Epistemologi ; Metode Ilmiah
A. Pendahuluan
Filsafat erat kaitanya dengan segala sesuatu yang yang bisa difikirkan oleh manusia dan bahkan dapat dikatakan tidak akan pernah habisnya, karena daripadanya mengandung dua kemungkinan yaitu proses berfikir dan hasil berfikir. Sebagaimana juga diungkapkan oleh M.J. Langeveld, bahwa pada hakikatnya filsafat menggunakan ratio (berfikir)[1], tetapi kemudian tidak semua proses berfikir disebut filsafat. Kemudian juga Filsafat juga mempunyai konotasi dengan segala hal yang bersifat teoritis, rumit, transendental, abstrak dan lain sebagainya.
Sebagaimana diketahui bahwa Filsafat adalah disiplin ilmu yang terkait dengan perihal kebenaran atau kebijaksanaan. Kebijaksanaan merupakan titik ideal dalam kehidupan manusia. Namun kebijaksanaan yang dicapai dengan asal bertindak sebagaimana tindakan manusia sehari- hari. Karena kebijaksanaan tersebut merupakan tindakan terus menerus yang berkaitan dengan apa yang dilakukan. Hal ini sejalan dengan pengertian filsafat secara etimologi dan pengertian filsafat secara terminology. Filsafat berasal dari bahasa Yunani yaitu fhilosofhia, ini merupakan kata majemuk dari philo yang artinya cinta dalam arti yang seluas-luasnya dan sofia artinya kebijaksanaan. Bijaksana inipun kata asing adapaun artinya ialah pandai, tahu dengan mendalam atau cinta kepada kebijaksanaan[2]”jadi dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan filsafat adalah cinta akan kebijaksanaan,dan kebijaksanaan itu mengalir terus-menerus dalam kehidupan manusia melalui suatu proses berpikir mendalam.
Pengertian filsafat sering berbeda antara tokoh yang satu dengan yang lain, perbedaan tersebut disebabkan oleh perbedaan konotasi filsafat dan juga bisa disebabkan oleh lingkungan dan pandangan hidup. Dalam kaiatan ini sebagaimana sebelumnya diatas secara terminologi defisi filsafat banyak dikemukakan oleh filosof terkemuka, seperti: Plato yang menyebutkan bahwa ”filsafat tidak lain dari pengetahuan tentang segala yang ada”. Aristoteles murid dari plato menyebutkan bahwa ”filsafat itu menyelidiki sebab dan asas segala benda[3]”.dalam pengertian lain disebutkan
Pengertian atau definisi yang dikemukakan diatas dapat dipahami bahwa untuk mengetahui tentang segala sesuatu dibutuhkan suatu penyelidikan dan penyelidikan inilah yang menjadi proses yang melibatkan akal pikiran untuk memperoleh kebenaran.dalam kajian Filsafat Ilmu kegiatan untuk mengungkap kebenaran tersebut membutuhkan bahasa sebagai sarana untuk mempermudah memahaminya. Istilah- istilah tersebut dalam filsafat Ilmu dikenal dengan istilah Ontology, Epitemologi, dan Aksiologi. Berkenaan dengan hal tersebut Makalah ini mencoba membahas tentang Epistemologi ilmu dengan fokus bahasan metode ilmiah,
B. Epistemologi
Epistemology adalah cabang study tentang filsafat yang membahas ruang lingkup dan batas-batas pengetahuan. Epistemologi berasal dari berasal dari kata Yunani yng berarti studi atau penelitian tentang pengetahuan[4]. Sedangkan Epistemologi dlam bahasa inggris disebut The Teory Of Konowledge, tetapi dalam bahasa Indonesia istilah “Teori dari Pengetahun” tampak merupakan hal yang agak janggal, maka menggunakan epistemology saja[5]. Dari defenisi epistemology tersebut dapat difahami bahwa dalam pembahasanya epistemology mengkaji tentang asal mula pengetahuan, perbedaan- perbadaan antara teori – teori pengetahuan, dan peran pengalaman dan akal dalam pengetahuan. Lebih jauh membahas bagaimana proses pengetahuan tersebut, dalam epistemology dikenal dua istilah yang menjadi latar belakang terjadinya pengetahuan yaitu empiristime dan rasionalisme.
Thomas Hobbes salah satu filosof empirisme mengemukakan bahwa “ pengenalan atau pengetahuan diperoleh karena pengalaman. Pengalaman adalah awal pengetahuan.”[6] Proses terbentuknya pengetahuan yang dikemukakan oleh Hobbes merupakan pijakan bagi para kaum empirisme dalam memperoleh pengetahuan. Peran dan fungsi akal disana ditempatkan sebagai abtraksi yang dibentuk melalui pengalaman yang telah terjadi. Pengalaman empiris ini juga tidak lepas dari peran indrawi, sebab akal sendiri tidak bisa memberikan pengetahuan tentang realitas tanpa adanya acuan pengalaman indrawi yang menggunakan panca indra. Inilah yang membedakan proses pengatahuan yang dikemukakan oleh kaum rasionalisme.
Descartes, salah satu filosof rasionalisme yang terkenal mengemukakan bahwa secara umum prinsip rasionalisme merupakan “ pendekatan filosofis yang menekankan akal budi (rasio) sebagai sumber utama pengetahuan, dan bebas dari pengamatan indrawi.”[7] Dari penjelasan diatas, terlihat perbedaan prinsip antara empirisme dan rasionalisme. Rasionalisme melihat bahwa realitas dapat diketahui secara tidak tergantung pada pengamatan, pengalaman secara empiris. Hal ini karena akal budi adalah sumber utama pengetahuan yang dapat difahami secara rasional yang hanya secara langsung berhubungan dengan panca indra.
Tetapi kemudian antara empirisme dan rasionalisme tetaplah menjadikan panca indra, pengalaman, dan akal budi sebagai unsur penting sebagai pembentuk pengetahuan tersebut. Jika kemudian terdapat perbedaan antara keduanya hanyalah terletak pada unsure yang paling diutamakan apakah itu pengalaman ataukah akal budi, juga apa unsur yang menjadi penjelas dari prinsip dasar rasionalisme dan empirisme tersebut, yang demikian itu semua ada dalam pikiran manusia.
Uraian diatas yang sederhana mengenai pengetahuan yang secara epitemologi ilmu kebenaran ilmiah yang dihasilkan harus melalui suatu tahapan ilmiah. Karena pada dasarnya “ objek material dan objek formal epistemologi adalah tentang pengetahuan dan hakekat pengetahuan.”[8] Sebagai sarana untuk menjelaskan proses ilmu pengetahuan tersebut maka digunakan metode ilmiah untuk menggambarkan jalan atau cara pengetahuan ilmiah itu dibangun, sehingga “ ternetuk kesesuaian antara pikiran dan kenyataan,[9]” dan nilai kebenaran tersebut diputuskan melaui pembuktian.
C. Sumber dan Dasar-Dasar Epistemologi
Sumber epistemology[10] diantaranya :
1. Sumber epistemologi eksternal
Epistemology eksternal adalah gambaran alam yang menembus akal melalui panca indrea dan variasinya menurut kemampuan sensasi dan kejadian ilmiah
2. Sumber potensi bawaan
3. Sumber tendensi kebaikan
4. Sumber tendensi kejahatan
5. Sumber proses ujian
Dasar epistemology sebagaimana di kemukakan oleh beberapa filsof seperti pendapat Plato dan sebagaian filsof Islam dengan teori “dunia idea” secara singkat berpendapat bahwa ilmu pengetahuan secara fitri ada pada jiwa manusia, merka percaya akan adanya jiwa sebelum bercampur dengan fisik di alamyang lebih tinggi, bersama wujud-wujud lainya yang diciptakan Allah dalam ide sebelum muncul di alam nyata.
Tidak demikian dengan pendapat aliran Descrates bahwa adanya ilmu pengetahuan fitriah berdsarkan realitas esensial yang tidak diragukan lagi. Pengetahuan fitri hakiki ini tiada lain dari pengetahuan menusia terhadap esensinya sendiri.
Kebanyakan filsof modern mengingkari adanya pengetahuan fitri yang ada pada jiwa manusia. Para filsof modern berpendapat bahwa pengetahuan yang sampai melaui sensasi, kemudian sensasi itu bergabung menjadi fikiran. Pemikiran mempolakan bentuk-bentuk baru didalam akal, dan menurut mereka anak yang baru lahir akalnya bagaikan tabula rasa.
D. Metode Ilmiah
1. Pengertian Metode Ilmiah
Pengertian dan definisi metode dalam bahasa Yunani berasal dari kata “ methodos, meta, yang berarti sesuadah atau diatas, dan hodos berarti suatu jalan atau suatu cara.” Terkait dengan defenisi diatas, metode ilmiah dapat diartikan sebagai “ system konseptual yang bersifat empiris, eksperimental, logika matematis. System ini mengatur dan mengaitkan fakta- fakta dalam suatu struktur teori- teori dan inferensi ( penyimpulan)[11].
Kemudian ada defenisi lain yang menyebutkan bahwa “ metode ilmiah merupkan suatu prosedur yang mencangkup berbagai tindakan pikiran, pola kerja, cara teknis, dan tata langkah untuk memperoleh pengetahuan baru atau mengembangkan pengetahuan yang telah ada.”[12]
Jadi metode ilmiah secara harfiah menggambarkan jalan atau suatu cara mendekati suatu bidang pengetahuan secara metodis, sistematis, mempelajarinya sesuai dengan rencana atau pola kerja yang ada untuk memperoleh kebenaran pengetahuan. Objek yang dikajipun merupakan objek empiris. M.Solihin menyatakan bahwa kajian empiris ini dilakukan dengan proses pengolahan data-data melaui pengindraan manusia, tentunya dengan memasukan metode untuk memperoleh pengetahuan tersebut[13].
Dengan demikian kedudukan metode ilmiah dapat dikatakan sebagai bagian dari langkah- langkah sistematika kailmuan ( metode ilmiah ) secara tuntas harus dilanjutkan dengan langkah- langkah sistematis pelaksanaan penelitian ( teknik penelitian ).
2. Metode Ilmiah dan Ilmu pengetahuan
Metode ilmiah merupakan prosedur atau langkah-langkah sitematis dalam mendapatkan ilmu pengetahuan ilmiah. Secara garis besar langkah-langkah sistematis tersebut antara lain sebagai berikut : (a). mencari, merumuskan dan mengidentifikasi masalah, (b). menyusun kerangka berfikir, (c) merumuskan hipotesis (d). menguji hipotesis secara empirik, (d). melakukan pembahasan, (e) menarik kesimpulan[14].
Langkah diatas, secara umum dimulai dengan mencari, merumuskan dan mengidentifikasi masalah yatiu menetapkan maslah penelitian, apa yang dijadikan masalah dalam penelitian dan apa objeknya. Hal penting dalam poin ini adalah kesadaran akan adanya persoalan. Persoalan atau masalah sebagai tanda dimulainya penelitian harus dilukiskan dengan jelas dan benar, hal ini sangat penting karena tanpa definisi yang jelas tentang persoalan itu tidak dapat diketahui fakta mana yang layak dikumpulkan. Sedangkan mengidentifikasi masalah yang spesifik dilakukan dengan mengajukan pertanyaan penelitian atau menyatakan masalah yang spesifik dengan mengajukan pertanyaan penelitian. Namun yang dimaksud dengan pertnyaan tersebut adalah pertanyaan yang belum dapat memberikan penjelasan yang memuaskan berasarkan teori yang ada. Dengan demikian secara tidak langsung dari pertanyaan-pertanyaan ini berarti telah merumuskan masalah penelitian. Jika dikaitkan dengan langkah-langkah yang telah disebutkan diatas maka ini masuk pada langkah proses pencarian atau penentuan masalah sampai ke tahap perumusan dugaan sementara.
Kemudian langkah selanjutnya menyusun kerangka berfikir dengan tujuan membuka jalan pikiran menurut kerangka yang logis. Dengan kata lain meletakan perkara masalah yang diteliti dalam kerangka teoritis yang relefan dan mampu menerapkan dan menunjukan suatu sudut pandang terhadap masalah itu. Hal ini dilakukan dengan tujuan untuk menjawab dan menerangkan pertanyaan penelitian yang didentifikasi.
Salah satu langkah yang dilakukan untuk memperoleh jawaban tersebut adalah dengan penalaran deduktif, penalaran deduktif dilakukan dengan cara pengamatan ilmiah yang bertitik tolak dari masalah yang bersift umum kemudian mearik kesimpulan yang bersifat khusus.[15] Hal-hal yang umum tersebut adalah teori-teori yang terkait dengan msalah penelitian, dan hal yang bersifat khusus adalah yang menjadi masalah yang diidentifikasi. Langkah ini sampai pada tahap penyusunan kerangka berfikir untuk memperoleh rumusan hipotesis. Dalam simpulan sementara inilah yang akan menjadi rumusan hipotesis dalam proses penelitian. Penjelasan diatas sekilas dapat dipahami bagaimana merumuskan hipotesis, sesuai proposi deduksi. Tentunya proposi-proposi tersebut sesuai dengan hubungannya serta nilai-nilai informasi
Proposi, teori dan hipotesis ini dapat dijelaskan melaui tiga komponen, Yaitu : antiseden, konsekuen dan depedensi[16]. Sedangkan dua komponen sebelumnya merupakan bagian integral dari proposi, sedang komponen depedensi merupakan sifat hubungan dari antiseden dan konsekuen. Sehingga depedensi dapat mengandung arti bahwa hubungan antara antiseden dan konsekuen merupakan hubungan sebab akibat yang benar. Selanjutnya hipotesis adalah kesimpulan yang diperoleh dari penyusunan kerangka pikiran. Merumuskan berarti membentuk proposi yang sesuai dngan kemungkinan-kemungkinan serta tingkat-tingkat kebenaranya.
Hipotesis mengandung beberapa syarat logika, antara lain : (a). dapat menjelaskan kenyataan yang menjadi masalah dan dasar hipotesis, (b). mengandung sesuatu yang mungkin, (c). dapat mencari hubungan kausal dengan argumentasi yang tepat, (d). dapatdi uji kebenaran maupun kesalahanya.[17] Tahapan-tahapan ini dapat dilihat bagaimana langkah-langkah sistematis sehingga hipotesis dapat di uji. Menguji hipotesis adalah dengan membandingkan atau menyesuaikan dengan data empiric. Dengan kata lain, suatu sebab meungkin akan menimbulkan beberapa akibat atau pula suatu akibat yang ditimbulkan oleh beberapa penyebab.
Deskripsi ini sebagaimana juga dikemukakan oleh John Stuart Mills bahwa cara paling sederhana untukmengetahui factor penyebab timbulnya suatu akibat adalah dengan membandingkan suatu peristiwa dengan fenomena.[18] Dalam pengujian ini , peneliti dapat memilih langkah pengujian yang tepat dengan sifat-sifat data atau variable hipoesisnya. Misalnya denganmenggunakan metode syatistika. Membahas dan menarik kesimpulan termasuk dalam interpretasi terhadap hal-hal yang ditemukan dalam penelitian. Pembahasan tidak lain adalah mencocokan deduksi dalam kerangka pikiran dengan induksi dari empiric (hasil pengujian hipotesis) atau pula kepada induksi-induksi yang diperoleh oleh orang lain yang relevan[19]. Hasil pencocokan tersebut bila sesuai (parallel) ataukah bertentangan (kontradiktif), jika bertentangan maka harus dilacak dimana letak perbedaan dan apa kemungkinan penyebabnya.
Oleh sebab itu, penemuan–penemuan dari interpretasi danpembahasan tersebut merupakan jawaban terhadap pertanyaan penelitian sebagai masalah atau bukti dari penerimaan hipotesis yang diajukan. Pertanyaan-pertanyaan tersebut sesuai dengan identifikasi masalah atau sesuai dengan susunan hipotesis. Sehingga hasil pembahasan tidak lain adalah kesimpulan penelitian yaitu penemuan-penemuan dari hasil interpretasi dan pembahasan.
3. Metode Ilmiah dan Pembatasan Ilmu
Uraian-uraian sebelumnya diatas dapat dilihat langkah- langkah bagaimana ilmu pengetahuan diperoleh. Tentunya langkah- langkah ini sesuai dengan cabang ilmu pengetahuan yang teliti. Sebagaimana dijelaskan oleh O. Burniston Brown ( 1961 ) tentang pola umum, adalah sebagai berikut: “ Meskipun ada perbedaan pendapat dalam pokok soal. Semua ilmu menunjukkan prosedur umum yang sama disebut metode ilmiah,atau ilmu saja.oleh karena itu ilmu adalah suatu metode khusus yang telah diperkembangkan secara berangsur-angsur sepanjang berabad-abad untuk meningkatkan pengetahuan tentang dunia. Pada dasarnya pola umum dalam metode ilmiah ini dapat dipakai dalam melihat sejarah perkembangan ilmu itu sendiri yang telah berlangsung dari abad kea bad. Sekaligus dengan melihat perkembangan ilmu pengetahuan tersebut, dapat dipaham bahwa tersebarnya ilmu pengetahuan menjadi banyak cabang ilmu-ilmu khusus antara lain juga berkaitan dengan metode ilmiah yang diterapkan. Ilmu-ilmu terutama berbeda satu dengan yang lain, karena digunakannya metode-metode yang sangat berlainan untuk menyelidiki,melukiskan, dan mengerti realitas.”[20]
Munculnya Spesialisasi dalam bentuk ilmu- ilmu khusus merupakan konsekuensi logis dari pengembangan macam- macam metode, objek, dan tujuan yang dicapai. Misalnya ilmu- ilmu kealaman, bahwasanya ilmu ini melukiskan kenyataan menurut aspek empiris secara langsung. Data- data empiris yang merupakan objeknya, ilmu kealaman ini memperoleh objektivitas yang khas, yaitu bersifat empiris dan eksperimental. Sebagaimana dikutip, cirri ilmu- ilmu kealaman dan ilmu sosial humanistik adalah:
“ Ilmu kealaman melukiskan kenyataan menurut aspek yang memungkinkan registrasi indrawi secara langsung. Registrasi indrawi ini yang dilakukan secara eksperimen. Ilmu kealaman mampu menjangkau objek potensi- potensi alam sehingga yang sulit diamati ( missal: electron dan inti protein ). Berbeda dengan ilmu sosial humanistic yang pengamatanya bercirikan normative dan teologis. Metode yang digunakan ilmu- ilmu sosial humanistic ini adalah dengan mengamati gejala- gejala, nalar, sebagai suatu fakta empiris.”[21]
Dengan demikian dapat dilihat perbedaan antara ilmu- ilmu mempengaruhi metode ilmiah yang dilakukan untuk mendapatkan kebenaran ilmiah. Ilmu kealaman yang bersifat empiris dan eksperimental, dalam melakukan penelitian ilmiahdilakukan dengan kegiatan yang dilaksanakan berulang- ulang. Tahapan dimulai dengan melakukan observasi, yaitu dengan melakukan pengamatan biasa. Observasi terhadap objek empiris tersebut disoroti dalam suatu kerangka ilmiah yaitu dengan pertanyaan- pertanyaan observasi, kemudian dari pertanyaan- pertanyaan ini disimpulkan dalam suatu pernyataan yang lebih umum. Data- data empiric dikumpulkan dengan menggunakan alat Bantu matematik (secara kuantutatif) dengan symbol matematik. Pernyataan- pernyataan tersebut kemudian diuji dengan melakukan verifikasi secara empiric. Ini bertujuan untuk mengukuhkan pernyataan- pernyataan rasional tersebut sebagai teori.
Sedangkan untuk ilmu sosial humanistik, metode yang digunakan untuk memperoleh kebenaran ilmiah berbeda dari ilmu alam, yaitu dengan menangkap data melalui panca indra, sebagaimana telah disebutkan di atas bahwa aspek tingkah laku manusiawi, roh manusia yang tampak dalam bahasa, syair, agama, intitusi, dll merupakan objek ilmu- ilmu sosial humanistik. Dari gejala- gejala tersebut yang dijadikan sebagai fakta empiris. Dalam fakta- fakta empiris tersebut terdapat nilai, arti dan tujuan. Jadi ilmu sosial humanistic dalam penyelidikanya meliputi apa yang diperbuat manusia dan apa yang difikirkan manusia tentang dunia. Dalam tahapan metode ilmu sosial humanistic mengolah data yang di anggap melalui panca indra, kemudian mengolah dan menyusun data- data tersebut dalam suatu system, dengan tujuan memperoleh suatu kesimpulan sekaligus pengalaman.
Tahap- tahap diatas masuk kedalam metode linier , dimana ilmu sosial humanistic umumnya menggunakan metode linier, dengan tiga tahapan yaitu: “ perepsi yaitu dengan penangkapan data melalui indra. Konsepsi yaitu dengan pengolahan data dan penyusunannya dalam suatu system. Prediksi yaitu penyimpulan sekaligus pemahaman.”
Terahir yang penting diketahui dari metode ilmiah, bahwa metode ilmiah memiliki kedudukan penting dalam ilmu, baik itu ilmu kealaman, ilmu sosial ataupun ilmu keterampilan. “ metode ilmiah mengadakan pengumpulan data yang belum ditata biasanya merupakan tumpukan yang kacau balau, metode ilmiah kemudian menjadi pembimbing penelitian untuk arah tertentu “[22].
Kesimpulan
Metode ilmiah merupakn sebuah upaya untuk menggambarkan jalan atau suatu cara mendekati suatu bidang pengetahuan secara metodis, sistematis, mempelajarinya sesuai dengan rencana atau pola kerja (eksperimen) untuk memperoleh kebenaran pengetahuan. Objek yang dikajipun merupakan objek empiris. Empiris yang dimaksud merupakan unsure- unsure yang dapat di indrai atau fenomena (gejala – gejala) yang menjadi data empiris. Dalam penyususan langkah-langkah penerapan metode ilmiah, belum ditemukan referensi yang menetapkan aturan baku tentang jumlah, macam, dan urutan tentang prosedur metode ilmiah. Namun secara umum perlu dipahami setiap tahapan dalam istilah-istilahnya, penentuan masalah, perumusan hiotesis, pengujian hiotesis, pengumpulan data, dan perumusan kesimpulan.
Kemudian juga penerapan metode ilmiah ini bisa dilakukan pada berbagai bidang ilmu, misalnya: pada ilmu alam, sosial humanistic, penciptaan seni, ilmu budaya dll. Hal ini dapat diterapkan karena metode ilmiah dapat membimbing penelitian menuju arah tertentu sesuai bidang keilmuan.
Daftar Pustaka
Azhim, Ali Abdul, Epistemologi dan Aksiologi Ilmu Perspektif al-Qu’an, Bandung, CV. Rosda, 1989
Bagus, Loren, Kamus Filsafat, Jakarta, Gramedia Pustaka Utama, 2002
Bawengan, G.W, Sebuah Study Tentang Folsafat, Jakarta, Pradnya Paramita, 1983
Dirjosisworo, Soedjono, Pengantar Epistemologi dan logika, Bandung, Remaja Rosda Karya, 1986
Gallagher, Kenneth T. Epistemologi (Filsafat Pengetahuan), (Terj.P.Hartono Hadi), Yogyakarta, Kanisius, 1999
Langelveld, M.J. Menuju Ke Pemikiran Filsafat, (Terjemahan G.J. Klaisen), Jakarta, PT. Pembangunan, 1959
Mustansyir, Rizal, Misnal Munir, (ed), Filsafat Ilmu, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2001
Poedjawijatna, I.R. Pembimbing Ke Arah Filsafat , Jakarta, Pembangunan, 1974
Peursen, C.A. Van, Susunan Ilmu Pengetahuan (Sebuah Pengantar Filsafat Ilmu), Penj.J. Dorst, Jakarta, Gramedia Pustaka Utama, 1993, Cet.ke-3
Salam, Baharudin, Pengantar Filsafat, Jakarta, Bumi Aksara, 2005, cet. Ke-6,
Soeritno, SRDm Rita Hanafi (ed) Filsafat Ilmu dan Metodologi Penelitian , Jogyakarta, Andi, 2007
Solihin, Epistemologi Ilmu (Dalam Sudt Pandang Alghozali), Bandung, Pusataka Setia, 2001
Sudarsono, Ilmu Filsafat (Suatu Pengantar) , Jakarta, Rineka Cipta, 2001, cet.ke-2 hal
Sudarto, Metodologi Penelitian Filsafat, Jakarta, Raja Grafindo Persada, 1996
Tim Dosen Filsafat Ilmu , Filsafat Ilmu (Sebagai Dasar Pengembangan Ilmu Pengetahuan ), Yogyakarta, Libety, 1993, cet.ke-3
[1] M.J. Langelveld, Menuju Ke Pemikiran Filsafat, (Terjemahan G.J. Klaisen), Jakarta, PT. Pembangunan, 1959, Hal. 19
[2] I.R. Poedjawijatna, Pembimbing Ke Arah Filsafat , Jakarta, Pembangunan, 1974, Hal. 1
[3] Baharudin Salam, Pengantar Filsafat, Jakarta, Bumi Aksara, 2005, cet. Ke-6, hal. 67
[4] Soedjono Dirjosisworo, Pengantar Epistemologi dan logika, Bandung, Remaja Rosda Karya, 1986, Hal. 1
[5] G.W. Bawengan, Sebuah Study Tentang Folsafat, Jakarta, Pradnya Paramita, 1983, hal. 44
[6] Sudarsono, Ilmu Filsafat (Suatu Pengantar) , Jakarta, Rineka Cipta, 2001, cet.ke-2 hal. 138
[7] Loren Bagus,Kamus Filsafat, Jakarta, Gramedia Pustaka Utama, 2002, hal. 929
[8] Rizal Mustansyir, Misnal Munir, (ed), Filsafat Ilmu, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2001, hal. 17
[9] Kenneth T. Gallagher, Epistemologi (Filsafat Pengetahuan), (Terj.P.Hartono Hadi), Yogyakarta, Kanisius, 1999, Hal. 26
[10] Ali Abdul Azhim, Epistemologi dan Aksiologi Ilmu Perspektif al-Qu’an, Bandung, CV. Rosda, 1989, hal. 102
[11] Loren Bagus, op.cit, hal. 642
[12] Soeritno, SRDm Rita Hanafi (ed) Filsafat Ilmu dan Metodologi Penelitian , Jogyakarta, Andi, 2007, hal. 157
[13] M. Solihin, Epistemologi Ilmu (Dalam Sudt Pandang Alghozali), Bandung, Pusataka Setia, 2001, hal. 41
[14] Soeritno, op.cit. , hal. 157
[15] Sudarto, Metodologi Penelitian Filsafat, Jakarta, Raja Grafindo Persada, 1996, hal. 58
[16] Soeritno, op.cit Hal. 159
[17] Ibid, hal. 160
[18] Ibid, Hal. 161
[19] Ibid, Hal. 163
[20] Tim Dosen Filsafat Ilmu , Filsafat Ilmu (Sebagai Dasar Pengembangan Ilmu Pengetahuan ), Yogyakarta, Libety, 1993, cet.ke-3 hal.128
[21] Ibid, Hal. 131
[22] C.A. Van Peursen, Susunan Ilmu Pengetahuan (Sebuah Pengantar Filsafat Ilmu), Penj.J. Dorst, Jakarta, Gramedia Pustaka Utama, 1993, Cet.ke-3 Hal. 16
A. Pendahuluan
Filsafat erat kaitanya dengan segala sesuatu yang yang bisa difikirkan oleh manusia dan bahkan dapat dikatakan tidak akan pernah habisnya, karena daripadanya mengandung dua kemungkinan yaitu proses berfikir dan hasil berfikir. Sebagaimana juga diungkapkan oleh M.J. Langeveld, bahwa pada hakikatnya filsafat menggunakan ratio (berfikir)[1], tetapi kemudian tidak semua proses berfikir disebut filsafat. Kemudian juga Filsafat juga mempunyai konotasi dengan segala hal yang bersifat teoritis, rumit, transendental, abstrak dan lain sebagainya.
Sebagaimana diketahui bahwa Filsafat adalah disiplin ilmu yang terkait dengan perihal kebenaran atau kebijaksanaan. Kebijaksanaan merupakan titik ideal dalam kehidupan manusia. Namun kebijaksanaan yang dicapai dengan asal bertindak sebagaimana tindakan manusia sehari- hari. Karena kebijaksanaan tersebut merupakan tindakan terus menerus yang berkaitan dengan apa yang dilakukan. Hal ini sejalan dengan pengertian filsafat secara etimologi dan pengertian filsafat secara terminology. Filsafat berasal dari bahasa Yunani yaitu fhilosofhia, ini merupakan kata majemuk dari philo yang artinya cinta dalam arti yang seluas-luasnya dan sofia artinya kebijaksanaan. Bijaksana inipun kata asing adapaun artinya ialah pandai, tahu dengan mendalam atau cinta kepada kebijaksanaan[2]”jadi dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan filsafat adalah cinta akan kebijaksanaan,dan kebijaksanaan itu mengalir terus-menerus dalam kehidupan manusia melalui suatu proses berpikir mendalam.
Pengertian filsafat sering berbeda antara tokoh yang satu dengan yang lain, perbedaan tersebut disebabkan oleh perbedaan konotasi filsafat dan juga bisa disebabkan oleh lingkungan dan pandangan hidup. Dalam kaiatan ini sebagaimana sebelumnya diatas secara terminologi defisi filsafat banyak dikemukakan oleh filosof terkemuka, seperti: Plato yang menyebutkan bahwa ”filsafat tidak lain dari pengetahuan tentang segala yang ada”. Aristoteles murid dari plato menyebutkan bahwa ”filsafat itu menyelidiki sebab dan asas segala benda[3]”.dalam pengertian lain disebutkan
Pengertian atau definisi yang dikemukakan diatas dapat dipahami bahwa untuk mengetahui tentang segala sesuatu dibutuhkan suatu penyelidikan dan penyelidikan inilah yang menjadi proses yang melibatkan akal pikiran untuk memperoleh kebenaran.dalam kajian Filsafat Ilmu kegiatan untuk mengungkap kebenaran tersebut membutuhkan bahasa sebagai sarana untuk mempermudah memahaminya. Istilah- istilah tersebut dalam filsafat Ilmu dikenal dengan istilah Ontology, Epitemologi, dan Aksiologi. Berkenaan dengan hal tersebut Makalah ini mencoba membahas tentang Epistemologi ilmu dengan fokus bahasan metode ilmiah,
B. Epistemologi
Epistemology adalah cabang study tentang filsafat yang membahas ruang lingkup dan batas-batas pengetahuan. Epistemologi berasal dari berasal dari kata Yunani yng berarti studi atau penelitian tentang pengetahuan[4]. Sedangkan Epistemologi dlam bahasa inggris disebut The Teory Of Konowledge, tetapi dalam bahasa Indonesia istilah “Teori dari Pengetahun” tampak merupakan hal yang agak janggal, maka menggunakan epistemology saja[5]. Dari defenisi epistemology tersebut dapat difahami bahwa dalam pembahasanya epistemology mengkaji tentang asal mula pengetahuan, perbedaan- perbadaan antara teori – teori pengetahuan, dan peran pengalaman dan akal dalam pengetahuan. Lebih jauh membahas bagaimana proses pengetahuan tersebut, dalam epistemology dikenal dua istilah yang menjadi latar belakang terjadinya pengetahuan yaitu empiristime dan rasionalisme.
Thomas Hobbes salah satu filosof empirisme mengemukakan bahwa “ pengenalan atau pengetahuan diperoleh karena pengalaman. Pengalaman adalah awal pengetahuan.”[6] Proses terbentuknya pengetahuan yang dikemukakan oleh Hobbes merupakan pijakan bagi para kaum empirisme dalam memperoleh pengetahuan. Peran dan fungsi akal disana ditempatkan sebagai abtraksi yang dibentuk melalui pengalaman yang telah terjadi. Pengalaman empiris ini juga tidak lepas dari peran indrawi, sebab akal sendiri tidak bisa memberikan pengetahuan tentang realitas tanpa adanya acuan pengalaman indrawi yang menggunakan panca indra. Inilah yang membedakan proses pengatahuan yang dikemukakan oleh kaum rasionalisme.
Descartes, salah satu filosof rasionalisme yang terkenal mengemukakan bahwa secara umum prinsip rasionalisme merupakan “ pendekatan filosofis yang menekankan akal budi (rasio) sebagai sumber utama pengetahuan, dan bebas dari pengamatan indrawi.”[7] Dari penjelasan diatas, terlihat perbedaan prinsip antara empirisme dan rasionalisme. Rasionalisme melihat bahwa realitas dapat diketahui secara tidak tergantung pada pengamatan, pengalaman secara empiris. Hal ini karena akal budi adalah sumber utama pengetahuan yang dapat difahami secara rasional yang hanya secara langsung berhubungan dengan panca indra.
Tetapi kemudian antara empirisme dan rasionalisme tetaplah menjadikan panca indra, pengalaman, dan akal budi sebagai unsur penting sebagai pembentuk pengetahuan tersebut. Jika kemudian terdapat perbedaan antara keduanya hanyalah terletak pada unsure yang paling diutamakan apakah itu pengalaman ataukah akal budi, juga apa unsur yang menjadi penjelas dari prinsip dasar rasionalisme dan empirisme tersebut, yang demikian itu semua ada dalam pikiran manusia.
Uraian diatas yang sederhana mengenai pengetahuan yang secara epitemologi ilmu kebenaran ilmiah yang dihasilkan harus melalui suatu tahapan ilmiah. Karena pada dasarnya “ objek material dan objek formal epistemologi adalah tentang pengetahuan dan hakekat pengetahuan.”[8] Sebagai sarana untuk menjelaskan proses ilmu pengetahuan tersebut maka digunakan metode ilmiah untuk menggambarkan jalan atau cara pengetahuan ilmiah itu dibangun, sehingga “ ternetuk kesesuaian antara pikiran dan kenyataan,[9]” dan nilai kebenaran tersebut diputuskan melaui pembuktian.
C. Sumber dan Dasar-Dasar Epistemologi
Sumber epistemology[10] diantaranya :
1. Sumber epistemologi eksternal
Epistemology eksternal adalah gambaran alam yang menembus akal melalui panca indrea dan variasinya menurut kemampuan sensasi dan kejadian ilmiah
2. Sumber potensi bawaan
3. Sumber tendensi kebaikan
4. Sumber tendensi kejahatan
5. Sumber proses ujian
Dasar epistemology sebagaimana di kemukakan oleh beberapa filsof seperti pendapat Plato dan sebagaian filsof Islam dengan teori “dunia idea” secara singkat berpendapat bahwa ilmu pengetahuan secara fitri ada pada jiwa manusia, merka percaya akan adanya jiwa sebelum bercampur dengan fisik di alamyang lebih tinggi, bersama wujud-wujud lainya yang diciptakan Allah dalam ide sebelum muncul di alam nyata.
Tidak demikian dengan pendapat aliran Descrates bahwa adanya ilmu pengetahuan fitriah berdsarkan realitas esensial yang tidak diragukan lagi. Pengetahuan fitri hakiki ini tiada lain dari pengetahuan menusia terhadap esensinya sendiri.
Kebanyakan filsof modern mengingkari adanya pengetahuan fitri yang ada pada jiwa manusia. Para filsof modern berpendapat bahwa pengetahuan yang sampai melaui sensasi, kemudian sensasi itu bergabung menjadi fikiran. Pemikiran mempolakan bentuk-bentuk baru didalam akal, dan menurut mereka anak yang baru lahir akalnya bagaikan tabula rasa.
D. Metode Ilmiah
1. Pengertian Metode Ilmiah
Pengertian dan definisi metode dalam bahasa Yunani berasal dari kata “ methodos, meta, yang berarti sesuadah atau diatas, dan hodos berarti suatu jalan atau suatu cara.” Terkait dengan defenisi diatas, metode ilmiah dapat diartikan sebagai “ system konseptual yang bersifat empiris, eksperimental, logika matematis. System ini mengatur dan mengaitkan fakta- fakta dalam suatu struktur teori- teori dan inferensi ( penyimpulan)[11].
Kemudian ada defenisi lain yang menyebutkan bahwa “ metode ilmiah merupkan suatu prosedur yang mencangkup berbagai tindakan pikiran, pola kerja, cara teknis, dan tata langkah untuk memperoleh pengetahuan baru atau mengembangkan pengetahuan yang telah ada.”[12]
Jadi metode ilmiah secara harfiah menggambarkan jalan atau suatu cara mendekati suatu bidang pengetahuan secara metodis, sistematis, mempelajarinya sesuai dengan rencana atau pola kerja yang ada untuk memperoleh kebenaran pengetahuan. Objek yang dikajipun merupakan objek empiris. M.Solihin menyatakan bahwa kajian empiris ini dilakukan dengan proses pengolahan data-data melaui pengindraan manusia, tentunya dengan memasukan metode untuk memperoleh pengetahuan tersebut[13].
Dengan demikian kedudukan metode ilmiah dapat dikatakan sebagai bagian dari langkah- langkah sistematika kailmuan ( metode ilmiah ) secara tuntas harus dilanjutkan dengan langkah- langkah sistematis pelaksanaan penelitian ( teknik penelitian ).
2. Metode Ilmiah dan Ilmu pengetahuan
Metode ilmiah merupakan prosedur atau langkah-langkah sitematis dalam mendapatkan ilmu pengetahuan ilmiah. Secara garis besar langkah-langkah sistematis tersebut antara lain sebagai berikut : (a). mencari, merumuskan dan mengidentifikasi masalah, (b). menyusun kerangka berfikir, (c) merumuskan hipotesis (d). menguji hipotesis secara empirik, (d). melakukan pembahasan, (e) menarik kesimpulan[14].
Langkah diatas, secara umum dimulai dengan mencari, merumuskan dan mengidentifikasi masalah yatiu menetapkan maslah penelitian, apa yang dijadikan masalah dalam penelitian dan apa objeknya. Hal penting dalam poin ini adalah kesadaran akan adanya persoalan. Persoalan atau masalah sebagai tanda dimulainya penelitian harus dilukiskan dengan jelas dan benar, hal ini sangat penting karena tanpa definisi yang jelas tentang persoalan itu tidak dapat diketahui fakta mana yang layak dikumpulkan. Sedangkan mengidentifikasi masalah yang spesifik dilakukan dengan mengajukan pertanyaan penelitian atau menyatakan masalah yang spesifik dengan mengajukan pertanyaan penelitian. Namun yang dimaksud dengan pertnyaan tersebut adalah pertanyaan yang belum dapat memberikan penjelasan yang memuaskan berasarkan teori yang ada. Dengan demikian secara tidak langsung dari pertanyaan-pertanyaan ini berarti telah merumuskan masalah penelitian. Jika dikaitkan dengan langkah-langkah yang telah disebutkan diatas maka ini masuk pada langkah proses pencarian atau penentuan masalah sampai ke tahap perumusan dugaan sementara.
Kemudian langkah selanjutnya menyusun kerangka berfikir dengan tujuan membuka jalan pikiran menurut kerangka yang logis. Dengan kata lain meletakan perkara masalah yang diteliti dalam kerangka teoritis yang relefan dan mampu menerapkan dan menunjukan suatu sudut pandang terhadap masalah itu. Hal ini dilakukan dengan tujuan untuk menjawab dan menerangkan pertanyaan penelitian yang didentifikasi.
Salah satu langkah yang dilakukan untuk memperoleh jawaban tersebut adalah dengan penalaran deduktif, penalaran deduktif dilakukan dengan cara pengamatan ilmiah yang bertitik tolak dari masalah yang bersift umum kemudian mearik kesimpulan yang bersifat khusus.[15] Hal-hal yang umum tersebut adalah teori-teori yang terkait dengan msalah penelitian, dan hal yang bersifat khusus adalah yang menjadi masalah yang diidentifikasi. Langkah ini sampai pada tahap penyusunan kerangka berfikir untuk memperoleh rumusan hipotesis. Dalam simpulan sementara inilah yang akan menjadi rumusan hipotesis dalam proses penelitian. Penjelasan diatas sekilas dapat dipahami bagaimana merumuskan hipotesis, sesuai proposi deduksi. Tentunya proposi-proposi tersebut sesuai dengan hubungannya serta nilai-nilai informasi
Proposi, teori dan hipotesis ini dapat dijelaskan melaui tiga komponen, Yaitu : antiseden, konsekuen dan depedensi[16]. Sedangkan dua komponen sebelumnya merupakan bagian integral dari proposi, sedang komponen depedensi merupakan sifat hubungan dari antiseden dan konsekuen. Sehingga depedensi dapat mengandung arti bahwa hubungan antara antiseden dan konsekuen merupakan hubungan sebab akibat yang benar. Selanjutnya hipotesis adalah kesimpulan yang diperoleh dari penyusunan kerangka pikiran. Merumuskan berarti membentuk proposi yang sesuai dngan kemungkinan-kemungkinan serta tingkat-tingkat kebenaranya.
Hipotesis mengandung beberapa syarat logika, antara lain : (a). dapat menjelaskan kenyataan yang menjadi masalah dan dasar hipotesis, (b). mengandung sesuatu yang mungkin, (c). dapat mencari hubungan kausal dengan argumentasi yang tepat, (d). dapatdi uji kebenaran maupun kesalahanya.[17] Tahapan-tahapan ini dapat dilihat bagaimana langkah-langkah sistematis sehingga hipotesis dapat di uji. Menguji hipotesis adalah dengan membandingkan atau menyesuaikan dengan data empiric. Dengan kata lain, suatu sebab meungkin akan menimbulkan beberapa akibat atau pula suatu akibat yang ditimbulkan oleh beberapa penyebab.
Deskripsi ini sebagaimana juga dikemukakan oleh John Stuart Mills bahwa cara paling sederhana untukmengetahui factor penyebab timbulnya suatu akibat adalah dengan membandingkan suatu peristiwa dengan fenomena.[18] Dalam pengujian ini , peneliti dapat memilih langkah pengujian yang tepat dengan sifat-sifat data atau variable hipoesisnya. Misalnya denganmenggunakan metode syatistika. Membahas dan menarik kesimpulan termasuk dalam interpretasi terhadap hal-hal yang ditemukan dalam penelitian. Pembahasan tidak lain adalah mencocokan deduksi dalam kerangka pikiran dengan induksi dari empiric (hasil pengujian hipotesis) atau pula kepada induksi-induksi yang diperoleh oleh orang lain yang relevan[19]. Hasil pencocokan tersebut bila sesuai (parallel) ataukah bertentangan (kontradiktif), jika bertentangan maka harus dilacak dimana letak perbedaan dan apa kemungkinan penyebabnya.
Oleh sebab itu, penemuan–penemuan dari interpretasi danpembahasan tersebut merupakan jawaban terhadap pertanyaan penelitian sebagai masalah atau bukti dari penerimaan hipotesis yang diajukan. Pertanyaan-pertanyaan tersebut sesuai dengan identifikasi masalah atau sesuai dengan susunan hipotesis. Sehingga hasil pembahasan tidak lain adalah kesimpulan penelitian yaitu penemuan-penemuan dari hasil interpretasi dan pembahasan.
3. Metode Ilmiah dan Pembatasan Ilmu
Uraian-uraian sebelumnya diatas dapat dilihat langkah- langkah bagaimana ilmu pengetahuan diperoleh. Tentunya langkah- langkah ini sesuai dengan cabang ilmu pengetahuan yang teliti. Sebagaimana dijelaskan oleh O. Burniston Brown ( 1961 ) tentang pola umum, adalah sebagai berikut: “ Meskipun ada perbedaan pendapat dalam pokok soal. Semua ilmu menunjukkan prosedur umum yang sama disebut metode ilmiah,atau ilmu saja.oleh karena itu ilmu adalah suatu metode khusus yang telah diperkembangkan secara berangsur-angsur sepanjang berabad-abad untuk meningkatkan pengetahuan tentang dunia. Pada dasarnya pola umum dalam metode ilmiah ini dapat dipakai dalam melihat sejarah perkembangan ilmu itu sendiri yang telah berlangsung dari abad kea bad. Sekaligus dengan melihat perkembangan ilmu pengetahuan tersebut, dapat dipaham bahwa tersebarnya ilmu pengetahuan menjadi banyak cabang ilmu-ilmu khusus antara lain juga berkaitan dengan metode ilmiah yang diterapkan. Ilmu-ilmu terutama berbeda satu dengan yang lain, karena digunakannya metode-metode yang sangat berlainan untuk menyelidiki,melukiskan, dan mengerti realitas.”[20]
Munculnya Spesialisasi dalam bentuk ilmu- ilmu khusus merupakan konsekuensi logis dari pengembangan macam- macam metode, objek, dan tujuan yang dicapai. Misalnya ilmu- ilmu kealaman, bahwasanya ilmu ini melukiskan kenyataan menurut aspek empiris secara langsung. Data- data empiris yang merupakan objeknya, ilmu kealaman ini memperoleh objektivitas yang khas, yaitu bersifat empiris dan eksperimental. Sebagaimana dikutip, cirri ilmu- ilmu kealaman dan ilmu sosial humanistik adalah:
“ Ilmu kealaman melukiskan kenyataan menurut aspek yang memungkinkan registrasi indrawi secara langsung. Registrasi indrawi ini yang dilakukan secara eksperimen. Ilmu kealaman mampu menjangkau objek potensi- potensi alam sehingga yang sulit diamati ( missal: electron dan inti protein ). Berbeda dengan ilmu sosial humanistic yang pengamatanya bercirikan normative dan teologis. Metode yang digunakan ilmu- ilmu sosial humanistic ini adalah dengan mengamati gejala- gejala, nalar, sebagai suatu fakta empiris.”[21]
Dengan demikian dapat dilihat perbedaan antara ilmu- ilmu mempengaruhi metode ilmiah yang dilakukan untuk mendapatkan kebenaran ilmiah. Ilmu kealaman yang bersifat empiris dan eksperimental, dalam melakukan penelitian ilmiahdilakukan dengan kegiatan yang dilaksanakan berulang- ulang. Tahapan dimulai dengan melakukan observasi, yaitu dengan melakukan pengamatan biasa. Observasi terhadap objek empiris tersebut disoroti dalam suatu kerangka ilmiah yaitu dengan pertanyaan- pertanyaan observasi, kemudian dari pertanyaan- pertanyaan ini disimpulkan dalam suatu pernyataan yang lebih umum. Data- data empiric dikumpulkan dengan menggunakan alat Bantu matematik (secara kuantutatif) dengan symbol matematik. Pernyataan- pernyataan tersebut kemudian diuji dengan melakukan verifikasi secara empiric. Ini bertujuan untuk mengukuhkan pernyataan- pernyataan rasional tersebut sebagai teori.
Sedangkan untuk ilmu sosial humanistik, metode yang digunakan untuk memperoleh kebenaran ilmiah berbeda dari ilmu alam, yaitu dengan menangkap data melalui panca indra, sebagaimana telah disebutkan di atas bahwa aspek tingkah laku manusiawi, roh manusia yang tampak dalam bahasa, syair, agama, intitusi, dll merupakan objek ilmu- ilmu sosial humanistik. Dari gejala- gejala tersebut yang dijadikan sebagai fakta empiris. Dalam fakta- fakta empiris tersebut terdapat nilai, arti dan tujuan. Jadi ilmu sosial humanistic dalam penyelidikanya meliputi apa yang diperbuat manusia dan apa yang difikirkan manusia tentang dunia. Dalam tahapan metode ilmu sosial humanistic mengolah data yang di anggap melalui panca indra, kemudian mengolah dan menyusun data- data tersebut dalam suatu system, dengan tujuan memperoleh suatu kesimpulan sekaligus pengalaman.
Tahap- tahap diatas masuk kedalam metode linier , dimana ilmu sosial humanistic umumnya menggunakan metode linier, dengan tiga tahapan yaitu: “ perepsi yaitu dengan penangkapan data melalui indra. Konsepsi yaitu dengan pengolahan data dan penyusunannya dalam suatu system. Prediksi yaitu penyimpulan sekaligus pemahaman.”
Terahir yang penting diketahui dari metode ilmiah, bahwa metode ilmiah memiliki kedudukan penting dalam ilmu, baik itu ilmu kealaman, ilmu sosial ataupun ilmu keterampilan. “ metode ilmiah mengadakan pengumpulan data yang belum ditata biasanya merupakan tumpukan yang kacau balau, metode ilmiah kemudian menjadi pembimbing penelitian untuk arah tertentu “[22].
Kesimpulan
Metode ilmiah merupakn sebuah upaya untuk menggambarkan jalan atau suatu cara mendekati suatu bidang pengetahuan secara metodis, sistematis, mempelajarinya sesuai dengan rencana atau pola kerja (eksperimen) untuk memperoleh kebenaran pengetahuan. Objek yang dikajipun merupakan objek empiris. Empiris yang dimaksud merupakan unsure- unsure yang dapat di indrai atau fenomena (gejala – gejala) yang menjadi data empiris. Dalam penyususan langkah-langkah penerapan metode ilmiah, belum ditemukan referensi yang menetapkan aturan baku tentang jumlah, macam, dan urutan tentang prosedur metode ilmiah. Namun secara umum perlu dipahami setiap tahapan dalam istilah-istilahnya, penentuan masalah, perumusan hiotesis, pengujian hiotesis, pengumpulan data, dan perumusan kesimpulan.
Kemudian juga penerapan metode ilmiah ini bisa dilakukan pada berbagai bidang ilmu, misalnya: pada ilmu alam, sosial humanistic, penciptaan seni, ilmu budaya dll. Hal ini dapat diterapkan karena metode ilmiah dapat membimbing penelitian menuju arah tertentu sesuai bidang keilmuan.
Daftar Pustaka
Azhim, Ali Abdul, Epistemologi dan Aksiologi Ilmu Perspektif al-Qu’an, Bandung, CV. Rosda, 1989
Bagus, Loren, Kamus Filsafat, Jakarta, Gramedia Pustaka Utama, 2002
Bawengan, G.W, Sebuah Study Tentang Folsafat, Jakarta, Pradnya Paramita, 1983
Dirjosisworo, Soedjono, Pengantar Epistemologi dan logika, Bandung, Remaja Rosda Karya, 1986
Gallagher, Kenneth T. Epistemologi (Filsafat Pengetahuan), (Terj.P.Hartono Hadi), Yogyakarta, Kanisius, 1999
Langelveld, M.J. Menuju Ke Pemikiran Filsafat, (Terjemahan G.J. Klaisen), Jakarta, PT. Pembangunan, 1959
Mustansyir, Rizal, Misnal Munir, (ed), Filsafat Ilmu, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2001
Poedjawijatna, I.R. Pembimbing Ke Arah Filsafat , Jakarta, Pembangunan, 1974
Peursen, C.A. Van, Susunan Ilmu Pengetahuan (Sebuah Pengantar Filsafat Ilmu), Penj.J. Dorst, Jakarta, Gramedia Pustaka Utama, 1993, Cet.ke-3
Salam, Baharudin, Pengantar Filsafat, Jakarta, Bumi Aksara, 2005, cet. Ke-6,
Soeritno, SRDm Rita Hanafi (ed) Filsafat Ilmu dan Metodologi Penelitian , Jogyakarta, Andi, 2007
Solihin, Epistemologi Ilmu (Dalam Sudt Pandang Alghozali), Bandung, Pusataka Setia, 2001
Sudarsono, Ilmu Filsafat (Suatu Pengantar) , Jakarta, Rineka Cipta, 2001, cet.ke-2 hal
Sudarto, Metodologi Penelitian Filsafat, Jakarta, Raja Grafindo Persada, 1996
Tim Dosen Filsafat Ilmu , Filsafat Ilmu (Sebagai Dasar Pengembangan Ilmu Pengetahuan ), Yogyakarta, Libety, 1993, cet.ke-3
[1] M.J. Langelveld, Menuju Ke Pemikiran Filsafat, (Terjemahan G.J. Klaisen), Jakarta, PT. Pembangunan, 1959, Hal. 19
[2] I.R. Poedjawijatna, Pembimbing Ke Arah Filsafat , Jakarta, Pembangunan, 1974, Hal. 1
[3] Baharudin Salam, Pengantar Filsafat, Jakarta, Bumi Aksara, 2005, cet. Ke-6, hal. 67
[4] Soedjono Dirjosisworo, Pengantar Epistemologi dan logika, Bandung, Remaja Rosda Karya, 1986, Hal. 1
[5] G.W. Bawengan, Sebuah Study Tentang Folsafat, Jakarta, Pradnya Paramita, 1983, hal. 44
[6] Sudarsono, Ilmu Filsafat (Suatu Pengantar) , Jakarta, Rineka Cipta, 2001, cet.ke-2 hal. 138
[7] Loren Bagus,Kamus Filsafat, Jakarta, Gramedia Pustaka Utama, 2002, hal. 929
[8] Rizal Mustansyir, Misnal Munir, (ed), Filsafat Ilmu, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2001, hal. 17
[9] Kenneth T. Gallagher, Epistemologi (Filsafat Pengetahuan), (Terj.P.Hartono Hadi), Yogyakarta, Kanisius, 1999, Hal. 26
[10] Ali Abdul Azhim, Epistemologi dan Aksiologi Ilmu Perspektif al-Qu’an, Bandung, CV. Rosda, 1989, hal. 102
[11] Loren Bagus, op.cit, hal. 642
[12] Soeritno, SRDm Rita Hanafi (ed) Filsafat Ilmu dan Metodologi Penelitian , Jogyakarta, Andi, 2007, hal. 157
[13] M. Solihin, Epistemologi Ilmu (Dalam Sudt Pandang Alghozali), Bandung, Pusataka Setia, 2001, hal. 41
[14] Soeritno, op.cit. , hal. 157
[15] Sudarto, Metodologi Penelitian Filsafat, Jakarta, Raja Grafindo Persada, 1996, hal. 58
[16] Soeritno, op.cit Hal. 159
[17] Ibid, hal. 160
[18] Ibid, Hal. 161
[19] Ibid, Hal. 163
[20] Tim Dosen Filsafat Ilmu , Filsafat Ilmu (Sebagai Dasar Pengembangan Ilmu Pengetahuan ), Yogyakarta, Libety, 1993, cet.ke-3 hal.128
[21] Ibid, Hal. 131
[22] C.A. Van Peursen, Susunan Ilmu Pengetahuan (Sebuah Pengantar Filsafat Ilmu), Penj.J. Dorst, Jakarta, Gramedia Pustaka Utama, 1993, Cet.ke-3 Hal. 16