MAKALAH
FILSAFAT
PENDIDIKAN ISLAM
PENGERTIAN DAN RUANG LINGKUP
KAJIAN PENDIDIKAN FILSAFAT ISLAM
DISUSUN OLEH :
KELOMPOK : I
NAMA : ADE DIAN PERTIWI (1612240001)
DWI
ASNA PUTRI (1612240017)
PRODI : PENDIDIKAN FISIKA
DOSEN PEMBIMBING :
MUHTAROM. M.Pd.i
PROGRAM
STUDI PENDIDIKAN FISIKA
FAKULTAS
TARBIYAH
UNIVERSITAS
ISLAM NEGERI RADEN FATAH PALEMBANG
2017
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah,
puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa atassegala limpahan rahmat, inayah,
dan taufik-Nya. Shalawat dan salamtercurahkan untuk junjungan kita Nabi
Muhammad SAW yang telahmembimbing umatnya menjadi yang beriman, berilmu,
beramal, danberakhlak al-karimah.
Penyusunan
makalah Filsafat Pendidikan Islam ini
akan mengkaji
berbagai hal
dalam pendidikan Islam seperti pengertian dan ruang lingkup kajian pendidikan
islam.
Harapan
penyusun, semoga modul ini memberikan manfaat bagi pembaca, baik kalangan
mahasiswa maupun umum. Jika ada kekeliruan dan kurang sempurna, maka ke
depannya akan dijadikan sebagai bahan pertimbangan untuk memperbaiki isi materi
dan substansi modul ini.
Akhir
kata, penyusun berdoa semoga Allah SWT memberikan rahmat dan berkah-Nya kepada
kita semua. Amin.
Palembang
LATAR
BELAKANG
A. Latar Belakang
Ketika Allah SWT menciptakan manusia pertama,
tugas terberatnya adalah menjadi khalifah. Allah SWT membekali Adam dengan
seperangkat ilmu pengetahuan, konsep dan terminologi duniawi yang para
malaikatpun tidak mengetahuinya. Semua pengetahuan bersumber dari Allah, dan Adam memperolehnya untuk memberi
keyakinan kepada para malikat bahwa dirinya mampu menjalankan tugas sebagai
khalifah.
Pendidikan menjadi pilar sangat strategis dalam
proses internalisasi dan sosialsasi dari niai-nilai karena pendidikan
bersentuhan langsung dengan aspek manusia yang didalamnya terkandung
kekuatan-kekuatan yang harus distimulisasi, sehingga potensi-potensi yang
dimiliki berkembang secara optimal, terutama dalam menghadapi berbagai bentuk
tantangan dimasa depan. Delors mengemukakan bahwa dalam menghadapi tantangan
dimasa depan, kemanusiaan melihat pendidikan sebagai sesuatu yang berharga yang
sangat dibutuhkan dalam usahanya meraih cita-cita perdamaian, kemerdekaan dan
keadilan sosial.
Islam juga telah menggariskan bahwa pendidikan
menyiapkan individu-individu untuk dapat beribadah kepada Allah dan tak perlu
dinyatakan lagi bahwa totalitas agama Islam tidak membatasi pengertian ibadah
pada sholat, shaum dan haji, tetapi setiap karya yang di lakukan seorang muslim
dengan niat untuk Allah semata merupakan ibadah.
B. Rumusan Masalah
1.
Apa yang dimaksuddengan filsafat pendidikan Islam?
2.
Apasajaruanglingkupfilsafatpendidikan Islam?
C. Tujuan Pembelajaran
1. Mengetahui yang dimaksuddenganfilsafatpendidikan Islam.
2. Mengetahuiapasajaruanglingkupdarifilsafatpendidikan Islam.
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Filsafat
Sebelum
membahas pengertian filsafat pendidikan Islam, kita harus paham apa itu arti
dari filsafat. Seperti yang disampaikan didalam buku Suanarji Dahri Tiam filsafat
adalah berfikir. Filosof sebagai orang yang berfilsafat adalah orang yang
berfikir. Namun tidak semua manusia sebagai makhluk berfikir itu dikatakan
orang yang filsafat atau berfilosof. Kita hanya mengambil satu kesimpulan bahwa
orang yang berfilsafat adalah orang yang berfikir dan orang yang berfikir belum
tentu berfilsafat.
Menurut St. Takdir Alisyahbana
dalam buku “Berkenalan dengan filsafat Islam”,
bahwa berfikir yang dapat dikategorikan berfilsafat itu adalah berfikir yang
memenuhi beberapa syarat, antara lain syarat insaf dan bebas. Insaf dalam
berfikir secara pasti, yaitu berfikir secara teliti dan teratur. Sedangkan
bebas berarti tidak terikat pada keterikatan-keterikatan dari luar ketentun
sisitem berfikir, kecuali pada keterikatannya sendiri sebagai suatu sistem
pikir yang pasti (teliti dan teratur). Artinya bebas dari ketentuan agama
(kepercayaan) bebas dari ketentuan ilmu dan lain sebagainya, tetapi terikat
pada ketentuan-ketentuan berfikir berfilsafat.
Oleh karena itu berfikir dengan
bebas itu, bukan berarti berfikir dengan sembarangan dan sesuka hati. Tetapi
justru sebaliknya yakni berfikir yang betul-betul terikat. Ikatan tersebut
timbul dari dalam, lahir dari hukum berfikir itu sendiri. Jadi yang dimaksud
berfikir bebas adalah berfikir yang disiplin dan sekeras-kerasnya. Dari luar
nampaknya sangat bebas, tetapi dari dalam justru sangat terikat.
Kata philosophos mula-mula dikemukakan oleh Heraklitos (540-480).
Menurut dia philosophos (ahli
filsafat) harus mempunyai pengetahuan yang luas sekalisebagai pengejewantahan
dari kecintaannya kepada pengetahuan. Tetapi yang paling mula sekali memakai
istilah philopsophia dalam arti cinta
kepada kebijaksanaan adalah filosof Phytagoras (580-500 SM). Pengertian ini
dimaksudkan sebgai reaksi dan sekaligus sebagai koreksi terhadap lingkungannya,
dimana pada masanya orang-orang cerdik pandai menamakan dirinya sebagai orang
yang ahli pengetahuan. Menurut Phytagoras, kata sophia dalam pengertiannya tidak layak atau bukan semestinya
dipergunakan manusia. Pengetahuan menurut phytagoras adalah sesuatu yang masih
kita cari. Kita hanya akan mampu menemukan sebagian kecil saja, mustahil akan
mencakup keseluruhannya. Oleh karena itu, Phytagoras hanya menamakan dirinya sophia sebagai mana orang-orang cerdik
pandai lainnya. Jadi Phytagoras hanya menamakan dirinya sebagai orang yang
cinta kepada pengetahuan.
Hal
yang perlu kita perhatikan, walaupun kata-kata filsafat berasal dari bahasa
Yunani, dan walaupun orang-orang Yunani purba sudah memiliki tradisi filsafat
sejak 500 tahun sebelum Masehi, namun tidaklah berarti hanya orang-orang Yunani
kunolah yang pertama kali berfilsafat.
Aula Abdul Kalam Azad, seorang cendekiawan
muslim berkebangsaan India menerangkan:
Kita
mengetahui bahwa Mesir dan Irak telah mengembangkan tingkat peradaban yang
tinggi, jauh sebelum Yunani, kita pun mengetahui bahwa filsafat Yunani yang
mula-mula dipegaruhi oleh hikmah purba Mesir. Plato dalam tulisan-tulisannya
menimba hikmah (maxim) para pendeta
Mesir dengan cara menunjukkan betapa otoritas mereka sebagai sumber pengetahuan
yang tidak disangkal. Bahkan Aristoteles maju lebih jauh lagi dan mengatakan
bahwa pendeta Mesir purba adalah filosof pertama di dunia ini. Hal ini menjadi
mungkin untuk mencari jejak filsafat pada suatu periode terlebih dahulu
daripada Yunani purba dan menentukan hakikat dan ruang lingkup perkembangannya,
pada tingkat atau pada masyarakat lalu.
Dr.
Lo Chia Luen, ketika menjadi duta Cina di India menulis artikel berjudul
“General Characteristics Of Chinese Thought”, yang antara lain mengatakan
bahwa:
Dengan
meninggalkan perbedaan penafsiran mengenai alam pikiran Cina pada periode
pra-confucian, saya ingin memulai pengajuan masalah saya ini hanya dari masa
confuscius, kira-kira abad keenam sebelum Masehi dan selanjutnya, yang dipandang sebagai permulaan era filsafat
sistematik di Cina. Dan ini tidak disangsikan, periode puncak dan brilian alam
pikiran di Cina.
Sarveralli
Radhakrishan dalam bukunya Indian
Philosophy membagi filsafat menjadi empat bagian:
1.
The Vecic Period
(1500-600 SM)
2.
The Epic Period (600
SM-200M)
3.
The Sutra Period (mulai
200 M)
4.
The Scholastic Period
(juga dimulai 200 M)
Dari
penjelasan Azad tentang mesir dan Irak, Chia Luen tentang China, dan
Radhakrishan tentang India seperti telah disebutkan di atas, jelaslah kepada kita walaupun kata filsafat itu
berasal dari bahasa Yunani, namun tidaklah berarti bahwa orang Yunani purbalah
perintis pemikiran filsafat di dunia. Sebab di negeri-negeri yang lain seperti
Mesir, Irak, Cina dan India sudah lama mempunyai tradisi filsafat, yang semasa
atau jauh sebelum Yunani kuno, walaupun mereka tidak mempergunakan kata philosophia untuk maksud yang sama.
Kembali kepersoalan semula bahwa kata filsafat menurut arti bahasanya adalah
cinta kepada kebijaksanaan.
Dari segi istilah, pengertian
filsafat mengandung pengertian yang berbeda-beda. Selain itu seperti yang telah dijelaskan
diatas, belumlah bisa memberikan gambaran yang sebenarnya tentang apa yang
dimaksud degan filsafat itu. Memang memberikan penjelasan yang sempurna hanya
satu dua kalimat saja tentang pengetahuan mana pun adalah tidak mudah. Begitu
juga betapa sulitnya dengan dua tiga kalimat, menjelaskan hakikat dan arti
filsafat .
Walaupun demikian dari dahulu
sampai sekarang banyak juga para ahli mencoba memberikan pengertian dengan keterangan
secukupnya, namun hasilnya belum bisa juga memberikan gambaran yang sebenarnya, karena begitu luasnya lingkungan
pembahasan filsafat. Tidak heran bahwa banyak para ahli kenamaan, mulai dari
zaman klasik Yunani kuno sampai sekarang, baik dari Barat maupun dari Timur,
mencoba memberikan batasan pengertian yang berbeda tekanan satu dengan yang lainnya.[1]
Hal ini tentu berdasarkan sudut
pandang para ahli masing-masing. Sebagaimana telah dipahami bahwa filsafat
berasal dari bahasa Yunani. Oleh karena itu para filsuf lazimnya mengawali
pengertian filsafat dengan merujuk ketokoh-tokoh filsuf negeri asalnya antara
lain pendapat Plato dan Aristoteles yang dianggap sebagai printis filsafat
Yunani. Dalam bukunya Republic, Plato menggambarkan sosok para filsuf adalah
orang-orang yang mencari kebenaran mutlak, kekal dan abadi. Mereka mencintai
kebenaran dalam segala hal.[2]
Dari pengertian diatas, kita
dapat menarik kesimpulan bahwa berfilsafat itu sebagai usaha mengembangkan
fikiran dengan insaf, semata-mata menurut hukum berfikir itu sendiri.
Seandainya berfikir itu dianggap sebagai ciri manusia yang paling penting maka
berfilsafat dapat dianggap sebagai perbuatan manusia yang paling radikal dalam
menggunakan kesanggupan berfikirnya. Sehingga bisa juga dikatakan bahwa
berfilsafat adalah berfikir secara radikal. Dalam arti berfikir berusaha
mencari radix (akar)-nya. Jika sudah
ditemukan akarnya, maka semua yang bermuara kepadanya akan mudah dipahami. Oleh
karena itu sebagaimana filosof menjadikan syarat “radikal” kedalam berfikir,
untuk dapat disebut berfikir yang berfilsafat, disamping itu syarat insaf dan
bebas.
Disamping pengertian praktis
itu, sering kita jumpai dimasyarakat, filsafat diartikan sebagai “mengambil
pelajaran dari kenyataan-kenyataan”. Umpamanya saja filsafat keladi; umpama
yang terkandung didalamnya adalah makin tua makin menjadi-jadi. Filsafat padi;
kenyataannya pohon padi semakin tua berisi semakin merunduk. Pelajaran yang
terkandung didalamnya adalah makin banyak ilmunya makin rendah hati (tidak
sombong). Filsafat pohon pisang; pelajaran yang terkandung didalamnya bahwa
pohon pisang tidak akan mati sebelum berbuah. Maksudnya adalah tidak akan
berhenti berjuang sebelum memberikan hasil yang dapat dinikmati oleh
masyarakat. Filsafat ikan hidup di air laut; pelajaran yang dapat kita ambil
dari kenyataan tersebut adalah biar berapa ribu tahun lamanya ikan hidup di air
laut, ia tidak akan asin. Maksunya tidak akan mudah terpengaruh oleh pendirian
orang lain, karena pendiriannya kuat, keyakinannya teguh. Jadi berfilsafat
menurut pengertian praktis tersebut adalah berfikir secara mendalam, teliti dan
teratur serta berdisiplin agar memperoleh pelajaran dari yang dipikirkannya.[3]
B. Filsafat Islam
Secara
definitif, sebagian orang mengatakan bahwa filsafat Islam adalah filsafat yang
lahir dari rahim pemikiran orang islam. Pemahaman ini mengidentifikasi bahwa
alur filsafat untuk memperoleh kebijaksanaan (wisdom) bermuara pada metafisika (ilahiyat) Islam yang selaras
konsepsi filsafat Yunani. Senada pengetahuan tersebut, Fazlurahman menyatakan
bahwa memahami filsafat Islam tidak bisa meminggirkan filsafat Yunani. Sebab
Islam tak lebih merupakan “baju” bagi aktualisasi filsafat Yunani di dunia
Islam.
Sekalipun demikian, yang tidak bisa
dinafikan para filsuf adalah tujuan untuk memperoleh kebijaksanaan (wisdom) dengan cara berfilsafat.
Kearifan atau kebijaksanaan yang diupayakan adalah kualitas keagamaan melalui
penerapan struktur filsafat Yunani pada prinsip-prinsip Islam. Fazlurahman
menyatakan bahwa filsafat Islam adalah filsafat yang memberi “gema” Islam
kedalam filsafat. Sayyed Hoessin Nasr berbeda dengan Fazlurahman menegaskan
bahwa filsafat Islam adalah filsafat yang bersumber dari sumber-sumber
otoritatif Islam, yaitu Al-Qur`an dan Hadits. Dalam prakteknya filsafat Islam
menjabarkan prinsip-prinsip dan menimba inspirasi dari sumber, sehingga
melahirkan corak filsafat yang prinsip beda, meski pada tataran permukaannya
banyak persamaan pada filsafat Yunani sebagai kiblat bagi proses inklusif dan
adaftasi kreatif. Bertumpunya filsafat Islam pada kedua pengetahuan Islam
tersebut, mengundang komentar Henry Corbin dan menyebut bahwa filsafat Islam
sebagai Filsafat kenabian (prophetic
philosophy).
Mencari kearifan merupakan makna dasar
filsafat yang sudah ada sejak zaman purba. Oleh karena itulah, al-Farabi
mencatat dalam kitabnya Tashlil al-Sa’adah bahwa orang-orang Khaldan (kawasan
Mesopotamia) adalah pemilik purba tradisi filsafat yang diwariskan orang-orang
Mesir dan di trasformasikan masyarakat Yunani. Sekalipun demikian, trdisi India
dan Cina tidak bisa dikesampingkan sebagai daratan yang memiliki hubungan
dengan filsafat Yunani.
Ditangan orang Yunani, tradisi mencari
kearifan dilakukan secara intensif dengan metode sistematis serta berusaha
melepaskan diri dari berbagai belenggu mitos. Pada taraf inilah, satu sisi
rasional menjadi titik pijak filsafat. Pada sisi lain, metode intuitif dapat
disemaikan pada penikmat mitologi Yunani. Sejak Zaman Yunani, metode yang
digunakan dalam pemikiran filsafat tidak tunggal, tetapi menggunakan metode
intuitif.
Sedangkan dalam pandangan para filsaf
muslim, filsafat sebagimana makna dasarnya, yaitu cinta kearifan ( love of wisdom) yangbertujuan mencari
hakikat segala yang ada (wujud) tanpa harus ditasi oleh segala usaha rasional,
tetapi lebih menekankan pada pengguna segala sumber pengetahuan secara
integratif, mulai dari potensi rasional, intuisi dan wahyu.
Dalam Islam, filsafat dengan berbagai
aliran dan corak tersebut, tetap berda dalam koridor tujuannya, yaitu love of
wisdom. Dalam islam terdapat istilah hikmah yang dapat didefinisikan sebagai
filsafat. Dalam hikmah, kebenaran yang dicari adalah kebenaran yang tertinggi,
yaitu Tuhan sebagai Yang Maha Benar (al-Haqq). Itulah puncak pencarian
kebenaran sehingga metafisika disebut al-falsafah al-ula, sebagimana al-Kindi
yang memberi judul bukunya dengan Fi al-Falsafat al-Ula. Dalam buku ini,
al-Kindi berbicara tiga komponen filosofis, yaitu filsafat, hikmah dan hakikat.
Ketiga komponen tersebut tidak bisa dipisahkan satu dengan yang lainnya, sebab
ketiganya memiliki kesaling keterkaitan untuk membangun pemahaman komprehensif
tentang filsafat Islam. Kearifan yang dicari itutidak hanya dalam tataran
konseptual, seperti ditegaskan al-Kindi dalam Fi al-falsafat al-Ula bahwa
filsafat memiliki tujuan teoritis, yaitu kebenaran dan tujuan praktis, yaitu
struktur tindakan yang sesuai dengan kebenaran yang diperoleh. Oleh karena itu,
kearifan dalam filsafat Islam tidak hanya teori belaka, melainkan struktur
tindakan yang berbentuk prilaku dan pola hidup sebagai cermin pribadi seorang
filosof.
Senada dengan al-Kindi al-farabi
menambahkan dengan membagi dasar filsafat Islam pada keyakinan dan dugaan,
sekaligus menegaskan bahwa filsafat adalah induk segala ilmu pengetahuan.
Dengan pandangan yang menyamai kedua tokoh diatas, dalam Uyun al-Hikmah, Ibnu
Sina mengatakan bahwa filsafat atau hikmah sebagai kesempurnaan jiwa manusia
melalui tasawwur (konseptualisasi) dan tasdiq (pembenaran) atas realitas
teoritis dan praktis sesuai dengan kemampuan manusia.
Kata filsafat Islam telah lama kita dengar,
namun lingkup dan pahamnya belum begitu kita paham. Pertama ketika filsafat Yunani diperkenalkan
pada dunia Islam, Islam telah mengimbangkan sistem teologi yang menekankan
kearifan tuhan dan syari’ah, yang menjadi pedoman bagi masyarakat muslim.
Pandangan tauhid dan syari’ah sangat dominan, sehingga tidak ada sistem apapun
termasuk filsafat yang diterima kecuali sesuai dengan ajaran Islam (tauhid dan
shari’ah). Oleh karena itu, filsuf muslim selalu mencocokkan pemikiran filsafat
Yunani dengan landasan fundamental Islam. kedua, sebagai pemikir Islam, para
pemerhati para filsuf muslim menjadi asing dengan nalar kritis. Ketiga, adanya
perkembangan unik dalam filsafat Islam sebagai akibat dari interaksi antara
Islam denga Filsafat Yunani. Konsekuensinya, para filsuf muslim mengembangkan
beberapa isu filsafat yang belum pernah dikembangkan para filsuf Yunani, filsafat
kenabian misalnya.[4]
Ada beberapa pengertian mengenai bagaimana
Filsafat Islam itu, antara lain sebagai berikut:
1.
Filsafat Islam
sebagaimana filsafat pada umumnya didalam melaksanakan kerja berpikirnya
(berfilsafat), berdasarkan kepada akal semata-mata. Selebihnya hanya bisa
memberikan bantuan pribadi (mempengaruhi), bukan jenjang teknis didalam kerja
pikirnya (filsafatnya) untuk mengambil kesimpulan-kesimpulan filsafat.
2.
Filsafat Islam sebagai
satu peradaban, bukan hanya Yunani tetapi bisa juga dipengaruhi dan mengambil
dari peradaban-peradaban dan filsafat yang sudah tumbuh dan berkembang jauh
sebelum islam, seperti India, Irak dan Mesir.
3.
Filsafat Islam
pembahasannya sama dengan filsafat pada umumnya, meliputi berbagai soal alam
semesta dan bermacam masalah manusia dan sesamanya dihadapan Tuhanya; hanya
saja kesimpulan-kesimpulan filsafat Islam akan selalu disesuaikan dengan
prinsip-prinsip agama, walaupun tidak selalu berhasil dengan baik.
4.
Islam sebagai agama,
kaya akan benih-benih filsafat, sehingga bukan suatu hal yang mustahil apabila
persoalan-persoalan yang dipermasalahkan oleh filosof-filosof Islam itu timbul
atau terdorong oleh ajaran agama Islam
itu sendiri. Kalaupun sama dengan masalah-masalah yang telah
dipersoalankan oleh filofof-filosof sebelumnya, itu hanya kebetulan.
5.
Islam sebagai peradaban,
ternyata telah berhasil menampung aneka ragam kebudayaan secara akultursatif
menjadi corak pemikiran dalam satu kesatuan pemikiran dan kebudayaan Islam.
Berdasarkan pengertian-pengertian diatas,
maka lebih tepat kalau pengertian Filsafat Islam tersebut kita rumusakan sebagai berikut
“Filsafat
Islam sebagaimana filsafat pada umumnya didalam melakasanakan kerja berpikirnya,
berdasarkan kepada akal semata- mata. Filsafat Islam yaitu filsafat yang
berinspirasikan dari luar (filsafat-filsafat sebelumnya) dan juga
berinspirasikan dari dalam agama islam itu sendiri karena, motivasi agama,
berfikir yang sedalam-dalamnya dengan insaf dan bebas tentang segala yang ada
untuk memahami kebenaran, kemudian dengan caranya sendiri, kebenaran menurut
filsafatnya akan disesuaikan dengan kebenaran menurut informasi agama.[5]
C. Pengertian Filsafat
Pendidikan Islam
Istilah filsafat pendidikan islam, mengandung
tiga unsur kata yang saling berkaitan yaitu filsafat, pendidikan dan islam.
Dalam bentuk kesatuan, filsafat pendidikan islam memiliki kesatuan tersendiri.
Kata filsafat baru dikenal oleh ilmuan muslim setelah pertemuan antara
peradaban Islam dan Hellenisme (Yunani). Orang Arab memindahkan kata Yunani philopshophia kedalam bahasa Arab
menjadi falsafah. Untuk memehami apa
makna dari filsafat perlu ditelusuri kesumber asalnya, yakni bahasa Yunani.
Perkataan philopsophia
merupakan perkataan bahasa Yunani yang dipindahkan oleh orang-orang Arab dan
disesuaikan dengan tabiat susunan kata Arab yaitu falsafah dengan pola falala dan
fi’la yang kemudian menjadi kata
kerja falsafah dan filsaf. Adapun sebutan filsafat yang
diucapkan dalam bahasa Indonesia kemungkinan besar merupakan gabungan kata Arab
dan bahasa Ingris philosophiyang
kemudian menjadi filsafat .
Para pengamat mengungkapkan, bahwa filsafat
dibentuk dari kata philos dan sophia. Philos berarti terbentuk dan sophia
artinya kebenaran. Dengan demikian secara etimologis, filsafat berarti cinta
kebenaran (Ensiklopedia Indonesia, 1990). Dalam pendekatan filsafat yang
dimaksud dengan “kebenaran” itu adalah kebenaran yang didasarkan penilaian
menurut nalar manusia. Plato dan Aristoteles mengembangkan teori korehensi
mengemukakan bahwa “kebenaran” adalah apabila “pernyataan yang dianggap benar
itu dianggap koheren dan konsisten dengan pernyataan sebelumnya.”
Kebenaran berfungsi sebagai tolok ukur antara
peristiwa yang terjadi sebelum dan sesudahnya. Kebenaran yang demikian
mengandung pengertian relatif, sebab tergantung ruang dan waktu. Walaupun
demikian, dari segi etimologi filsafat adalah cinta terhadap kebenaran, cinta
terhadap kebijaksanaan, cinta terhadap kearifan dan cinta terhadap pengetahuan.[6]
Didalam makalahRahmi Rabiatymemiliki dua konsep pengertian
yaitu pengertian filsafat pendidikan dan filsafat pendidikan Islam.
a. Pengertian Filsafat Pendidikan
Berbagai
pengertian filsafat pendidikan telah dikemukakan para ahli. Menurut al-Syaibani
filsafat pendidikan adalah aktivitas pikiran yang teratur, yang menjadikan
filsafat sebagai jalan untuk mengatur, menyelaraskan dan memadukan proses
pendidikan. Artinya, filsafat pendidikan dapat menjelaskan nilai-nilai dan
maklumat-maklumat yang diupayakan untuk pengalaman kemanusiaan merupakan faktor
yang integral.
Filsafat
pendidikan juga bisa didefinisikan sebagai kaidah filososfis dalam bidang
pendidikan yang menggambarkan aspek-aspek pelaksaan falsafah umum dan
menitikberatkan pada pelaksaan prinsip-prinsip dan kepercayaan yang menjadi
dasar dari filsafat umum dalam upaya memecahkan persoalan-persoalan pendidikan
secara praktis.
Menurut Imam Bernadib, filsafat pendidikan
merupakan ilmu yang pada hakikatnya merupakan jawaban dari pertanyaan-pertanyaan
dalam bidang pendidikan. Baginya filsafat pendidikan merupakan aplikasi sesuatu
analisis filsofis terhadap pendidikan. Sedangkan menurut John Dewey, filsafat
pendidikan merupakan suatu pembentukkan kemampuan dasar yang fundamental, baik
yang menyangkut daya pikir (intelektual) maupun daya perasaaan (emosional)
menuju tabiat manusia. Jadi untuk mendapatkan pengertian filsafat pendidikan
yang lebih jelas, ada baiknya kita melihat beberapa konsep mengenai pengertian
pendidikan itu sendiri. Pendidikan adalah bimbingan secara sadar dari pendidik
terhadap perkembanganjasmani dan rohani anak didik menuju terbentuknya manusia
yang memiliki kepribadian yang utama dan ideal, yaitu kepribadian yang memiliki
kesadaran moral dan sikap mental secara teguh dansungguh-sungguh memengang dan
melaksanakan ajaran atau prinsip-prinsip nilai (filsafat) yang menjadi
pandangan hidup secara individu, masyarakat maupun filsafat bangsa dan negara.
b. Pengertian Filsafat Pendidikan Islam
Filsafat
pendidikan Islam memiliki pengertian yang mengkhususkan kajian pemikiran-pemikiran
yang menyeluruh dan mendasar tentang pendidikan berdasarkan tuntutan ajaran Islam.
Sedangkan ajaran Islam sebagai sebuah sistem yang diyakini oleh penganutnya
yang memiliki nilai-nilai tentang kebenaran yang hakiki dan mutlak, untuk dijadikan
sebagai pedoman dalam berbagai aspek kehidupan, termasuk didalamnya apek pendidikan.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa filsafatpendidikan Islam adalah pemikiran
yang radikal dan mendalam tentang berbagai masalah yang ada hubungannya dengan pendidikan
Islam.
Sebagai
contoh akan dikemukakan beberapa masalah kependidikan yang memerlukan analisis
filsafat dalam memahami dan memecahkannya, antara lain:
1)
Apakah hakikat pendidikan. Mengapa pendidikan harus ada pada manusia dan merupakan
hakikat hidup manusia. Apa hakikat manusia dan bagaimana hubungan antara
pendidikan dengan hidup dan kehidupan manusia.
2) Apakah tujuan
pendidikan yang sebenarnya.
3) Apakah
hakikat peribadi manusia. manakah yang utama untuk dididik; akal, perasaan atau
kemauannya, pendidikan jasmani atau mentalnya, pendidikan skiil ataukah intelektualnya,ataukah
kesemuanya dan lain sebagainya.
Dengan
demikian, filsafat pendidikan Islam secara singkat dapat dikatakan adalah
filsafat pendidikan yang berdasarkan ajaran Islam atau filsafat pendidikan yang
dijiwai oleh ajaran Islam, jadi ia bukan filsafat yang bercorak liberal, bebas,
tanpa batas etika sebagaimana dijumpai dalam pemikiran filsafat pada umumnya.[7]
Filsuf
adalah ahli pikir radikal, yang berusaha mencapai radix, akarnya. Akar
kenyataan, dunia, wujud, akan pengetahuan tentang diri sendiri. Didalam buku
Ali Murtopo terdapat beberapa ahli mengemukakan pendapat mengenai Filsafat
Pendidikan Islam.
Menurut
Zakiyah Daradjat mendefinisikan pendidikan islam sebagai usaha dan kegiatan yang
dilaksanakan dalam rangka menyampaikan
seruan agama dengan bertakwah, menyampaikan ajaran memberi contoh, melatih
keterlampiran berbuat, memberi motovasi dan menciptakan lingkungan sosial yang mendukung pelaksanaan ide pembentukan pribadi
muslim.
Menurut
Jalaluddin menuliskan bahwa pendidikan Islam merupakan usaha untuk membimbing dan mengembangkan
potensi peserta didik secara optimal
agar mereka mampu menopang keselamatan dan kesejatraan hidup di dunia dengan
perintah syari’at Islam. Kehidupan yang konsisten dengan syari’at ini
diharapkan akan memberi dampak yang sama dalam kehidupan di akhirat, yaitu keselamatan dan
kesejatraan. Sejalan dengan pemandangan tersebut.
Menurut Azyumardi Azra, pendidikan Islam
adalah sebagai sebuah usaha dan cara kerja yang paling sedikit memiliki tiga
karakter. Pertama, pendidikan pengetahuan, penguasaan dan pengembangan atas
dasar ibadah kepada Allah SWT. Kedua, pendidikan Islam merupakan sebuah
pengakuan akan potensi dan kemampuan seseorang untuk berkembangdalam suatu
kepribadian. Ketiga, pendidikan Islam merupakan sebuah pengalaman ilmu atas
dasar tanggung jawab kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Demikian
pendidikan islam sebagai sebuah usaha manusia dewasa menempatkan posisi yang
mulia sebagai tugas kemanusiaan dan kehambaan, karena terjalin dalam kerangka
hubungan antar manusia sekaligus bernilai ibadah kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Umat Islam sendiri mengakui kegian pendidikan merupakan sebuah sarana untuk
melakasanan kewajiban menuntut ilmu pengetahuan.
Dari
urain diatas dapatlah dirangkainkan bahwa
filsafat pendidikan islam adalah pemikiran mendalam, universal dan
sistematis yang berkaitan dengan masalah-masalah pendidikan islam. [8]
Fungsi
filsafat pendidikan Islam sebagaimana juga filsafat pendidikan umum, juga harus
mampu membuat suatu pedoman kepada perancang dan orang-orang yang bekerja dalam
bidang pendidikan dan pengajaran (al-Syaibani, 1973). Menurut al-Syaibani,
dalam rinciannya, filsafat pendidikan Islam setidak-tidaknya harus mampu
memberi manfaat bagi pendidikan Islam dalam hal berikut:
1. Membantu para perancang maupun, para pelaksana pendidikan
(Islam) dalam membentuk pemikiran yang benar terhadap proses pendidikan.
2. Memberi dasar bagi pengajian pendidikan (Islam) secara umum
dan khusus.
3. Menjadi dasar penilaian pendidikan (Islam) secara
menyeluruh.
4. Memberi sandaran intelektual, serta bimbingan bagi pelaksana
pendidikan (Islam) untuk menghadapi tantangan yang muncul dalam bidang pendidikan,
sebagai jawaban dari setiap permasalahan yang bakal timbul dalam bidang
pendidikan.
5. Memberikan pendalaman pemikiran tentang pendidikan dalam
hubungan dengan faktor spiritual, kebudayaan, sosial, ekonomi, politik dan
berbagai aspek kehidupan lainnya.[9]
Dalam
dunia pendidikan Islam, terdapat tiga aliran utama filsafat pendidikan Islam,
yaitu:
a. Aliran Konservatif, dengantokoh utamanya adalah al-Ghazali.
Tokoh-tokoh
aliran ini adalah al-Ghazali, Nasiruddin al-Thusi, Ibnu Jama’ah, Sahnun, Ibnu
Hajar al-Haitami, dan al-Qabisi. Aliran al-Muhafidz cenderung bersikap murni
keagamaan.Aliran ini memaknai ilmu dengan pengertian sempit. Menurut al-Thusi,
ilmu yang utama hanyalah ilmu-ilmu yang dibutuhkan saatsekarang, yang jelas
akan membawa manfaat di akhirat kelak.
Al-Ghazali
mengklasifikasikan ilmu menjadi:
a.
Berdasarkan pembidangannya, ilmu dibagi menjadi dua bidang:
1.
Ilmu syar’iyyah, yaitu semua ilmu yang berasal dari para Nabi, terdiri atas:
Ilmu ushul (ilmu pokok). Ilmu furu’(cabang), Ilmu pengantar (mukaddimah), dan
Ilmu pelengkap (mutammimah).
2. Ilmu ghairu syar’iyyah, yaitu semua ilmu yang
berasal dariijtihad ulama’ atau intelektual muslim, terdiri atas: Ilmu terpuji,
Ilmu yang diperbolehkan (tak merugikan),dan
Ilmuyang tercela (merugikan).
b. Berdasarkan status hukum mempelajarinya, dapat
digolongkanmenjadi 2:
Ilmu
yang fardlu ‘ain, dan Ilmu yang
fardlukifayah.
Al-Ghazali menegaskan
bahwa ilmu-ilmu keagamaanhanya dapat diperoleh dengan kesempurnaan rasio
dankejernihan akal budi.Karena, hanya dengan rasiolah manusiamampu menerima
amanat dari Allah dan mendekatkan diri
kepada-Nya.Pemikiran
al-Ghazali ini sejalan dengan aliran Mu’tazilah yang berpendapat bahwa rasio
mampu menetapkanbaik buruknya sesuatu.Pola umum pemikiran al-Ghazali dalam
pendidikannya antara lain:
a.
Kegiatan menuntut ilmu tiada lain berorientasi pada
pencapaian
ridha Allah.
b.
Teori ilmu ilhami sebagai landasan teori pendidikannya, dan diperkuat dengan
sepuluh kode etik peserta didik.
c.
Tujuan agamawi merupakan tujuan puncak kegiatan menuntut ilmu.
d.
Pembatasan term al-‘ilm hanya pada ilmu tentang Allah.
Dari deskripsi tersebut dapat ditarik kesimpulan
bahwapemikiran utama aliran konservatif antara lain: Ilmu adalahilmu al-hal,
yaitu ilmu yang dibutuhkan saat sekarang yang bisa membawa manfaat di
akhirat, Ilmu-ilmu selain ilmukeagamaan
adalah sia-sia, dan Ilmu hanya bisa diperolehmelalui rasio.
b. Aliran Religius-Rasional,dengan tokoh utamanya yaitu Ikhwan
al-Shafa
Tokoh-tokoh aliran ini adalah Ikhwan
al-Shafa, al-Farabi,Ibnu Sina, dan Ibnu Miskawaih.Aliran ini dijuluki
“pemburu”hikmah Yunani di belahan dunia Timur, dikarenakanpergumulan
intensifnya dengan rasionalitas Yunani.Menurut Ikhwan al-Shafa, yang dimaksud
dengan ilmuadalah gambaran tentang sesuatu yang diketahui pada benak
(jiwa)
orang yang mengetahui. Proses pengajaran adalahusaha transformatif terhadap
kesiapan ajar agar benar-benarmenjadi riil, atau dengan kata lain, upaya
transformatif terhadapjiwa pelajar yang semula berilmu (mengetahui)
secarapotensial, agar menjadi berilmu (mengetahui) secara riil-aktual.Dengan
demikian, inti proses pendidikan adalah pada kiattransformasi potensi-potensi
manusia agar menjadikemampuan “psikomotorik”.
Ikhwan
berpendapat bahwa akal sempurna mengemanasikan keutamaan-keutamaan pada jiwa
dandengan emanasi ini eternalitas akal menjadi penyebabkeberadaan
jiwa.Kesempurnaan akal menjadi penyebabkeabadian jiwa dan supremasi akal
menjadi penyebabkesempurnaan jiwa. Pandangan dualisme jiwa-akal Ikhwantersebut
merupakan bukti dari pengaruh pemikiran Plato.
Menurut
Ikhwan, jiwa berada pada posisi tengah antaradunia fisik-materiil dan dunia
akal. Hal inilah yang menjadikan pengetahuan manusia menempuh laju
“linier-progresif” melaluitiga cara, yaitu:
1)
Dengan jalan indera, jiwa dapat mengetahuisesuatu yang lebih rendah dari substansi
dirinya;
2)
Denganjalan burhan (penalaran-pembuktian logis), jiwa bisamengetahui sesuatu
yang lebih tinggi darinya; dan
3)
Denganperenungan rasional, jiwa dapat mengetahui substansi dirinya.
Ikhwan
tidak sependapat dengan ide Plato yang menganggap bahwa belajar tiada lain
hanyalah prosesmengingat ulang. Ikhwan menganggap bahwa semuapengetahuan
berpangkal pada cerapan inderawiah.Segalasesuatu yang tidak dijangkau oleh
indera, tidak dapatdiimajinasikan, segala sesuatu yang tidak bisa
diimajinasikan,maka tidak bisa dirasiokan.
Kalangan
Ikhwan sangat memberi tempat terhadap ragamdisiplin ilmu yang berkembang dan
bermanfaat bagi kemajuanhidup manusia.Implikasinya adalah konsep ilmu
berpangkalpada “kesedia-kalaan” ilmu tanpa pembatasan.
Ikhwan
membagi ragam disiplin ilmu sebagai berikut:Ilmu-ilmu Syar’iyah
(keagamaan), Ilmu-ilmu Filsafat, dan Ilmu-ilmu
Riyadliyyat (matematik). Al-Farabi menghendaki agaroperasionalisasi pendidikan
seiring dengan tahap-tahapperkembangan fungsi organ tubuh dan kecerdasan
manusia.
Dari
pemikiran kedua tokoh di atas, teori utama aliranReligius-Rasional ini antara
lain: Pengetahuan adalahmuktasabah, yakni hasil perolehan dari aktivitas
belajar, Modal utama ilmu adalah indera, Lingkup kajian meliputipengkajian dan
pemikiran seluruh realitas yang ada, Ilmupengetahuan adalah hal yang begitu
bernilai secara moral dansosial, dan
Semua ragam ilmu pengetahuan adalah penting.
c. AliranPragmatis,
dengan tokoh utamanya adalah Ibnu Khaldun.
Tokoh
aliran Pragmatis adalah Ibnu Khaldun. Sedangkan tokoh Pragmatisme Barat yaitu
John Dewey.Bila filsafatpendidikan Islam berkiblat pada pandangan pragmatisme
JohnDewey, tujuan yang ingin dicapai dalam pendidikan adalahsegala sesuatu yang
sifatnya nyata, bukan hal yang di luarjangkauan pancaindera.
Menurut
Ibnu Khaldun, ilmu pengetahuan dan pembelajaran adalah tabi’i (pembawaan)
manusia karenaadanya kesanggupan berfikir. Pendidikan bukan hanya
bertujuan
untuk mendapatkan ilmu pengetahuan akan tetapi juga untuk mendapatkan keahlian
duniawi dan ukhrowi,keduanya harus memberikan keuntungan, karena baginya
pendidikan
adalah jalan untuk memperoleh rizki.
Ibnu
Khaldun mengklasifikasikan ilmu pengetahuan berdasarkan tujuan fungsionalnya,
yaitu: Ilmu-ilmu yangbernilai instrinsik. Misal: ilmu-ilmu keagamaan, Ontologi
danTeologi, dan Ilmu-ilmu yang bernilai ekstrinsik-instrumentalbagi ilmu
instrinsik. Misal: kebahasa-Araban bagi ilmu syar’iy,dan logika bagi ilmu
filsafat.
Berdasarkan
sumbernya, ilmu dapat dibagi menjadi dua yaitu: Ilmu ‘aqliyah (intelektual)
yaitu ilmu yang diperolehmanusia dari olah pikir rasio, yakni ilmu Mantiq
(logika), ilmu
alam,
Teologi dan ilmu Matematik, dan Ilmu naqliyah yaitu ilmu yang diperoleh manusia
dari hasil transmisi dari orangterdahulu, yakni ilmu Hadits, ilmu Fiqh, ilmu
kebahasa-Araban,dan lain-lain.
Menurut
Ibnu Khaldun, ilmu pendidikan bukanlah suatuaktivitas yang semata-mata bersifat
pemikiran dan perenunganyang jauh dari aspek-aspek pragmatis di dalam
kehidupan,akan tetapi ilmu dan pendidikan merupakan gejala konklusifyang lahir
dari terbentuknya masyarakat dan perkembangannyadalam tahapan kebudayaan.
Menurutnya bahwa ilmu danpendidikan tidak lain merupakan gejala sosial yang
menjadi ciri
khas
jenis insani.[10]
D. Ruang Lingkup Pendidikan
Islam
Pembahasan tentang ruang
lingkup filsafat pendidikan Islam sebenarnya merupakan pengkajian dari aspek
ontologis filsafat pendidikan Islam. Setiap ilmu pengetahuan memiliki objek
tertentu yang akan dijadikan sasaran penyelidikan (objek material) dan yang
akan dipandang (objek formal). Perbedaan suatu ilmu pengetahuan dengan ilmu
lainnya terletak pada sudut pandang (objek formal) yang digunakannya. Objek
material filsafat pendidikan Islam sama dengan filsafat pendidikan pada
umumnya, yaitu segala sesuatu yang ada. Segala sesuatu yang ada ini mencakup
“ada yang tampak” dan “ada yang tidak tampak”. Ada yang tampak adalah dunia
empiris, dan ada yang tidak tampak adalah alam metafisis. Adapun objek formal
filsafat pendidikan Islam adalah sudut pandang yang menyeluruh, radikal, dan
objektif tentang pendidikan Islam untuk dapat diketahui hakikatnya.
Secara makro, yang
menjadi ruang lingkup filsafat pendidikan Islam adalah yang tercakup dalam
objek Material filsafat, yaitu mencari keterangan secara radikal mengenai
Tuhan, manusia, dan alam yang tidak bisa dijangkau oleh pengetahuan biasa.
Sebagaimana filsafat, filsafat pendidikanIslam juga mengkaji ketiga objek ini
berdasarkan ketiga cabangnya: ontologi, epistemologi, dan aksiologi.
Secara mikro objek
kajian filsafatpendidikan Islam adalah hal-hal yang merupakan faktor atau
komponen dalam proses pelaksanaan pendidikan. Faktor atau komponen pendidikan
ini ada lima, yaitu tujuan pendidikan, pendidik, peserta didik, alat pendidikan
(kurikulum, metode, dan evaluasi pendidikan), dan lingkungan pendidikan.
Untuk lebih memfokuskan
pembahasan filsafat pendidikan Islam yang sesuai dengan fokus penelitian ini,
maka cukup disajikan ruang lingkup pembahasan filsafat pendidikan Islam secara
makro.
a.Ontologi
Ontologi terdiri dari
dua suku kata, yakni ontos dan logos.Ontos berarti sesuatu yang berwujud dan
logos berarti ilmu. Jadi ontologi dapat diartikan sebagai ilmu atau teori
tentang wujud hakikat yang ada.Dalam konsep filsafat ilmu Islam, segala sesuatu
yang ada ini meliputi yang nampak dan yang tidak nampak (metafisis). Filsafat
pendidikan Islam bertitik tolak pada konsep the creature of God, yaitu manusia
dan alam. Sebagai pencipta, maka Tuhan telah mengatur di alam ciptaan-Nya.
Pendidikan telah berpijak dari humansebagai dasar perkembangan dalam
pendidikan. Ini berarti bahwa seluruh proses hidup dan kehidupan manusia itu
adalah transformasi pendidikan.
Sehingga yang menjadi
dasar kajian atau dalam istilah lain sebagai objek kajian (ontologi) filsafat
pendidikan Islam seperti yang termuat di dalam wahyu adalah mengenai pencipta
(khalik), ciptaan-Nya (makhluk), hubungan antar ciptaan-Nya, dan utusan yang menyampaikan
risalah pencipta (rasul).Dalam hal ini al-Syaibany mengemukakan bahwa
prinsip-prinsip yang menjadi dasar pandangan tentang alam raya meliputi dasar
pemikiran:
1.Pendidikan dan tingkah
laku manusia serta akhlaknya selain dipengaruhi oleh lingkungan sosial
dipengaruhi pula oleh lingkungan fisik (benda-benda alam);
2.Lingkungan dan yang
termasuk dalam alam raya adalah segala yang diciptakan oleh Allah swt baik
makhluk hidup maupun benda-benda alam;
3.Setiap wujud
(keberadaan) memiliki dua aspek, yaitu materi dan roh. Dasar pemikiran ini
mengarahkan falsafah pendidikan Islam menyusun konsep alam nyata dan alam
ghaib, alam materi dan alam ruh, alam dunia dan alam akhirat;
4.Alam senantiasa
menngalami perubahan menurut ketentuan aturan pencipta;
5.Alam merupakan sarana yang disediakan bagi manusia
untuk meningkatkan kemampuan dirinya.
b.Epistemologi
Epistemologi
berasal dari kata episteme yang berarti pengetahuan dan Logosyang berarti ilmu.
Jadi epistemologi adalah ilmu yang membahas tentang pengetahuan dan cara
memperolehnya. Epistemologi disebut juga teori pengetahuan, yakni cabang
filsafat yang membicarakan tentang cara memperoleh pengetahuan, hakikat
pengetahuan dan sumber pengetahuan.
Dengan kata lain,
epistemologi adalah suatu cabang filsafat yang menyoroti atau membahas tentang
tata cara, teknik, atau prosedur mendapatkan ilmu dan keilmuan. Tata cara,
teknik, atau prosedur.
Mendapatkan ilmu dan
keilmuan adalah dengan metode non-ilmiah, metode ilmiah, dan metode problem
solving.Pengetahuan yang diperoleh dengan metode non-ilmiah adalah pengetahuan
yang diperoleh dengan cara penemuan secara kebetulan; untung-untungan(trial and
error); akal sehat (common sense); prasangka; otoritas (kewibawaan); dan
pengalaman biasa.Metode ilmiah adalah cara memperoleh pengetahuan melalui
pendekatan deduktif dan induktif. Sedangkan metode problem solvingadalah
memecahkan masalah dengan cara mengidentifikasi permasalahan, merumuskan
hipotesis; mengumpulkan data; mengorganisasikan dan menganalisis
data;menyimpulkan dan conclusion; melakukan verifikasi, yakni pengujian
hipotesis. Tujuan utamanya adalah untuk menemukan teori-teori, prinsip-prinsip,
generalisasi dan hukum-hukum. Temuan itu dapat dipakai sebagai basis, bingkai
atau kerangka pemikiran untuk menerangkan, mendeskripsikan, mengontrol,
mengantisipasi tau meramalkan sesuatu kejadian secara tepat.
c.Aksiologi
Landasan aksiologi
adalah berhubungan dengan penggunaan ilmu tersebut dalam rangka memenuhi
kebutuhan manusiaberikut manfaatnya bagi kehidupan manusia. Dengan kata lain,
apa yang dapat disumbangkan ilmu terhadap pengembangan ilmu itu dalam
meningkatkan kualitas hidup manusia.Dalam bahasan lain, tujuan keilmuan dan
pendidikan Islam yang berusaha untuk mencapai kesejahteraan manusia di dunia
dan akhirat ini sesuai dengan Maqasid al-Syariahyakni tujuan Allah SWT dan
Rasul-Nya dalam merumuskan hukum Islam. Sementara menurut Wahbah al Zuhaili,
Maqasid Al Syariahberarti nilai-nilai dan sasaran syara' yang tersirat dalam
segenap atau bagian terbesar dari hukum-hukumnya. Nilai-nilai dan
sasaran-sasaran itu dipandang sebagai tujuan dan rahasia syariah, yang
ditetapkan oleh al-Syari' dalam setiap ketentuan hukum. Menurut Syathibi tujuan
akhir hukum tersebut adalah satu, yaitu mashlahah atau kebaikan dan
kesejahteraan umat manusia.
Kemudian Muzayyin Arifin
memberikan definisi aksiologi sebagai suatu pemikiran tentang masalah
nilai-nilai termasuk nilai tinggi dari Tuhan, misalnya nilai moral, nilai
agama, dan nilai keindahan (estetika).Jika aksiologi ini dinilai dari sisi
ilmuwan, maka aksiologi dapat diartikan sebagai telaah tentang nilai-nilai yang
dipegang ilmuwan dalam memilih danmenentukan prioritas bidang penelitian ilmu
pengetahuan serta penerapan dan pemanfaatannya.[11]
Dalam pandangan Omar Mohammad al-Toumy
al-Syaibany mengemukakan lima prinsip dasar dalam kajian filsafat pendidikan
Islam. kelima prinsip dasar mencakup :
1.
Pandangan Islam tentang
jagat raya, meliputi pemikiran, bahwa :
a.
Pendidikan dan tingkah
laku manusia, serta akhlaknya selain dipengaruhi oleh lingkungan sosial, juga
dipengaruhi oleh lingkungan fisik (benda-benda alam).
b.
Lingkungan dan yang
termasuk jagat raya adalah segala yang diciptakan Allah, baik makhluk hidup
mmaupun benda-benda alam.
c.
Setiap wujud (keberadaan)
memiliki dua aspek, yakni materi dan ruh. Dasar dan pemikiran iini mengarahkan
filsafat pendidikan islam menyusun konsep alam nyata dan alam gaib, alam materi
dan alam ruh, alam dunia dan alam akhirat.
d.
Alam senantiasa
mengalami perubahan menurut ketentuan-ketentuan dan penciptanya (Surah Allah).
e.
Keteraturan gerak alam
merupakan bukti bahwa alam ditata dalam suatu tatanan yang tunggal sebagai
Sunnah Allah (Sunnatullah).
f.
Alam merupakan sarana
yang disediakan bagi manusia untuk meningkatkan kemampuan dirinya.
g.
Pencipta alam (Allah)
adalah wujud yang berada di luar alam, dan memiliki kesempurnaan, serta sama
sekali terhindar dari semua cacat cela. Dengan demikian semua Wujud Pencipta (Khaliq) berbeda dan tidak sama dengan
wujud ciptaan-Nya (makhluq).
2.
Pandangan Islam terhadap
manusia, memuat pemikiran bahwa :
a.
Manusia adalah makhluk
(ciptaan) Allah yang paling mulia, sesuai dengan kejadiannya.
b.
Manusia diberi beban
amanat sebagai khalifah (mandataris) Allah dibumi guna memakmurkannya.
c.
Manusia memiliki kemampuan
untuk berkomunikasi, kemampuan belajar dan kemampuan untuk mengembangkan diri.
d.
Manusia adalah mkhluk
yang memiliki dimensi jasmani, rohani (mental), dan ruh (spiritual).
e.
Manusia tumbuh dan
berkembang sesuai dimensi potensi genetika (faktor keturunan) dan lingkungan
yang mempengaruhinya.
f.
Manusia memiliki faktor
perbedaan individu (individual differencies).
g.
Manusia memiliki sifat
fleksibelitas (keluwesan) dan memiliki kemampuan untuk mengubah, serta
mengembangkan diri.
h.
Manusia memiliki
motivasi dan kebutuhan.
3.
Pandangan Islam terhadap
masyarakat berisi pemikiran, bahwa :
a.
Masyarakat merupakan
kumpulan individu yang terikat oleh satuan dari berbagai aspek seperti tanah
air, budaya, agama, tradisi, dan lain-lain.
b.
Agama itu adalah aqidah,
ibadah dan muamalah.
c.
Masyarakat islam
memiliki identintas tersendiri antara prinsip
yang berbeda dari masyarakat yang lain.
d.
Dasar pembinaan
masyarakat islam adalah akidah, keimanan tentang wujud dan keesaan Allah.
e.
Ilmu adalah dasar yang
terbaik bagi kemajuan masyarakat.
f.
Masyarakat selalu
mengalami perubahan.
g.
Pentingnya individu dan
keluarga dalam masyarakat.
h.
Segala aktivitas yang
diarahkan bagi kesejahteraan bersama, keadilan, dan kemaslahatan kemanusiaan
termasuk bagian tujuan dari syari’at islam.
4.
Pandangan Islam terhadap
pengetahuan manusia, memuat pemikiran bahwa:
a.
Pengetahuan adalah
potensi yang dimiliki manusia dalam upaya meningkatkan kehidupan individu dan
masyarakat.
b.
Pengetahuan terbentuk berdasarkan
kemampuan nalar manusia dengan bantuan penginderaan. Sumber pengetahuan adalah
wahyu dan nalar.
c.
Pengetahuan manusia
memiliki kadar dan tingkat yang berbeda sesuai dengan objek, tujuan dan
metodenya. Pengetahuan yang paling utama adalah pengetahuan yang berhubung
dengan Allah, perbuatan dan makhluk-Nya.
d.
Pengetahuan manusia pada
hakikatnya adalah hasil penafsiran dari pengungkapan kembali terhadap
masalah-masalah ciptaan Allah. Dengan demikian pengetahuan bukanlah hasil dari
proses pemikiran manusia yang optimal secara murni.
e.
Pengetahuan dapat
diperoleh dengan berbagai cara seperti pengamatan langsung, penelitian, kajian
terhadap peristiwa, rangukuman dari berbagai pendapat, ataupun melalui bimbinan
ilahi.
f.
Pengetahuan hakiki
adalah pengetahuan yang didasari oleh akidah, karena dapat memberikan
ketentraman batin. Didalamnya terkandung keyakinan dan kesesuaian dengan agama.
5.
Pandangan Islam terhadap
akhlak, mengandung pemikiran bahwa :
a.
Pentingnya akhlak dalam
kehidupan, serta dapat dibentuk melalui upaya pembinaan yang baik.
b.
Akhlak merupakan faktor
yang diperoleh dan dipelajari.
c.
Akhlak dipengaruhi oleh
berbagai faktor seperti waktu, tempat, situasi dan kondisi masyarakat, adat
istiadat sistem dan cita-cita (pandangan hidup). Dengan demikian akhlak tidak
selalu terpelihara dari pengaruh keburukan dan kesalahan.
d.
Akhlak sesuai dengan
fitrah dan akal sehat manusia (commons
sense).
e.
Akhlak mempunyai tujuan
akhir yang identik dengan tujuan akhir ajaran islam, yaitu untuk mencapai
kebahagiaan hidup di dunia dan di akherat.
f.
Ajaran islam merupakan
sumber nilai-nilai akhlak, karena pada hakikatnya akhlak merupakan realisasi
dari ajaran Islam itu sendiri, yakni
bagaimana hidup beriman dan bertaqwa kepada Allah.
g.
Akhlak berintikan
tanggung jawab terhadap amanat Allah yyang keabsahannya dinilai dari tingkat
kemampuan untuk mengaplikasikan hubungan yang sebaik mungkin antar sesama
manusia, seluruh mahluk ciptaan Allah atas dasar ridha Allah, karena sesuai
dengan ketentuan dan fitrahnya. Akhlak mulia (terpuji) merupakan tujuan akhir
dari sikap hidup yang diinginkan.
Ruang lingkup kajian filsafat Islam juga
meliputi masalah-masalah yang berhubungan dengan sistem pendidikan Islam itu
sendiri. Adapun komponen-komponen yang termasuk dalam sistem pendidikan itu,
antara lain dasar yang melandasi pembentukan sistem tersebut. Lalu tujuan yang
aka dicapai oleh pendidikan Islam tersebut. Untuk mencapai tujuan yang
dimaksud, maka perlu ada rumusan siapa yang akan dididik, siapa pelaksanaanya,
bagaimana cara penyelenggaraannya, sarana dan prasarana yang diperlukan, materi
apa yang diberikan, bagaiman caranya,
kondisi apa yang perlu diciptakan, serta bagaimana mengukur tingkat encapaianny
.
Pemikiran-pemikiran menggambarkan cakupan teori
maupun rumusan mengenai peserta didik, pendidik, manajemen, institusi,
kurikulum, metode, alat dan evaluasi pendidikan. Semua komponen ini tergabung
dalam sistem. Sebab sistem dapat diartikan sebagai proses aktivitas yang
didalmnya tersusun komponen-komponen yang saling menentukan, saling tergantung,
dan berhubungan antara sesamanya, dalam mencapai tujuan.
Ruang ligkup kajian filsafat Islam, mengacu
kepada semua aspek yang diangap mempunyai hubungan dengan pendidikan dalam arti
luas. Tidak terbatas oleh institusi pendidikan formal saja. Lapangan pendidikan
dimadrasah (sekolah) seperti linngkungan rumah tangga, peribadatan, masyarakat
maupun tradisi sosiokultural juga termasuk ddalam kajian fiilsafat pendidikan
Islam. bahkan secara lebih rinci, pendidikan pre-natal menjadi kajian lebih
khusus dalam filsafat pendidikan Islam.
Dengan demikian ruang lingkup kajian filsafat
pendidikam Islam boleh dikatakan identik dengan kajian keislaman itu sendiri.
Mencakup semua aspek kehidupan manusia secara menyeluruh terkait dengan masalah
pendidikan. Adapun dalam proses, ruang lingkup kajian filsafat pendidikan Islam
tentang kehidupan manusia itu sendiri, yakni dari sejak dilahirkan hingga
sampai akhir hayatnya. Namun yang jelas kajian ini sama sekali tidak dilepaskan
dari manusia sebagai makhluk ciptaan Allah.[12]
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Dari urain diatas dapatlah dirangkainkan
bahwa filsafat pendidikan Islam adalah
pemikiran mendalam, universal dan sistematis yang berkaitan dengan
masalah-masalah pendidikan Islam. Dengan demikian, filsafat pendidikan Islam
secara singkat dapat dikatakan adalah filsafat pendidikan yang berdasarkan
ajaran Islam atau filsafat pendidikan yang dijiwai oleh ajaran Islam, jadi ia
bukan filsafat yang bercorak liberal, bebas, tanpa batas etika sebagaimana
dijumpai dalam pemikiran filsafat pada umumnya.
Dengan
demikian ruang lingkup kajian filsafat pendidikam Islam boleh dikatakan identik
dengan kajian keislaman itu sendiri. Mencakup semua aspek kehidupan manusia
secara menyeluruh terkait dengan masalah pendidikan. Adapun dalam proses, ruang
lingkup kajian filsafat pendidikan Islam tentang kehidupan manusia itu sendiri,
yakni dari sejak dilahirkan hingga sampai akhir hayatnya. Namun yang jelas
kajian ini sama sekali tidak dilepaskan dari manusia sebagai makhluk ciptaan
Allah.
DAFTAR
PUSTAKA
Dahri
Tiam, Sunarji.Berkenalan Dengan Filsafat
Islam, 1987. Jakarta: Bulan Bintang.
Hawi,
Akmad. Perkembangan pemikiran pendidikan
islam, 1987. Palembang: IAIN Raden Fatah palembang
Murtopo, Ali.Filsafat Pendidikan Islam, , 2016. Palembang: NoerFikri.
Rabiaty, Rahmi.Filsafat Pendidikan Islam, 2014. Palangkaraya: Rahmi Rabiaty.http://www.google.com/search?client=ms-android
samsung&espv=1&q=pdf.+filsafat+islam&aqs=mobile-gws-lite...0l5.
Diakses tanggal 17 Maret 2017.
Suharto,
Toto.2014. Filsafat pendidikan Islam.
Jakarta. http://eprints.walisongo.ac.id/083111098.BAB2.pdf. Diakses tanggal 17 Maret 2017.
[1] Sunarji Dahri Tiam, Berkenalan
Dengan Filsafat Islam, hal. 10-13, 1987. Jakarta: Bulan Bintang.
[2]Ali Murtopo, Filsafat Pendidikan
Islam, hal. 3, 2016. Palembang: NoerFikri.
[3]Sunarji Dahri Tiam, Berkenalan
Dengan Filsafat Islam, hal. 7-9, 1987. Jakarta: Bulan Bintang.
[4]Rahmi Rabiaty, Filsafat Pendidikan Islam, hal 7-9,
2014. Palangkaraya: Rahmi Rabiatyhttp://www.google.com/search?client=ms-android-samsung&espv=1&q=pdf.+filsafat+islam&aqs=mobile-gws-lite...0l5.
Diakses tanggal 17 Maret 2017
[5]Sunarji Dahri Tiam, Berkenalan
Dengan Filsafat Islam, hal. 40-43, 1987. Jakarta: Bulan Bintang.
[6]Ali Murtopo, Filsafat Pendidikan
Islam, hal. 1-3, 2016. Palembang: NoerFikri.
[7]Rahmi Rabiaty, Filsafat Pendidikan Islam, hal 7-9,
2014. Palangkaraya: Rahmi Rabiatyhttp://www.google.com/search?client=ms-android-samsung&espv=1&q=pdf.+filsafat+islam&aqs=mobile-gws-lite...0l5.
[8]Ali Murtopo, Filsafat Pendidikan
Islam, hal. 9-11, 2016. Palembang: NoerFikri.
[10]Rahmi Rabiaty, Filsafat Pendidikan Islam, hal 7-9, 2014. Palangkaraya:
Rahmi Rabiaty http://www.google.com/search?client=ms-android-samsung&espv=1&q=pdf.+filsafat+islam&aqs=mobile-gws-lite...0l5
[11]Suharto,
Toto.2014. Filsafat pendidikan Islam. Hal 7-12. Jakarta. http://eprints.walisongo.ac.id/083111098.BAB2.pdf. Diakses tanggal 17 Maret 2017
[12]Ali Murtopo, Filsafat Pendidikan
Islam, hal. 14-19, 2016. Palembang: NoerFikri