial dan partai-partai yang lahir pada pemilu 1999 dengan memaparkan perjalanan Masyumi dari awal berdirinya (1945) hingga partai ini dibubarkan (1960), Kemudian data yang terkumpul dianalisis secara kuantitaif dengan metode berpikir deduktif-induktif Dengan menggunakan pendekatan dan metode tersebut di atas menunjukkan bahwa, mendirikan partai Islam merupakan suatu kemaslahatan bagi umat. Sebagaimana Masyumi, pembentukan partai tersebut selain bertujuan untuk kelangsungan demokrasi, juga untuk mendapatkan keridhaan dari Allah.

Demikian juga dengan partai-partai Islam yang lahir pada pemilu 1999, adanya kesamaan-kesamaan antara partai Masyumi dengan partai-partai Islam yang lahir pada pemilu 1999 baik dari perjuangannya, ideologinya, asasnya, nama partainya, tanda gambarnya, maupun basis massanya, maka hal ini dapat disimpulkan bahwa adanya sebuah hubungan historis perjuangan yang tidak terputus antara partai-partai Islam 1999 seperti PBB, PMB, PPIM dan, PPP dengan partai Islam Masyumi.







KESIMPULAN



Dari empat organisasi tersebut dapat di pahami pembaharuan islam yang berkenaan dalam bidang politik, sosial dan budaya bertujuan untuk memperbaiki islam yang murni,oleh karena itu ajaran islam bersifat universal, tidak saja dalam dimensi sejarah, akan tetapi juga universal dalam dimensi sosiologis dan antropologis. Dengan demikian islam adalah agama bagi semua zaman, dan bagi semua orang dalam berbagai posisi sosial, ekonomi, budaya, dan politik.





DAFTAR PUSTAKA





1. Abdul Munir Mulkhan, 1990, Pemikiran K.H..A. Dahlan dan Muhammadiyah, Bumi aksara; Jakarta .

2. M, Rusli Karim, Muhammadiyah dalam kritik dan komentar, Rajawli, Jakarta .

3. Mulkhan Abdul Munir, 2000, Menggugat muhammadiyah, Fajar pustaka baru, yogya karta.

4. Ismail Faisal, 2004, Dilema NU, Litbang, Jakarta .

5. Jamil. M.Muksin, 2007, Nalar Islam, DEPAG RI, Jakarta .

6. http: // organisasi islam.wordpress.com, 20010.

7. http;// partai islam. Wordpress.com, 20010.

------------------------------
KELOMPOK 11



AHMAD JAUHARI (0829016)
WITTI HANDAYANI (0829013)

DOSEN PEMBIMBING;

MUHTAROM, .Mpdi

Rabu, 30 Desember 2009

Pengiriman Posting Komentar

Mahsiswa dapat melihat setiap materi yang disajikan setiap pertemuanya di blog ini, bagi kelompok yang komentarnya tidak tercantum di bawah materi kuliah yang di posting di blog ini maka diwajibkan mengirim ulang seluruh komentar yang belum masuk ke masing2 kelompok..

Pembaharuan Di Indonesia; Kaum Padri, Kaum Al-Irsyad Dan Jami`Atul Khair

PEMBAHARUAN DI INDONESIA; KAUM PADRI, KAUM AL-IRSYAD DAN JAMI`ATUL KHAIR

FAKULTAS TARBIYAH
JURUSAN KEPENDIDIKAN ISLAM
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI RADEN FATAH
PALEMBANG
2009
Pendahuluan

Munculnya gerakan Modernisme Islam di Indonesia pada awal abad ke-20 dipengaruhi oleh berbagai variabel penting yang melatar belakanginya. Menurut Steenbrink, setidaknya terdapat empat faktor penting yang mendorong ”perubahan dan pembaharuan Islam di Indonesia” pada saat itu.
Pertama, adanya tekanan kuat untuk kembali kepada ajaran Al-quran dan Hadist, yang keduanya dijadikan sebagai landasan berfikir untuk menilai pola keagamaan dan tradisi yang berkembang di masyarakat. Tema sentral dari kecendrungan ini adalah menolak setiap pengaruh budaya lokal yang dianggap mengontaminasi kemurnian ajaran Islam. Sehingga upaya kembali pada ajaran Al-Qur`an dan Hadist dipilih sebagai jawaban solutif atas problem keberagaman yang meluas di masyarakat.
Kedua, kuatnya semangat perlawanan terhadap kolonialisme Belanda. Gerakan perlawanan ini banyak direalisasikan oleh kelompok nasionalis yang terus berusaha menentang kebijakan penjajah belanda, tetapi mereka juga enggan menerima gerakan Pan-Islamisme. Ketiga, kuatnya motivasi dari komunitas muslim untuk mendirikan organisasi dibidang sosial –ekonomi yang diharapkan bermanfaat demi kepentingan mereka sendiri, maupun kepentingan publik. Keempat, gencarnya upaya memperbaiki pendidikan Islam.


A. Kaum Paderi
Paderi adalah sebuah nama didaerah padang. Yang mana didaerah inilah awal mulanya diterapkannya gerakan puritanisme di Indonesia. Gerakan puritanisme adalah sebuah gerakan pemurnian ajaran islam yang telah terpengaruh atau telah tercemari oleh ajaran-ajaran yang datang dari luar Islam. Gerakan ini pertama kali di plopori oleh Muhammad ibn Abdul Wahab, di Nejd. Berkat bantuan penguasa keluarga su`ud faham ini berkembang pesat diwilayah jazirah Arabia, bahkan sempat menggoyahkan pemerintah kerajaan Turki Usmani.
Gerakan puritanisme ini dibawa masuk kewilayah Indonesia oleh tiga orang kaum muda paderi yang baru pulang kembali dari tanah suci selepas melaksanakan ibadah haji, mereka itu adalah Haji Miskin, Haji Sumanik, dan Haji Piobang pada tahun 1803 Masehi.
Mereka kemudian membentuk kelompok yang terkenal dengan kelompok Harimau Nan Salapan atau kaum muda Paderi mereka mengadakan penentangan terhadap praktek kehidupan beragama masyarakat Minang Kabau, yang telah terpengaruh oleh unsur-unsur tahayul, bid’ah, dan kurafat. Masyarakatnya sudah menyimpang jauh dari tradisi keagamaan yang telah ada. Perjudian, penyabungan ayam, dan sebagainya adalah contoh dari sebagian kecil perbuatan mereka yang waktu telah merupakan perbuatan atau suatu hal yang biasa.oleh karena itu, kedatangan tiga orang Haji ini, yang kemudian bersekutu dengan tuanku Nan Renceh dan tuanku Imam Bonjol, melakukan gerakan kemurnian ajaran Islam. Karena aktifitas mereka dianggap cukup membahayakan keberadaan kaum tua atau kaum adat paderi, maka kaum tua meminta bantuan Belanda pada tahun 1821-1937 M terjadilah perang paderi. Dalam pertempuran yang tidak seimbang itu kaum Ulama mengalami kekalahan Ulama dalam perang paderi dalam menghadapi
Belanda, bukanlah membuat patah semangat para tokoh pejuang pembaharu itu,tetapi gerakannya semakin hebat. Gerakan pembaharuan itu tidak lagi bersifat politik agama, tetapi dialihkan kedalam gerakan pembaharuan pendidikan.
Perang paderi dianggap sebagai pembaharuan Islam di karena tujuan dari perang paderi adalah memiliki kekuasaan yang kuat dan dengan memiliki kekuatan atas kekuasaan kaum ulama dapat menguatakan ajaran Islam yang telah banyak ditinggalkan. Kondisi pada saat itu daerah Minangkabau jauh dari apa yang Isalam ajarkan dan syariatkan oleh agama Islam .
Para Ulama giat mengadakan ceramah-ceramah, pengajian, mendirikan madrasah dan Pondok Pesantern yang diberi nama Sumatera Thawalib. Pengaruh gerakan ini lalu meluas keseluruh tanah air yang diikuti dengan bermunculannya berbagai organisasi Islam pada zaman pergerakan nasional di Indonesia pada abad ke-20 Masehi.

B. Al-Irsyad
Jika ditelusuri awal mulanya, munculnya Al-Irsyad dilatarbelakangi oleh terjadinya pertentangan dalam Jami’at Al-Khair, terkait persoalan konsep kafa’ah dalam pernikahan. Yakni, apakah mereka yang memiliki gelar sayyid boleh menikah dengan rakyat biasa atau tidak? Bagi masyarakat arab modernis, perkawinan semacam itu sah, akan tetapi menurut kaum tradisionalis, pernikahan itu dianggap tidak sah, karena salah satu syarat sahnya perkawinan adalah adanya kafa’ah antara kedua mempelai. Kalau syarat kafa’ah ini tidak terpenuhi maka perkawinan dianggap batal atau tidak sah.
Semula, perdebatan kafa’ah ini muncul pertama kali ketika Ahmad Surkati berkunjung ke Solo, tepatnya dalam suatu pertemuan di kediaman Al-Hamid dari keluarga Al-Azami. Pada saat menjamu Surkati ini terjadi pembicaraan tentang nasib seorang syarifah, yang karena tekanan ekonomi terpaksa hidup bersama seorang China di Solo. Surkati menyarankan agar dicarikan dana secukupnya untuk memisahkan kedua orang yang tengah kumpul kebo itu. Pilihan lain yang diajukan Surkati adalah hendaknya dicarikan seorang muslim yang ikhlas menikahi secara sah si Syarifah tersebut, agar ia bisa terlepas dari gelimang dosa.
Salah seorang yang hadir, Umar bin Said Sungkar bertanya pada Surkati: ”apakah yang demikian itu diperbolehkan menurut hukum ajaran agama Islam, sementara ada hukum yang mengharamkan karena tidak memenuhi syarat kafa’ah, meskipun syarat-syarat lainnya sudah terpenuhi”.
Setelah Surkati mengeluarkan fatwa tentang sahnya pernikahan yang tidak sekutu tersebut, kemudian terjadi pertentangan yang terkenal dengan ”Fatwa Solo”. Fatwa tersebut telah ”Mengguncang” masyarakat Arab golongan Alawi. Fatwa ini dianggap sebagai penghinaan besar terhadap kelompok mereka. Mereka menuntut kepada Surkati agar bersedia mencabut fatwanya, namun Surkati tetap mempertahankan fatwanya dan berusaha menghormati pendapat publik baik yang setuju maupun yang menolak.
Akibat telah mengeluarkan fatwa, pada tahun 1914 Ahmad Surkati dikeluarkan dari Jami’atul Al-Khair. Setelah dikeluarkan dari jami’atul Al-Khair dengan dibantu oleh Sayyid Saleh bin Ubaid Abdatu dan Sayyid Said Masya’bi untuk mendirikan madrasah Al-Irsyah Al-Islamiyah yang diresmikan pada tanggal 15 Syawal 1332 H. Bertepatan dengan 6 September 1914 dengan dia sendiri sebagai pimpinannya.
Tidak lama setelah Surkati dikeluarkan dari Jami’atu Al-Khair, keluar pula para guru yang berasal dari Makkah, baik yang datang bersama Surkati maupun yang datang atas jasa Surkati. Sebagian mereka kembali ke Makkah dan sebagian tetap tinggal di Indonesia dan bergabung dengan Al-Irsyad sampai akhir hayat mereka di Indonesia. Di antara mereka adalah: Abul Fadhel Muhammad Khair Al-Anshori yang tidak lain adalah saudara kandung Surkati, Syaikh Muhammad Nur Muhammad Khair Al-Anshori, dan lain sebagainya.
Izin untuk pembukaan dan pengelolaan Madrasah Al-Irsyad Al-Islamiyah berada ditangan dan atas nama Surkati. Berdasarkan ordonasi guru 1905 yang mengatur pendidikan islam, beban tanggung jawab Surkati akan ringan apabila Madrasah tersebut dinaungi oleh satu organisasi yang teratur dan memiliki status badan hukum. Maka disiapkanlah berdirinya Jami’iyyah Al-ishlah wa Al-irsyad Al-Arabiyyah, yang beberapa tahun kemudian diganti dengan nama Jami’iyyah Al-Ishlah wal Irsyad Al-Islamiyyah.
Permohonan pengesahan diajukan kepada Gubernur Jendral AWF. I den Burg, sementara pengurusan Madrasah dilaksanakan oleh suatu badan yang diberi nama: Hai’ah Madaris Jami’iyyah Al-Irsyad yang diketuai oleh Sayyid Abdullah bin Abu Bakar Al-Habsyi. Meskipun pengesahan dari Gubernur Jendral belum keluar, Syaikh Umar Yusuf Manggus telah berhasil menyewa gedung bekas hotel ORT yang tidak berfungsi lagi di Molenulist West, Jakarta, guna memenuhi kebutuhan yang agak mendesak karena perhatian dan peminat yang luar biasa.
Penghimpunan Al-Irsyad (sebagai lembaga yang memiliki hukum) akhirnya memperoleh pengakuan dari Gubernur Jendral pada tanggal 11 Agustus 1915. Dengan keputusan no 47, yang disiarkan dalam Javache Courant nomor 67 tanggal 20 Agustus 1915. Sejak itu Al-Irsyad, meminjam ungkapan Badjerei; ”meluncur laksana meteor; enerjik dan penuh vitalitas; kian hari kian besar dan meningglkan jami’at Al-Khoir jauh dibelakangnya.
Dalam perjalanannya, Al-Irsyad terlihat sering menjalin kerjasama dengan organisasi Modernis Islam lainnya, seperti Muhammadiyyah dan Persis sebagaimana diungkapkan oleh Badjerei berikut ini:
”Dengan lahirnya persatuan Islam di Bandung, pada tahun 1923, kemudian dengan munculnya Fachruddin pada pimpinan Muhammadiyyah kegiatan dakwah menjadi kian semarak dakwah Muhammadiyyah dan Persis diucapkan pula diucapkan diisi oleh tenaga-tenaga dari Al-Irsyad, khusnya dari kelompok izh harAl-Haq ini, ketika Ali Harahah berangkat ke Hejaz dan bermukim kesana, sekitar satu tahun delapan bulam dan baru kembali ke Jakarta bulan juni 1929, kegiatan Izhar Al-haq ikut berhenti. Meskipun demikian Muhammadiyyah persatuan Islam dan Al-Irsyad merupakan ”tiga serangkai” yang tak terpisahkan sehingga saat ini”.
Kerjasama antara Al-Irsyad dengan organisasi Modernis Islam lainnya terus Berlanjut pada kongres Al-Islam ke-1 di Cirebon pada tahun 1922, kongres Al-Islam ke-2 tahun 1923 di Garud, kongres ke-3 di Surabaya tahun 1924, kongres Al-Islam ke-4 di Yogyakarta tahun 1925, kongres Al-Islam ke-5 di Bandung tahun 1926(Hussein Banjerei, 1996:114). Al-Irsyad juga menjalin kerjasama dengan gerakan-gerakan Islam lain dalam majelis islam A’la Indonesia MIAL.
Menurut Hussein Badjerei, salah seorang tokoh pemikir dari Al-Irsyad, organisasi Al-Irsyad didirikan bukan untuk melawana atau menandingi Jami’at Al-Khoir. Al-Irsyad lahir bukan karena desakan kebencian kepada segolongan masyarakat Arab yang saat itu di sebut Alawiyyin. Semasa Surkati masih hidup, Al-Irsyad tidak melulu mengurusi dan berdakwah kepada masyarakat Arab Hadrami; tidak melulu mengurusi perantau dari Hadramaut. Risalahnya cukup luas, surkati tidak mululu mengurusi persoalan pembaharuan dikalangan masyarakat Arab hadrawi.
Perhimpunan Al-Irsyad juga tidak dibangun dari asas kekesalah kemarahan, para pemimpinnya bukanlah diktator. Karena itulah Al-Irsyad bisa hidup terus sepanjang waktu, meski parapemimpinnya wafat dan silih berganti, sebagai kelompok organisasi Islam tertua yang telah meneliti sejarah di berbagai jama’ah, dari zaman penjajahan Belanda sampai sekarang ini.
Masa formatif Al-Irsyad diawali sejak kelahirannya. Akte pendirian dan anggaran dasar Al-Irsyad disahkan oleh Gubernur Jendral Hindia Belanda dengan nomor 47, tertanggal 11agustus 1915, dan disiarkan dalam surat kabar Javasche Courant Nomor 67, tertanggal 20 Agustus 1915. Keputusan ini kemudian menjadi izin resmi kelahiran organisasi ini, yaitu 19 Agustus 1915, dalam keputusan ini pula tercatat pengurus pertamanya, yaitu: Salim bin Awad Balweel sebagai ketua, Muhammad Ubaid Abud sebagai sekretaris, Said bin Salim Masya’bi sebagai bendahara, dan saleh bin Obeid bin Abdat sebagai penasehat.
Setelah peristiwa dikeluarkannya beslit dari Gubernur Jendral pada hari selasa tanggal 19 syawal 1333/31 Agustus 1915,maka diadakan rapat umum anggota.dalam rapat itu diputuskan susunan pengurus untuk kepentingan intern,yaitu;salim bin awad bal weel sebagai ketua, saleh bin obeid bin abdat sebagai wakil ketua,Muhammad Ubait Abut sebagai sekretaris,Said bin Salim Masy’abi sebagai bendahara.
Untuk lebih mendinamisasikan gerak dan langkah organisasi serta berperan aktif dalam pemberdayaan masyarakat,dalam kepengurusannya Al-Irsyad membentuk majelis-majelis yang mempunyai fungsi yang berbeda-beda,antara lain;1. majelis pendidikan dan pengajaran;2,majelis dakwah;3,majelis sosial dan ekonomi ;4,Majelis wakaf dan yayasan;5 majelis wanita dan putri:6.majelis pemuda dan pelajar :7,majelis organisasi dan kelembagaan ;8,Majelis hubungan luar negri.
Patut garis bawahi bahwa dalam penyebaran gagasan atau pemikirannya,Al- Irsyad lebih memfokuskan pada upaya perbaikan dan pelayanan pendidikan.Ini biasa dilihat dari pembukaan sekolah Al-Isyad yang didukung oleh pemuka-pemuka arab.Terutama Syaikh Umar Manggus,yang saat itu menjabat sebagai kapten arab.Tokoh ini yang memberi saran agar didirikan suatu perkumpulan untuk menunjang sekolah yang didirikan oleh Syeikh Ahmad Surkati tersebut. Atas dukungan itu,berdirilah sekolah”Jam’iyyah Al Ishlah Wa Al Irsyad Al Islamiyyah”.Agar kehadirannya tidak terkesan hanya diperuntukkan bagi orang arab,maka beberapa waktu kemudian namanya di ubah menjadi ”Jam’iyyah Al- Irsyad Al-Islamiyyah”.Yang selanjutnya dikenal dengan nama Al- Irsyad,Al- irsyad beranggotakan semua orang islam yang berumur 18 tahun atau yang telah beristri dan tingggal diwilayah Indonesia.
Periode perkembangan Al- Irsyad ditandai dengan pembukaan cabang-cabang Al -Irsyad dengan prioritas pertama pulau Jawa.Pada tanggal 29 Agustus 1917 Al- Irsyad membuka cabang yang pertama di Tegal,dengan diketahui oleh Ahmad Ali Bais.Pada tanggal 20 November 1917 di resmikan pula keputusan untuk pembukaan cabang Al -Irsyad kedua,yaitu di Pekalongan dengan ketua pertama kalinya Said Bin Salaim Sahaq,cabang Al Irsyad ketiga dibuka di Bumiayu pada tanggal 14 Oktober 1918,dengan ketuanya yang pertama adalah Husein Bin Muhammad Al Yazidi pada tanggal 31 Oktober 1918 Al Irsyad membuka cabang ke empat di cerebon,dengan ketua pertamanya Ali Awad Baharmuz.Tanggal 21 Januari 1919,dibuka cabang ke lima disurabaya. pembukaan cabang di Surabaya ini di nilai sebagai peristiwa amat penting dalam sejarah Al- Irsyad,karena kedudukan Surabaya waktu ini sebagai pusat kegiatan pergerakan islam dan tempat berdomisilinya para pemuka masyarakat muslim pada waktu itu.Cabang ini
pertama kalinya di ketuain Oleh Muhammad bin Rayis bin Thaib
Pada periode berikutnya, setelah pulau jawa, Al irsyad semakin melebarkan saya at punya keluar jawa.Dari tahun 1927 sampai dengan tahun 1931 telah tercatat berdirinya cabang-cabang Al irsyad di lhokseumawhe Aceh , Menggala Lampung,Sungeiliat Bangka ,labuan haji dan talewang Nusa Tenggara Barat, Pemekasan, Probolinggo, Krian, Jombang, Bangil, Sepanjang, Semarang, Comal, Pemalang, Prowokerto, Indramayu, Cibadak, Sindang laya, dan Solo.sampai tahun 1970-an, cabang Al-Irsyad telah tersebar diseluruh propinsi Sulawesi Utara dan sekarang, hampir disetiap propinsi di Indonesian telah berdiri cabang Al-Irsyad.
Di masing-masing cabanh tersebut, didirikan pusat pendidikan bagi warga Al-Irsyad khususnya, dan masyarakat. Luas pada umumnya.oleh pendirinya,Ahmad Surkati pendidikan formal dipilih sebagai wahana yang tepat untuk menyemaikan dan mengembangkan gagasan-gagasan Al-Irsyad seban agaimana telah dicanangkan dalam Mabadi Al-Irsyad.
Konsistensi dan fokus gerakan terhadap bidang pendidikan formal tampaknya tetap mampu dipertahankan hingga saat ini kiprah al irsyad lebih banyak di fokuskan kepada pengembangan pendidiksn fornal,yang di harapkan mampu membentuk generasi irsyadi.
Jika diklasifikasikan,maka akan terlihat perbedaan perkembangan pendidikan al irsyad dari setiap periode,periode 1914sampai dengan1942 menunjukan adanya perkembangan yang cukup pesat,namun pada periode 1942-1961 terjadi kemunduran .baruhlah pada periode1961-1982,pendidikan Al-Irsyad mengalami kebangkitan kembalidengan di tandai pedirian sekolah-sekolah Al- Irsyad di berapah daerah ditanah air .perkembangan yang cepat terjadi pada periode 1982-1997.pada periode ini Al- Irsyad masih dan berhasil mendirikan lembaga pendidika berupa pesantren dan perguruan tinggi
Terdapat keunikan dari pengembangan pendidikan Al-Irsyad,yaitu dengan didirikannya pesantren pada tahun 80-an.Jika pada kelompok tradisional {Nahdlatul Ulama}muncul trend mengembangkan pendidikan dengan mendirikan sekolah-sekolah umum dan madrasah maka tidak demikian dengan ormas Al Irsyad (dan juga muhammdiyah)yang justeru mendirikan pesantren ,karena didorong oleh kesadaran perlunya memberikan perhatian yang besar pada aspek pendidikan agama.Namun demikian,tipologi pesantren Al Irsyad tetap memiliki perbedaan dengan pesantren milik ormas itu.
Jika pesantren itu didirikan oleh perorangan,maka pesantren Al Irsyad didirikan oleh Jam’iyyah (Organisasi),dengan manajement pesantren yang tidak bersifat kekeluargaan.kitab-kitab yang diajarkan dipesantren Al Irsyad,Meskipun sama-sama berbahasa arab,namun tidak tergolong kitab kuning seperti yang diajarkan dipesantren-pesantren itu.kitab-kitab tersebut ditulis oleh para ulama komtemporer di timur tengah.lebih dari itu,kesan lux juga terlihat pada pesantren-pesantren milik Al Irsyad,jika dibandingkan dengan pesantren-pesantren tradisional,Akibatnya biaya pendidikan pun menjadi mahal.
Bisa dikatakan bahwa dalam pengembangan pendidikan islam di Indonesia,Al Irsyad telah berhasil mempelopori pendirian lembaga-lembaga islam modoren,yang pada massa berikutnya di ikutin oleh ormas-ormas islam lain.Namun demikian,meskipun lembaga pendidikan Al Irsyad didirikan oleh organisasi yang merupakan representasi dari masyarakat keturunan arab,pribumi yang simpati dan bersekolah dilembaga-lembaga pendidikan Al Irsyad,baik sekolah pesantren maupun perguruan tingginya
Meskipun Al Irsyad didirikan tidak hanya oleh Ahmad sukarti,namun berbicara kontributor pemikiran untuk Al Irsyad sosok sukarti tetap menjadi fokus utama.Dia juga menjadi figur utama dan sentral yang tinggi kini gagasan-gagasannya masi dipakai dan menyemangati Al Irsyad.Berbicara tentang gagasan Sukarti,maka tidak salah lagi bahwasanya Sukarti mengadopsi pemikiran dari Muhammd abdul Wahab sebagai sang inspiratornya.
Jika dirunut,genealogi pemikiran keislaman Al Irsyad bermula dari kehadiran Ahmad Sukarti di Indonesia.saat itu,sukarti merasa menghadapi masyarakat yang memiliki kesamaan ciri dengan yang dihadapi Muhammad Abdul Wahab pada masanya.baik Sukarti maupan Abdul Wahab sama-sama dihadapkan pada persoalan yang sangat mendasar dalam agama islam,yakni Taulid kehadiran Sukarti di Indonesia,khususnya dikota Solo,membuat dia merasa prihatin dengan kemurnian ajaran tauhid yang berkembang dimasyarakat.Meskipun agama islam telah berkembang cukup lama di Indonesia,namun pengaruh Hindu-Budha maupun budaya lokal masih sangat kuat,apa lagi di kota Solo yang merupakan pusat situs kerajaan besar di Indonesia,tentu persinggungan islam dengan budaya setempat masih sangat insentif.
Meyikapi kondisi yang demikian,Ahmad Sukarti pernah menyampaikan beberapa pandangan tentang ketauhidan.Apa bila di bandingkan dengan pandangan Muhammad bin Abdul Wahab,maka terdapat kemiripan,sebagai contoh,Sukarti mempersoalkan Bid’ah sebagai berikut:
Pertama,Taklid buta sebagaimana yang dilakukan para ulama yang sebenarnya memiliki kemampuan untuk memahami Al-Quran dan Hadits.Namun mereka menjadikan pendapat seseorang sebagai dalill agama Sukarti menyatakan adapun taklid buta dan menjadikan pendapat orang sebagai dalill agama tidak diperbolehkan oleh allah dan rosull-nya,para sahabat maupun para ulama terdahulu,dan merupakan bid’ah yang sesat.
Kedua,meminta syafa”at . ia mengatakan kepada orang yang sudah mata dan bertawasuldenga Mereka ,surkati menyatakansebagaiperbuatan yang munkar dan bid”a ia menatakan :”meminta syafa”at kepada orang yang mati atau bertawasul kepada mereka adalah perbuatan munkar, sebab hal tersebut tidak pernah di kerjakan oleh rasulullah saw,al khulafa”al rasyidan ataupun oleh para mujtahid ,baik bertawasul dengan rasul sendiri atau dengan yang lain .selain itu ,hal tersebut merupakan sesuatu yang diada –adakan dalam ruang lingkup al din. Setiap yang baru dalam agama adalah bid ”ah ,setiap bid ah adalah sesat ,dan setiap yang sesat akan masuk neraka’’.
ketiga,dalam kasus pembayaran fidyah membayar sejumlah tebusan kepada orang lain untuk mengganti shalat dan puasa yang di tinggalkan oleh salah seorang anggota keluarganya,ketika menyampaikan fidyah seseorang berkata ;’’terimalah uang ini sebagai penebus shalat dan puasa si fulan ’’.kemudian si penerima menjawab ,’’saya terima pemberian ini ’’ .bagi surkarti,pembuatan ini dilarang karena tidak di dasarkan atas dasar dalil agama ,dan merupakan perbuatan bid’ah.
keempat,dalam kasus pembacaan talqin untuk mayat yang baru di kubur surkarti melihatnya sebagai pembuatan yang tidak bedasarkan tuntunan al qur’an dan hadits juga tidak ada petunjuk dari para sahabat
kelima,pembuatan berdiri pada saat melakukan pembacaan kisah maulid nabi muhammad saw,bagi surkarti bukan perbuatan agama,namun demikian,apa bila perbuatan tersebut di pandang sebagai perbuatan agama,atau termasuk dalam ruang lingkup agama,maka pembuatan tersebuttetap di anggap sebagai perbuatan bid’ah.
Keenam,pengucapan niat (Nawaitu atau Ushalli) bagi Sukarti adalah perbuatan bid’dah.Alasannya,melafalkan niat demikian dipadang sebagai tambahan dalam melaksanakan niat yang seharusnya merupakan maksud didalam hati.Menurut Sukarti pula,ia tidak pernah memperoleh petunjuk bahwa perbuatan tersebut pernah dirawihkan orang dari nabi Muhammad,atau dari para sahabat,walaupun diajarkan oleh salah satu imam yang keempat.Dari berbagai sumber rujukan dapat disimpulkan bahwa niat adalah maksud dalam hati lebih tidak beralasan lagi ialah pendapat tentang wajib atau sunnahnya pengucapan lafal niat tersebut.Itu berarti ”mewajibkan apa yang sebenarnya tidak wajib”.
Ketujuh, adat berkumpul untuk melakukan ritual tahlil dirumah orang yang baru ditimpah musibah kematian menurut Sukarti,merupakan perbuatan Bid’ah dan bertentangan dengan sunnah rasul.Sukarti menilai parbuatan tersebut sebagai perbuatan yang membebeni keluarga yang terkena musibah.Dan perbuatan terpuji yang berkenan dengan keluarga yang terkena musibah adalah penyediakan makanan,sebagaimana Sabda nabi Jafar bin Abi Thalib meninggal dunia.”Buatlah makanan bagi keluarga Jafar, ,sebab mereka telah ditimpa sesuatu yang membuat mereka lupa makan”.
Dan kedelapan,adat berdzikir bersama dan berdoaa bersama setelah shalat wajib lima waktu menurut surkarti, merupakan perbuatan bid’ah dan bertentangan dengan sunnah Rasul. Surkati menilai perbuatan tersebut sebagai perbuatan yang mengada-ada dan menambah-nambah karena Rasulallah selesai sholat wajib lima waktu, langsung mengerjakan sholat sunnah ba’diah dirumah, tetapi kalau ada yang akan dia sampaikan maka dia berdiri lalu menyampaikannya ke umat Muslim.
Pendeknya, dari negara Sudan, Ahmad Surkati datang dengan membawa ”gagasan rasional”. Gagasan itulah yang kemudian memberi kontribusi besar bagi lahirnya Al-Irsyad Al-Islamiyyah, sebuah gerakan pembaharuan untuk memperbaiki pemahaman keberagaman muslim Indonesia.Deliar Noor menyatakan, seperti halnya seperti Modernis muslim Indonesia yang lain. Pemikiran-pemikiran yang berkembang di Al-Irsyad banyak dipengaruhi oleh pemikiran Puritanisme yang berkembang di Timur Tengah, yang diplopori oleh Muhammad bin Abdul Wahab (dengan gerakan Wahabinya), pemikiran tersebut secara intensif masuki Indonesia pada awal abad ke-20, melalui kontak personal antara masyarakat Arab di Indonesia dengan mereka yang berada di Timur Tengah, juga melaui penerbitan-penerbitan majalah, seperti majalah Al-Manar dan lain-lainnya.

C. Jami’atul Khair
Setiap dari mereka gerakan Modernisme Islam termasuk organisasi islam yang beranggoatakan keturunan Arab memiliki karakter gerakan yang berbeda-beda. Ada gerakan Islam yang menekankan pada aspek ekonomi dan politik, ada yang menekankan pada upaya pemurnian ajaran Islam, serta ada yang menekankan pada uapaya pemurnian ajaran Islam, serta ada yang menekankan pada aspek pembaharuan pendidikan Islam.
Contoh gerakan Moderenisme Islam yang berdiri pada awal abad ke-20 adalah Jami’atul khair, sebuah organisasi Islam, yang mana organisasi ini sebagai tempat para Ulama dan aktivis berjuang dan memperjuangkan pembaharuan dalam segala aspek. Jami’atu khair juga sebagai organisasi Islam pertama di Indonesia yang dikelola dengan system (managemen) keorganisasian modern, Jami’atu khairmemliki anggaran dasar, anggaran rumah tangga, buku anggota notulensi rapat, iuran anggota dan lembaga control anggota melalui rapat tahunan, dan lain sebagainya. Konon, lembaga ini telah diusahakan berdirinya sejak tahun 1901.pemrakarsanya adalah golongan terpelajar dari kalangan muslim Indonesia keturunan Arab, dari keluarga shihab dan Yahya. Klan Shihab dan Yahya dikalangan Alawiyyin termasuk dalam stratifikasi sosial kelas rendah.
Dalam proses pendiriannya, Jami’atul khair mengalami banyak hambatan . berulangkali permohonan izin pengesahan diajukan kepada Gubernur Jendral W.Rooseboom, namun selalu ditolak. Penyebabnya tidak jelas pada tahun 1903 misalnya,permohonan izin diajukan, namun ditolak. Kemudian untuk meyakinkan pemerintah colonial Belanda, surat permohonan dikirim berulang kali dengan mencantumkan nama pemohonan yang berbeda, yaitu Said bin Ahmad Basandid dan Muhammad bin Abdurrahman Al-Masyhur.
Setelah lama menunggu, akhirnya izin pendirian Jami’atul khair dikeluarkan pada tanggal 17 Juni 1905, setelah permohonan disetujui oleh Gubernur Jendral J.V.Van Heutsz. Izin pendirian Jami’atul khair keluar disertai catatan dari pemerintah, bahwa Jami’atul khair tidak boleh mendirikan cabang diluar Jakarta.
Pengurus Jami’atul khair angkatan pertama terdiri dari Said bin Ahmad Basandid sebagai ketua, Muhammad bin Abdullah bin Shihab sebagai wakil ketua, Muhammad Al-Fakhir bin Abdurrahman masyhur sebagai sekretaris, dan Idrus bin Ahmad bin Shihab sebagai bendahara, setahun kemudian pengurus Jami’atul khair dirubah dan tersusun pegurus baru dengan Idrus Bin Abdullah Al-Masyhur sebagai ketua , Salim bin Ahmad Balwel sebagai wakil ketua, Muhammad Al-Fakhir bin Abdurrahmnan Al-Masyhur sebagai sekretaris, dan Idrus bin Ahmad bin Shihab sebagai bendahara.
Jami’atul khair semula mencantumkan tujuannya untuk menolong orang-orang Arab yang tinggal di Jakarta pada saat kemetian dan pesta perkawinan. Organisasi ini kemudian mendirikan sekolah pertama di Pekojan Jakarta. Beberapa tahun setelah itu, dibuka pula sekolah-sekolah di Krukut, Tanah Abang dan Bogor, pada bulan Rabiul Awal 1329 H, atau bulan Maret 1911 M.
Datanglah pengajar dari Makkah yang ditujukan untuk memperkuat staf penagajar pada sekolah-sekolah Jami’atul khair mereka adalah Syaikh Ahmad Surkati Al-Anshari ditempatkan disekolah Jami’atul khair di Pekojan dan sekaligus sebagai pemilik sekolah-sekolah Jami’atul khair lainnya.Syaikh Ahmad Tayyib Al-Maghribi ditempatkan disekolah Krukut dan syaikh Muhammad Abdul Hamid Al-Sudani ditempatkan di sekolah Jami’atul khair di Bogor.
Kemudian atas jasa seorang staf pimpinan Jami’atul khair, Abdullah Al-Attas, didatangkan pula seorang pengajar asak Tunis dan lulusan kulliyyah Azzaitun, yaitu Muhammad Al-Hasyimi, kemudian ditempat disekolah Jami’atul khair di Tanah Abang.
Muhammad Al-Hasyimi adalah seorang berkebangsaan Tunis yang pernah ikut memberontak melawan pemerintah Prancis, ia dikenal sebagai guru olahraga dan memiliki berbagai pengetahuan keterampilan, seperti memasak, membuat sabun dan lain sebagainya. Dialah yang pertama kali yang mengenalkan gerakan kepanduan dikalangan umat Islam Indonesia. dengan demikian ia mestinya disebut sebagai “bapak kepanduan Islam Indonesia”.
Dalam perkembangan berikutnya, Abdullah Al-Atas mengalami perselisihan dengan pengurus Jami’atul khair. Karena perselisihan itu dia memutuskan untuk meninggalkan Jami’atul khair, dan mendirikan Al-Atas school pada tahun 1912.langkah Abdullah Al-Atas ini diikuti oleh Al-Hasyimi dengan cara meninggalkan Jami’atul khair dan bergabung dengan Al-Atas Schcool. Namun ketika Al-Irsyad berdiri, dia meninggalkan Al-Atas school dan bergabung dengan Al-Irsyad serta menjadi guru pada sekolah Al-Irsyad.
Dua tahun kamudian, atas jasa Ahmad Surkati, didatangkan empat orang pengajar lagi, yaitu syaikh Ahmad Al-Aqib Assudani. Ditempatkan di sekolah Al-Khairyyah di Surabaya, syaikh Abul Fadhel Muhammad Assati Al-Anshari, saudara kandung Ahmad Surkati ditempatkan disekolah Jami’atul khair di Tanah Abang, syaikh Muhammad Nur Muhammad Khair An-Anshari ditempat disekolah Jami’atul khair di Pekojan dan Jami’atul khair di Krukut. Dalam perkembangan selanjutnya Syaikh Hasan Hamid Al-Anshari dipindahkan ke Bogor karena syaikh Muhammad Abdul Hamid Assudani kembali ke Negerinya.


Kesimpulan

Sejarah telah membuktikan bahwa tidak ada masyarakat yang Statis, semua pasti mengalami perubahan dan perkembangan.salah stu faktor penting yang mendorong perubahan dan perkembangan itu adalah adanya kontak pergaulan dengan masyarakat yang lebih maju sehingga terangsang untuk mengejar ketertigalannya atau bisa sejajar dengan mitra pergaulannya. Pada permulaan abad ke-20 banyak orang Islam di Indonesia mulai menyadari bahwa mereka tidak akan dapat menyaingi kekuatan kolonialisme penjajahan Belanda dan mengejar ketertinggalan dari Barat, apabila mereka melanjutkan cara-cara yang bersifat trdisional dalam menegakkan ajaran Islam golongan ini merintis cara-cara baru dalam memahami dan mengembangkan ajaran-ajaran Islam ditengah-tengah masyarakat oleh sebab itu, mereka disebut kaum pembaharu.
Para pembaharu did Indonesia mengikuti jejak kaum pembaharu di Timur Tengah, terutama yang berpusat di Mesir.. Mereka berkenalam dengan gagasan tajdid melalui bacaan dan pertemuan langsung dengan tokohtokohnya sewaktu mereka menuntut ilmu di Timur Tengah. Terutama di Al-Haramain atau dua tanah suci yaitu Mekkah dan Madinah.
Menurut kami disimpulkan pembaharuan yang dilakukan Jami’atul Khoir, Padri, dan Al-Irsyad secara garis besar dapat dirumuskan sebagai berikut:
a. menyegarkan pemahaman ajaran Islam dengan membuka kembali pintu Ijtihad.
b. Mengembangkan pemikiran rasional.
c. Memurnikan Aqidah umat Islam.









Daftar Pustaka
M.Mukhsin Jamil, Nalar Islam Nusantara, 2007, Jakarta: Direktorat Pendidikan Tinggi Islam Departemen Agama RI.
Badrus Zaman, Sejarah Kebudayaan Islam, 2005, Surakarta: Amand Press
Abdullah,Tradisi Dan Kebngkita Islam di Asia Tenggara, 1989,Jakarta: Lp3 Press,
Bolland, Pergumulan Islam di Indonesia, 1985,Jakarta: Grafitti Press.
Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia,1980 Jakarta:Lp3 Press
Murodi, Sejarah Kebudayaan Islam,1994, Semarang : PT Karya Toha Semarang.

---------------






Disusun oleh:
Awaluddin (0829017)
M.Awang (0829007)

Dosen Pembimbing:
Muhtarom M.Pd.I

Minggu, 27 Desember 2009

PEMBAHARUHAN DI INDIA/PAKISTAN

PEMBAHARUHAN DI INDIA/PAKISTAN

PENDAHULUAN


Pada permulaan abad ke-19 imperium Mughal di anak Benua Indo-Pakistan secara pasti memasuki fase keruntuhan. Walaupun nama dan bayangannya masih tetap nampak, khususnya di Delhi untuk setengah abad kemudian, namun kekuasaanya yang riil telah musnah. Kerajaan-kerajaan kecil, seperti Rajput, Jat, Maratha, Sikh serta lainnya, yang muncul akibat kerapuhan para emperor Mughal setelah Awrangzeb, secara bertahap dilindas oleh East India Company yang mulai membentuk koloninya di Indo – Pakistan pada tahun 1757. Setelah pemberontakan 1857, imperium Mughal secara resmi bertekuk lutut di bawah penjajahan Inggeris.
Dengan runtuhnya imperium Mughal, masyarakat Muslim Indo-Pakistan pun ikut runtuh. Kemegahan budaya, intelektual dan kekuasaan mereka memudar dengan cepat. Sebaliknya, orang-orang Hindu, yang pada masa kejayaan Islam di anak benua India merupakan masyarakat kelas bawah, kecuali pada Akbar, kini mulai mendominasi seluruh lapangan kehidupan. Hal ini memang bertentangan dengan sejarah masa lalu mereka.

Akan tetapi, “penganakemasan” orang Hindu oleh Inggeris serta kurangnya respons kaum muslimin terhadap kekuasaan dan institusi-institusi Inggris, ditambah lagi dengan ketidakmampuan warisan keagamaan tradisional dalam menjawab tantangan zaman mengakibatkan tenggelamnya masyarakat Muslim Indo-Pakistan. Inilah yang menandai mulainya sejarah kontemporer umat Muslim di anak benua India .


PEMBAHASAN



A. Gerakan Mujahidin Dan Sekolah Deoband

1. Gerakan Mujahidin

Ta`rif Jama’at Islami adalah sebuah jama’ah Islam modern yang mememfokuskan aktifitasnya utuk menegakkan syari’at Islam dan menerapkannya dalam kehidupan nyata. Jama’at Islami tergolong gigih membendung berbagai bentuk aliran sekuleristik yang berusaha keras mendominasi seluruh negeri. Pertama Pendiri Abu al-A’la al-Maududi adal ah pendiri Jama’at Islami. Ia dilahirkan di kota Aurangabad di wilayah Hyderabad. Memulai pendidikannya di wilayah asuhan orang tuanya sendiri Sayid Ahmad Hasan. Keturunannya dari keluarga Qutb al-Din Maudud. Keluarga ini terkenal degan keteguhannya dalam memegang dan kedudukan rohaninya yang tinggi.

Aktifitas dakwah Maududi berawal di dunia jurnalistik pada tahun 1918 M. pada tahun 1920 M beliau membentuk sebuah front jurnalistik yang bertujuan memerdekakan ummat Islam dan menyampaikan Islam. Karir jurnalistiknya sering berpindah-pindah dalam berbagai surat kabar. Ia pernah menjadi penulis direktur dan pemimpin redaksi.

Bukunya Jihad Dalam Islam yang beredar tahun 1928 M berpengaruh luas dan mendalam dalam membangkitkan semangat perlawanan menentang Inggris kaum Berhalaisme dan musuh-musuh Islam di mana saja.

Tahun 1933 M. Ia menerbitkan majalah Turjuman Al-Qur’an dari Hyderabad Deccan. Motto majalah ini adalah “Wahai ummat Islam embanlah dakwah Al-Qur’an bergeraklah dan terbanglah menjelajah dunia.”

Melalui majalah ini Maududi mentransfer pemikiran-pemikirannya ke segenap ummat Islam di anak benua India-Pakistan. Ini merupakan langkah awal yang meratakan jalan menuju berdirinya Jama’at Islami di kemudian hari.

Tahun 1937?1938 M Maududi tinggal di Lahore memenuhi panggilan Dr. Mohammad Iqbal. Di Bathankot ia bersama Iqbal mendirikan sebuah Lembaga Researc Islam. Lembaga ini menjadi tempat pengkaderan dan tempat dia mengarang buku. Namun beberapa lama kemudian sejak kedatangan Maududi Iqbal berpulang menghadap Ilahi.

Melalui majalah Turjuman Al-Qur’an Maududi menyerukan para ulama dan tokoh-tokoh Islam supaya menghadiri konferensi yang dilaksanakan pada tanggal 26 Agustus 1941 M/1360 H di Lahore. Konferensi ini dihadiri 75 orang dilegasi yang mewakili beberapa negara bagian india. Dalam konferensi inilah Jama’at Islami didirikan dan Maududi terpilih menjadi pemimpinnya.

Ketika itu anak benua india dikuasai Inggris. Maududi mengeluarkan fatwanya yang berani. Ia mengharmkan bekerja utk berbakti kepada kekuatan penjajah. Fatwa inilah yang menyebabkan Jama’at Islami menghadapi serangan dahsyat dari pihak penjajah sejak awal berdirinya.

Tanggal 28 Agustus 1947 M Pakistan lahir sebagai negara merdeka yang memisahkan diri dari negara India negara berhala. Kemudian disusul dgn munculnya kepemimpinan Jama’at Islami baru di India. Jama’at menyatakan kemerdekaan dgn sendirinya. Tujuannya tak lain adalah memudahkan urusan-urusan administratif. Jama’at Islami dgn berdikari mendirikan kamp-kamp penampungan Muhajirin Muslimin dan kepada mereka di beri bantuan sampai merasa aman dan damai.

Dalam hidupnya Maududi berkali-kali dijebloskan ke dalam penjara krn keberanian dan sikapnya melawan orang-orang yang menentang penerapan hukum Islam di Pakistan. Ia pernah dijatuhi hukuman mati tetpi kemudian mendapatakan keringanan.Penjara-demi penjara dimasukinya namun tidak membuatnya mundur dari sikap dan perjuangannya. Bahkan hal itu semakin memperkuat keyakinannya terhadap dakwah dan prinsip-prinsip Islam.

Jama’at Islami banyak membantu Muhajirin Kasmir dalam perjuangannya melawan India. Mereka dilengkapi dgn amunisi puskesmas-puskesmas dan kamp-kamp pengungsi.Nopember 1971 M Pakistan pecah menjadi dua. Bagian barat tetap disebut Pakistan dan bagian timur disebut Bangladesh. Perpecahan itu telah mengguncang Maududi.

Sejak Nopember 1972 M atas permohonan sendiri Maududi mengundurkan diri dari jabatan ketua jama’at krn pertimbangan kesehatannya. Beliau selanjutnya lbh banyak menekuni studi dan menulis terutama merampungkan kitabnya Tafhum Al-Qur’an. Jabatan ketua jama’at sesudahnya dipegang oleh Miyan Thufail Muhammad.27 Pebruari 1979 M ia mendapat hadiah King Faisal Fondation dalam bidang pengkhidmatan terhadap Islam. Hadiah tersebut didonasikan utk membangun sebuah lembaga ilmu pengetahuan Islam di Lahore.

1 Dzulqa’idah 1399 H/22 September 1979 M Maududi wafat setelah menjalani operasi di New York. Jenazahnya dibawa ke Lahore. Ucapan ta’ziyahpun berdatangan dari seluruh dunia Islam.Dalam bidang dakwah Maududi telah mewariskan kader-kader kepustakaan dan karya tulis yang tidak sedikit. karya-karyanya telah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa dan dicetak berulang kali. (Farhan, hal.112-135:1986)



2. Sekolah Deobend

Deobandi (Urdu: دیو بندی devbandī) adalah Islam Sunni [1] Paham gerakan politik yang timbul dan memulai dari India dan Pakistan dan kemudian menyebar ke negara-negara lain, seperti Afganistan, Afrika Selatan, dan Inggris dengan kedatangan imigran dari Asia Selatan.

Nama Deobandi berasal dari kata “Deva” dan “Ban”, sebuah hutan belantara di bagian provinsi utara India, (Uttar Pradesh) India, di mana sekolah Darul Uloom “Darul ‘Ulum” Deoband yang didirikan oleh Maulana Qasim Nanautavi, Maulana Kifayatullah berada. Deobandi mengikuti fiqh dari Abu Hanifa dan Aqidah dari Abu Mansur Maturidi [1], secara historis Deobandi mengadopsi pemikiran Shah Wali-Allah, pembaharu Islam di anak benua India pada abad ke delapanbelas yang menggabungkan semua disiplin ilmu agama seperti: Teologi, ilmu Logika (Mantiq), Fiqh, Tasawwuf, Tafsir, Hadith dan Filsafat. Dalam tempo kurang lebih seratus tahun Madrasah Deobandi telah berhasil mencetak ratusan siswa yang ikut mengembangkan ilmu keislaman di Asia Selatan.

·

Umumnya para alumni siswa dari Deobandi seusai menamatkan pendidikannya banyak menggunakan nama tambahan di belakang namanya semisal Maulana Shafi’ Usmani Deobandi, Maulana Kifayatullah Deobandi dsb. Kerekatan nama pendidikan ini dengan para alumninya merupakan tolok-ukur dalam berbagai gerakan yang dibentuk oleh para alumni, beberapa organisasi yang berafiliasi kepada paham politik Deobandi, di antaranya adalah: Jam’iyat Ulama-e-Islam (JUI), sebuah organisasi politik sosial yang terkemuka di Pakistan kemudian berubah menjadi Jam’iyat Ulama-e-Islam dari Fazlur Rahman (JUIF) dan Jam’iyat Ulama-e- Islam dari Samiul Haque (JUIS), pada pemilu 2002 partai ini tergabung dalam koalisi partai-partai Islam Majlis Muttahida Amal (MMA) gabungan dari berbagai sekte di Pakistan, seperti: Deobandi, Ahlul Hadith, Brelvi, Shi’ah dan Jama’at Islami.
syari’at Tauhid Wassunnah Sebuah gerakan Da’wah yang berkiblat kepada Deobandi didirikan oleh Maulana Hussain Ali pada tahun 1957 di Provinsi Punjab. Hingga saat ini organisasi ini bekerja dalam penegakkan Tauhid dan penerapan Sunnah, serta menentang hal-hal yang dianggap bid’ah dan khurafat. Organisasi ini juga merupakan organisasi tandingan atas faham politik dari organisasi Barelwi yang berkembang pesat diseluruh provinsi Pakistan khususnya pada provinsi Sind (Murray, hal. 232-250:1990)



B. Sayyid Ahmad Khan dan Gerakan Aligarh

Sayyid Ahmad Khan lahir di Delhi pada tahun 1817 dan menurut keterangan ia berasal dari keturunan Husein, cucu Nabi Muhammad melalui Fatimah dan Ali. Neneknya Sayyid Hadi adalah Pembesar Istana di zaman Alamghir II (1754- 1759). Ia mendapat didikan tradisional dalam pengetahuan agama dan di samping Bahasa Arab ia juga belajar Bahasa Persia. Sayyid Ahmad Khan adalah orang yang rajin membaca. Ketika usianya 18 tahun ia bekerja pada Serikat India Timur, kemudian bekerja pula sebagai hakim, tetapi pada tahun 1846 ia pulang kembali ke Delhi untuk meneruskan studi.

Pada masa Pemberontakan 1857 ia berusaha mencegah terjadinya kekerasan dan banyak menolong orang Inggris dari pembunuhan. Pihak Inggeris menganggap ia telah banyak berjasa dan ingin membalas jasa tersebut, tetapi hadiah yang dianugerahkan Inggeris ditolaknya, ia hanya menerima Gelar Sir dari pemerintahan Inggeris dari berbagai hadiah yang ditawarkan tersebut. Hubungannya dengan pihak Inggeris sangat baik dan inilah yang dipergunakannya untuk kepentingan ummat Islam India.

Ahmad Khan berpendapat bahwa usaha peningkatan kedudukan dan kesejahteraan ummat Islam India dapat diwujudkan melalui kerja sama dengan Inggeris sebagai penguasa di India. Dalam fikirannya, menentang kekuasaan Inggeris tidak akan membawa kebaikan bagi ummat Islam India tetapi akan menjadikan umat Islam semakin mundur serta akan jauh ketinggalan dari masyarakat Hindu India. Selain itu dasar ketinggian dan kekuatan Barat, termasuk di dalamnya Inggeris, adalah ilmu pengetahuan dan teknologi modern. Sehingga untuk mendapatkan kemajuan, ummat Islam harus pula menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi modern itu. Jalan yang harus ditempuh ummat Islam memperoleh ilmu pengetahuan dan teknologi yang diperlukan itu bukanlah bekerja sama dengan Hindu dalam menentang Inggeris tetapi memperbaiki dan memperkuat hubungan baik dengan Inggeris.

Untuk mewujudkan cita-citanya, ia menerbitkan majalah “Tahzib al-Akhlak”. Pada tahun 1875, ia mendirikan lembaga pendidikan Muhammedan Anglo Oriental College (MAOC) yang kemudian berkembang menjadi Universitas Aligarh. Untuk mengukuhkan ide-idenya ia mendirikan All India Muhammadan Education Conference (1886). Ia juga tercatat sebagai anggota parlemen di Legislatif Council selama empat tahun (1878 – 1882).

Beberapa hasil karya Sayyid Ahmad Khan adalah Atsar al-Sanadid (1874) yang merupakan hasil penelitiannya tentang arkeologi di Delhi dan sekitarnya, Essay on life of Muhammad (1870), Tafsir al-Qur’an sebanyak 6 jilid, Ibthal al-Ghulami (1890) dan Tabyin al-Kalam (1860). Selain itu juga menulis dua buku Tarikh Sarkhasi Bignaur (1858) dan Asbab Baghawad Hind (1858). Dari hasil karyanya ini terihat pula bahwa Sayyid Ahmad Khan termasuk penulis yang produktif.
Ahmad Khan mengakhiri perjuangannya dengan berpulangnya ke rahmatullah pada tanggal 27 Maret 1898 setelah menderita sakit beberapa lama dalam usia 81 tahun, dan dimakamkan di Aligarh.

Atas usaha usahanya dan atas sikap kooperatif yang ditunjukkannya terhadap Inggeris, Sayyid Ahmad Khan akhirnya berhasil dalam merobah pandangan Inggeris terhadap ummat Islam India. Sementara itu kepada ummat Islam dianjurkan agar tidak bersikap melawan tetapi sikap berteman dan bersahabat dengan Inggeris. Cita citanya untuk menjalin hubungan baik antara Inggeris dan ummat Islam dimaksudkan agar ummat Islam dapat merobah nasib dari kemunduran. Keinginan ini telah dapat diwujudkan Sir Sayyid pada masa hidupnya.( Lapidus, hal.37-44:1989 ).



Ide-Ide Pembaharuan

Sayyid Ahmad Khan melihat bahwa ummat Islam India mundur karena tidak mengikuti perkembangan zaman. Ummat Islam tidak menyadari bahwa peradaban Islam masa klasik telah runtuh dan digantikan peradaban modern yang berasal dari dunia Barat. Dasar peradaban baru ini ialah ilmu pengetahuan dan tekhnologi sebagai pondasi kokoh bagi kemajuan dan kekuatan orang Barat modern yang berasal dari hasil pemikiran manusia. Oleh karena itu akal bagi Sayyid Ahmad Khan mendapat penghargaan tinggi, namun bagi sebahagian kalangan ummat Islam tradisional pada masanya berpegang teguh bahwa kekuatan akal bukan tidak terbatas.
Oleh karena itu, Ahmad Khan percaya pada kekuatan dan kebebasan akal, sungguhpun mempunyai batas, ia percaya pada kebebasan dan kemerdekaan manusia dalam menentukan kehendak dan melakukan perbuatan. Dengan kata lain, ia mempunyai faham qa¬dariah (free will and free act) dan tidak faham jabariah atau fatalisme. Manusia menurutnya dianugerahi Tuhan daya daya, seperti daya berfikir, yang disebut akal, dan daya fisik untuk mewujudkan kehendaknya. Manusia mempunyai kebebasan untuk mempergunakan daya daya yang diberikan Tuhan kepadanya itu.

Ahmad Khan menolak pula faham taklid bahkan tidak segan segan menyerang faham ini. Sumber ajaran Islam menurut pendapatnya hanyalah al-Qur’an dan Hadis. Pendapat ulama di masa lampau tidak mengikat bagi ummat Islam dan di antara pendapat mereka ada yang tidak sesuai lagi dengan zaman modern.
Secara sederhana bentuk-bentuk ide pembaharuan Sayyid Ahmad Khan dapat pula dikembangkan sebagai berikut :

1. Bidang Keagamaan

Salah satu warisan keagamaan yang ditinjau dan diperbaharui kembali, dan sangat fundamental serta mencakup seluruh aspek Islam, adalah tafsir al-Qur’an. Untuk kegiatan ini, anak benua Indo-Pakistan dapat berbangga diri, karena amat produktif dalam menelorkan mufassir liberal dan radikal semisal Sayyid Ahmad Khan ini.

Pembaharuan penafsiran al-Qur’an yang dilakukan adalah berusaha mengadaptasikan ajaran-ajaran al-Qur’an dengan tuntutan-tuntutan zaman modern. Ini terwujud dengan terbitnya volume pertama dari enam jilid tafsir karya Ahmad Khan pada tahun 1880.

Sayyid Ahmad Khan berpendapat bahwa al-Qur’an dan hadis merupakan sumber hukum Islam. Ia sangat selektif dalam menerima hadis. Dengan munculnya hadis-hadis palsu, ia berpandangan bahwa tugas kaum muslimin sekarang dalam memelihara hadis adalah merumuskan “standar penilaian modern terhadap hadis-hadis” ia tidak menjelaskan standar tersebut. Oleh karena itu, ia hanya menerima hadis yang sesuai dengan nash dan ruh al-Qur’an, yang sesuai dengan akal dan pengalaman manusia, dan yang tidak bertentangan dengan hakikat-hakikat sejarah. Berkaitan dengan pembagian hadis kepada Mutawatir, Masyhur dan Ahad, ia berpendapat bahwa hadis Mutawatir dapat diterima, hadis Masyhur tidak dapat diterima kecuali setelah diadakan penelitian, sedangkan hadis Ahad tidak dapat diterima sama sekali.
Menurut Sayyid Ahmad Hadis yang dapat diterima tersebut dibagi kepada dua bagian yaitu hadis yang berkaitan dengan agama dan hadis yang berkaitan dengan dunia. Hadis yang berkaitan dengan ruang lingkup agama bersifat mengikat dan wajib diikuti, sedangkan hadis yang berkaitan dengan perkara dunia, tidak termasuk tugas kerasulan secara mutlak dan hanya berlaku khusus bagi kondisi dan keadaan bangsa Arab pada masa nubuwwah, dan tidak mengikat bagi seluruh kaum muslimin.

Berkaitan dengan permasalahan fiqh, Sayyid Khan mempunyai pandangan tersendiri yang mendekatkan antara perkara-perkara dan dengan pemahaman peradaban barat, antara lain dalam masalah jihad, bunga bank, poligami dan had.







2. Bidang Pendidikan

Sebagai telah disebut di atas, Sayyid Ahmad Khan beranggapan bahwa jalan bagi ummat Islam India untuk melepaskan diri dari kemunduran dan selanjutnya mencapai kemajuan, adalah dengan memperoleh ilmu pengetahuan dan teknologi modern Barat. Untuk mencapai tujuan ini maka sikap mental ummat yang kurang percaya kepada kekuatan akal, kurang percaya pada kebebasan manusia dan kurang percaya pada adanya hukum alam, harus dirobah terlebih dahulu. Perobahan sikap mental itu diusahakannya melalui tulisan-tulisan dalam bentuk buku dan artikel artikel dalam majalah Tahzib Al Akhlaq. Usaha melalui pendidikan juga tidak dilupakannya, bahkan pada akhirnya ke dalam lapangan inilah dicurahkannya perhatian dan usahanya. Salah satu jalan yang efektif untuk merobah sikap mental suatu bangsa menurut Sir Sayyid haruslah melalui pendidikan.

Pada tahun 1861 Sayyid Ahmad Khan mendirikan Sekolah Inggeris di Muradabad. Di tahun 1876 ia mengundurkan diri sebagai pegawai Pemerintah Inggeris dan sampai akhir hayatnya di tahun 1898, ia mementing¬kan pendidikan ummat Islam India. Di tahun 1878, ia mendirikan sekolah Muhammedan Anglo Oriental College (MAOC) di Aligarh yang merupakan karyanya yang bersejarah dan berpengaruh dalam upaya memajukan ummat Islam India. Sekolah itu mempunyai peranan penting dalam kebangkitan ummat Islam India, dan sekiranya tidak karena lembaga pendidikan tersebut ummat Islam India di Pakistan sekarang akan lebih jauh lagi ketinggalan dari ummat-ummat lain..

MAOC dibentuk sesuai dengan model sekolah di Inggeris dan bahasa yang dipakai di dalamnya ialah Bahasa Inggeris. Direkturnya berbangsa Inggeris sedang guru dan staffnya banyak terdiri atas orang Inggeris. Ilmu pengetahuan modern merupakan sebahagian besar dari mata pelajaran yang diberikan dengan tidak mengabaikan pendidikan agama. Sedangkan pada sekolah Inggeris yang diasuh Pemerintah pendidikan agama tidak diajarkan. Dalam sistem pendidikan di MAOC pendidikan agama Islam dan ketaatan siswa menjalankan ajaran agama mendapat prioritas yang utama. Keistimewaan lainnya, sekolah tersebut terbuka bagi seluruh lapisan masyarakat, baik Hindu, Parsi dan Kristen, bukan hanya bagi orang Islam.
Sebelumnya pada tahun 1869/1870 Sayyid Ahmad Khan telah berkunjung ke Inggeris, untuk mempelajari sistem pendidikan Barat. Sekembalinya dari kunjungan itulah ia membentuk Panitia Peningkatan Pendidikan Ummat Islam. Salah satu tujuan panitia tersebut adalah menyelidiki sebab-sebab ummat Islam India sedikit sekali memasuki sekolah sekolah Pemerintah. Di samping itu dibentuk pula Panitia Dana Pembentukan Perguruan Tinggi Islam.
Di tahun 1886 ia juga membentuk Muhammedan Educational Conference dalam usaha mewujudkan pendidikan nasional yang seragam bagi ummat Islam India. Program dari lembaga ini yakni menyebarluaskan pendidikan Barat di kalangan ummat Islam, menyelidiki pendidikan agama yang diberikan di sekolah sekolah Inggeris yang didirikan oleh kalangan Islam serta menunjang pendidikan agama yang diberikan di sekolah sekolah swasta. Pada tahun itu juga diterbitkan pula jurnal mingguan “Aligarh Institut” yang menyebarluaskan informasi dan problematika mengenai seputar pengetahuan, pendidikan dan kebudayaan, serta lembaga ini juga melakukan kegiatan penterjemahan buku Inggeris ke Bahasa India.

Pada tahun 1920 MAOC ini berkembang menjadi Universitas Aligarh yang secara berlanjut meneruskan tradisi sebagai pusat gerakan pembaharuan Islam India. Universitas inilah yang menjadi penggerak utama terwujudnya pembaharuan di kalangan umat Islam India. (Harun.hal 73-74:1994)



3. Bidang Sosial Politik

Dalam bidang politik ide Sayyid Ahmad Khan ini merupakan refleksi dari gejolak sosial politik yang terjadi antara umat Islam dan Inggris pada tahun 1857. Pemikirannya inilah yang dituangkan dalam buku karangannya Asbab Baghawat Hind yang berisi tentang usaha Sayyid Ahmad Khan untuk meyakinkan pihak Inggris, bahwa umat Islam tidak terlibat pemberontakan itu.

Dalam usahanya, ia meyakinkan pihak Inggeris bahwa dalam Pemberontakan 1857 ummat Islam tidak memainkan peranan utama, Ahmad Khan mengeluarkan panflet yang berisikan penjelasan tentang faktor penyebab pecahnya pemberontakan tersebut. Di antara faktor penyebab tersebut adalah :

1) Intervensi Inggeris dalam soal keagamaan seperti pendidikan agama Kristen yang diberikan kepada yatim piatu di panti panti yang diasuh oleh orang Inggeris, pembentukan sekolah sekolah missi Kristen, dan penghapusan pendidikan agama dari perguruan perguruan tinggi.

2) Tidak turut sertanya orang orang India, baik Islam maupun Hindu, dalam lembaga lembaga perwakilan rakyat, sehingga berakibat :

a) Rakyat India tidak mengetahui tujuan dan niat Inggeris yang sebenarnya dan menganggap Inggeris datang untuk merobah agama mereka menjadi Kristen.

b) Pemerintah Inggeris tidak mengetahui keluhan keluhan rakyat India.

c) Pemerintah Inggeris tidak berusaha mengikat tali persahabatan dengan rakyat India, sedang kestabilan dalam pemerintahan bergantung pada hubungan baik dengan rakyat. Sikap tidak menghargai dan tidak menghormati rakyat India membawa akibat yang tidak baik.



Lebih lanjut, Sayyid Ahmad Khan menyatakan bahwa di antara golongan Islam yang ikut serta dalam pemberontakan 1857 adalah mereka yang kerap kali melakukan perbuatan tidak baik dan tercela serta perbuatan kriminal. Dan jika hanya segelintir ummat Islam yang bersalah tidaklah pada tempatnya pula untuk menetapkan keseluruhan ummat Islam India bertanggung jawab terhadap pemberontakan tersebut. Dengan demikian tidak pada tempatnya Pihak Inggeris menaruh rasa curiga terhadap ummat Islam India. Sikap Sayyid dalam bidang politik terlihat pula pada pertengahan kedua dari abad ke-19, ketika rasa nasionalisme India telah mulai timbul dan terbentuknya Partai Kongres Nasional India di tahun 1885. Sayyid Ahmad Khan menjauhkan diri dari gerakan ini, dengan alasan bahwa bahasa yang dipakai Kongres terhadap Pemerintah Inggris kurang sopan. Menurut Rayendra Prasadia, ia pada mulanya adalah penyokong nasionalisme India. la pemah menerangkan bahwa Hindustan merupakan negara bagi orang Hindu dan dalam kategori Hindu termasuk orang India Islam dan orang India Kristen. Tetapi akhimya ia dipengaruhi oleh Mr. Back, salah satu Direktur MAOC yang berpendapat bahwa pendidikan ummat Islam India belum sampai ke taraf yang membuat mereka akan dapat mengambil keuntungan dari permainan dalam bidang politik. Sebaliknya turut campur dalam bidang politik akan merugikan ummat Islam India. Sayyid Ahmad Khan memang berpendapat bahwa pendidikanlah satu satunya jalan bagi ummat Islam India untuk mencapai kemajuan. Kemajuan tidak akan dicapai melalui jalan politik.

Oleh karena itu ia menganjurkan supaya ummat Islam India jangan turut campur dalam agitasi politik yang dilancarkan Partai Kongres. Usaha usaha untuk merobah sikapnya terhadap Partai Kongres tidak berhasil. Ia berkeyakinan bahwa anggota kasta kasta dan pemeluk agama agama yang berlainan di India tidak bisa disatukan menjadi satu bangsa. Tujuan dan cita cita mereka saling berlainan. Wujud Partai Kongres Nasional India sebenarnya tidak mempunyai dasar. Gerakan yang dijalankan Partai Kongres, demikian ia selanjutnya menjelaskan, bukan hanya akan merugikan bagi ummat Islam, tetapi juga bagi seluruh India.

Dalam ide politik yang ditimbulkan Sayyid Ahmad Khan di atas telah kelihatan pengertian bahwa ummat Islam merupakan satu ummat yang tidak dapat membentuk suatu negara dengan ummat Hindu. Umat Islam harus mempunyai negara tersendiri. Bersatu dengan ummat Hindu dalam satu negara akan membuat minoritas Islam yang rendah kemajuannya, akan lenyap dalam mayoritas Hindu yang lebih tinggi kemajuannya. Di sini telah dapat dilihat bibit dari ide Pakistan yang muncul kemudian di abad ke-20.

Dari usaha-usaha pembaharuan Sayyid Ahmad Khan terlihat yang paling menonjol adalah dalam bidang pendidikan. Terlihat sikapnya terhadap pendidikan ummat Islam memang terlihat sangat mengagumkan, namun pengaruh tersebut tidak terbatas dalam bidang pendidikan saja. Melalui buku karangannya dan tulisan¬-tulisannya Tahzib al-Akhlaq ide ide pembaharuan yang dicetuskannya menarik perhatian golongan terpelajar Islam India. Penafsiran penafsiran baru yang diberikannya terhadap ajaran-ajaran Islam lebih dapat diterima golongan terpelajar ini dari pada tafsiran tafsiran lama.



C. Aligarh dan Pengaruhnya bagi Pembaharuan India-Pakistan

Malapetaka hebat yang melanda India, yaitu Pemberontakan tahun 1857 telah berlalu. Pemberontakan itu merupakan akibat dari keinginan akan adanya pendidikan di India, dan akibat dari kenyataan bahwa Bangsa India tidak memahami hak Pemerintah, yang sasarannya adalah kita ini, terhadap kita dan tidak mengerti tentang kewajiban kita terhadapnya. Selain ini semua, juga terdapat keinginan akan adanya hubungan antara para penguasa dan rakyat dalam hal keinginan untuk memperoleh pendidikan itu. Pada saat ini, universitas universitas yang didirikan di India dengan tujuan mendirikan pendidikan tingkat tinggi. Kebanyakan para negarawan menyetujui adanya pendidikan tingkat tinggi itu dan menganggapnya sebagai kewajiban pemerintah, sementara sebagian kecil di antara mereka bersikap menentangnya. Akan tetapi, tak seorang pun yang berfikir bahwa bersamaan dengan pendidikan itu, latihan yang baik pun diperlukan, sebab tak seorang pun dapat meningkatkan dirinya sebagai manusia (beradab) hanya dengan pendidikan semata mata, demikian juga dengan pendidikan itu saja sikap moralnyapun tidak dapat ditingkatkan, bahkan dia akan menjadi semacam kuda bengal yang tidak mau dikendalikan oleh penunggangnya.

Demikianlah keadaan masyarakat India masa itu, tidak dipungkiri walaupun dengan berbagai ide pembaharuan yang ditelorkan oleh pembaharu-pembaharu seperti Sir Sayyid dan rekan-rekannya, namun sikap mental tak bisa sepenuhnya terpengaruh dengan ide pembaruaan tersebut. Hal ini akan terbukti dengan sejarah Aligarh selanjutnya pasca Sir Sayyid.

Setelah Sir Sayyid wafat pada tanggal 24 Maret tahun 1898, ide ide pembaharuan yang dicetuskan Sir Sayyid Ahmad Khan dianut dan disebarkan selanjutnya oleh pengikut dan pada akhirnya lahirlah sebuah gerakan yang disebut Gerakan Aligarh yang berpusat MAOC sendiri.

Ada beberapa tokoh Aligarh yang berpengaruh dan melanjutkan ide-ide pembaharuan yang dicetuskan Sayyid Ahmad Khan, di antaranya:



Nawab Muhsin al-Muluk

Setelah Sayyid Ahmad Khan wafat, maka kepemimpinan Aligarh pindah ke tangan Sayyid Mahdi Ali, yang dikenal dengan nama Nawab Muhsin Al Mulk (1837 1907). Pada mulanya ia adalah pegawai Serikat India Tiffluk, kemudian menjadi pembesar di Hyderabad. Ia pernah berkunjung ke Inggeris untuk keperluan Pemerintah Hyderabad. Di tahun 1863 ia berkenalan dengan Sayyid Ahmad Khan dan antara keduanya terjalin tali persahabatan yang erat. la banyak rnenulis artikel Tahzib Al Akhlaq dan kemudian juga di majalah yang diterbitkan MAOC la pindah ke Aligarh dan menetap di sana mulai pari tahun 1893.

Pada tahun 1897 ia menggantikankan kedudukan Sayyid Ahmad Khan di MAOC Ia mempunyai jasa yang besar dalam menyebarkan ide ide Sayyid Ahmad Khan yang dilakukannya melalui Muhammedan Educational Conference. Jasanya dalam memajukan MAOC terlihat dengan bertambah banyaknya jumlah murid lembaga pendidikan tersebut.

Muhsin al-Mulk berhasil membuat golongan ulama India merobah sikap keras terhadap Gerakan Aligarh. Sebagaimana diketahui bahwa Deoband yang banyak menghasilkan ulama ulama India tradisional, mempunyai sikap yang tidak kooperatif dengan Inggeris, sedang Sayyid Ahmad Khan terkenal dengan sikap pro Inggeris. Jadi antara MAOC terdapat perbedaan bukan hanya dalam soal-soal keagamaan saja tetapi, juga mengenai sikap politik.

Muhsin al-Mulk tidak hanya membawa para ulama dekat dengan Aligarh, lebih jauh ia mampu menarik beberapa lawan politik pendiri Perguruan Tinggi tersebut. Ia adalah orang yang paling cinta damai, namun ia dihadapkan juga kepada kontraversi Hindu-Urdu yang telah ada sejak akhir-akhir kehidupan Sayyid Ahmad. Inilah yang pada akhirnya menyebabkan ia mengundurkan dari Perguruan Tinggi tersebut. Ia wafat 16 Oktober 1907, dan dikuburkan di samping kuburan Sir Sayyid di Aligarh. (merry, hal.274-281:1990)



KESIMPULAN

Dari pembahasan di atas mengenai pembaharuan di India/Pakisan bahwa, dapat di simpulkan syari’at Tauhid Wassunnah Sebuah gerakan Da’wah yang berkiblat kepada Deobandi didirikan oleh Maulana Hussain Ali pada tahun 1957 di Provinsi Punjab. Hingga saat ini organisasi ini bekerja dalam penegakkan Tauhid dan penerapan Sunnah, serta menentang hal-hal yang dianggap bid’ah dan khurafat. Organisasi ini juga merupakan organisasi tandingan atas faham politik dari organisasi Barelwi yang berkembang pesat diseluruh provinsi Pakistan khususnya pada provinsi Sind
Ide-ide pembaharuan;
1. Bidang Agama
2. Bidang Pendidikan
3. Sosial Politik

Di antara faktor penyebab sosial politik:

a. Intervensi Inggeris dalam soal keagamaan seperti pendidikan agama Kristen yang diberikan kepada yatim piatu di panti panti yang diasuh oleh orang Inggeris, pembentukan sekolah sekolah missi Kristen, dan penghapusan pendidikan agama dari perguruan perguruan tinggi.

b. Tidak turut sertanya orang orang India, baik Islam maupun Hindu, dalam lembaga lembaga perwakilan rakyat, sehingga berakibat:

1) Rakyat India tidak mengetahui tujuan dan niat Inggeris yang sebenarnya, dan

2) Menganggap Inggeris datang untuk merobah agama mereka menjadi Kristen.

3) Pemerintah Inggeris tidak mengetahui keluhan keluhan rakyat India.

c. Pemerintah Inggeris tidak berusaha mengikat tali persahabatan dengan rakyat India, sedang kestabilan dalam pemerintahan bergantung pada hubungan baik dengan rakyat. Sikap tidak menghargai dan tidak menghormati rakyat India membawa akibat yang tidak baik.



DAFTAR PUSTAKA







· Murray Thurston Titus, Islam in India and Pakistan, University of California Press (1990)



· Farhan, Al-Islam Pusat Kumunikasi dan Informasi Islam Indonesia, PT. Mutiara Bandung: 1986.



· Nasution, Harun. Pembaharuan Dalam Islam, Sejarah pemikiran dan gerakan. Jakarta : Bulan Bintang, 1992..com/msg01642.html



· Ira. M. Lapidus, Sejarah Sosial Umat Islam, terj. Ghufran A. Mas’adi, judul asli: A History of Islamic Societies, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1999, Jilid ke-3
--------------------------------------------

MAKALAH

PEMBAHARUHAN DI INDIA/PAKISTAN





Disusun Oleh:

Amrullah:(0829002)

Adli: (08290 )



DOSEN PEMBIMBING:

Muhtarom, M.Pd.I





FAKULTAS TARBIYAH JURUSAN KEPENDIDIKAN ISLAM INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI RADEN FATAH PALEMBANG

2009

Sabtu, 12 Desember 2009

Pembaharuan Di India-Pakistan; Sayyid Amir Ali, Iqbal, Jinnah, Abu Kalam Azat, Dan Abul A’la Maudidi

PEMBAHARUAN DI INDIA-PAKISTAN; SAYYID AMIR ALI, IQBAL, JINNAH, ABU KALAM AZAT, DAN ABUL A’LA MAUDIDI

Pendahuluan

Pembaharuan di India Pakistan sebagaimana yang dilakukan oleh Sayyid Amir Ali dkk. Telah memberikan kontribusi yang berpengaruh bagi perkembangan di India Pakistan . Pemikiran pertama yang kembali kesejarah lama untuk membawa bukti bahwa agama islam adalah agama rasional dan agama kemajuan ialah Sayyid Amir Ali. Bukannya The Sfirit Of Islam di cetak pertama kali di tahun 1891, dalam bukunya itu ia kupas ajaran-ajaran islam mengenai tauhid, ibadat, hari akhirat, kedudukan wanitaperbudakan, sistem politik, dan sebagainya. Dan sebagaimana pembaharuan Iqbal, Jinnah, Abu Kalam Azat dan Abu A’la Al-maududi juga memberikan kontribusi yang sangat penting bagi di India Pakistan



PEMBAHARUAN DI INDIA-PAKISTAN; SAYYID AMIR ALI, IQBAL, JINNAH, ABU KALAM AZAT, DAN ABUL A’LA MAUDIDI


A. SAYYID AMIR ALI

Sayyid Amir Ali berasal dari keluarga syiah yang di zaman Nadir syah (1736-1747) pindah dari khurusan di persia di india . Keluarga itu kemudian bekerja di di istana Raja mughal. Sayyid Amir Ali lahir pada tahun 1849, dan meninggal pada usia tujuh puluh sembilan pada tahun 1928. pendidikanya diperoleh di perguruan tinggi muhsiniyya yang berada di dekat kalkulta. (Nasution,1996:181)
Di tahun 1869 ia pergi keinggris untuk meneruskan studi dan selesai pada tahun 1873 dengan memproleh keserjanaan dalam bidanghukum. Selesai dari studi ia kembali ke indiadan pernah bekerja sebagai pemerintah inggris, pengcara, hakim dan guru besar dalam hukum islam.
Di tahun 1877 ia membentuk National muhammedan association. Sebagai persatuan umat islam India , dan tujuannya ialah untuk membela kepentingan umat islam dan untuk melatih mereka dalam dunia politik. Dan pada tahun 1883 ia di angkat menjadi salah satu dari ke tiga anggota Majlis Wakil Raja Ingris di india.. Ia adalah satu-satunya anggota islam pada majelis itu.
Di tahun 1904, ia meninggalkan india dan menetap untuk selama-lamanya di inggris. Setelah berdiri liga muslim india di tahun 1906 ia membentuk perkumpulan itu di london. Tetapi dalam gerakan khalifah yang di lancarkan Muhammad Ali di india untuk mempertahankan wujud khalifah di istambul yang hendak di hapuskan kemal attaturk, ia turut mengambil bahagian yang aktif dari london.
Sayyid Amir Ali berpendapat dan berkenyakinan bahwa islam bukanlah agama yang membawa kepada kemunduran. Sebaliknya islam adalah agama yang membawa kepada kemajuan dan untuk membuktikan hal itu ia kembali kesejarah islam kelasik. Karena ia banyak menonjolkan kejayaan islam di masa lampau ia di cap penulis-penulis Orientalis, seorang apologis, seorang yang memuja dan rindu kepada masa lampau dan mengatakan kepada lawan : kalau kamu sedang maju sekarang, kami juga pernah mempunyai kemajuan di masa lampau.
Pemikiran pertama yang kembali kesejarah lama untuk membawa bukti bahwa agama islam adalah agama rasional dan agama kemajuan ialah Sayyid Amir Ali. Bukannya The Sfirit Of Islam di cetak pertama kali di tahun 1891, dalam bukunya itu ia kupas ajaran-ajaran islam mengenai tauhid, ibadat, hari akhirat, kedudukan wanitaperbudakan, sistem politik, dan sebagainya. (Nasution, 1996 : 183.)

B. IQBAL

Jika ingin memahami iqbal dn sinifikasinya pesannya, kita perlu mengetahui kondisi anak benua India selama masa hidup Iqbal suatu masa yang berpuncak pada iqbal sendiri. Kita tidak akan mengerti makna pesan iqbal sesungguhnya tanpa menelaah ini, melodi lagunya, dan nyala batin yang membuatnya terus-menerus berjuang. Anak benua India mengalami fase paling sulit dalam sejarahnya selama masa hidup Iqbal.(ali,2003:3) Iqbal berasal dari keluarga miskin, dengan mendapatkan beasiswa dia mendapat pendidikan bagus. Keluarga Iqbal berasal dari keluarga Brahmana Kashmir yang telah memluk agama Islam sejak tiga abad sebelum kelahiran Iqbal, dan menjadi penganut agama Islam yang taat. (mizan,1995:173)
Pada usia sekolah, Iqbal belajar Al Qur’an di surau. Disinilah Iqbal banyak hapal ayat-ayat Al Qur’an yang selanjutnya jadi rujukan pengembangan gagasannya dalam pembaharuan keislamannya.
Selanjutnya di meneruskan ke Scottish Mission School, Sialkot . Disini dia bertemu guru ternama sekaligus teman karib ayahnya, Sayid Mir Hasan. Pengaruh Mir Hasan ini sangat kuat pada dirinya ini dibuktikannya dengan menolak pemberian gelar Sir oleh pemerintah inggris pada tahun 1922, sebelum gurunya mendapat gelar kehormatan pula, yaitu Syams al- ‘Ulama.
Dalam sebuah sajaknya Iqbal mengakuinya :
Cahaya dari keluarga Ali yang penuh berkah
Pintu gerbangnya dibersihkan senatiasa
Bagiku bagaikan Ka’bah
Nafasnya menumbuhkan tunas keinginanku, penuh gairah hingga menjadi kuntum bunga yang merekah indah
Daya kritis tumbuh dalam diriku oleh cahayanya yang ramah
Pada tahun 1895 Iqbal menyelesaikan pelajarannya di Scottish dan pergi ke Lahore. Disini ia melanjutkan studi Government College gurunya adalah - Sir Thomas Arnold. Disini dia mendapatkan dua kali medali emas karena baiknya bahasa Inggris dan Arab karena kejeniusannya pula dia menjadi mahasiswa kesayangan Sir Thomas Arnold. Arnoldlah yang mendorongnya agar -melanjutkan pendidikannya ke Inggris karena melihat kejeniusan Iqbal. Setelah selesai di Government College Iqbal belajar ke Eropa pada tahun 1905. Dari sini pengembangan intelektual Iqbal dimulai. (mizan,1995:43)
Iqbal memilih melanjutkan di Cambridge University, Inggris, ia belajar filsafat dengan Mc. Taggart, kemudian mengambil gelar doktor (Ph.D) di Munich, Jerman dan lulus pada tahun1908 dengan disertasi berjudul The development of Methapysics of Persia. Didalam disertasi inilah Iqbal mengkritik tajam ajaran tasawwuf dengan mengatakan tidak mempunyai dasar yang kukuh dan historis dalam ajaran Islam yang murni. Iqbal melihat ada nilai-nilai baik yang transendental yang tak dimiliki oleh Eropa. Barat, menurut Iqbal, kehilangan semangat spritual dan terlalu menumpukan pada rasio dalam menjawab setiap problematika.”Meskipun ia mengakui Eropa baik, tapi ia yakin Islam lebih baik . Dia kembali dari Eropa sebagai Pan-Islamis bahkan bisa dikatakan sebagai puritan. Perubahan spritual dan ideologis Iqbal makin dalam dari nasionalis menjadi kampiun kebangsaan Muslim dia merasa yakin bahwa antara Hindu dan Islam harus punya negara masing-masing secara terpisah dan tindakannya sendiri sudah jelas.
PEMIKIRAN IQBAL TENTANG SUMBER HUKUM ISLAM
a. AL-QUR’AN
Sebagai seorang Islam yang di didik dengan cara kesufian (mizan,1944:44) , Iqbal percaya kalau al-Qur’an itu memang benar diturunkan oleh Allah kepada - Nabi Muhammad dengan perantara Malaikat Jibril dengan sebenar-benar percaya, kedudukannya adalah sebagai sumber hukum yang utama dengan pernyataannya “The Qur’an is a book which emphazhise ‘deed’ rather than ‘idea’ “ (al Qur’an adalah kitab yang lebih mengutamakan amal daripada cita-cita) . Namun demikian dia menyatakan bahwa bukanlah al – Qur’an itu suatu undang-undang. Dia dapat berkembang sesuai dengan perubahan zaman, pintu ijtihad tidak pernah tertutup.
Tujuan sebenarnya al Qur’an adalah - membangkitkan kesadaran manusia yang lebih tinggi dalam hubungannya dengan Tuhan dan alam semesta, Qaur’an tidak memuatnya secara detail maka manusialah dituntut pengembangannya.Ini didalam rumusan fiqh dikembangkan dalam prinsip ijtihad, oleh iqbal disebut prinsip gerak dalam struktur Islam. Disamping itu al – Qur’an memandang bahwa kehidupan adalah satu proses cipta yang kreatif dan progresif. Oleh karenanya, walaupun al – Qur’an tidak melarang untuk mempertimbangkan karya besar ulama terdahulu, namun masyarakat juga harus berani mencari rumusan baru secara kreatif dan inovatif untuk menyelesaikan persoalan-persoalan yang mereka hadapi.. “ Akibat pemahaman yang kaku terhadap pendapat ulama terdahulu, maka ketika masyarakat bergerak maju, hukum tetap berjalan di tempatnya”.
Akan tetapi, kendatipun Iqbal sangat menghargai perubahan dan penalaran ilmiah dalam memahami al Qur’an, namun dia melihat ada dimensi-dimensi didalam al Qur’an yang sudah merupakan ketentuan yang baku dan tidak dapat dirubah serta harus dikonservasikan, sebab ketentuan itu berlaku konstan. Menurutnya para mullah dan sufi telah membawa umat Islam jauh dari maksud al Qur’an sebenarnya. Pendekatan mereka tentang hidup menjadi negatif dan fatalis. Iqbal mengeluh ketidakmampuan umat Islam India dalam mamahami - al -Qur’an disebabkan ketidakmampuan terhadap memahami bahasa Arab dan telah salah impor ide-ide India ( Hindu ) dan Yunani ke dalam Islam dan - al-Qur’an. Dia begitu terobsesi untuk menyadarkan umat islam untuk lebih progresif dan dinamis dari keadaan statis dan stagnan dalam menjalani kehidupan duniawi. Karena berdasarkan pengalaman, agama Yahudi dan Kristen telah gagal menuntun umat manusia menjalani kehidupan. Kegagalan Yahudi disebabkan terlalu mementingkan segi-segi legalita dan kehidupan duniawi. Sedangkan Kristen gagal dalam memberikan nilai-nilai kepada pemeliharaan negara, undang-undang dan organisasi, karena lebih mementingkan segi-segi ritual dan spritual saja. Dalam kegagalan kedua agama tersebut al-Qur’an berada ditengah-tengah dan sama-sama mementingkan kehidupan individual dan sosial ;ritual dan moral. Al-Qur’an mengajarkan keseimbangan kedua sisi kehidupan tersebut, tanpa membeda-bedakannya. Baginya antara politik pemerintahan dan agama tidak ada pemisahan sama sekali, inilah yang dikembangkannya dalam merumuskan ide berdirinya negara Pakistan yang memisahkan diri dari India yang mayoritas Hindu.
Pandangan Iqbal tentang kehidupan yang equilbirium antara moral dan agama ; etik dan politik ; ritual dan duniawi, sebenarnya bukanlah hal yang baru dalam pemikiran Islam. Namun, dalam perjalanan sejarah, pemikiran demikian terkubur bersama arus kehidupan politik umat Islam yang semakin memburuk, terutama sejak keruntuhan dan kehancuran Bagdad, 1258. sehingga masyarakat Islam tidak mampu lagi menangkap visi dinamis dalam doktrin Islam - (al-Qur’an).
Akhirnya walaupun tidak ditegaskan kedalam konsep oleh para mullah lahirlah pandangan pemisahan antara kehidupan dunia dan agama yang menyeret umat untuk meninggalkan kehidupan duniawi, akibatnya, hukum pun menjadi statis dan al-Qur’an tidak mampu di jadikan sebagai referensi utama dalam hal menjawab setiap problematika.
Inilah yang terjadi dalam lingkungan sosial politik umat Islam. Oleh sebab itu, Iqbal ingin menggerakkan umat Islam untuk kreatif dan dinamis dalam menghadapi hidup dan menciptakan perubahan-perubahan dibawah tuntunan ajaran al – Qur’an. Nilai-nilai dasar ajaran al – Qur’an harus dapat dikembangkan dan digali secara serius untuk dijadikan pedoman dalam menciptakan perubahan itu. Kuncinya adalah dengan mengadakan pendekatan rasional al – Qur’an dan mendalami semangat yang terkandung didalamnya, bukan menjadikannya sebagai buku Undang-undang yang berisi kumpulan peraturan-peraturan yang mati dan kaku.
Akan tetapi, kendatipun Iqbal sangat menghargai perubahan dan penalaran ilmiah dalam memahami al – Qur’an, namun ia melihat ada dimensi-dimensi didalam al – Qur’an yang sudah merupakan ketentuan yang baku dan tidak dapat dirubah serta harus di konservasikan ( pertahankan), sebab ketentuan itu berlaku konstan.18
b. AL-HADIST
Sejak dulu hadist memang selalu menjadi bahan yang menarik untuk dikaji. Baik umat Islam maupun kalangan orientalis. Tentu saja maksud dan titik berangkat dari kajian tersebut berbeda pula. Umat Islam didasarkan pada rasa tanggung jawab yang begitu besar terhadap ajaran Islam. Sedangkan orientalis mengkajinya hanya untuk kepentingan ilmiah. Bahkan terkadang hanya untuk mencari kelemahan ajaran Islam itu lewat ajaran Islam itu sendiri.
Kalangan orientalis yang pertama kali melakukan studi tentang hadist adalah Ignaz Goldziher. Menurutnya sejak masa awal Islam dam masa-masa berikutnya , mengalami proses evolusi, mulai dari sahabat dan seterusnya hingga menjadi berkembang di mazhab-mazhab fiqih. Iqbal menyimpulkan bahwa dia tidak percaya pada seluruh hadist koleksi para ahli hadist. (Iqbal, 1994 : 74-75)
Iqbal setuju dengan pendapat Syah Waliyullah tentang hadist, yaitu cara Nabi dalam menyampaikan Da’wah Islamiyah adalah memperhatikan kebiasaan, cara-cara dan keganjilan yang dihadapinya ketika itu. Selain itu juga Nabi sangat memperhatikan sekali adat istiadat penduduk setempat. Dalam penyampaiannya Nabi lebih menekankan pada prinsip-prinsip dasar kehidupan sosial bagi seluruh umat manusia, tanpa terikat oleh ruang dan waktu. Jadi peraturan-peraturan tersebut khusus untuk umat yang dihadapi Nabi. Untuk generasi selanjutnya, pelaksanaannya mengacu pada prinsip kemaslahatan. Dari pandangan ini Iqbal menganggap wajar saja kalau Abu hanifah lebih banyak mempergunakan konsep istihsan dari pada hadist yang masih meragukan kualitasnya. Ini bukan berarti hadist-hadist pada zamannya belum dikumpulkan, karena Abdul Malik dan Al Zuhri telah membuat koleksi hadist tiga puluh tahun sebelum Abu Hanifah wafat. Sikap ini diambil Abu Hanifah karena ia memandang tujuan-tujuan universal hadist daripada koleksi belaka.
Oleh karenanya, Iqbal memandang perlu umat Islam melakukan studi mendalam terhadap literatur hadist dengan berpedoman langsung kepada Nabi sendiri selaku orang yang mempunyai otoritas untuk menafsirkan wahyu-Nya. Hal ini sangat besar faedahnya dalam memahami nilai hidup dari prinsip-prinsip hukum Islam sebagaimana yang dikemukakan al – Qur’an.
Pandangan Iqbal tentang pembedaan hadist hukum dan hadist bukan hukum agaknya sejalan dengan pemikiran ahli ushul yang mengatakan bahwa hadist adalah penuturan, perbuatan dan ketetapan Nabi saw.yang berkaitan dengan hukum; seperti mengenai kebiasaan-kebiasaan Nabi yang bersifat khusus untuknya, tidak wajib diikuti dan diamalkan.
C. JINNAH
Muhammad Ali Jinnah adalah anak seorang saudagar dan lahir di Karachi pada tanggal 25 Desember 1876. Di masa remaja ia telah pergi ke London untuk meneruskan studi dan di sanalah ia memperoleh kesarjanaannya dalam bidanghukum di tahun 1896. Pada tahun itu juga ia kembali ke India dan bekerja sebagai pengacara di Bombay. Tiada lama sesudah itu ia menggabungkan diri dengan Partai Kongres.
Pada tahun 1913 itu juga Jinnah dipilih menjadi Presiden Liga Muslimin. Pada waktu itu ia masih mempunyai keyakinan bahwa kepentingan umat Islam India dapat dijamin melalui ketentuan-ketentuan tertentu dalam Undang-Undang Dasar. Untuk itu ia mengadakan pembicaraan dan perundingan dengan pihak Kongres Nasional India. Salah satu hasil dari perundingan ialah perjanjian Lucknow 1916. menurut perjanjian itu ummat Islam India akan memperoleh daerah pemilihan terpisah dan ketentuan ini akan dicantumkan dalam Undang-Undang Dasar India yang akan disusun kelak kalau telah tiba waktunya. (Nasution,1996:197)

Selanjutnya dalam Konferensi Meja Bundar London yang diadakan pada tahun 1930-1932 ia menjumpai hal-hal yang menimbulkan perasaan kecewa dalam dirinya. Ia memutuskan mengundurkan diri dari lapangan polotik dan menetap di London. Di sana ia bekerja sebagai pengacara. Dalam pada itu Liga Muslimin perlu pada pimpinan baru lagi aktif, maka di tahun 1934 ia diminta pulang oleh teman-temannya dan pada tahun itu juga ia dilih menjadi Ketua tetap dari Liga Muslimin. Dibawah pimpinan Jinnah kali ini, Liga Muslimin berobah menjadi gerakan rakyat yang kuat.

Dengan adanya perkembangan ini ummat Islam India, tiba-tiba mulai sadar, demikian Al-Biruni menulis, bahwa apa yang ditakutkan Sir Sayyid Ahmad Khan dan Vigar Al-Mulk sebelumnya, sekarang mulai menjadi kenyataan, kekuasaan Hindu mulai terasa. Para Perdana Menteri Punjab, Bengal dan Sindi juga mulai mengadakan kerjasama dengan Jinnah. Sokongan ummat Islam India kepada Jinnah dan Liga Muslimin bertambah kuat lagi dan ini ternyata dari hasil pemilihan 1946. di Dewan pusat (Central Assembly) seluruh kursi yang disediakan untuk golongan Islam, dapat diperoleh oleh Liga Muslimin. Kedudukan Jinnah dalam perundingan dengan Inggris dan Partai Kongres Nasional India mengenai masa depan Ummat Islam India bertambahkuat.


Di tahun 1942 Inggris telah mengeluarkan janji akan memberi kemerdekaan kepada India sesudah Perang Dunia 11 selesai. Pelaksanaannya mulai dibicarakan dari tahun 1945.
Dalam pada itu diputuskan untuk mengadakan sidang Dewan Kostitusi pada bulan Desember 1946, dan Jinnah melihat bahwa dalam suasana demikian sidang tidak bisa diadakan dan oleh karena itu meminta supaya ditunda. Setahun kemudian keluarlah putusan Inggris untuk menyerahkan kedaulatan kepada dua Dewan Konstitusi, satu untuk Pakistan dan satu untuk India. Pada tanggal 14 Agustus 1947 Dewan Konstitusi Pakistan dibuka dengan resmi dan keesokan harinya 15 Agustus 1947 Pakistan lahir sebagai negara bagi ummat Islam India. Jinnah diangkat menjadi Gubernur Jenderal dan mendapat gelar Qaid-i-Azam (pemimpin Besar) dari rakyat Pakistan.
Pembaharuan-pembaharuan di India mempunyai peranan masing-masing, disengaja atau tidak, dalam perwujudan Pakistan. Sayyid Ahmad Khan denganm idenya tentang pentingnya ilmu pengetahuan, Sayyid Amir Ali dengan idenya bahwa Islam tidak menentang kemajuan modern, dan Iqbal dengan ide dinamikanya, amat membantu bagi usaha-usaha Jinnah dalam menggerakan ummat Islam India, yang seratus tahun yang lalu masih merupakan masyarakat yang berada dalam kemunduran, untuk menciptakan negara dan masyarakat Islam modern di anak benua India.noerhayati. (wordpress.com/2008/06/02/tokoh-tokoh-islam)

D. ABU KALAM AZAT
Kendatipun dia menjadi ikon nasionalisme sekular di India saat ini, Azad sebenarnya lahir di Mekkah pada 1888 dan tinggal di sana sampai berusia tujuh tahun. Ayahnya Khairuddin, seorang tokoh sufi berasal dari Calcutta (sekarang Kolkata) West Bengal, dibujuk oleh murid-murid sufinya yang dari Calcutta untuk kembali ke kota itu. Di bawah pengawasan ketat ayahnya, Azad melanjutkan mempelajari ilmu-ilmu agama, walaupun dia kurang suka dengan cara dan metode restriktif dan otoritarian dalam pengajaran silabusnya.
Oleh karena itu, atas prakarsa sendiri, Azad muda secara diam-diam mempelajari juga buku-buku dalam bahasa Urdu dan syair-syair Persia dan bahkan belajar memainkan sitar. Selama masa itu dia juga mengalami suatu rasa muak terhadap sikap ‘penyembahan’ murid-murid sufi terhadap ayahnya yang menjadi mursyid (urdu pir) dan lenyapnya kemauan untuk menggantikan posisi ayahnya sebagaimursyidkelak.
Pada umur tigabelas tahun, Azad betul-betul tidak betah belajar agama dan mulai rajin membaca karya-karya pemikir Islam moderat Sir Syed Ahmad Khan. Namun demikian, rasionalisme Sir Syed malah semakin memperkuat keraguan Azad muda tentang agama. Dan saat itulah yakni dari umur 14 sampai 22 tahun, menurut penuturannya sendiri, dia mengalami masa-masa menjadi atheis. Dalam kurun waktu masa remajanya dia tampak akrab dengan tokoh revolusi Hindu Bengal. Gabungan dari perjalanan singkatnya ke Timur Tengah dan kemampuannya membaca buku-buku berbahasa Arab akhirnya membawanya ke dalam ide-ide reformis Sheikh Muhammad Abduh, Mesir dan nasionalisme dan anti-imperialisme-nya Mustafa Kamal.
Setelah periode kekeringan spiritual ini, Azad, pada akhir 1909, merasakan pengalaman mistikal/emosional yang memperbarui rasa keimanannya pada agama dan mengubah kepribadiannya secara dramatis. Menyusul ‘konversi’-nya ini, karir Azad mulai tinggal landas pada 1912 dengan terbitnya jurnalnya dalam bahasa Urdu Al-Hilal. Dengan bahasa yang khas, jurnal Al-Hilal mengajak umat untuk kembali pada ajaran Islam ‘murni’ dan pada waktu yang sama, menuntut kemerdekaan India. Melalui interpretasinya terhadap Islam, Azad ingin mengajak Muslim India dalam platform gerakan kemerdekaan dan bekerja sama dengan umat Hindu. Kendati sebelumnya sangat mengagumi Sir Syed Ahmad Khan, Azad menjadi pengeritik keras atas sikap politik loyalis Sir Syed dan Aligarh University.
Berbeda dengan apa yang dinyatakan dalam sejumlah historiografi di India dan Pakistan, kerja sama Hindu-Muslim bukanlah sesuatu yang diadopsi Azad berdasarkan kelayakan (expediency) atau setelah pertemuannya dengan Mahatma Gandhi. Walaupun jurnalnya ambigu dalam metode kerja sama spesifik dan pengaturan politik pasca merdeka, kesatuan Hindu-Muslim menjadi idenya yang parsial sejak awal. Hal ini terbukti dari esainya yang tajam pada 1910 tentang tokoh sufi moderat Sarmad. Akan tetapi, ada senandung revivalis pada Al-Hilal yang oleh para kritikus di kemudian hari dikatakan sebagai menimbulkan kesadaran komunal di kalangan Muslim tertentu, kendati cara-cara retorik dipakai untuk membangkitkan kalangan Muslim keluar dari kemalasan politik (Ian Henderson Douglas:1993).
Ketika Perang Dunia I berkecamuk di Eropa, pemerintahan Inggris, menganggap jurnal Al-Hilal penghasut, mengusir Azad dari Bengal dan diasingkan di Ranchi selama tiga setengah tahun. Beberapa minggu setelah bebas, dia bertemu Mahatma Gandhi di Delhi untuk pertama kalinya; menerima program non-koperasi-nya Gandhi dan menjadi tokoh Muslim pertama di India yang mendeklarasikan diri sebagai aliansi Mahatma Gandhi. Pembunuhan masal di Jallianwala Bagh membuat seluruh orang India marah, tetapi Muslim India juga gelisah melihat cara pemerintahan Inggris mengatasi empirium Turki dan Pergerakan Khilafat dalam waktu Perang Dunia I. Setelah konsultasi dengan Azad, Gandhi membujuk Congress untuk menuntut perlindungan terhadap Khilafat sebagai bagian dari tuntutan nasional untuk kemerdekaan. Hubungan yang tumpang tindih antara Congress dan Khilafat Confrence berujung pada dibawanya Muslim India dalam jumlah besar ke dalam pergerakan kemerdekaan.
Pada 1921 kesatuan Hindu-Muslim di India tampaknya mencapai puncak keakraban. Tidak lama kemudian Azad-pun ditangkap. Kendatipun solidaritas berhasil dicapai secara impresif, namun terbukti berumur pendek; ketika Azad dibebaskan pada 1923, India mengalami gelombang kuat kerusuhan komunal. Di samping adanya faktor-faktor penting lain, Muslim India terhenyak dari angan-angan mereka karena adanya kebijakan pemerintahan Turki untuk menghapus Khilafat. Akibat ambigu dari Pergerakan Khilafat telah mengundang kritik dari kritikus sejarah di kemudian hari terhadap usaha-usaha Azad yang ‘mencampur’ agama dengan politik. Dengan memakai argumen Qur’an secara tidak sistematis guna mendukung Pergerakan Khilafat dan kerja sama Hindu-Muslim, dikatakan bahwa Azad secara kurang hati-hati telah menanamkan politik identitas pada kalangan Muslim dan membiarkan beberapa idenya disalahpahami oleh kepentingan-kepentingan komunal.
Azad mulai menyadari bahwa dalam politik dia hanya dapat terpandu oleh prinsip-prinsip umum agamanya dan oleh pengetahuannya akan sejarah Muslim India, bukan oleh perintah-perintah tekstual Qur’an yang spesifik. Pada waktu itu, dia juga semakin aktif dalam panggung Congress, dan kapabilitas mediatornya secara luas telah mencegah terjadinya perpecahan dalam partai Congress antara konstitusionalis semacam Motilal Nehru dan non-koperasionis seperti Vallabhai Patel. Walaupun dia terus melanjutkan usaha-usahanya untuk membawa berbagai organisasi Muslim sejalan dengan Congress dan terlibat dalam pergerakan kemerdekaan, namun pada 1928 perbedaan serius mencuat antara Congress dan sejumlah organisasi semacam Muslim League dan Khilafat Conference berkenaan dengan laporan Nehru. Azad terpaksa memutuskan hubungan dengan kedua organisasi Muslim tersebut.
Pada 1930, Congress mendeklarasikan kemerdekaan penuh sebagai tujuan pergerakan nasional, dan pemberontakan sipil berlanjut dengan penuh semangat menyusul Salt March-nya Gandhi yang terkenal. Azad ditahan dua kali berturut-turut selama periode ini, dan kemudian dilepas pada 1936 bersama kalangan pemimpin Congress yang lain. Dalam masa-masa penahanannya inilah Azad, yang akrab dipanggil Maulana (Jawa kyai), berhasil menyelesaikan edisi pertama karyanya yang terkenal Tarjuman al-Qur’an, terjemahan dan tafsir Qur’an dalam bahasa Urdu. Edisi kedua yang diperluas terbit pada 1940-an. Terjemahan dan tafsirnya yang belum rampung ini menjadi pernyataan teologisnya yang paling definitif, walaupun kontroversial, tentang bagaimana semestinya sikap keberagamaan Muslim India dalam suasana pluralitas agama dan sekularitas politik. Oleh karena itu, dia mengartikulasikan sebuah Islam yang ramah terhadap bentuk-bentuk lain monoteisme, khususnya Hinduisme, dan yang menekankan pada sikap etika kebaikan yang umum (Rajmohan Gandhi: 1986). Kendati karyanya merupakan usaha besar untuk menanamkan etos liberal pada Islam, patut disayangkan ternyata Tarjuman al-Qur’an tidak mendapat sambutan dan pengaruh besar seperti yang dia harapkan. Kontroversi yang ditimbulkan oleh karyanya ini, khususnya dari kalangan ulama yang mendukungnya secara politis, menghilangkan aspirasinya untuk menelorkan karya yang lebih besar dan komprehensif dalam pembaruan agama dan reinterpretasi.
Menyusul meninggalnya M.A. Ansari pada 1936, Azad menjadi tokoh Muslim paling berpengaruh di Congress. Pada 1939 dia terpilih menjadi Presiden partai Congress, walaupun dia bukan Muslim pertama yang menduduki posisi itu. Pada periode 1930-an Muslim League di bawah kepemimpinan Ali Jinnah mendapat angin, yang disebabkan antara lain oleh kekecewaan sebagian kalangan Muslim atas sikap pemerintahan propinsi yang dipimpin Congress. Pidato kepresidenan Azad dalam sesi Ramgarh partai Congress pada 1940 — yang terjadi hanya selang beberapa hari sebelum Pakistan Resolution-nya Jinnah yang historik — di samping mengartikulasikan pandangan kalangan Muslim nasionalis, juga menjadi pernyataan klasik tentang sekularisme India dan penolakannya atas teori dua negara.
Sayangnya, di samping terperangkap dalam ketegangan antara Hindu dan Muslim komunalis, Azad pada saat ini menjadi korban kampanye kebencian oleh lawan-lawan politiknya yang Muslim yang cukup berpengaruh. Akibatnya banyak kalangan agama, dan kalangan terdidik moderat yang awalnya menghargai kepribadian dan ide-ide pembaruannya berbalik menentangnya. Kendati dia mampu menarik ribuan massa dengan kemampuan orasinya apabila diperlukan, akan tetapi rasa kebanggaannya dan kepribadiannya yang elegan mencegahnya untuk mengkonter lawan-lawan politiknya secara publik. Watak aristokratik dan intelektualitasnya juga membuatnya tidak terjun langsung pada kalangan massa Muslim ketika intervensi semacam itu dibutuhkan.
Azad ditahan untuk yang kelima kalinya pada 1940, menyusul kampanye terbatas pemberontakan sipil, dan dibebaskan setahun kemudian. Pada 1942, menyusul Pergerakan Quit India yang lebih komprehensif, dia bersama kalangan pimpinan Congress yang lain, ditahan lagi. Begitu dibebaskan pada 1946, Azad tetap menempati posisi sebagai Presiden partai Congress sepanjang tahun-tahun Perang. Selama masa kepemimpinannya, dia mencoba mendorong Congress untuk mencari solusi atas ketakutan kalangan Muslim dan berusaha membuat sejumlah konsesi dengan Muslim League yang dipimpin Ali Jinnah guna menghindari pecahnya India, tetapi sikap bersikeras Jinnah dan sejumlah kesalahan yang dilakukan Congress membuat pecahnya India menjadi dua negara tidak dapat terhindarkan lagi.
Azad, walaupun dengan agak ragu-ragu, akhirnya melepaskan kursi kepresidenan partai Congress pada 1946, dengan harapan bahwa hal ini akan membuka jalan rekonsiliasi antara Congress dan Muslim League; karena selama ini Muslim League menolak mengakui kehadiran seorang Muslim dalam Congress. Dia bahkan menolak kursi kabinet pemerintahan koalisi yang terbentuk pada tahun itu, tetapi pada 1947, atas desakan Gandhi, dia menjadi Menteri Pendidikan. Azad menentang keras rencana Lord Mounbatten, viceroy Ratu Inggris di India, untuk memecah India (Syeda Saiyidain Hameed: 1998). Tetapi pada Maret tahun itu juga, pemisahan (partition) itu tak terelakkan lagi; polarisasi dalam tubuh pemerintahan interim yang terdiri dari Congress dan Muslim League, dan meningkatnya kekerasan komunal di seluruh India semakin tak terkendali. Kendatipun, sebagaimana Gandhi, dia terpaksa menerima pemisahan itu, tetapi jauh dalam relung hatinya dia tidak dapat menyembunyikan kekecewaan dan sakit hatinya atas peristiwa partition dan pertumpahan darah yang terjadi setelahnya.
Menyusul Kemerdekaan India, dia memegang jabatan Menteri Pendidikan selama sepuluh tahun. Dan walaupun bukan seorang administrator yang efektif, tetapi selama masa jabatannya sempat membuat beberapa kebijakan penting seperti mengadakan pendidikan teknis bagi perempuan dan orang dewasa, pendirian akademi sastra, dan menolak membuang bahasa Inggris sebagai bahasa nasional. Sebagaimana pada masa-masa sebelumnya, dia tetap tidak dapat memproyeksikan dirinya dalam kesalihan mistis seperti, umpamanya, Baba Farid yang dibutuhkan untuk menarik massa Muslim dan Hindu padanya; tetapi kepercayaannya pada pluralisme agama dan butuhnya sebuah pandangan humanistik semakin berkembang. Dia bahkan secara terbuka sering menyatakan dalam sejumlah pidatonya akan adanya persamaan antara pemikiran Veda dan Sufi. Masa-masa terakhirnya ditandai dengan kesedihan dan kesepian, sebuah konsekuensi logis dari kehidupan yang dilalui secara sangat individualistik. Maulana Abul Kalam Azad wafat pada 1958 akibat stroke dan dikebumikan dalam sebuah tempat terhormat di Old Delhi dekat Jama Masjid..
Membandingkan Azad dengan Ali Jinnah adalah sebuah ironi. Azad, yang memiliki keilmuan Islam mumpuni memilih pandangan nasionalisme sekuler berdasarkan sensibilitas religius personal, sementara Ali Jinnah, seorang modernis dengan didikan agama yang minimal, memilih jalan perjuangan berdirinya negara Islam yang terpisah hanya berdasarkan pertimbangan-pertimbangan politik praktis.


E. ABUL A’LA MAUDIDI
Pada usia sebelas tahun, Maududi masuk sekolah di Aurangabad. Di sini ia mendapatkan pelajaran modern. Namun, lima tahun kemudian ia terpaksa meninggalkan sekolah formalnya setelah ayahnya sakit keras dan kemudian wafat. Yang menarik, pada saat itu Maududi kurang menaruh minat pada soal-soal agama, ia hanya suka politik. Karenanya, Maududi tidak pernah mengakui dirinya sebagai ‘alim. Kebanyakan biografi Maududi hanya menyebut dirinya sebagai jurnalis yang belajar agama sendiri. Semangat nasionalisme Indianya tumbuh subur. Dalam beberapa esainya, ia memuji pimpinan Partai Kongres, khususnya Mahatma Gandhi dan Madan Muhan Malaviya. (arifrahmanlubis.files.wordpress.com/2008/.../abul-ala-al-maudidi-biograpy.pdf)
Pada 1919 dia ke Jubalpur untuk bekerja di minggua partai pro Kongres yang bernama Taj. Di sini dia jadi sepenuhnya aktif dalam gerakan khilafah, serta aktif memobilisasi kaum muslim untuk mendukung Partai Kongres.Kemudian Maududi kembali ke Delhi dan berkenalan dengan pemimpin penting Khilafah seperti Muhammad ‘Ali. Bersamanya, Maududi menerbitkan surat kabar nasionalis, Hamdard. Namun itu tidak lama. Selama itulah pandangan politik Maududi kian religius. Dia bergabung dengan Tahrik-I Hijrah (gerakan hijrah) yang mendorong kaum muslim India untuk meninggalkan India ke Afganistan yang dianggap sebagai Dar al-Islam (negeri Islam).
Pada 1921 Maududi berkenalan dengan pemimpin Jami’ati ‘Ulama Hind (masyarakat ulama India). Ulama jami’at yang terkesan dengan bakat maududi kemudian menarik Maududi sebagai editor surat kabar resmi mereka, Muslim. Hingga 1924 Maududi bekerja sebagai editor muslim. Disinilah Maududi menjadi lebih mengetahui kesadaran politik kaum muslimin dan jadi aktif dalam urusan agamanya. Namun, saat itu tulisan-tulisannya belum juga mengarah pada kebangkitan Islam.
Di Delhi, Maududi memiliki peluang untuk terus belajar dan menumbuhkan minat intelektualnya. Ia belajar bahasa Inggris dan membaca karya-karya Barat. Jami’at mendorongnya untuk mengenyam pendidikan formal agama. Dia memulai dars-I nizami, sebuah silabus pendidikan agama yang populer di sekolah agama Asia Selatan sejak abad ke delapan belas. Pada 1926, ia menerima sertifikat pendidikan agama dan jadi ulama.
Runtuhnya khilafah pada 1924 mengakibatkan kehidupan Maududi mengalami perubahan besar. Dia jadi sinis terhadap nasionalisme yang ia yakini hanya menyesatkan orang Turki dan Mesir, dan menyebabkan mereka merongrong kesatuan muslim dengan cara menolak imperium ‘Utsmaniah dan kekhalifahan muslim. Dia juga tak lagi percaya pada nasionalisme India. Dia beranggapan bahwa Partai Kongres hanya mengutamakan kepentingan Hindu dengan kedok sentimen nasionalis. Dia ungkapkan ketidaksukaannya pada nasionalisme dan sekutu muslimnya.
Sejak itu, sebagai upaya menentang imperialisme, Maududi menganjurkan aksi Islami, bukan nasionalis. Ia percaya aksi yang ia anjurkan akan melindungi kepentingan muslimin. Hal ini memberi tempat bagi wacana kebangkitan.
Pada 1925, seorang Muslim membunuh Swami Shradhnand, pemimpin kebangkitan Hindu. Swami memancing kemarahan kaum muslimin karena dengan erang-terangan meremehkan keyakinan kaum muslimin. Kematiannya Swami menimbulkan kritik media massa bahwa Islam adalah agama kekerasan. Maududi pun bertindak. Ia menulis bukunya yang terkenal mengenai perang dan damai, kekerasan dan jihad dalam Islam, Al Jihad fi Al Islam. Buku ini berisi penjelasan sistematis sikap Muslim mengenai jihad, sekaligus sebagai tanggapan atas kritik terhadap Islam. Buku ini mendapat sambutan hangat dari kaum muslimin. Hal ini semakin menegaskan Maududi sebagai intelektual umat.
Sisa terakhir pemerintahan muslim pada saat itu kelihatan semakin tidak pasti. Maududi pun berupaya mencari faktor penyebab semakin pudarnya kekuasaan muslim. Dia berkesimpulan, selama berabad-abad Islam telah dirusak oleh masuknya adat istiadat lokal dan masuknya kultur asing yang mengaburkan ajaran sejatinya. Karenanya Maududi mengusulkan pembaharuan Islam kepada pemerintahan saat itu, namun tidak digubris. Hal ini mendorong Maududi mencari solusi sosio-politik menyeluruh yang baru untuk melindungi kaum muslimin.
Gagasannya ia wujudkan dengan mendirikan Jama’at Islami (partai Islam), tepatnya pada Agustus 1941, bersama sejumlah aktifis Islam dan ulama muda. Segera setelah berdiri, Jama’ati Islami pindah ke Pathankot, tempat dimana Jama’at mengembangkan struktur partai, sikap politik, ideologi, dan rencana aksi.
Sejak itulah Maududi mengosentrasikan dirinya memimpin umat menuju keselamatan politik dan agama. Sejak itu pula banyak karyanya terlahir di tengah-tengah umat. Ketika India pecah, Jama’at juga terpecah. Maududi, bersama 385 anggota jama’at memilih Pakistan. Markasnya berpindah ke Lahore, dan Maududi sebagai pemimpinnya. Sejak itu karir politik dan intelektual Maududi erat kaitannya dengan perkembangan Jama’at. Dia telah "kembali" kepada Islam, dengan membawa pandangan baru yang religius.







Kesimpulan


Menurut Sayyid Amir Ali, Pemikiran pertama yang kembali kesejarah lama untuk membawa bukti bahwa agama islam adalah agama rasional dan agama kemajuan. Ideologis Iqbal bahwa antara Islam dan Hindu harus mempunyai masing-masing negara yang terpisah karena tidak mungkin dapat di satukan. Jinnah juga melakukan pembaharuan demi kemajuan islam modern, Abu Kalam Azat Membandingkan Azad dengan Ali Jinnah adalah sebuah ironi. Azad, yang memiliki keilmuan Islam mumpuni memilih pandangan nasionalisme sekuler berdasarkan sensibilitas religius personal, sementara Ali Jinnah, seorang modernis dengan didikan agama yang minimal, memilih jalan perjuangan berdirinya negara Islam yang terpisah hanya berdasarkan pertimbangan-pertimbangan politik praktis. Abu A’la Maududi berkesimpulan, selama berabad-abad Islam telah dirusak oleh masuknya adat istiadat lokal dan masuknya kultur asing yang mengaburkan ajaran sejatinya. Karenanya Maududi mengusulkan pembaharuan Islam kepada pemerintahan saat itu, namun tidak digubris. Hal ini mendorong Maududi mencari solusi sosio-politik menyeluruh yang baru untuk melindungi kaum muslimin.



DAFTAR PUSTAKA


Khamene’i, Ali dkk. 2003, Iqbal Dalam Pandangan Pemikir Syi’ah. Jakarta : Islamic Center Jakarta.

Nasution, Harun. 2003, Pembaharuan Dalam Islam. Jakarta : PT Bulan Bintang.

Nasution, Harun. 1996, Pembaharuan Dalam Islam. Jakarta : PT Bulan Bintang.

Noerhayati.wordpress.com/2008/06/02/tokoh-tokoh-islam


Muzani, Syaiful.1995, Islam Rasional: Gagasan dan Pemikiran Prof. Dr. Harun Nasution. Bandung : Mizan.

Ensiklopedi Islam. (PT. Ichtiar Baru Van Hoeve. Jakarta . 2003).

)))))))))))))))))))))))))))))))))))))))))
Disusun Oleh
Syawaluddin (08 29 012)
Efsa Polozi (08 29 020)


Dosen Pembimbing :
Muhtaraom, M.Pd.I
 

Translate

Total Tayangan Halaman

Islamic Education Copyright © 2009 Community is Designed by Bie