TANTANGAN PROFESIONALISME GURU
A. Pendahuluan
Problem guru merupakan topik yang tidak habis-habisnya dibahas dalam berbagai seminar, diskusi, dan workshop untuk mencari berbagai alternatif pemecahan terhadap berbagai persoalan yang dihadapi oleh guru dalam menjalankan tugasnya sebagai pengajar dan pendidik dilingkungan sekolah. Penyebabnya karena berdasarkan sejumah penelitian pendidikan, guru diyakini sebagai salah satu faktor yang menentukan tingkat keberhasilan anak didik dalam melakukan proses transformasi ilmu pengetahuan dan teknologi serta internalisasi etika dan moral. Karena itu tidaklah berlebihan apabila para pemerhati pendidikan senantiasa mengarahkan perhatiannya pada persoalan guru dan keguruan.
Masalah yang berkaitan dengan guru dan keguruan antara lain persoalan kurang memadainya kualifikasi dan kompetensi guru, rendahnya tingkat kesejahteraan guru, rendahnya etos kerja dan komitmen guru, hingga kepada kurangnya penghargaan masyarakat terhadap guru ( Sidi, Indra Djati:2000). Meskipun pemerintah bersama orang tua dan masyarakat telah melakukan berbagai upaya yang mengarah langsung kepada perbaikan profesi guru, namun berbagai dimensi persoalan guru tetap muncul sebagai masalah utama dalam dunia pendidikan nasional ditanah air.
Guru, selain diperhadapkan pada berbagai persoalan internal seperti yang disebutkan tadi, juga mendapat dua tantang eksternal yaitu krisis etika dan moral anak didik serta tantangan menghadapi persaingan bebas diera globalisasi. Diera globalisasi yang penuh dengan persaingan guru diperhadapkan pada kenyataan untuk menghasilkan sumber daya manusia yang bermutu,baik secara intelektual maupun emosional supaya dapat survive dalam persaingan. Karena itu peran seorang guru masa depan harus diarahkan untuk mengembangkan tiga intelegensi sekaligus yakni : intelektual, emosional dan moral. Untuk dapat melaksanakan peran tersebut seorang guru dituntut untuk bekerja secara profesional.
Cukup banyak artikel berupa opini maupun berita yang membahas masalah profesi guru. Banyak pula guru yang membicarakannya dengan mata berbinar karena dengan pengakuan guru professional berarti juga peningkatan kesejahteraan. Satu syarat yang dapat dijadikan indikator guru professional adalah jika dia telah lulus uji sertifikasi. Sesuai dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, jabatan guru sebagai pendidik merupakan jabatan profesional. Untuk itu profesionalisme guru dituntut agar terus berkembang sesuai dengan perkembangan zaman, ilmu pengetahuan dan teknologi, serta kebutuhan masyarakat termasuk kebutuhan terhadap sumber daya manusia yang berkualitas dan memiliki kapabilitas untuk mampu bersaing di forum regional, nasional, maupun internasional.
Kualitas guru di Indonesia dari beberapa kajian masih dipertanyakan, seperti yang dilaporkan oleh Bahrul Hayat dan Umar (dalam Adiningsih,: 2002). Mereka memperlihatkan nilai rata-rata nasional tes calon guru PNS di SD, SLTP, SLTA, dan SMK tahun 1998/1999 untuk bidang studi matematika hanya 27,67 dari interval 0-100, artinya hanya menguasai 27,67% dari materi yang seharusnya. Hal serupa juga terjadi pada bidang studi yang lain, seperti fisika (27,35), biologi (44,96), kimia (43,55), dan bahasa Inggris (37,57). Nilai-nilai di atas tentu jauh dari batas ideal, yaitu minimum 75% sehingga seorang guru bisa mengajar dengan baik.
Hasil lain yang lebih memprihatinkan adalah penelitian dari Konsorsium Ilmu Pendidikan (Adiningsih:2002) memperlihatkan bahwa 40% guru SMP dan 33% guru SMA mengajar bidang studi di luar bidang keahliannya. Paparan ini menggambarkan sekilas kualitas guru di Indonesia, bagimana dapat dikatakan profesional jika penguasaan materi mata pelajaran yang diampu masih kurang, dan bagaimana dikatakan profesional jika masih ada 33% guru yang mengajar diluar bidang keahliannya.Ironis memang ditengah komitmen kita untuk mengedepankan budaya mutu dalam mengantisipasi era persaingan ternyata kualitas guru sebagai ujung tombak pendidikan masih diperlu ditinjau kembali. Permasalahanya adalah bagaimana guru dapat menyelesaikan tantangan yang dihadapi dengan baik, jika profesionalismenya masih dipertanyakan. Tulisan singkat ini akan mengulas tentang profesionalisme guru dan tantangan yang dihadapi.
B. Profesi Keguruan
Secara sederhana pekerjaan apapun akan dinilai professional adalah apabila out put yang dihasilkan dapat memenuhi keinginan semua pihak. Semua profesi bisa dikatakan professional bila pekerjaan itu dilakukan oleh mereka secara khusus bukan karena tidak bisa melakukakan pekerjaan lainnya. Begitu pula profesi guru, guru adalah sangat penting karena ia akan menyampaikan ilmu pengetahuan yang tidak akan pernah rusak sampai kapanpun. Beberapa pakar mengatakan bahwa pekerjaan guru Jabatan guru memerlukan keahlian khusus adalah pekerjaan yang sangat mulia sebab :
• Untuk menjadi guru harus memepunyai beberapa sifat diantaranya memiliki bakat dan keahlian, memiliki kepribadian yang baik dan memiliki mental dan fisik yang kuat.
• Memiliki pengalaman dan pengetahuan yang luas.
• Seorang warga negara yang baik (Sudjana, 1989: 15).
Kemudian Profesi guru menurut Undang-Undang No. 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen harus memiliki prinsip-prinsip profesional seperti tercantum pada pasal 5 ayat 1, yaitu; ”Profesi guru dan dosen merupakan bidang pekerjaan khusus yang memerlukan prinsip-prinsip profesional sebagai berikut: a. Memiliki bakat, minat, panggilan jiwa dan idealisme b. Memiliki kualifikasi pendidikan dan latar belakang pendidikan sesuai dengan bidang tugasnya. c. Memiliki kompetensi yang diperlukan sesuai dengan bidang tugasnya. d. Mematuhi kode etik profesi. e. Memiliki hak dan kewajiban dalam melaksanakan tugas. f. Memperoleh penghasilan yang ditentukan sesuai dengan prestasi kerjanya. g. Memiliki kesempatan untuk mengernbangkan profesinya secara berkelanjutan. h. Memperoleh perlindungan hukurn dalam rnelaksanakan tugas profesisionalnya. i. Memiliki organisasi profesi yang berbadan hukum”.
Pada prinsipnya guru yang profesional adalah guru yang dapat menjalankan tugasnya secara profesional, yang memiliki ciri-ciri antara lain:1. Ahli di Bidang teori dan Praktek Keguruan. Guru profesional adalah guru yang menguasai ilmu pengetahuan yang diajarkan dan ahli mengajarnya (menyampaikannya). Dengan kata lain guru profesional adalah guru yang mampu membelajarkan peserta didiknya tentang pengetahuan yang dikuasainya dengan baik. 2. Senang memasuki organisasi Profesi Keguruan.
Suatu pekerjaan dikatakan sebagai jabatan profesi salah satu syaratnya adalah pekerjaan itu memiliki organiasi profesi dan anggota-anggotanya senang memasuki organisasi profesi tersebut. Guru sebagai jabatan profesional seharusnya guru memiliki organisasi ini. Konsekuensinya organisasi profesi turut mengontrol kinerja anggota, bagaimana para anggota dalam memberikan pelayanan pada masyarakat. PGRI sebagai salah satu organisasi guru di Indonesia memiliki fungsi: (a) menyatukan seluruh kekuatan dalam satu wadah, (b) mengusahakan adanya satu kesatuan langkah dan tindakan, (3) melindungi kepentingan anggotanya, (d) menyiapkan program-program peningkatan kemampuan para anggotanya, (e) menyiapkan fasilitas penerbitan dan bacaan dalam rangka peningkatan kemampuan profesional, dan (f) mengambil tindakan terhadap anggota yang melakukan pelanggaran baik administratif maupun psychologis.
3. Memiliki latar belakang pendidikan keguruan yang memadai. Keahlian guru dalam melaksanakan tugas-tugas kependidikan diperoleh setelah menempuh pendidikan keguruan tertentu, dan kemampuan tersebut tidak dimiliki oleh warga masyarakat pada umumnya yang tidak pernah mengikuti pendidikan keguruan. Ada beberapa peran yang dapat dilakukan guru sebagai tenaga pendidik, antara lain: (a) sebagai pekerja profesional dengan fungsi mengajar, membimbing dan melatih (b) pekerja kemanusiaan dengan fungsi dapat merealisasikan seluruh kemampuan kemanusiaan yang dimiliki, (c) sebagai petugas kemaslahatan dengan fungsi mengajar dan mendidik masyarakat untuk menjadi warga negara yang baik. Peran guru ini seperti ini menuntut pribadi harus memiliki kemampuan managerial dan teknis serta prosedur kerja sebagai ahli serta keihlasan bekerja yang dilandaskan pada panggilan hati untuk melayani orang lain.
4. Melaksanakan Kode Etik Guru. Sebagai jabatan profesional guru dituntut untuk memiliki kode etik, seperti yang dinyatakan dalam Konvensi Nasional Pendidikan I tahun 1988, bahwa profesi adalah pekerjaan yang mempunyai kode etik yaitu norma-norma tertentu sebagai pegangan atau pedoman yang diakui serta dihargai oleh masayarakat. Kode etik bagi suatu organisasi sangat penting dan mendasar, sebab kode etik ini merupakan landasan moral dan pedoman tingkah laku yang dijunjung tinggi oleh setiap anggotanya. Kode etik berfungsi untuk mendorong setiap anggotanya guna meningkatkan diri, dan meningkatkan layanan profesionalismenya demi kemaslahatan orang lain. 5.Memiliki otonomi dan rasa tanggung jawab. Otonomi dalam artian dapat mengatur diri sendiri, berarti guru harus memiliki sikap mandiri dalam melaksanakan tugasnya. Kemandirian seorang guru dicirikan dengan dimilikinya kemampuan untuk membuat pilihan nilai, dapat menentukan dan mengambil keputusan sendiri dan dapat mempertanggung jawabkan keputusan yang dipilihnya.
6. Memiliki rasa pengabdian kepada masyarakat. Pendidikan memiliki peran sentral dalam membangun masyarakat untuk mencapai kemajuan. Guru sebagai tenaga pendidikan memiliki peran penting dalam mencerdaskan kehidupan masyarakat tersebut. Untuk itulah guru dituntut memiliki pengabdian yang tinggi kepada masyarakat khususnya dalam membelajarkan anak didik. 7. Bekerja atas panggilan hati nurani. Dalam melaksanakan tugas pengabdian pada masyarakat hendaknya didasari atas dorongan atau panggilan hati nurani. Sehingga guru akan merasa senang dalam melaksanakan tugas berat mencerdaskan anak didik.
Usman (dalam Adiningsih:2002) membedakan kompetensi guru menjadi dua, yaitu kompetensi pribadi dan kompetensi profesional. Kemampuan pribadi meliputi; (1) kemampuan mengembangkan kepribadian, (2) kemampuan berinteraksi dan berkomunikasi, (3) kemampuan melaksanakan bimbingan dan penyuluhan. Sedangkan kompetensi profesional meliputi: (1) Penguasaan terhadap landasan kependidikan, dalam kompetensi ini termasuk (a) memahami tujuan pendidikan, (b) mengetahui fungsi sekilah di masyarakat, (c) mengenal rinsip-prinsip psikologi pendidikan; (2) menguasai bahan pengajaran, artinya guru harus memahami dengan baik materi pelajaran yang ajarkan. Penguasaan terhadap materi pokok yang ada pada kurikulum maupun bahan pengayaan; (3) kemampuan menyusun program pengajaran, kemampuan ini mencakup kemampuan menetapkan kopetensi belajar, mengembangkan bahan pelajaran dan mengembangkan strategi pembelajaran; dan (4) kemampuan menyusun perangkat penilaian hasil belajar dan proses pembelajaran.
C. Profesionalisme Guru dalam wacana Pendidikan
Masalah Profesionalisme guru sering menjadi bahan yang menarik untuk dibicarakan dan disoroti, sebab keberadaan guru dan kelayakan seorang guru baik dalam tugas akademisnya maupun sikapnya dalam masyarakat menjadi slah satu penentu kualitas pendidikan.
Semua komponen masyarakat menginginkan guru yang professional, guru yang kompten dalam memikul tugasnya di dunia pendidikan. Selalu diharapakan akan danya seorang guru yang yang professional yang layak membimbing generasi muda kearah yang diinginkan dimana para generasi muda akan memiliki bekal untuk meneruskan cita-citanya. Tetapi malangnya hanya sedikit dari masyarakat yang mengahargai profesi guru. Masyarakat terkadang masih hanya menginginkan dan menrima saja tanpa ada usaha untuka meningkatkan atau membantu tenaga professional guru, bahkan kebanyakan masyarakat tidak tahu apa dan bagaimana sebenarnya yang disebut guru professional. Masyarakat hanya tahu anak-anak mereka dapat belajar dengan baik dan mendapatkan nilai yang baik.
Disisi lain guru dalam menjalankan tugasnya mendapatkan lebih banyak tantangan dari berbagai sisi terutama dalam bidang pendidikan sendiri. Tantangan yang telah dihadapi para guru harus bertambah lagi dengan krisis ekonomi golabal yang telah mempengaruhi pendiidkan di Indonesia. Pada masa krisis berkepanjangan yang dialami bangsa Indonesia semakn sulit bagi para guru dalam menjalankan tugas-tugasnya. Semakin hari semakin besar tantangan yang akan di hadapi para guru dalam dunia pendidikan. Saat ini Indonesia membutuhkan tenaga lebih handal, karena dengan pengaruh kondisi saat ini kita butuh guru yang bukan hanya bertugas mengajar melainkan mendidik, membentuk dan menempa siswanya untuk mencapai tujuan pendiidkan dan tentu saja akan menambah beban bagi para guru.
Seorang guru profesional, guru mempunyai citra yang baik di mata masyarakat apabila dapat menunjukan kepada masyarakat bahwa ia layak menjadi panutan atau teladan masyarakat di sekelilingnya. Saat ini guru harus melakukan usaha yang cukup agar dirinya menjadi layak, dan satu satunya usaha yang harus dilakukan adalah meningkatkan profesionalisme yang telah dimilikinya kearah yang lebih baik. Dahulu kehidupan guru cukup terhormat, secara ekonomis, memiliki penghasilan yang memuaskan dan guru sangat disanjung masyarakat. Tetapi dua puluh tahun terahir hal tersebut tidak lagi terjadi dan bahkan kenangan belaka. Profesi guru tidak lagi menjadi cita-cita yang hebat, bahkan tidak jarang hanya menjadi pilihan terahir dan satu-satunya karena tidak ada pekerjaan lain.
Maka untuk mendapatkan kembali gelar kehormatan bagi profesi guru dalam kehidupan bermasyarakat dimasa lalu, guru harus bersikap dan bertindak lebih profesional dalam menjalankan profesinya. Gguru yang profesional dituntut meliki kualifikasi pendidikan profesi ya ng memadai, memiiki kompeensi keilmuan sesuai bidang yangdigelutinya, memiliki kemampuan komunikasi yang baik dengan anak didiknya, mempunyai jiwa kreatif dan produktif, mempunyai etos kerja dan komitmen tinggi terhadap profesinya dan selalu melakukan pengembangan diri secara terus menerus. (indrajati, 2001). Dari kualifikasi yang telah dimiliki guru ini, maka seorang guru dapat menjalankan tugas-tugasnya dengan baik.
Tentu untuk mendapatkan kualifikasi tersebut banyak yang harus dilakukan oleh guru, termasuk persiapan untuk mendapatkanya. Seperti di kutip Tilaar, ”professional teacher of course should have a professional preparation. Teacher professionalism needs minimum requirements : a good program of teacher of education, a strong and massive general education program, and higly selcted, intelleigent and anthusiatic intake of young people as student in training institusion” (H.A.R Tilaar, 1999). Guru yang benar-benar professional yang memiliki kualifikasi pendiidkan akan membimbing anak didikanya dengan baik sesuai harapan masyarakat. Para orang tua murid tidak akan segan untuk membayar lebih mahal agar naka-anaknya mendapatkan pendidikan terbaik. Hal ini membuat pendidikan menjadi komoditi yang mahal dikalangan masyarakat, jika hal ini terjadi maka profesionalitas guru tidak perlu khawatir akan kekurangan pendapatan. Apabila guru dapat menempatkan diri dengan baik dihadapan masyarakat dengan segala kualifikasi yang dimilikinya guru tidak perlu takut akan dipandang rendah bahkan tidak dihargai.
Lain daripada itu guru yang bermutu adalah guru yang kreatif dan mampu menjadi pembangkit kreativitas dan guru yang berkualitas adalah guru yang berikir kritis dan kreatif. Pada umumnya guru yang kreatif itu pernah dididik oleh orang-orang yang kreatif dalam lingkungan yang memanfaatkan ilmu dan keahlinya untuk selalu mengkomunikasikan kepada anak-anak didiknya ide-ide lama dan ide-ide baru dalam bentuk yang baru (Balnadi Sutadipura, 1985). Yang dimaksud dengan berfikir kritis adalah cara berfirkir yang otonom dan objektif dan berfirkir kreatif adalah mengolah apa yang kita ahayati secara otonomo dan objektif sedemikian rupa sehingga mutunya dapat ditingkatkan. (Ki Muhammad Said Reksohadi Pridjo, 1989).
Seandainya seorang guru telah memiliki profesionalisme keguruan maka tidak hanya berhenti sampai disana melainkan guru harus terus mengmebangkan sikap profesionalnya dalam jabatan keguruanya. Peningkatan profesi profesi keguruan dapat dilakukan secara formal melalui kegiatan penatan guru, lokakarya, seminar atau kegiatan ilmiah lainya ataupun secara informal melalui media massa. Hal ini akan meningkatkan pengetahuan dan ketrampilan seorang guru. (Soetjipto & Raflis Kosasih; 1999).
D. UU No. 14 2005 ; Profesionalitas Guru Antara Harapan Dan Tantangan
Sejak dari dulu keberadaan guru mendapat tempat tersendiri dalam masyarakat, dan dalam bidang pendidikan merupakan faktor kunci dari keberhasilan tujuan pendidikan dan kualitas peserta didik. Meskipun sedemikian strategis peran guru, setelah puluhan tahun Indonesia merdeka kita belum memiliki undang-undang yang khusus mengatur tentang guru dan dosen. Dari sisi ini, kelahiran UU Nomor 14 Tahun 2005 pantas disambut baik, terlepas dari berbagai kelemahan dan kekurangannya. Bagaimana pun strategisnya peran guru dan dosen dalam dunia pendidikan, apabila tidak ada undang-undang yang mengaturnya, ia tidak saja melahirkan kerumitan dalam pengembangan profesi, juga melemahkan etos kerja guru dan dosen. Dalam konteks ini haruslah dipahami, bahwa UU No.14 Tahun 2005 tidak terlepas dari fungsinya sebagai hukum.
Fungsi peraturan perundang-undangan sebagaimana halnya dengan UU No.14 Tahun 2005 meliputi fungsi ketertiban, fungsi keadilan, fungsi penunjang pembangunan, fungsi mendorong perubahan sosial. Atas dasar itu, maka dengan diundangkannya UU No.14 Tahun 2005, maka guru telah memiliki pijakan dan pegangan dalam menjalankan profesi. Guru yang selama ini cenderung hanya dipandang sebagai profesi mulia dan strategis, namun belum diikuti dengan pengembangan dan peningkatan profesi yang berkualiatas dan bermartabat. Disisi lain guru dituntut beban untuk menghasilkan peserta didik yang bermutu. Diakui memang, ada sejumlah peraturan perundang-undangan yang menyentuh pengembangan dan peningkatan profesi guru, tetapi hal itu lebih kepada aspek prosedur administrative profesi dan bukan menyakut profesi guru dan dosen itu sendiri. Dari sisi inilah saya pikir arti penting kehadiran UU No.14 Tahun 2005.
Pengundangan UU No.14 Tahun 2005 mau tidak mau membawa perubahan mendasar pada dunia profesi guru dan dosen dan dunia pendidikan dimasa datang. Hal ini dapat dipahami dengan mudah sebagaimana dituangkan dalam pasal 4 dan 5 UU No.14 Tahun 2005 yang pada intinya menyatakan; Kedudukan guru sebagai tenaga profesional berfungsi untuk meningkatkan martabat dan peran guru sebagai agen pembelajaran berfungsi untuk meningkatkan mutu pendidikan nasional dan Kedudukan dosen sebagai tenaga profesional berfungsi untuk meningkatkan martabat dan peran dosen sebagai agen pembelajaran, pengembangan ilmu pengetahuan, teknologi dan seni serta pengabdi kepada masyarakat berfungsi untuk meningkat mutu pendidikan nasional.
Meletakan kedudukan dan fungsi guru yang demikian adalah guna mewujudkan tujuan pendidikan nasional yaitu berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri serta menjadi warga Negara yang demokratis dan bertanggung jawab. Karena itu menjadi logis, bahwa tercapainya tujuan pendidikan nasional yang diharapkan, hanya apabila guru benar-benar menjadi tenaga profesional yang dibuktikan dengan sertifikat pendidik, yaitu bukti formal sebagai pengakuan yang diberikan kepada guru sebagai tenaga profesional. Disisi lain, tidak semua orang memiliki kesempatan untuk diangkat menjadi guru pada satuan pendidikan tertentu, melainkan hanya bagi mereka yang telah memperoleh sertifikat pendidik.
Ketentuan peraturan perundang-undangan sebagaimana dikemukakan di atas selain berkonsekuensi kepada pengelolaan sumber daya guru, manajemen pendidikan, dipihak lain pihak sekaligus UU No.14 Tahun 2005 menghendaki terwujudnya peserta didik yang bermutu. Dalam hubungan ini jelas penempatan guru sebagai pendidik profesional, tidak hanya melulu berkaitan dengan soal finasial, tetapi berjalan secara integral dengan kualifikasi, komptensi dan sertifikasi pendidik.
Mewujudkan guru sebagai pendidik profesinal, hanya dapat dicapai apabila ketentuan-ketentuan yang termuat dalam UU No.14 Tahun 2005 dijalankan dengan konsisten dan utuh.
1. Guru wajib memiliki kualifikasi akademik, kompetensi, sertifikat pendidik, sehat jasmani serta memiliki kemampuan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional.
2. Guru berkewajiban ;
a. merencanakan pembelajaran, melaksanakan proses pembelajaran yang bermutu, serta menilai dan mengevaluasi pembelajaran. b. Meningkatkan dan mengembangkan kualifikasi akademik dan komptensi secara berkelanjutan sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi dan seni. c. Bertindak objektif dan tidak deskriminatif atas pertimbangan jenis kelamin, agama, suku, ras dan kondisi fisik tertentu, latar belakang keluarga, status sosial ekonomi peserta didik dalam pembelajaran. d. Menjunjung tingggi peraturan perundang-undangan, hukum dan kode etik guru serta nilai agama dan etika, dan; e. Memelihara dan memupuk persatuan dan kesatuan bangsa.
3. Tenaga kerja asing yang dipekerjakan sebagai guru pada satuan pendidikan di Indonesia wajib memenuhi kode etik guru dan peraturan perundang-undangan.
4. Guru yang diangkat oleh pemerintah atau pemerintah daerah wajib menanda tangani pertanyaan kesanggupan untuk ditugaskan didaerah khusus paling sedikit 2 tahun.
5. Guru wajib menjadi anggota organisasi profesi
6. Dosen wajib memiliki kualifikasi akademik, kompetensi, sertifikat pendidik, sehat jasmani dan rohoni dan memenuhi kualifikasi lain yang dipersyaratkan satuan pendidikan tinggi tempat bertugas, serta memiliki kemampuan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional.
7. Setiap orang yang akan diangkat menjadi dosen wajib mengikuti proses seleksi
9. Tenaga kerja asing yang diperkerjakan sebagai dosen pada satuan pendidikan tinggi di Indonesia wajib mematuhi peraturan perundang-undangan.
10. Pemerintah dan pemerintah daerah wajib menyediakan anggaran untuk peningkatan kualifikasi akademik dan sertifikasi pendidik bagi guru dalam jabatan yang diangkat oleh satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh pemerintah, pemerintah daerah dan masyarakat.
11. Pemerintah Wajib memenuhi kebutuhan guru, baik dalam jumlah, kualifikasi akademik maupun dalam kompetensi secara merata untuk menjamin keberlangsungan satuan pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal serta menjamin keberlansungan pendidikan dasar dan menengah yang diselenggarakan pemerintah
12. Pemerintah provinsi, kabupaten/kota wajib memenuhi kebutuhan guru, baik dalam jumlah, kualifikasi akademik, maupun dalam kompetensi secara merata untuk menjamin keberlangsungan satuan pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal serta menjamin keberlansungan pendidikan dasar dan menengah yang diselenggarakan pemerintah sesuai dengan kewenangan.
13. Dalam hal terjadi kekosongan guru, pemerintah atau pemerintah daerah wajib menyediakan guru pengganti
14. Pemerintah dan pemerintah daerah wajib membina dan mengembangkan kualifikasi akademik dan kompetensi guru pada satuan pendidikan yang diselenggaran oleh pemerintah, pemerintah daerah dan/atau masyarakat,
15. Pemerintah dan pemerintah daerah wajib memberikan anggaran untuk meningkatkan profesionalitas dan pengabdian guru pada satuan pendidikan yang diselenggaran oleh pemerintah, pemerintah daerah dan/atau masyarakat.
16. Pemerintah, pemerintah daerah, masyarakat organisasi profesi dan/atau satuan pendidikan wajib memberikan perlindungan terhadap guru dalam pelaksanaan tugas.
17. Pemerintah, pemerintah daerah wajib memfasilitasi satuan pendidikan tinggi yang diselenggarakan oleh masyarakat untuk menjamin terlenggaranya pendidikan yang bermutu.
18. Pemerintah wajib membina dan mengembangkan kualifikasi akademik dan kompotensi dosen pada satuan pendidikan tinggi yang diselenggarakan oleh Pemerintah dan atau masyarakat.
19. Pemerintah wajib memberikan anggaran untuk meningkatkan profesionalitas dan pengabdian dosen pada satuan pendidikan tinggi yang diselenggarakan oleh pemerintah dan atau masyarakat.
20. Pemerintah, pemerintah daerah masyarakat organisasi profesi dan atau satuan pendidikan tinggi wajib memberikan perlindungan terhadap dosen dalam pelaksanaan tugas.
21. Penyelenggara pendidikan yang diselenggarakan masyarakar, wajib memenuhi kebutuhan guru tetap, baik dalam jumlah, kualifikasi akademik, maupun komptensinya untuk menjamin keberlansungan pendidikan.
22. Satuan Pendidikan yang diselenggarakan masyarakat wajib membina dan mengembangkan kualifikasi akademik dan kompetensi guru.
23. Satuan pendidikan tinggi yang diselenggarakan masyarakat wajib membina dan mengembangkan kualifikasi akademik dan kompetensi dosen,
24. Organisasi profesi guru wajib melaksanakan rekomendasi dewan kehormatan guru.
Dari sejumlah kewajiban guru dan dosen, kewajiban pemerintah dan masyarakat sebagaimana dikemukakan di atas, ternyata untuk mewujudkan guru dan dosen sebagai pendidik profesional membutuhkan perhatian dan kebijakan yang sungguh-sungguh dari guru dan dosen, dari pemerintah dan masyarakat. Ini pun baru hanya didasarkan pada sejumlah ketentuan yang dinyatakan dengan tegas dalam UU No.14 Tahun 2005 dengan kata “WAJIB”. Penegasan demikian, memperlihatkan suatu komitmen yang kuat dari kebijakan nasional dalam upaya mewujudkan guru dan dosen sebagai pendidik profesional. Namun persoalannya, ketentuan-ketentuan yang imperatif dalam UU No.14 Tahun 2005 itu secara konsisten dilaksanakan guru dan dosen, pemerintah dan masyarakat. Ketentuan yang imperatif dalam UU guru dan dosen tersebut, ternyata tidak disertai dengan ketentuan yang memberikan ruang bagi terlaksananya kebijakan-kebijakan yang sudah diberi penekanan “wajib” dalam UU guru dan dosen.
E. Tantangan Profesionalisme Guru
Pengesahan Undang-Undang Guru dan Dosen Nomor 14 Tahun 2005 menjadi penanda bahwa profesi guru tidak hanya sebatas pengabdian dengan jaminan kesejahteraan minim. Dengan keberadaan UU ini, guru adalah orang yang betul-betul profesional dengan jaminan kesejahteraan memadai. Ini merupakan elan baru dalam dunia keguruan Indonesia. Dengan jaminan UU ini, terdekonstruksilah makna profesionalisme guru yang dulunya tidak diminati menjadi profesi yang paling diminati di antara profesi lainnya, seperti ditunjukkan dari hasil jajak pendapat yang dilakukan Litbang Kompas beberapa waktu lalu. Dari hasil jajak pendapat tersebut diketahui bahwa profesi guru menjadi profesi yang paling diminati di antara profesi lain, seperti dokter dan wartawan.
Profesi guru merupakan profesi yang paling diminati. Profesionalisme dalam arti dasar adalah ketika seseorang bekerja sesuai dengan basis pendidikannya masing-masing. Seorang pengajar di lembaga pendidikan haruslah berpendidikan dari lembaga pendidikan tinggi keguruan (LPTK). Ketika lulusan LPTK bekerja menjadi akuntan, itu tidak bisa dikatakan profesional. Dalam kaitannya dengan kesejahteraan (baca: imbalan) adalah hal wajar ketika seorang profesional mendapatkan imbalan memadai karena dia akan bekerja maksimal sehingga menghasilkan sesuatu yang berkualitas. Hubungan antara profesionalisme dan imbalan bersifat linear.
Namun, dalam konteks pendidikan Indonesia, khususnya dunia keguruan, gambaran tersebut baru berlaku setelah UU Guru dan Dosen disahkan. Sebelumnya profesi guru tidak lebih seperti "pepesan kosong". Dari luar kelihatannya sangat elok dan menarik, tetapi isinya kosong. Jabatan guru memang mendapatkan tempat di hati masyarakat, tetapi ketika berbicara tentang kesejahteraan, nilainya sangat minim (baca: kosong). Di Indonesia hal yang linear itu tidak terjadi.
Alibi dari minimnya kesejahteraan tersebut adalah kemampuan negara yang memang minim. Di satu sisi alibi ini bisa diterima, tetapi di sisi lain sulit diterima. Di luar alibi tersebut realitas berkata, sebelum UU Guru dan Dosen disahkan, kesejahteraan guru betul-betul sangat minim. Jangka waktu disahkannya UU Guru dan Dosen ini sangatlah lama. Dalam amatan penulis, secara sederhana kondisi ini telah menimbulkan beberapa masalah dalam dinamika kehidupan guru yang tampaknya masih terkandung sampai sekarang, termasuk ketika UU Guru dan Dosen telah disahkan pemerintah baru-baru ini. Masalah tersebut adalah masalah kultural/tradisi, moral, dan struktural.
Kemunculan masalah kultural/tradisi bertitik tolak dari permasalahan waktu. Lamanya kondisi guru berada dalam ketidaksejahteraan telah membentuk tradisi-tradisi yang terinternalisasi dalam kehidupan guru sampai sekarang. Konkretnya, tradisi itu lebih mengacu pada ranah akademis.
Minimnya kesejahteraan guru telah menyebabkan konsentrasi guru terpecah menjadi beberapa sisi. Di satu sisi seorang guru harus selalu menambah kapasitas akademis pembelajaran dengan terus memperbarui dan berinovasi dengan media, metode pembelajaran, dan kapasitas dirinya. Di sisi lain, sebagai efek demonstrasi dari minimnya kesejahteraan, seorang guru dituntut memenuhi kesejahteraannya secara berbarengan.
Dalam praktiknya, seorang guru sering kali lebih banyak berjibaku (baca: berkonsentrasi) dengan usahanya dalam memenuhi kesejahteraan keluarga. Akhirnya, seiring dengan perjalanan waktu, sisi-sisi peningkatan kualitas akademis menjadi tersisihkan dan hal ini terus berlangsung sampai sekarang. Minimnya kesejahteraan guru dalam jangka waktu lama telah menggiring budaya/tradisi akademis menjadi terpinggirkan. Permasalahan moral muncul hampir berbarengan dengan permasalahan kultural. Hemat penulis, permasalahan moral ini bisa disamakan dengan permasalahan watak dari guru itu sendiri. Akar masalahnya sama, muncul sebagai efek demonstrasi dari minimnya kesejahteraan guru. Minimnya kesejahteran guru secara tidak langsung telah menggiring guru-guru dalam ruang-ruang sempit pragmatisme. Yang terbayang oleh seorang guru ketika melaksanakan proses pendidikan adalah bagaimana seorang guru bisa dengan cepat menyelesaikan target studi yang telah dirancang. Setelah itu guru bisa langsung beralih profesi sejenak demi mendapatkan tambahan pendapatan karena kesejahteraannya minim. Akhirnya, pendidikan yang seyogianya diselenggarakan melalui proses memadai terabaikan. Hasil akhir menjadi target utama dibandingkan dengan proses yang dilaksanakan. Inilah wujud nyata dari watak-watak pragmatis sekaligus tantangan berat profesionalisme guru.
Permasalahan dan tantangan secara struktural lebih mengacu pada kondisi atau struktur sosial seorang guru di luar proses pendidikan (baca: lingkungan sosial). Jika mengacu pada sumber masalah, hal ini berasal dari minimnya kesejahteraan yang dimiliki seorang guru. Minimnya tingkat kesejahteraan secara materialistis dari seorang guru telah menyebabkan posisi sosial guru di masyarakat tersubordinasi. Posisi sosial guru menjadi terkesan lebih rendah daripada masyarakat lain yang berprofesi bukan guru, katakanlah itu seorang konsultan, manajer, pengacara, dan lainnya. Padahal, seperti kita ketahui, secara hakikat, profesi yang digeluti seseorang adalah sama, tidak saling menyubordinasi. "Inferiority complex"
Yang perlu mendapatkan perhatian serius dalam hal ini adalah efek dari subordinasi sosial tersebut. Efek tersebut adalah perasaan rendah diri dari seorang guru, atau dalam bahasa Pramoedya Ananta Toer sebagai inferiority complex. Bagi seorang guru, perasaan rendah diri seperti ini merupakan hal yang harus dihindari. Fungsi guru sebagai pentransformasi sosial kepada peserta didik memerlukan kepercayaan diri yang besar. Bukan tidak mungkin perasaan-perasaan rendah diri tersebut akan menular kepada peserta didik. Hal ini tentu saja sangat berbahaya.
Apa yang bias disimpulkan secara sederhana dari ketiga masalah tersebut adalah bahwa akar permasalahan guru kontemporer adalah tingkat kesejahteraan. Minimnya tingkat kesejahteraan guru menjadi permasalahan pokok. Di luar kontroversi tentang UU Guru dan Dosen tersebut, kita mendapatkan pembenaran dari UU Guru dan Dosen tersebut, yaitu untuk meningkatkan kesejahteraan guru.
Lima tahun pascapengesahan UU Guru dan Dosen merupakan masa transisi menuju profesionalisme guru seutuhnya. Oleh karena itu, dalam konteks menuju profesionalisme guru seutuhnya tersebut, masalah-masalah di atas seyogianya diposisikan sebagai sebuah tantangan yang harus segera dijawab.
Ketika tahun 2009 diisi oleh kerja keras guru dalam menjawab ketiga tantangan tersebut, perjuangan menuju profesionalisme guru telah melaju beberapa langkah ke depan. Dengan demikian, menjadi hal wajar apabila tahun 2009 dijadikan sebagai tahun menuju profesionalisme guru seutuhnya. Semoga tahun 2009 menjadi kado manis bagi dunia pendidikan Indonesia
F. Referensi
Adiningsih, NU. Kualitas dan Profesionalisme Guru, Pikiran Rakyat(Online) Oktober 2002. (http://www.pikiranrakyat.com)
Ilham Radi Azis, Menjadi Guru Profesional Di Tengah Euphoria UUSPA, artikel, (Panrannuang Pos edisi Januari 2007).
http://wwwilhamradi-sanrobone.blogspot.com/2008/12/profesionalisme-guru-dan-tantangannya.html
http://tyaeducationjournals.blogspot.com/2008/04/profesi-guru-di-tengah-masalah-masalah.html
http://guru-sditharbun.blogspot.com/2008/04/tantangan-membangun-guru-profesional.html
Sudjana, Nana, Dasar-dasar Proses Belajar Mengajar, Bandung: Sinar Baru, 1989.
Soetjipto & Raflis Kosasih; 1999, profesi keguruan, Jakarta : Rineka Cipta
Sidi, Indra Djadi, Menju Masyarakat Belajar, Jakarta:logos
Tilaar, H.A.R 1999, Beberapa Agenda Reformasi Pendidikan dalm Perspektif abad 21, Jakarta: Tiara Indonesia
A. Pendahuluan
Problem guru merupakan topik yang tidak habis-habisnya dibahas dalam berbagai seminar, diskusi, dan workshop untuk mencari berbagai alternatif pemecahan terhadap berbagai persoalan yang dihadapi oleh guru dalam menjalankan tugasnya sebagai pengajar dan pendidik dilingkungan sekolah. Penyebabnya karena berdasarkan sejumah penelitian pendidikan, guru diyakini sebagai salah satu faktor yang menentukan tingkat keberhasilan anak didik dalam melakukan proses transformasi ilmu pengetahuan dan teknologi serta internalisasi etika dan moral. Karena itu tidaklah berlebihan apabila para pemerhati pendidikan senantiasa mengarahkan perhatiannya pada persoalan guru dan keguruan.
Masalah yang berkaitan dengan guru dan keguruan antara lain persoalan kurang memadainya kualifikasi dan kompetensi guru, rendahnya tingkat kesejahteraan guru, rendahnya etos kerja dan komitmen guru, hingga kepada kurangnya penghargaan masyarakat terhadap guru ( Sidi, Indra Djati:2000). Meskipun pemerintah bersama orang tua dan masyarakat telah melakukan berbagai upaya yang mengarah langsung kepada perbaikan profesi guru, namun berbagai dimensi persoalan guru tetap muncul sebagai masalah utama dalam dunia pendidikan nasional ditanah air.
Guru, selain diperhadapkan pada berbagai persoalan internal seperti yang disebutkan tadi, juga mendapat dua tantang eksternal yaitu krisis etika dan moral anak didik serta tantangan menghadapi persaingan bebas diera globalisasi. Diera globalisasi yang penuh dengan persaingan guru diperhadapkan pada kenyataan untuk menghasilkan sumber daya manusia yang bermutu,baik secara intelektual maupun emosional supaya dapat survive dalam persaingan. Karena itu peran seorang guru masa depan harus diarahkan untuk mengembangkan tiga intelegensi sekaligus yakni : intelektual, emosional dan moral. Untuk dapat melaksanakan peran tersebut seorang guru dituntut untuk bekerja secara profesional.
Cukup banyak artikel berupa opini maupun berita yang membahas masalah profesi guru. Banyak pula guru yang membicarakannya dengan mata berbinar karena dengan pengakuan guru professional berarti juga peningkatan kesejahteraan. Satu syarat yang dapat dijadikan indikator guru professional adalah jika dia telah lulus uji sertifikasi. Sesuai dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, jabatan guru sebagai pendidik merupakan jabatan profesional. Untuk itu profesionalisme guru dituntut agar terus berkembang sesuai dengan perkembangan zaman, ilmu pengetahuan dan teknologi, serta kebutuhan masyarakat termasuk kebutuhan terhadap sumber daya manusia yang berkualitas dan memiliki kapabilitas untuk mampu bersaing di forum regional, nasional, maupun internasional.
Kualitas guru di Indonesia dari beberapa kajian masih dipertanyakan, seperti yang dilaporkan oleh Bahrul Hayat dan Umar (dalam Adiningsih,: 2002). Mereka memperlihatkan nilai rata-rata nasional tes calon guru PNS di SD, SLTP, SLTA, dan SMK tahun 1998/1999 untuk bidang studi matematika hanya 27,67 dari interval 0-100, artinya hanya menguasai 27,67% dari materi yang seharusnya. Hal serupa juga terjadi pada bidang studi yang lain, seperti fisika (27,35), biologi (44,96), kimia (43,55), dan bahasa Inggris (37,57). Nilai-nilai di atas tentu jauh dari batas ideal, yaitu minimum 75% sehingga seorang guru bisa mengajar dengan baik.
Hasil lain yang lebih memprihatinkan adalah penelitian dari Konsorsium Ilmu Pendidikan (Adiningsih:2002) memperlihatkan bahwa 40% guru SMP dan 33% guru SMA mengajar bidang studi di luar bidang keahliannya. Paparan ini menggambarkan sekilas kualitas guru di Indonesia, bagimana dapat dikatakan profesional jika penguasaan materi mata pelajaran yang diampu masih kurang, dan bagaimana dikatakan profesional jika masih ada 33% guru yang mengajar diluar bidang keahliannya.Ironis memang ditengah komitmen kita untuk mengedepankan budaya mutu dalam mengantisipasi era persaingan ternyata kualitas guru sebagai ujung tombak pendidikan masih diperlu ditinjau kembali. Permasalahanya adalah bagaimana guru dapat menyelesaikan tantangan yang dihadapi dengan baik, jika profesionalismenya masih dipertanyakan. Tulisan singkat ini akan mengulas tentang profesionalisme guru dan tantangan yang dihadapi.
B. Profesi Keguruan
Secara sederhana pekerjaan apapun akan dinilai professional adalah apabila out put yang dihasilkan dapat memenuhi keinginan semua pihak. Semua profesi bisa dikatakan professional bila pekerjaan itu dilakukan oleh mereka secara khusus bukan karena tidak bisa melakukakan pekerjaan lainnya. Begitu pula profesi guru, guru adalah sangat penting karena ia akan menyampaikan ilmu pengetahuan yang tidak akan pernah rusak sampai kapanpun. Beberapa pakar mengatakan bahwa pekerjaan guru Jabatan guru memerlukan keahlian khusus adalah pekerjaan yang sangat mulia sebab :
• Untuk menjadi guru harus memepunyai beberapa sifat diantaranya memiliki bakat dan keahlian, memiliki kepribadian yang baik dan memiliki mental dan fisik yang kuat.
• Memiliki pengalaman dan pengetahuan yang luas.
• Seorang warga negara yang baik (Sudjana, 1989: 15).
Kemudian Profesi guru menurut Undang-Undang No. 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen harus memiliki prinsip-prinsip profesional seperti tercantum pada pasal 5 ayat 1, yaitu; ”Profesi guru dan dosen merupakan bidang pekerjaan khusus yang memerlukan prinsip-prinsip profesional sebagai berikut: a. Memiliki bakat, minat, panggilan jiwa dan idealisme b. Memiliki kualifikasi pendidikan dan latar belakang pendidikan sesuai dengan bidang tugasnya. c. Memiliki kompetensi yang diperlukan sesuai dengan bidang tugasnya. d. Mematuhi kode etik profesi. e. Memiliki hak dan kewajiban dalam melaksanakan tugas. f. Memperoleh penghasilan yang ditentukan sesuai dengan prestasi kerjanya. g. Memiliki kesempatan untuk mengernbangkan profesinya secara berkelanjutan. h. Memperoleh perlindungan hukurn dalam rnelaksanakan tugas profesisionalnya. i. Memiliki organisasi profesi yang berbadan hukum”.
Pada prinsipnya guru yang profesional adalah guru yang dapat menjalankan tugasnya secara profesional, yang memiliki ciri-ciri antara lain:1. Ahli di Bidang teori dan Praktek Keguruan. Guru profesional adalah guru yang menguasai ilmu pengetahuan yang diajarkan dan ahli mengajarnya (menyampaikannya). Dengan kata lain guru profesional adalah guru yang mampu membelajarkan peserta didiknya tentang pengetahuan yang dikuasainya dengan baik. 2. Senang memasuki organisasi Profesi Keguruan.
Suatu pekerjaan dikatakan sebagai jabatan profesi salah satu syaratnya adalah pekerjaan itu memiliki organiasi profesi dan anggota-anggotanya senang memasuki organisasi profesi tersebut. Guru sebagai jabatan profesional seharusnya guru memiliki organisasi ini. Konsekuensinya organisasi profesi turut mengontrol kinerja anggota, bagaimana para anggota dalam memberikan pelayanan pada masyarakat. PGRI sebagai salah satu organisasi guru di Indonesia memiliki fungsi: (a) menyatukan seluruh kekuatan dalam satu wadah, (b) mengusahakan adanya satu kesatuan langkah dan tindakan, (3) melindungi kepentingan anggotanya, (d) menyiapkan program-program peningkatan kemampuan para anggotanya, (e) menyiapkan fasilitas penerbitan dan bacaan dalam rangka peningkatan kemampuan profesional, dan (f) mengambil tindakan terhadap anggota yang melakukan pelanggaran baik administratif maupun psychologis.
3. Memiliki latar belakang pendidikan keguruan yang memadai. Keahlian guru dalam melaksanakan tugas-tugas kependidikan diperoleh setelah menempuh pendidikan keguruan tertentu, dan kemampuan tersebut tidak dimiliki oleh warga masyarakat pada umumnya yang tidak pernah mengikuti pendidikan keguruan. Ada beberapa peran yang dapat dilakukan guru sebagai tenaga pendidik, antara lain: (a) sebagai pekerja profesional dengan fungsi mengajar, membimbing dan melatih (b) pekerja kemanusiaan dengan fungsi dapat merealisasikan seluruh kemampuan kemanusiaan yang dimiliki, (c) sebagai petugas kemaslahatan dengan fungsi mengajar dan mendidik masyarakat untuk menjadi warga negara yang baik. Peran guru ini seperti ini menuntut pribadi harus memiliki kemampuan managerial dan teknis serta prosedur kerja sebagai ahli serta keihlasan bekerja yang dilandaskan pada panggilan hati untuk melayani orang lain.
4. Melaksanakan Kode Etik Guru. Sebagai jabatan profesional guru dituntut untuk memiliki kode etik, seperti yang dinyatakan dalam Konvensi Nasional Pendidikan I tahun 1988, bahwa profesi adalah pekerjaan yang mempunyai kode etik yaitu norma-norma tertentu sebagai pegangan atau pedoman yang diakui serta dihargai oleh masayarakat. Kode etik bagi suatu organisasi sangat penting dan mendasar, sebab kode etik ini merupakan landasan moral dan pedoman tingkah laku yang dijunjung tinggi oleh setiap anggotanya. Kode etik berfungsi untuk mendorong setiap anggotanya guna meningkatkan diri, dan meningkatkan layanan profesionalismenya demi kemaslahatan orang lain. 5.Memiliki otonomi dan rasa tanggung jawab. Otonomi dalam artian dapat mengatur diri sendiri, berarti guru harus memiliki sikap mandiri dalam melaksanakan tugasnya. Kemandirian seorang guru dicirikan dengan dimilikinya kemampuan untuk membuat pilihan nilai, dapat menentukan dan mengambil keputusan sendiri dan dapat mempertanggung jawabkan keputusan yang dipilihnya.
6. Memiliki rasa pengabdian kepada masyarakat. Pendidikan memiliki peran sentral dalam membangun masyarakat untuk mencapai kemajuan. Guru sebagai tenaga pendidikan memiliki peran penting dalam mencerdaskan kehidupan masyarakat tersebut. Untuk itulah guru dituntut memiliki pengabdian yang tinggi kepada masyarakat khususnya dalam membelajarkan anak didik. 7. Bekerja atas panggilan hati nurani. Dalam melaksanakan tugas pengabdian pada masyarakat hendaknya didasari atas dorongan atau panggilan hati nurani. Sehingga guru akan merasa senang dalam melaksanakan tugas berat mencerdaskan anak didik.
Usman (dalam Adiningsih:2002) membedakan kompetensi guru menjadi dua, yaitu kompetensi pribadi dan kompetensi profesional. Kemampuan pribadi meliputi; (1) kemampuan mengembangkan kepribadian, (2) kemampuan berinteraksi dan berkomunikasi, (3) kemampuan melaksanakan bimbingan dan penyuluhan. Sedangkan kompetensi profesional meliputi: (1) Penguasaan terhadap landasan kependidikan, dalam kompetensi ini termasuk (a) memahami tujuan pendidikan, (b) mengetahui fungsi sekilah di masyarakat, (c) mengenal rinsip-prinsip psikologi pendidikan; (2) menguasai bahan pengajaran, artinya guru harus memahami dengan baik materi pelajaran yang ajarkan. Penguasaan terhadap materi pokok yang ada pada kurikulum maupun bahan pengayaan; (3) kemampuan menyusun program pengajaran, kemampuan ini mencakup kemampuan menetapkan kopetensi belajar, mengembangkan bahan pelajaran dan mengembangkan strategi pembelajaran; dan (4) kemampuan menyusun perangkat penilaian hasil belajar dan proses pembelajaran.
C. Profesionalisme Guru dalam wacana Pendidikan
Masalah Profesionalisme guru sering menjadi bahan yang menarik untuk dibicarakan dan disoroti, sebab keberadaan guru dan kelayakan seorang guru baik dalam tugas akademisnya maupun sikapnya dalam masyarakat menjadi slah satu penentu kualitas pendidikan.
Semua komponen masyarakat menginginkan guru yang professional, guru yang kompten dalam memikul tugasnya di dunia pendidikan. Selalu diharapakan akan danya seorang guru yang yang professional yang layak membimbing generasi muda kearah yang diinginkan dimana para generasi muda akan memiliki bekal untuk meneruskan cita-citanya. Tetapi malangnya hanya sedikit dari masyarakat yang mengahargai profesi guru. Masyarakat terkadang masih hanya menginginkan dan menrima saja tanpa ada usaha untuka meningkatkan atau membantu tenaga professional guru, bahkan kebanyakan masyarakat tidak tahu apa dan bagaimana sebenarnya yang disebut guru professional. Masyarakat hanya tahu anak-anak mereka dapat belajar dengan baik dan mendapatkan nilai yang baik.
Disisi lain guru dalam menjalankan tugasnya mendapatkan lebih banyak tantangan dari berbagai sisi terutama dalam bidang pendidikan sendiri. Tantangan yang telah dihadapi para guru harus bertambah lagi dengan krisis ekonomi golabal yang telah mempengaruhi pendiidkan di Indonesia. Pada masa krisis berkepanjangan yang dialami bangsa Indonesia semakn sulit bagi para guru dalam menjalankan tugas-tugasnya. Semakin hari semakin besar tantangan yang akan di hadapi para guru dalam dunia pendidikan. Saat ini Indonesia membutuhkan tenaga lebih handal, karena dengan pengaruh kondisi saat ini kita butuh guru yang bukan hanya bertugas mengajar melainkan mendidik, membentuk dan menempa siswanya untuk mencapai tujuan pendiidkan dan tentu saja akan menambah beban bagi para guru.
Seorang guru profesional, guru mempunyai citra yang baik di mata masyarakat apabila dapat menunjukan kepada masyarakat bahwa ia layak menjadi panutan atau teladan masyarakat di sekelilingnya. Saat ini guru harus melakukan usaha yang cukup agar dirinya menjadi layak, dan satu satunya usaha yang harus dilakukan adalah meningkatkan profesionalisme yang telah dimilikinya kearah yang lebih baik. Dahulu kehidupan guru cukup terhormat, secara ekonomis, memiliki penghasilan yang memuaskan dan guru sangat disanjung masyarakat. Tetapi dua puluh tahun terahir hal tersebut tidak lagi terjadi dan bahkan kenangan belaka. Profesi guru tidak lagi menjadi cita-cita yang hebat, bahkan tidak jarang hanya menjadi pilihan terahir dan satu-satunya karena tidak ada pekerjaan lain.
Maka untuk mendapatkan kembali gelar kehormatan bagi profesi guru dalam kehidupan bermasyarakat dimasa lalu, guru harus bersikap dan bertindak lebih profesional dalam menjalankan profesinya. Gguru yang profesional dituntut meliki kualifikasi pendidikan profesi ya ng memadai, memiiki kompeensi keilmuan sesuai bidang yangdigelutinya, memiliki kemampuan komunikasi yang baik dengan anak didiknya, mempunyai jiwa kreatif dan produktif, mempunyai etos kerja dan komitmen tinggi terhadap profesinya dan selalu melakukan pengembangan diri secara terus menerus. (indrajati, 2001). Dari kualifikasi yang telah dimiliki guru ini, maka seorang guru dapat menjalankan tugas-tugasnya dengan baik.
Tentu untuk mendapatkan kualifikasi tersebut banyak yang harus dilakukan oleh guru, termasuk persiapan untuk mendapatkanya. Seperti di kutip Tilaar, ”professional teacher of course should have a professional preparation. Teacher professionalism needs minimum requirements : a good program of teacher of education, a strong and massive general education program, and higly selcted, intelleigent and anthusiatic intake of young people as student in training institusion” (H.A.R Tilaar, 1999). Guru yang benar-benar professional yang memiliki kualifikasi pendiidkan akan membimbing anak didikanya dengan baik sesuai harapan masyarakat. Para orang tua murid tidak akan segan untuk membayar lebih mahal agar naka-anaknya mendapatkan pendidikan terbaik. Hal ini membuat pendidikan menjadi komoditi yang mahal dikalangan masyarakat, jika hal ini terjadi maka profesionalitas guru tidak perlu khawatir akan kekurangan pendapatan. Apabila guru dapat menempatkan diri dengan baik dihadapan masyarakat dengan segala kualifikasi yang dimilikinya guru tidak perlu takut akan dipandang rendah bahkan tidak dihargai.
Lain daripada itu guru yang bermutu adalah guru yang kreatif dan mampu menjadi pembangkit kreativitas dan guru yang berkualitas adalah guru yang berikir kritis dan kreatif. Pada umumnya guru yang kreatif itu pernah dididik oleh orang-orang yang kreatif dalam lingkungan yang memanfaatkan ilmu dan keahlinya untuk selalu mengkomunikasikan kepada anak-anak didiknya ide-ide lama dan ide-ide baru dalam bentuk yang baru (Balnadi Sutadipura, 1985). Yang dimaksud dengan berfikir kritis adalah cara berfirkir yang otonom dan objektif dan berfirkir kreatif adalah mengolah apa yang kita ahayati secara otonomo dan objektif sedemikian rupa sehingga mutunya dapat ditingkatkan. (Ki Muhammad Said Reksohadi Pridjo, 1989).
Seandainya seorang guru telah memiliki profesionalisme keguruan maka tidak hanya berhenti sampai disana melainkan guru harus terus mengmebangkan sikap profesionalnya dalam jabatan keguruanya. Peningkatan profesi profesi keguruan dapat dilakukan secara formal melalui kegiatan penatan guru, lokakarya, seminar atau kegiatan ilmiah lainya ataupun secara informal melalui media massa. Hal ini akan meningkatkan pengetahuan dan ketrampilan seorang guru. (Soetjipto & Raflis Kosasih; 1999).
D. UU No. 14 2005 ; Profesionalitas Guru Antara Harapan Dan Tantangan
Sejak dari dulu keberadaan guru mendapat tempat tersendiri dalam masyarakat, dan dalam bidang pendidikan merupakan faktor kunci dari keberhasilan tujuan pendidikan dan kualitas peserta didik. Meskipun sedemikian strategis peran guru, setelah puluhan tahun Indonesia merdeka kita belum memiliki undang-undang yang khusus mengatur tentang guru dan dosen. Dari sisi ini, kelahiran UU Nomor 14 Tahun 2005 pantas disambut baik, terlepas dari berbagai kelemahan dan kekurangannya. Bagaimana pun strategisnya peran guru dan dosen dalam dunia pendidikan, apabila tidak ada undang-undang yang mengaturnya, ia tidak saja melahirkan kerumitan dalam pengembangan profesi, juga melemahkan etos kerja guru dan dosen. Dalam konteks ini haruslah dipahami, bahwa UU No.14 Tahun 2005 tidak terlepas dari fungsinya sebagai hukum.
Fungsi peraturan perundang-undangan sebagaimana halnya dengan UU No.14 Tahun 2005 meliputi fungsi ketertiban, fungsi keadilan, fungsi penunjang pembangunan, fungsi mendorong perubahan sosial. Atas dasar itu, maka dengan diundangkannya UU No.14 Tahun 2005, maka guru telah memiliki pijakan dan pegangan dalam menjalankan profesi. Guru yang selama ini cenderung hanya dipandang sebagai profesi mulia dan strategis, namun belum diikuti dengan pengembangan dan peningkatan profesi yang berkualiatas dan bermartabat. Disisi lain guru dituntut beban untuk menghasilkan peserta didik yang bermutu. Diakui memang, ada sejumlah peraturan perundang-undangan yang menyentuh pengembangan dan peningkatan profesi guru, tetapi hal itu lebih kepada aspek prosedur administrative profesi dan bukan menyakut profesi guru dan dosen itu sendiri. Dari sisi inilah saya pikir arti penting kehadiran UU No.14 Tahun 2005.
Pengundangan UU No.14 Tahun 2005 mau tidak mau membawa perubahan mendasar pada dunia profesi guru dan dosen dan dunia pendidikan dimasa datang. Hal ini dapat dipahami dengan mudah sebagaimana dituangkan dalam pasal 4 dan 5 UU No.14 Tahun 2005 yang pada intinya menyatakan; Kedudukan guru sebagai tenaga profesional berfungsi untuk meningkatkan martabat dan peran guru sebagai agen pembelajaran berfungsi untuk meningkatkan mutu pendidikan nasional dan Kedudukan dosen sebagai tenaga profesional berfungsi untuk meningkatkan martabat dan peran dosen sebagai agen pembelajaran, pengembangan ilmu pengetahuan, teknologi dan seni serta pengabdi kepada masyarakat berfungsi untuk meningkat mutu pendidikan nasional.
Meletakan kedudukan dan fungsi guru yang demikian adalah guna mewujudkan tujuan pendidikan nasional yaitu berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri serta menjadi warga Negara yang demokratis dan bertanggung jawab. Karena itu menjadi logis, bahwa tercapainya tujuan pendidikan nasional yang diharapkan, hanya apabila guru benar-benar menjadi tenaga profesional yang dibuktikan dengan sertifikat pendidik, yaitu bukti formal sebagai pengakuan yang diberikan kepada guru sebagai tenaga profesional. Disisi lain, tidak semua orang memiliki kesempatan untuk diangkat menjadi guru pada satuan pendidikan tertentu, melainkan hanya bagi mereka yang telah memperoleh sertifikat pendidik.
Ketentuan peraturan perundang-undangan sebagaimana dikemukakan di atas selain berkonsekuensi kepada pengelolaan sumber daya guru, manajemen pendidikan, dipihak lain pihak sekaligus UU No.14 Tahun 2005 menghendaki terwujudnya peserta didik yang bermutu. Dalam hubungan ini jelas penempatan guru sebagai pendidik profesional, tidak hanya melulu berkaitan dengan soal finasial, tetapi berjalan secara integral dengan kualifikasi, komptensi dan sertifikasi pendidik.
Mewujudkan guru sebagai pendidik profesinal, hanya dapat dicapai apabila ketentuan-ketentuan yang termuat dalam UU No.14 Tahun 2005 dijalankan dengan konsisten dan utuh.
1. Guru wajib memiliki kualifikasi akademik, kompetensi, sertifikat pendidik, sehat jasmani serta memiliki kemampuan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional.
2. Guru berkewajiban ;
a. merencanakan pembelajaran, melaksanakan proses pembelajaran yang bermutu, serta menilai dan mengevaluasi pembelajaran. b. Meningkatkan dan mengembangkan kualifikasi akademik dan komptensi secara berkelanjutan sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi dan seni. c. Bertindak objektif dan tidak deskriminatif atas pertimbangan jenis kelamin, agama, suku, ras dan kondisi fisik tertentu, latar belakang keluarga, status sosial ekonomi peserta didik dalam pembelajaran. d. Menjunjung tingggi peraturan perundang-undangan, hukum dan kode etik guru serta nilai agama dan etika, dan; e. Memelihara dan memupuk persatuan dan kesatuan bangsa.
3. Tenaga kerja asing yang dipekerjakan sebagai guru pada satuan pendidikan di Indonesia wajib memenuhi kode etik guru dan peraturan perundang-undangan.
4. Guru yang diangkat oleh pemerintah atau pemerintah daerah wajib menanda tangani pertanyaan kesanggupan untuk ditugaskan didaerah khusus paling sedikit 2 tahun.
5. Guru wajib menjadi anggota organisasi profesi
6. Dosen wajib memiliki kualifikasi akademik, kompetensi, sertifikat pendidik, sehat jasmani dan rohoni dan memenuhi kualifikasi lain yang dipersyaratkan satuan pendidikan tinggi tempat bertugas, serta memiliki kemampuan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional.
7. Setiap orang yang akan diangkat menjadi dosen wajib mengikuti proses seleksi
9. Tenaga kerja asing yang diperkerjakan sebagai dosen pada satuan pendidikan tinggi di Indonesia wajib mematuhi peraturan perundang-undangan.
10. Pemerintah dan pemerintah daerah wajib menyediakan anggaran untuk peningkatan kualifikasi akademik dan sertifikasi pendidik bagi guru dalam jabatan yang diangkat oleh satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh pemerintah, pemerintah daerah dan masyarakat.
11. Pemerintah Wajib memenuhi kebutuhan guru, baik dalam jumlah, kualifikasi akademik maupun dalam kompetensi secara merata untuk menjamin keberlangsungan satuan pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal serta menjamin keberlansungan pendidikan dasar dan menengah yang diselenggarakan pemerintah
12. Pemerintah provinsi, kabupaten/kota wajib memenuhi kebutuhan guru, baik dalam jumlah, kualifikasi akademik, maupun dalam kompetensi secara merata untuk menjamin keberlangsungan satuan pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal serta menjamin keberlansungan pendidikan dasar dan menengah yang diselenggarakan pemerintah sesuai dengan kewenangan.
13. Dalam hal terjadi kekosongan guru, pemerintah atau pemerintah daerah wajib menyediakan guru pengganti
14. Pemerintah dan pemerintah daerah wajib membina dan mengembangkan kualifikasi akademik dan kompetensi guru pada satuan pendidikan yang diselenggaran oleh pemerintah, pemerintah daerah dan/atau masyarakat,
15. Pemerintah dan pemerintah daerah wajib memberikan anggaran untuk meningkatkan profesionalitas dan pengabdian guru pada satuan pendidikan yang diselenggaran oleh pemerintah, pemerintah daerah dan/atau masyarakat.
16. Pemerintah, pemerintah daerah, masyarakat organisasi profesi dan/atau satuan pendidikan wajib memberikan perlindungan terhadap guru dalam pelaksanaan tugas.
17. Pemerintah, pemerintah daerah wajib memfasilitasi satuan pendidikan tinggi yang diselenggarakan oleh masyarakat untuk menjamin terlenggaranya pendidikan yang bermutu.
18. Pemerintah wajib membina dan mengembangkan kualifikasi akademik dan kompotensi dosen pada satuan pendidikan tinggi yang diselenggarakan oleh Pemerintah dan atau masyarakat.
19. Pemerintah wajib memberikan anggaran untuk meningkatkan profesionalitas dan pengabdian dosen pada satuan pendidikan tinggi yang diselenggarakan oleh pemerintah dan atau masyarakat.
20. Pemerintah, pemerintah daerah masyarakat organisasi profesi dan atau satuan pendidikan tinggi wajib memberikan perlindungan terhadap dosen dalam pelaksanaan tugas.
21. Penyelenggara pendidikan yang diselenggarakan masyarakar, wajib memenuhi kebutuhan guru tetap, baik dalam jumlah, kualifikasi akademik, maupun komptensinya untuk menjamin keberlansungan pendidikan.
22. Satuan Pendidikan yang diselenggarakan masyarakat wajib membina dan mengembangkan kualifikasi akademik dan kompetensi guru.
23. Satuan pendidikan tinggi yang diselenggarakan masyarakat wajib membina dan mengembangkan kualifikasi akademik dan kompetensi dosen,
24. Organisasi profesi guru wajib melaksanakan rekomendasi dewan kehormatan guru.
Dari sejumlah kewajiban guru dan dosen, kewajiban pemerintah dan masyarakat sebagaimana dikemukakan di atas, ternyata untuk mewujudkan guru dan dosen sebagai pendidik profesional membutuhkan perhatian dan kebijakan yang sungguh-sungguh dari guru dan dosen, dari pemerintah dan masyarakat. Ini pun baru hanya didasarkan pada sejumlah ketentuan yang dinyatakan dengan tegas dalam UU No.14 Tahun 2005 dengan kata “WAJIB”. Penegasan demikian, memperlihatkan suatu komitmen yang kuat dari kebijakan nasional dalam upaya mewujudkan guru dan dosen sebagai pendidik profesional. Namun persoalannya, ketentuan-ketentuan yang imperatif dalam UU No.14 Tahun 2005 itu secara konsisten dilaksanakan guru dan dosen, pemerintah dan masyarakat. Ketentuan yang imperatif dalam UU guru dan dosen tersebut, ternyata tidak disertai dengan ketentuan yang memberikan ruang bagi terlaksananya kebijakan-kebijakan yang sudah diberi penekanan “wajib” dalam UU guru dan dosen.
E. Tantangan Profesionalisme Guru
Pengesahan Undang-Undang Guru dan Dosen Nomor 14 Tahun 2005 menjadi penanda bahwa profesi guru tidak hanya sebatas pengabdian dengan jaminan kesejahteraan minim. Dengan keberadaan UU ini, guru adalah orang yang betul-betul profesional dengan jaminan kesejahteraan memadai. Ini merupakan elan baru dalam dunia keguruan Indonesia. Dengan jaminan UU ini, terdekonstruksilah makna profesionalisme guru yang dulunya tidak diminati menjadi profesi yang paling diminati di antara profesi lainnya, seperti ditunjukkan dari hasil jajak pendapat yang dilakukan Litbang Kompas beberapa waktu lalu. Dari hasil jajak pendapat tersebut diketahui bahwa profesi guru menjadi profesi yang paling diminati di antara profesi lain, seperti dokter dan wartawan.
Profesi guru merupakan profesi yang paling diminati. Profesionalisme dalam arti dasar adalah ketika seseorang bekerja sesuai dengan basis pendidikannya masing-masing. Seorang pengajar di lembaga pendidikan haruslah berpendidikan dari lembaga pendidikan tinggi keguruan (LPTK). Ketika lulusan LPTK bekerja menjadi akuntan, itu tidak bisa dikatakan profesional. Dalam kaitannya dengan kesejahteraan (baca: imbalan) adalah hal wajar ketika seorang profesional mendapatkan imbalan memadai karena dia akan bekerja maksimal sehingga menghasilkan sesuatu yang berkualitas. Hubungan antara profesionalisme dan imbalan bersifat linear.
Namun, dalam konteks pendidikan Indonesia, khususnya dunia keguruan, gambaran tersebut baru berlaku setelah UU Guru dan Dosen disahkan. Sebelumnya profesi guru tidak lebih seperti "pepesan kosong". Dari luar kelihatannya sangat elok dan menarik, tetapi isinya kosong. Jabatan guru memang mendapatkan tempat di hati masyarakat, tetapi ketika berbicara tentang kesejahteraan, nilainya sangat minim (baca: kosong). Di Indonesia hal yang linear itu tidak terjadi.
Alibi dari minimnya kesejahteraan tersebut adalah kemampuan negara yang memang minim. Di satu sisi alibi ini bisa diterima, tetapi di sisi lain sulit diterima. Di luar alibi tersebut realitas berkata, sebelum UU Guru dan Dosen disahkan, kesejahteraan guru betul-betul sangat minim. Jangka waktu disahkannya UU Guru dan Dosen ini sangatlah lama. Dalam amatan penulis, secara sederhana kondisi ini telah menimbulkan beberapa masalah dalam dinamika kehidupan guru yang tampaknya masih terkandung sampai sekarang, termasuk ketika UU Guru dan Dosen telah disahkan pemerintah baru-baru ini. Masalah tersebut adalah masalah kultural/tradisi, moral, dan struktural.
Kemunculan masalah kultural/tradisi bertitik tolak dari permasalahan waktu. Lamanya kondisi guru berada dalam ketidaksejahteraan telah membentuk tradisi-tradisi yang terinternalisasi dalam kehidupan guru sampai sekarang. Konkretnya, tradisi itu lebih mengacu pada ranah akademis.
Minimnya kesejahteraan guru telah menyebabkan konsentrasi guru terpecah menjadi beberapa sisi. Di satu sisi seorang guru harus selalu menambah kapasitas akademis pembelajaran dengan terus memperbarui dan berinovasi dengan media, metode pembelajaran, dan kapasitas dirinya. Di sisi lain, sebagai efek demonstrasi dari minimnya kesejahteraan, seorang guru dituntut memenuhi kesejahteraannya secara berbarengan.
Dalam praktiknya, seorang guru sering kali lebih banyak berjibaku (baca: berkonsentrasi) dengan usahanya dalam memenuhi kesejahteraan keluarga. Akhirnya, seiring dengan perjalanan waktu, sisi-sisi peningkatan kualitas akademis menjadi tersisihkan dan hal ini terus berlangsung sampai sekarang. Minimnya kesejahteraan guru dalam jangka waktu lama telah menggiring budaya/tradisi akademis menjadi terpinggirkan. Permasalahan moral muncul hampir berbarengan dengan permasalahan kultural. Hemat penulis, permasalahan moral ini bisa disamakan dengan permasalahan watak dari guru itu sendiri. Akar masalahnya sama, muncul sebagai efek demonstrasi dari minimnya kesejahteraan guru. Minimnya kesejahteran guru secara tidak langsung telah menggiring guru-guru dalam ruang-ruang sempit pragmatisme. Yang terbayang oleh seorang guru ketika melaksanakan proses pendidikan adalah bagaimana seorang guru bisa dengan cepat menyelesaikan target studi yang telah dirancang. Setelah itu guru bisa langsung beralih profesi sejenak demi mendapatkan tambahan pendapatan karena kesejahteraannya minim. Akhirnya, pendidikan yang seyogianya diselenggarakan melalui proses memadai terabaikan. Hasil akhir menjadi target utama dibandingkan dengan proses yang dilaksanakan. Inilah wujud nyata dari watak-watak pragmatis sekaligus tantangan berat profesionalisme guru.
Permasalahan dan tantangan secara struktural lebih mengacu pada kondisi atau struktur sosial seorang guru di luar proses pendidikan (baca: lingkungan sosial). Jika mengacu pada sumber masalah, hal ini berasal dari minimnya kesejahteraan yang dimiliki seorang guru. Minimnya tingkat kesejahteraan secara materialistis dari seorang guru telah menyebabkan posisi sosial guru di masyarakat tersubordinasi. Posisi sosial guru menjadi terkesan lebih rendah daripada masyarakat lain yang berprofesi bukan guru, katakanlah itu seorang konsultan, manajer, pengacara, dan lainnya. Padahal, seperti kita ketahui, secara hakikat, profesi yang digeluti seseorang adalah sama, tidak saling menyubordinasi. "Inferiority complex"
Yang perlu mendapatkan perhatian serius dalam hal ini adalah efek dari subordinasi sosial tersebut. Efek tersebut adalah perasaan rendah diri dari seorang guru, atau dalam bahasa Pramoedya Ananta Toer sebagai inferiority complex. Bagi seorang guru, perasaan rendah diri seperti ini merupakan hal yang harus dihindari. Fungsi guru sebagai pentransformasi sosial kepada peserta didik memerlukan kepercayaan diri yang besar. Bukan tidak mungkin perasaan-perasaan rendah diri tersebut akan menular kepada peserta didik. Hal ini tentu saja sangat berbahaya.
Apa yang bias disimpulkan secara sederhana dari ketiga masalah tersebut adalah bahwa akar permasalahan guru kontemporer adalah tingkat kesejahteraan. Minimnya tingkat kesejahteraan guru menjadi permasalahan pokok. Di luar kontroversi tentang UU Guru dan Dosen tersebut, kita mendapatkan pembenaran dari UU Guru dan Dosen tersebut, yaitu untuk meningkatkan kesejahteraan guru.
Lima tahun pascapengesahan UU Guru dan Dosen merupakan masa transisi menuju profesionalisme guru seutuhnya. Oleh karena itu, dalam konteks menuju profesionalisme guru seutuhnya tersebut, masalah-masalah di atas seyogianya diposisikan sebagai sebuah tantangan yang harus segera dijawab.
Ketika tahun 2009 diisi oleh kerja keras guru dalam menjawab ketiga tantangan tersebut, perjuangan menuju profesionalisme guru telah melaju beberapa langkah ke depan. Dengan demikian, menjadi hal wajar apabila tahun 2009 dijadikan sebagai tahun menuju profesionalisme guru seutuhnya. Semoga tahun 2009 menjadi kado manis bagi dunia pendidikan Indonesia
F. Referensi
Adiningsih, NU. Kualitas dan Profesionalisme Guru, Pikiran Rakyat(Online) Oktober 2002. (http://www.pikiranrakyat.com)
Ilham Radi Azis, Menjadi Guru Profesional Di Tengah Euphoria UUSPA, artikel, (Panrannuang Pos edisi Januari 2007).
http://wwwilhamradi-sanrobone.blogspot.com/2008/12/profesionalisme-guru-dan-tantangannya.html
http://tyaeducationjournals.blogspot.com/2008/04/profesi-guru-di-tengah-masalah-masalah.html
http://guru-sditharbun.blogspot.com/2008/04/tantangan-membangun-guru-profesional.html
Sudjana, Nana, Dasar-dasar Proses Belajar Mengajar, Bandung: Sinar Baru, 1989.
Soetjipto & Raflis Kosasih; 1999, profesi keguruan, Jakarta : Rineka Cipta
Sidi, Indra Djadi, Menju Masyarakat Belajar, Jakarta:logos
Tilaar, H.A.R 1999, Beberapa Agenda Reformasi Pendidikan dalm Perspektif abad 21, Jakarta: Tiara Indonesia