KARAKTERISTIK DAN CIRI KHUSUS LEMBAGA PENDIDIKAN ISLAM DI INDONESIA
Muhtarom, S.Pd.I
A. PENDAHULUAN
Sebagaimana kita tahu bahwa sejarah perkembangan dan pertumbuhan pendidikan Islam di Indonesia antara lain ditandai oleh adanya lembaga-lembaga pendidikan Islam yang amat bervariasi, namun antara satu dan yang lainya memiliki hubungan subtansial dan fungsional. Dinamika pertumbuhan dan perkembaanga lembaga-lembaga pendidikan Islam tersebut selain dipengaruhi oleh factor internal dari para pendirinya, juga tidak lepas dari pengaruh eksternal yang bersifat global. Kedua pengaruh ini satu dan yang lainya secara akumulatif berpadu menjadi satu dan menghasilkan bentuk dan corak dari lembaga pendidikan yang bersangkutan.
Menurut Azyumardi Azra ada beberapa lembaga pendidikan Islam yang bersifat tradisional diantaranya surau, langgar, meunasah, madrasah dan pesantren ada juga perguruan tinggi dan madrasah yang sifatnya unggulan[1], dengan demikian apa saja yang menjadi karakteristik dan cirri khusus lembaga pendidikan Islam tersebut ? dalam makalah ini penulis mencoba akan menguraikanya sesuai dengan porsi masing-masing. Namun penulis secara komprehensif akan banyak memfokuskan bahasan pada lembaga pendidikan Islam pesantren, mengingat lembaga ini sampai saat ini tetap eksis dengan berbagai corak ragam dan perkembanganya.
B. LEMBAGA PENDIDIKAN ISLAM
Wacana kelembagaan pendidikan Islam khususnya pada masa-masa awal merupakan persoalan yang sangat menarik untuk dikaji, hal ini setidaknya disebabkan oleh empat factor. Pertama, lembaga pendidikan merupakan sarana yang strategis bagi proses terjadinya transformasi nilai dan budaya pada suatu komunitas social. Kedua, pelacakan eksistensi lembaga pendidikan Islam tidak bisa dilepaskan dari proses masuknya Islam Ketiga, kemunculan lembaga pendidikan Islam dalam sebuah komunitas, tidak mengalami ruang hampa, tetapi senantiasa dinamis, baik dari fungsi maupun system pembelajaranya. Keempat kehadiran lembaga pendidikan Islam telah memberikan spectrum tersendiri dalam membuka wawasan dan dinamika intelektual Islam[2].
Perkembangan pendidikan Islam di Indonesia antara lain juga ditandai oleh munculnya berbagai lembaga pendidikan secara bertahap, mulai dari yang amat sederhana sampai dengan yang sudah terhitung modern dan lengkap. Lembaga-lembaga pendidikan Islam tersebut telah memainkan fungsi dan peranya sesuai dengan tuntutan masyarakat pada zamanya. Perkembangan lembaga-lembaga pendidikan tersebut selanjutnya menarik perhatian para ahli baik dari dalam maupun luar negeri untuk melakukan study ilmiah secra komprehensif. Kini sudah banyak hasil karya peneliti para ahli yang menginformasikan tentang pertumbuhan dan perkembangan lembaga-lembaga pendidikan Islam tersebut. Tujuanya selain untuk memperkaya khazanah ilmu pengetahuan yang bernuansa keislaman, juga sebagai bahan rujukan dan perbandingan bagi para pengelola pendidikan Islam pada masa-masa berikutnya, hal ini sejalan dengan prinsip yang umumnya dianut masyarakat Islam Indonesia, yaitu mempertahankan tradisi masa lampau yang masih baik dan mengambil tradisi baru yang lebih baik lagi.
Pendidikan Islam secara kelembagaan tampak dalam berbagai bentuk yang bervariasi. Disamping lembaga yang bersifat umum seperti masjid, terdapat lembaga-lembaga lain yang mencerminkan kekhasan orientasinya. Pada abad ke-4 dikenal beberapa system pendidikan (madaris at-tarbiyah) Islam[3]. Dalam lintas sejarah kita mengenal beberapa lembaga pendidikan Islam di Indonesia antaranya meunasah, dayah, rangkang, surau, pesantren dan madrasah. Lembaga-lembaga pendidika ini disamping sebagai pusat pengembangan ilmu pengetahuan Islam juga merupakan potensi dasar ummat Islam Indonesia mengingat ini adalah khazanah bangsa dan akan menjadi salah satu katalisator menuju kebangkitan peradaban Islam.
C. KARAKTERISTIK DAN CIRI KHUSUS PENDIDIKAN ISLAM
1. Ciri Menonjol Dari Seluruh LPI
Seluruh tujuan lembaga pendidikan Islam yang paling menonjol adalah pewarisan nilai-nilai ajaran agama Islam. Hal ini sangat beralasan mengingat aspek-aspek kurikulum yang ada menyajikan seluruhnya memasukan mata pelajaran agama Islam secara komprehensif dan terpadu (walaupun di sekolah-sekolah umum dipelajari juga mata pelajaran agama Islam tetapi tidak komprehensif dan mendalam) sementara di lembaga-lembaga pendidikan Islam kurikulum pendidikan agama Islam menjadi kosentrasi dan titik tekan. .
2. Pesantren ( Salaf dan Modern )
è Pesantren Tradisional ( Salaf )
Untuk mengetahui karakteristik pendidikan pesantren salaf atau tradisional, maka dapat di lacak dari berbagai segi diantaranya adalah sebagaiberikut :
a. Materi pelajaran dan metode pengajaran
Sebagai lembaga pendidikan Islam, pesantren pada pada dasarnya hanya mengajarkan agama, sedangkan sumber kajian atau mata pelajaranya ialah kitab-kitab dalam bahasa Arab. Pelajaran agama yang dikaji di pesantren ialah Al-Qur’an dengan tajwidnya dan tafsinya, aqa’id dan ilmu kalam, fiqh dan ushul fiqh, hadis dengan mushthalah hadis, bahasa Arab dengan ilmu alatnya seperti nahwu, sharaf, bayan, ma’ani, badi’ dan ’arudh, tarikh, mantiq, dan tasawuf. kitab yang dikaji di pesantern umumnya kitap-kitap yang ditulis dalam abad pertengahan, yaitu antara abad ke-12 sampai abad ke-15 atau azim disebut dengan “kitap kuning”[4].
Adapun metode yang lazim dipergukan dalam pendidikan pesantern ialah wetonan, sorogan, dan hafalan. Metode wetonan adalah metode kuliah di mana para santri mengikuti pelajaran dengan duduk di sekeliling kiai yang menerang pelajaran. Santri menyimak kitap masing-masing dan mencatat jika perlu. Iistilah weton berasal dari kata waktu (jawa) yang berarti waktu karena pengajian tersebut diberikan pada waktu-waktu tertentu, yaitu sebelum dan sesudah melakukan shalat fardu (lima waktu). Di Jawa Barat, metode ini dusebut dengan bandongan; sedangkan disumatra disebut dengan halaqah, yaitu belajar secara kelompok (group) yang di ikuti oleh santri. Biiasanya kiai mengunakan bahasa daerah setempat dan langsung menerjemahkan kalimat demi kalimat dari kitab yang di pelajarinya.
Metode serogan ialah suatau metode dimana santri menghadap guru atau kiai seoarang demi seorang dengan membawa kitap yang dipelajari. Kiai membacakan dan menerjemahkan kalimat demi kalimat; kemudian menerangkan maksudnya santri mmenyimak bacaan kiai dan mengulanginya sampai memahaminya, kemudian kiai mengesahkan (jawa:ngesahi), jika santri sudah benar-benar mengerti, dengan memberiikan catatan pada kitabnya untuk mensahkan bahwa ilmu itu telah diberikan kiai kepadanya. Istilah sorogan berasal dari kata sorog ( jawa ) yang berarti menyodorkan kitab kedepan kiai atau asistenya. Pengajian dengan metode ini merupakan pelimpahan nilai- nilai sebagai proses delivery of culture di pesantren dengan istilah tutorship atau mentorship. Menurut Dhofier[5], metode sorogan ini merupakn bagian yang paling sulit dari keseluruhan metode pendidikan Islam tradisional; sebab system ini menuntut kesabaran, kerajianan, ketaatan, dan disiplin pribadi santri. Kendatipun demikian,” metode seperti ini diakui paling intensif, karena dilakukan seorang demi seorang dan ada kesempatan untuk tanya jawab langsung”.[6]
Metode hafalan ialah suatu metode dimana santri menghafal teks atau kalimat tertentu dari kitab yang di pelajarinya. Biasanya cara menghafal ini dijarkan dalam bentuk syair atau nazham. Dengan cara ini memudahkan santri untuk menghafal, baik ketika sedang belajar muapun disaat berada di luar jam belajar. Kebiasaan menghafal, merupakan tradisi yang sudah berlangsung sejak awal berdirinya. Hafalan tidak saja terbatas pada ayat- ayat Al- Qur’an dan hadits ataupun nazham tetapi juga isi atau teks kitab tertentu. Karena itu pula, oleh sebagian kiai diajarkan kitab kepada santrinya tidak sekaligus tetapi secara berangsur – angsur ( gradual ), kalimat demi kalimat sehingga santrinya mengerti benar apa yang diajarkannya. Dalam kaitan ini, oleh Deliar Noer disebutkan bahwa pengajian seperti itu merupakan pola lama dimana kiai tidak ingin santrinya lebih pandai padanya.
Dari pernyataan diatas tampak bahwa metode hafalan mengandung sisi kelemahan, antara lain santri cenderung mengikuti apa saja yang dikatakan oleh kiainya, tanpa ada penalaran dan analisis yang cermat. Tradisi ini tentu saja dapat di berlakukan untuk seluruh pesantren dan kiai. Kasus diatas merupakan pengecualian. Namuan, pesantren tradisional sampai sekarang masih menggunakan ketiga metode tersebut dalam system pengajaranya. Dengan begitu pesantren masih mempertahankan keunikanya.
b. Jenjang pendidikan
Jenjang pendidikan pesantren tidak dibatasi seperti dalam lembaga- lembaga pendidikan yang memakai system klasikal. Umumnya, kenaikan tingkat seorang santri ditandai dengan tamat dan bergantinya kitab yang dipelajarinya. Apabila seorang santri telah menguasai satu kitab atau beberapa kitab dan telah lulus imtihan ( ujian ) yang diuji oleh kiainya, maka ia berpindah ke kitab lain. Jadi, jenjang pendidikan tidak ditandai dengan naiknya kelas seperti dalam pendidikan formal, tetapi pada penguasaan kitab- kitab yang telah di tetapkan dari yang paling rendah sampai yang paling tinggi[7].
Diantara para santri ada yang mendalami secara khusus salah satu fan (cabang ilmu), misalnya ilmu hadis atau tafsir. Dijawa, misalnya, seorang santri untuk memperoleh spesialisasi, selain mendatangi seorang kiai besar juga harus memilih pesantren memiliki keunikan; dan dengan begitu menjadi karakteristiknya. Misalnya, untuk mendapat ijazah fath al- wahab dan mahalli, seorang santri harus pergi kepesantren kiai Ma’sum Lasem; untuk Tafsir Baidhawi mengaji pada kiai Baidhawi juga di Lasem; untuk hadits Bukhori dan muslim harus mengaji pada kiai HasyimAsy’ari; untuk mendapat ijazah al- Asybah wa al- Nadzair dan jauhar Maknun harus mengaji ke pesantren Termas Pacitan[8].
Sebagai gambaran lebih lanjut, berikut ini disebutkan beberapa pesantren terkemuka di jawa yang sudah terkenal dengan spesialisasinya atau Fan- Fan tertentu yang menjadi focus kajianya dan kiai yang mengajarkanya, sebagai berikut.
a) Pesantren Tebuireng ( Kiai Hasyim Asy’ari ), Tambak Beras ( Kiai Wahab Hasbullah ), Den anyar ( Kiai Bisri Syamsuri ), Termas ( Kiai Dimyathi dan Hamid Dimyathi ), Bangil, terkenal dengan fiqh dan ilmu hadits
b) Pesantren Lasem ( Kiai ma’sum ) Nglirap ( Banyumas ) dan pesantren di Kediri, Jawa Timur: Lirboyo Kiai Mahrus ), Bendo, Jampes, terkenal dengan ilmu alat, nahwu, sharaf, bayan, badi’, dan lain- lain.
c) Pesantren Krapyak ( Kiai Munawwir dan Ali Ma’sum ), Cinta pada Tasikmalaya ( Kiai Dimyathi ), Wonokromo ( Kiai Abdul Aziz dan Hasbullah ), terkenal dengan qiro’at al- qur’an.
d) Pesantren Rejoso ( Kiai Musa’in Romli ), Tegal Rejo ( Kiai khudhri), al- Falak Pegentongan ( Kiai Falak ), Watu Congol ( Kiai Dahlan ), terkenal dengan bidang tasawuf.
e) Pesantren Kiai Haji Bidhawi Lasem, Jamsaren ( Kiai Abu Amar ), terkenal dengan spesialisasi tafsir al- qur’an[9].
f) Pesantren Inabah ( Kiai Abah Anom ), terkenal dengan pengobatan korban narkotika; pesantren modern Gontor ( Kiai Ahmad Sahal, Zainuddin fananie, dan Imam Zarkasyi ), terkenal dengan bahasa Arabdan Inggris; pesantren pabelan di Magelang yang menekankan pada keterampilan santri; pesantren Darul Falah Bogor yang berkecimpung di bidang pertanian[10].
Adanya bidang – bidang khusus yang merupakan fokus masing- masing pesantren dapat menarik minat para santri untuk memilih bidang- bidang yang diminati. Hal ini menunjukan keanekaragaman bidang kajian di pesantren – pesantren di mana antara satu dengan yang lainnya tidak ada kesamaan. Secara umum dapat dipahami bahwa setiap pesantren memberikan porsi yang lebih besar pada bidang- bidang tertentu sebagai kekhasan pendidikan yang dimilikinya; dan sekaligus ia dikenal karena kekhususanya itu.
c. Fungsi pesantren
Pesantren tidak hanya berfungsi sebagai lembaga pendidikan, tetapi juga berfungsi sebagai lembaga social dan penyiaran agama[11]. Sementara Azyumardi Azra menyatakan bahwa ada tiga fungsi pesantren tradisional. Pertama, transmisi dan transfer ilmu- ilmu Islam. Kedua, pemeliharaan tradisi Islam, dan ketiga, reproduksi ulama[12].
Sebagai lembaga pendidikan, pesantren menyelenggarakan pendidikan formal ( Madrasah , sekolah umum, dan perguruan tinggi ), dan pendidikan non formal yang secara khusus mengajarkan agama yang sangat kuat di pengaruhi oleh pikiran- pikiran ulama fiqh, hadits, tafsir, tauhid, dan tasawuf. Sebagai lembaga social, pesantren menampung anak- anak dari segala lapisan masyarakat muslim, tanpa membedakan tingkat social ekonomi mereka. Sementara itu, setiap hari menerima tamu yang dating dari masyarakat umum, baik dari masyarakat sekitar maupun masyarakat jauh. Mereka yang dating bertamu mempunyai motif yang berbeda- beda; ada yang ingin bersilaturahmi, ada yang berkonsultasi, meminta nasihat, memohon do’a, berobat, dan ada pula yang meminta jimat untuk penangkal gangguan dalam kehidupan sehari- hari. Sebagian lembaga penyiaran agama Islam, masjid pesantren juga berfungsi sebagai masjid umum, yakni sebagai tempat belajar agama dan ibadah bagi para jama’ah. Masjid pesantren sering dipakai untuk majlis ta’lim ( pengajian ), diskusi- diskusi keagamaan, dan sebagainya. Selain itu, kiai dan santri- santri senior, di samping mengajar juga berda’wah baik di dalam kota maupun di luarnya; bahkan sampai ke derah- daerah pedalaman[13].
Sehubungan dengan tiga fungsi tersebut, pesantren memiliki tingkat integritas yang tinggi dengan masyarakat sekitarnya, dan menjadi rujukan moral bagi kehidupan masyarakat umum. Masyarakat umum memandang pesantren sebagai komunitas khusus yang ideal terutama dalam kehidupan moral keagamaan. Karakteristik pesamtren dilihat dari segi fungsinya, dan sangat berperan di tengah- tengah masyarakat, menjadikanya semakin eksis dan dapat diterima ( acceptable )oleh semua kalangan.
D. Prinsip-prinsip pendidikan pesantren
Sesuai dengan fungsinya yang komprehensif dan pendekatanya yang holistic, pesantren memiliki prinsip- prinsip utama dalam menjalankan pendidikanya. Setidak- tidaknya ada dua belas prinsip yang di pegang teguh pesantren: (1) theocenric, (2)sukasela dalam pengabdian;(3) kearifan; (4) kesederhanaan;(5) kolektivitas;(6) mengatur kegiatan bersama; (7) kebebasan terpimpin kemandirian;(9) pesantren adalah tempat mencari ilmu dan mengabdi;(10)mengamalkan ajaran agama;(11) belajar di pesantren bukan untuk mencari ijazah;(12) restu kiai, artinya semua perbuatan yang dilakukan oleh setiap warga pesantren sangat bergantung pada kerelaan dan do’a dari kiai[14].
Prinsip- prinsip pendidikan tersebut, agaknya, merupakan nilai- nilai kebenaran universal; dan pada dasarnya sama dengan nilia- nilai luhur kehidupan masyarkat pada umumnya. Dengan nilai- nilai itu pula di pesantren senantiasa tercipta ketentraman, kenyamanan, dan keharmonisan.
Kehidupan pesantren diwarnai dengan asketisme, yang di kombinasikan dengan kesediaan melakukan segenap perintah kiai guna memperoleh berkah pada jiwa seorang santri, keberkahan ini tentu saja, memberikan bekas pada jiwa seorang santri, dan bekas inilah yang pada giliranya nanti akan membentuk sikap hidupnya. Asketisme yang digunakan pesantren merupakan proyeksi pilihan ideal bagi pola kehidupan umum yang di landa krisis, yang akhirnya menumbuhkan pesantren sebagai unit budaya yang berdiri terpisah dari kehidupan social ( social life ) dan pada waktu yang sama menjadi bagian dari kehidupan masyarakat. Peranan ganda inilah yang sebenarnya dapat dikatakan menjadi cirri utama pesantren sebagai salah satu subkultur. Dalam menjalankan peranan ganda ini, pesantren terlibat dalam proses penciptaan nilai atau tata nilai yang memiliki dua unsure utama: peniruan dan pengekangan.unsur pertama, yaitu peniruan, adalah adalah usaha yang dilakukan terus menerus secara sadar untuk memindahkan pola kehidupan para sahabat Nabi Muhammad s.a.w. dan pada ulama salaf kedalam praktik kehidupan di pesantren. Pola kehidupan ini tercermin dalam ketaatan beribadat secara maksimal, penerimaan material yang relatif serba kurang, dan kesadaran kelompok yang tinggi[15].
Unsur kedua ialah pengekangan ( ostracization ), yaitu penerapan kedisiplin social yang ketat di pesantren. Kesetian tunggal pada pesantren adalah dasar pokok disiplin ini, sedangkan pengucilan yang dijatuhkan atas pembangkanganya merupakan konsekuensi mekanisme pengekangan yang digunakan. Pengusiran seorang santri adalah hukuman yang luar biasa beratnya, karena ia mengandung implikasi penolakan total oleh semua pihak, disamping kehilangan dukungan moral dari kiainya. Kriteria yang biasa di pakai untuk mengukur krsetiaan seorang santri kepada pesantren adalah kesungguhanya dalam melaksanaka pola kehidupan yang tertera dalam leteratur fiqh dan tasawuf . penyimpangan kriteria ini di anggap sebagai “ahli maksiat” bagi santri yang di kucilkan; juga bagi santri yang enggan menaati norma- norma yang telah mengakar dalam pesantren.[16]
Keterangan di atas semakin memperjelas karakteristik pesantren dilihat dari fungsinya. Dalam kehidupan social ia menjadi rujuan moral ( reference of morality)bagi masyarakat sekitarnya. Kiai sebagai figur yang dihormati tidak saja karena kedalaman dan keluasan ilmunya tetapi juga karena kepribadian dan akhlaknya. Di samping itu, prinsip keikhlasan dan kesetiaan santri kepada kiai dan lembaganya serta kehidupan asketis ( sufistik ) di lingkungan pesantren semakin mempertegas identitasnya di tengah kehidupan masyarakat banyak dimana ia merupakan sebuah subkultur. Semua ini mencirikan pesantren sebagai wahana pembinaan moral yang andal, selain penggemblengan intelektual dan kultur islami.
d. Sarana dan tujuan pesantren
Dalam bidang sarana, pesantren tradisional ditandai oleh cirri khas kesederhanaa. Sejak dulu lingkungan atau kompleks pesantren sangat sederhana. Tentu saja kesederhanaan secara fisik kini sudah berubah total. Banyak pesantren tradisional yang memiliki gedung yang megah. Namun, kesederhanaan dapat dilihat dari sikap dan perilaku kiai dan santri serta sikap mereka dalam pergaulan sehari- hari. Sarana belajar, misalnya, masih tetap dipertahankan seperti sediakala dengan duduk di atas lantai dan di tempat terbuka dimana kiai yang tidak begitu mewah, tentu saja ada pengecualian. Kiai sekarang berbeda dengan kia dudlu; kalau dudlu para kiai sering berjalan kaki atau bersepeda; tetapi kiai sekarang sudah terbiasa mengendarai mobil, bahkan mempunyai mobil dan sopir pribadi. Begitu pula tempat kediaman santri yang masih sangat sederhana, terbuat dari kayu dengan fasilitas sekadarnya. Jika dibandingkan dengan system sekolah atau madrasah, dilihat dari segi sarana dan prasana pesantren tradisional jauh lebih sederhana.
Mengenai tujuan pesantren, sampai kini belum ada suatu rumusan yang definitive. Antara satu pesantren dengan pesantren yang lain terdapat perbedaan dalam tujuan, meskipun semangatnya sama, yakni untuk meraih kebahagiaan dunia dan akhirat serta meningkatkan ibadah kepada Allah s.w.t. adanya keragaman ini menandakan keunikan masing-masing pesantren dan sekaligus menjadi karakteristik kamandirian dan independensinya.
Tujuan pendidikan pesantren adalah menciptakan dan mengembangkan kepribadian muslim, yaitu kepribadian yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan, berakhlak mulia, bermanfaat bagi masyarakat dengan jalan menjadi kawula atau pengabdi masyarakat, sebagai rosul, yaitu menjadi pelayan masyarakat sebagaimana kepribadian Nabi Muhammad ( mengikuti sunnah Nabi ), mapu berdiri sendiri, bebas dan teguh dalam kepribadian, menyebarkan agama atau menegakkan Islam dan kejayaan umat Islam di tengah- tengah masyarakat ( ‘izzul Islamiwal muslimin ), dan mencintai ilmu dalam rangka mengembangkan kepribadian Indonesia[17].
Rumusan di atas menggambarkan bahwa pembinaan akhlak dan kepribadian serta semangat pengabdian menjadi target utama yang ingin dicapai pesantren. Karena itu, pimpinan pesantren memandang bahwa kunci sukses dalam hidup bersama adalah moral agama, yang dalam hal ini adalah perilaku keagamaan. Semua aktivitas sehari- hari di fokuskan pada pencarian nilai- nilai ilahiah. Hanya hidup seperti itu yang dapat mencapai kesempurnaan.
e. Kitab Kuning (kitab-kitab klasik)
Pondok pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam tradisional tidak dapat diragukan lagi berperan sebagai pusat transmisi dan desimasi ilmu-ilmu keislaman, terutama yang bersifat kajian-kajian klasik. Inilah kemudian khasanah Islam digali melalui kajia kitab-kitab klasik sekaligus yang membedakanya dengan lembaga pendidikan lainya. Makanya pengajaran kitab kuning telah menjadi karakteristik ciri khas dari proses pembelajaran di pondok pesantren.
Di dunia pesantren, kitab kuning juga sering disebut dengan kitab klasik (al-kutub al-qadimah) atau kitab kuno, karena memang ia merupakan produksi masa lampau yaitu sebelum abad ke-17-an M, atau khususnya masa lahirnya empat mazhab terbesar dalam Islam. Kitab kuning juga disebut dengan “kitab gundul” karena bentuk-bentuk hurufnya kadang tanpa disertakan sandangan (syakl)[18]
Nurcholish Madjid berpendapat bahwa untuk mendalami kitab-kitab klasik biasanya dipergunakan sistem weton dan sorogan, atau dikenal dengan sorogan dan bondongan[19]. Weton adalah pengajian yang inisiatifnya berasal dari kyai sendiri baik dalam menentukan tempat, waktu, maupun kitabnya. Sedangkan sorogan, adalah pengajian yang merupakan permintaan dari seorang atau beberapa orang santri kepada kyainya untuk diajarkan kitab tertentu[20].
Selanjutnya Nurcholis Madjid menyatakan bahwa di dalam kitab-kitab klasik mencakup beberapa cabang ilmu-ilmu antara lain; fiqih, tauhid, tasauf dan nahwu-sharf. Nurcholish Madjid juga merinci kitab-kitab yang menjadi kosentrasi keilmuan pesantren. Dalam ilmu fiqih misalnya digunakan kitab: safinat-u’l-Shalah, safinatu-u’l-Najah, fath-u ‘l-qarib, taqrib, fath-u ‘lmu’in, minhaj-u ‘l-qawim, mutma’inah, al-‘iqna, dan fath-u ‘lwahhab, yang termasuk cabang tauhid, aqidat-u ‘al’awamm, badiu ‘l-amal, dan sanusiyah. Kemudian dalam cabang ilmu tasauf; al-nasha-u ‘l-diniyah, irsyad-u ‘l-ibad, tanbih-u ‘l-ghafilin, minhaju-u ‘l-abidin, al-da’watu-u ‘l-tammah, al-hikam, risalat-u ‘lmuawanah wa ‘l-muzahaharah, dan bidayat-u ‘l-bidayah. Selanjutnya dalam nahwu-sahrf; al-maqsud (nazham), awamil (nazham), imrithi (nazham), ajurumiyah, kaylani, mirhat-u ‘-I’rab, alfiyah, dan ibnu ‘aqil[21]. Kitab-kitab klasik ini hanya sebagian yang disebutkan karena kekayaan khazanah kitab-kitab klasik ini sesungguhnya banyak sekali.
f. Ideologi
Pada umumnya ideology yang dianut adalah theosentris cendrung kepada persolan-persolan ketuhanan atau keahiratan, hal ini didukung oleh kurikulum yang hampir keseluruhan kitab-kitab klasik yang sarat akan nuansa filosofis.
è Pesantren Modern ( Khalaf )
Secara umum pesantren khalaf pada dsarnya adalah pesantren salaf yang sudah beradaptasi dengan dunia luar, dengan pengertian lain lembaga pendidikan pesantren yang telah memasukan kurikulum umum dalam system pembelejaranya, hal ini secara sederhana dapat dipahami sebagai lembaga pendidikan Islam yang sudah modern. Hal ini dapat diketahui melalui cirri-ciri khuusnya sebagai berikut :
a. Kehidupan kyai dan santri
Pesantren adalah sebuah kehidupan yang unik sebagaimana dapat dilihat dari penampilan lahiriahnya. Pesantren adalah sebuah kompleks dengan lokasi yang biasanya terpisah dari kehidupan sekitarnya. Dalam kompleks itu berdiri beberapa rumah kiai atau pengasuh pesantren, mesjid sebagai tempat pengajaran diberikan, dan tempat penginapan santri ( bilik ). Menurut Zamakhsyari Dhofier, baik pesantren khalafi kecuali pondok Gontor, tetap mempertahankan unsure- unsure tradisional, yaitu pondok, mesjid, pengajaran kitab- kitab Islam klasik, santri, dan kiai[22].
Dalam lingkungan fisik itu, diciptakan semacam cara kehidupan yang memiliki sifat dan cirri tersendiri dimulai dengan jadwal kegiatan yang memang menyimpang dari pengertian masyarakat pada umumnya. Kegiatan di pesantren berkisar pada pembagian waktu berdasarkan waktu shalat wajib yang lima. Dengan sendirinya pengertian waktu pagi, siang, dan sore di pesantren menjadi berbeda dengan pengertian di luar. Dalam hal inilah, misalnya, sering di jumpai santri yang menanak nasi di tengah malam, mencuci pakaian menjelang terbenam mata hari. Dimensi waktu yang unik ini ercipta karena kegiatan pokok pesantren di pusatkan pada pemberian pengajian kitab- kitab teks ( al- kutub al- muqarrah ) pada setiap selesai shalat wajib. Demikian pula ukuran lamanya waktu yang di pergunakan sehari- hari; pelajaran waktu di tengah hari dan malam lebih panjang dari pada waktu petang dan subuh[23].
Corak kehidupan pesantren juga dapat dilihat dari struktur pengajaran yang di berikan. Dari sistematika pengajaran, dijumpai jenjang pelajaran yang berulang – ulang dari tingkat ke tingkat, seakan- akan tanpa akhir. Persolan yang diajarkan seringkali pembahasan serupa yang di ulang- ulang selama jangka waktu bertahun- tahun, walaupun buku teks yang dipakai berbeda. Biasanya dimulai dengan kitab kecil ( mabsuthat ); kemudian berpindah ke kitab sedang ( mutawassithat ); sampai kitab yang besar ( al- kutub al- ulya ). Masing- masing kitab di pelajari bertahun- tahun; bahkan pengajaran di pesantren tidak mengenal kata selesai atau tamat. Demikian juga tentang kenaikan tingkat, seorang santri lebih cenderung memilih mengulang kembali kitab yang sebenarnya sudah di pelajarinya bertahun- tahun. Persoalan kenaikan tingkat bukan suatu yang harus di jalani, melainkan yang di pentingkan adalah kedalam dan keluasan ilmu dengan menguasai kitab- kitab yang di tetapkan[24].
b. Masjid
Pembelajaran di pesantren yang dilakukan kyai biasanya dilakukan di masjid. Masjid adalah pusat kegiatan ibadah dan belajar mengajar. Masjid merupakan sentral sebuah pesantren karena disinilah pada tahap awal bertumpu seluruh kegiatan di lingkungan pesantren. Tetapi seiring dengan perkembangan jumlah santri belajar berlangsung di bangku, tempat khusus dan ruangan-ruangan khusus untuk halaqah-halaqah. Bahkan perkembangan terahir menunjukan adanya ruang kelas-kelas sebagaimana terdapat pada madarasah.
Masjid dalam sejarah Islam, bukanlah sarana kegiatan peribadatan semata, lebih jauh dari itu masjid menjadi pusat bagi segenap aktivitas Nabi Muhammad dalam berinteraksi dengan umat. Masjid, menurut Nurcholish Madjid dapat juga dikatakan sebagai sarana terpenting masyarakat Islam, dalam pandangan Nurcholish Madjid, pembangunan masjid adalah modal utama Nabi ketika berjuang menciptakan masyarakat beradab[25].
c. Buku-buku modern
d. Materi Pelajaran
Materi pelajaran yang disajikan kolaborasi kurikulum pendidikan agama ( termsuk kitab-kitab lasik) dan mata pelajaran umum.
e. Ideologi
Pada umumnya menganut theosentris humanistic yang mengacu pada pada pandangan-pandangan ketuhanan dankemanusiaan.
Inilah beberapa karakteristik dan ciri khusus pendidikan Islam tradisional pesantren, tulisan ini tentu amat sangat sederhana mengingat kajian yang penulis lakukan belumlah sempurna oleh karena itu tulisan ini perlu banyak kritik dan masukan sehingga menjadi satu karya tulis ilmiah yang dapat bermanfaat bagi pengembangan lembaga pendidikan Islam.
3. Ciri Khusus Lembaga Pendidikan Islam Tradisional : Pesantren ( Salaf)
Dari pembahasan diatas dapat diketahui karakteristik kehidupan pesantren yang sebenarnya, sebagai sesuatu yang berbeda dengan system pendidikan pada umumnya. Berikut ini dipaparkan beberap ciri khusus yang sangat menonjol dalam kehidupan pesantren, sehingga membedakannya dengan system pendidikan yang lain. Setidak- tidaknya ada delapan cirri pendidikan pesantren, sebagai berikut:
1. Adanya hubungan yang akrab antara santri dengan kiainya. kiai sangat memperhatikan para santrinya. Hal ini dimungkinkan karena sama- sama tinggal dalam satu kompleks dan sering bertemu baik disaat belajar maupun dalam pergaulan sehari- hari.
2. Kepatuhan santri kepada kiai. Para santri menganggap bahwa menetang kiai, selain tidak sopan juga dilarang agama; bahkan tidak memperoleh berkah karena durhaka kepada guru.
3. Hidup hemat dan sederhana benar- benar di wujudkan dalam lingkungan pesantren. Hidup mewah hampir tidak di dapat disana. Behkan tidak sedikit santri yang hidupnya terlalu sederhana atau erlalu hemat sehingga kurang memperhatikan kesehatannya.
4. Kemandirian amat terasa di pesantren. Para santri mencuci pakaian sendiri, membersihkan kamar tidurnya sendiri, dan memasakpun sendiri.
5. Jiwa tolong menolong dan suasana persoudaraan ( ukhwah ) sangat mewarnai pergaulan di pesantren. Ini disebabkan, selain kehidupan yang merata di kalangan santri, juga karena mereka harus mengerjakan pekerjaan – pekerjaan yang sama, seperti shalat berjamaah, membersihkan masjid dan ruang belajar bersama.
6. Disiplin sangat di anjurkan di pesantren. Pagi- pagi antara pukul 04.30 atau 05.00, kiai membangunkan para santri untuk diajak shalat subuh berjamaah. Meskipun tidak semua pesantren yang memberikan kebebasan kepada santrinya untuk menetukan sendiri apa yang seharusnya dilakukan. Namun, pembinaan disiplin sejak masa belajar di pesantren akan meberikan pengaruh besar terhadap para santri; terutama pembentukan kepribadian dan moral keagamaan.
7. Berani menderita untuk mencapai suatu tujuan merupakan salah satu segi pendidikan yang di peroleh para santri di pesantren. Ini merupakan pengaruh kebiasaan puasa sunat, zikir, o’tikaf, shalat tahajud di malam hari, dan latihan- latihan spiritual lainya.
8. Pemberian ijazah, yaitu pencantuman nama dalam salah satu daftar rantai transmisi pengetahuan yang di berikan kepada santri- santri yang berprestasi. Ini menandakan perkenan atau restu kiai kepada murid atau santrinya untuk mengajarkan sebuah teks kitab setelah dikuasai penuh. Pemberian ijazah ini biasanya diucapkan secara lisan; walaupun kadang kala di tulis, maka catatannya hanya ada pada kiai.[26]
Perlu di catat bahwa ciri- ciri di atas merupakan gambaran sosok pesantren dalam bentuk yang masih murni, yaitu pesantren tradisional. Sementara dinamika dan kemajuan zaman telah mendorong terjadinya perubahan terus menrus pada sebagian besar pesantren. Adalah kurang relevan kalau ciri- ciri tersebut dilekatkan pada pesantren- pesantren yang telah mengalami pembaharuan dan pengadopsian system pendidikan modern.
4. Madrasah Model & Madrasah Terpadu
Madrasah sebagai lembaga pendidikan Islam di Indonesia relative lebih muda di banding pesantren, ia lahir pada abad 20 dengan munculnya madrasah manba’ul ulum kerajaan surakarta tahun 1905 dan sekolah adabiyah yang didirikan oleh Syekh Abdullah Ahmad di Sumatera Barat tahun 1909[27].
Madrasah memiliki metode pengjaran seperti hafalan, latihan dan praktek. Ini kielanjutan dari masa Rasulullah SAW. Terutama ketika beliau memberikan pelajaran Al-Qur’an, pada masa perkembangan berikutnya, pendidikan Islam yang dilakukan di Madrasah menggunakan metode talqin, dimana guru mendikte dan murid mencatat lalu menghafal. Setelah, hfalan guru lalu menjelaskan maksudnya.metode ini oleh maksidi disebut sebagai metode tradisional; murid mencatat, menuliskan materi pelajaran, membaca, mengahafal dan setelah itu berusaha memahami arti danmksud pelajaran yang diberikan[28]. Pada perkembangan selanjutnya pendidikan madrasah dikembangkan menjadi beberapa jenjang pendidikan, yaitu Madrasah Ibtidaiyah, Madrasah Tsanawiyah dan madrasah Aliyah.
Madrasah Model adalah madrasah yang secara khusus diformulasikan untuk meningkatkan kualitas bidang sains dan matematika[29]. Menurut Husni Rahim dengan merujuk pada hasil laporan yang berjudul “bekerja bersama madrasah membangun model pendidikan di Indonesia” menyebutkan sekurang-kurangnya ada bentuk keberhasilan program masrasah model tersebut, yaitu[30]: (1). Terjadinya peningkatan kualitas guru melalui berbagai program pendidikan (seperti S2 dan S3) dan program pelatihan, (2). Meningkatkan mutu lulusan pendidikan madrasah yang tampak dengan kecilnya kesenjangan prestasi siswa madrasah dengan sekolah umum., (3). Meningkatnya animo para orang tua untuk menyekolahkan anaknya ke madrasah seiring dengan meningkatnya daya tampung madrasah, (4). Mulai terbentuknya networking antara madrasah dengan berbagai perguruan tinggi, khususnya dengan STAIN, IAIN, dan UIN dan perguruan tinggi agama lainya.
Madrasah Terpadu adalah sebuah konsep pengembangan madrasah yang mencoba mensinergikan berbagai potensi kekuatan MI, MTs dan MA yan berada dalam satu lokasi untuk membantu, saling mengisi kekuatan dan kelemahan masing-masing untuk mendorong peningkatan kualitas pendidikan madrasah[31].
5. Sekolah Islam Terpadu (SDIT, SMPIT & SMAIT)
Sekolah Islam terpadu digagas karena melihat kejengahan sekolah-sekolah nasional yang mendidik anak sekuleristik dengan memisahkan kehidupan keagamaan dan kehidupan sosial bermasyarakat. Kemudian ada beberapa sekolah Islam yang juga bagin dari sekuleristik yang sangat focus terus di ibadah-ibadah mahdloh sehingga mengabaikan sehi ilmu pengetahuan. Ini berdampak pada umat Islam yang semakin terpuruk dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi.
Guna menjaga mutu dankualitas sekolah Islam terpadu, sejumlah praktisi danpemerhati pendidikan Islam, membentuk sebuah wadah yaitu Jaringan Sekolah Islam Terpadu (JSIT), dengan misi utamanya; Islami, efektif dan bermutu[32].
Konsep trepadu menurut JSIT. Pertama, keterpaduan antara orang tua dan guru dalam membimbing anaknya. Kedua, keterpaduan dalamkurikulum Ketiga, keterpaduan dalam konsep pendidikan. Ada sinergi antara stakeholder yang terkait dengan pendidikan tersebut[33]. Terpadu sebenarnya memiliki arti yang sangat luas mulai dari kurikulumnya, pembelajaranya, lingkungan sekolah yang memadukan dengan masyarakat, orang tuadan sebagainya. Banyak sekali orang yang melihat sekolah Islam terpadu begitu diminati sehingga beberapa orang berminat untuk mendirikan sekolah Islam terpadu tersebut. Data terahir disampaikn oleh Jaringan Sekolah Islam Terpadu (JSIT) bahwa anggotanya mulai dari TK sampai SMU jumlahnya sekitar 200 Sekolah dari seluruh Indonesia[34].
6. Sekolah Muhammadiyah
Salah satu titik berat Muhammadiyah adalah bidang pendidikan, yang system pengajaranya berpolakan system sekolah negeri. System pendidikan dan pengajaran tersebut bukan dimaksudkan untuk menciptakan sendiri sautu sistim pendidikan Islam, melainkan untuk mengorganisasi sistempendidikan swasta yang sejajar dengan system nasional[35].
Memang sejak awal kelahiran muhammadiyah cendrung menyesuaikan dengan system penbdidikan colonial, sekalipun hanya dalam tata cara penyelenggaraan pendidikan dan bukan dalam materi atau isi dan tujuan pendidikanya. Dan yang terpenting dari ini adalah bahwa sekolah-sekolah muhammadiyah menekankan doktrin-doktrin Muhammadiyah.
7. Lembaga Pendidikan Islam ; Meunasah
Meunasah merupakan satu bangunan yang terdapat di setiap gampong (kampong, desa). Bangunan ini seperti rumah tapi tidak mempunyai jendela dan bagian-bagian lain. Bangunan ini digunakan sebagai tempat belajar dan diskusi dan membicarakan masalah-masalah kemasyarakatan. Disamping itu, ia juga menjadi tempat bermalam para anak-anak muda serta orang laki-laki yang tidak mempunyai istri. Setelah Islam mapan di Aceh, Meunasah juga menjadi tempat sholat bagi masyarakat dalam satu ‘gampong’[36].
Dalam perkembangan selanjutnya meunasah bukan saja sebagai tempat ibadah saja , melainkan juga tempat pendidikan , tempat pertemuan, bahkan juga tempat transaksi jual beli barang takbergerak, kumudian juga sebagai tempat mengnap para musafir, tempat membaca hikayat dan tempat mendamaikan jika ad warga kampong yang bertikai[37]. Bahkan menurut Gazalba meunasah juga digunakan sebagai tempat berzikir, berdoa’a dan tempat praktik tarekat yang kemudian disebut suluk. .
Meunasah sebagai institusi pendidikan merupakan lembaga pendidikan terendah dan meunsah dipimpin oleh Tengku Meunasah, sedangkan untuk anak murid perempuan diajar oleh teungku perempuan yang disebut teungku inong.
8. Lembaga Pendidikan Islam ; Rangkang
Sebagai lembaga pendidikan lanjutan, murid yang diterima di rangkang ini umumnya mereka yang sudah belajar di meunasah, sedangkan lama belajar tidak ditentukan oleh batasan tahun, tetapi ditentukan oleh kemampuan murid dalam menyelesaikan pelajaranya
9. Lembaga Pendidikan Islam ; Dayah
Istilah dayah berasal dari bahasa Arab Zawiyah yang berarti pojok, sudut, bagan dari suatu tempat/bangunan. Berbeda dengan meunasah dayah didatangi khusus oleh orang dewasa yang sudah mempunyai pengetahuan dasar tentang keislaman, para penguasa, bahkan juga oleh para ulama. Dayah sebagai pendidikan formal tidak terdapat di setiap gampong sebagaimana meunasah, dayah ini terdapat pada setiap mukim. Mukim adalh gabungan dari beberapa gampong.
Selain meunasah, dayah dan rangkang ada juga bale atau sekolah di Aceh pada tingkat menengah atas. Dengan demikian jika runutkan sebagai berikut pendidikan tingkat meunasah (tingkat dasar), tingkat rangkang (menengah pertama), tingkat balee (menengah atas), dan dayah manyang (tingkat tinggi). Masing- masing tingkatan secara berturut- turut diajarkan oleh Teungku Meunasah, Teungku di Rangkang, Teungku di Balee, dan Teungku Chik.
10. Lembaga Pendidikan Islam ; Surau
Sebagimana telah diketahui bahwa di minangkabau lembaga pendidikan pertama adalah surau. Surau ini memiliki karakteristik yang berbeda dengan lembaga pendidikan pada umumnya yang ada di Indonesia. Kendatipun mendekati pesantren yang ada di jawa. Menurut Azra, kalaupun ada persamaan tidak lain karena terdapatnya beberapa karakeristik yang sama atau mirip dengan pesantren[38]. Untuk memberikan ciri- ciri khusus surau dapat di ketahui beberapa bentuk berikut ini:
f. Istilah guru.
Disurau mingkabau tidak dikenal istilah kyai. Akan tetapi, kiai itu disebut syekh (yang telah dipakai dakam penyebutan awal). Syek ini mempunyai kedudukan yang tinggi dan pengaruh yang kuat. Lingkungan sosiokultural dan keagamaan masyarakat telah menempatkan seorang syekh sebagai tugas utama pda surau dan mempengaruhi eksistensi surau itu sedikit.
g. Istilah murid yang menunut ilmu di surau disebut orang siak.
Hal ini ditujukan untuk mengikuti pelajara disuarau. Orang siak tidak dikenai pengutan atau biaya apapun seperti uang sekolah, asrama atau uang makan. Karena itu banyak orang siak jarang sekali memberikan uang kepada syekh kalaupun ada diberikan kepada keluarga dengan ikhlas[39].
h. Metode dan kurikulum surau
Metode dankurikulum di surau dalam pencapaian tujuan hasil belajar mengajar dapat dikategorikan dengan dua system yaitu Pertama, metode sorogan yakni murid secara persorangan dengan guru atau yang juga dikenal dengan metode individual. Kedua, metode halaqoh, dimana seorang guru atau syekh dalam memberikan pelajaran dikelilingi murid-muridnya atau yang juga dikenal dengan metode kolektif. Namun pada sisi lain, dipakai metode ceramah khususnya dalam mengajar akhlak.
Sedangkan dalam bidang kurikulum, pada masa permulaan masuknya Islam sampai setidak-tidaknya pada tahun 1900-an yang meliputi pelajaran agama saja, sedangkan pelajaran umum belum diajarkan . Masa perubahan, system pendidikan surau tahun 1908-1990 maka berubah pula kurikulum pendidikan surau terutama pada pengajian kitab yang mengalami penambahan mencapai dua belas kitab[40].
11. Simpulan
Berdasarkan hasil kajian diatas, maka penulis dapat simpulkan dalam beberapa poin penting diantaranya :
1. Lembaga pendidikan Islam di Indonesia secara historis memiliki corak dan karakteristiknya masing-masing sesuai dengan factor internal dan eksternalnya.
2. Lembaga pendidikan Islam di Indonesia memiliki karakteristik dan cirri khusus yang menonjol dari hampir seluruh jenis dan bentuk pendidikan yaitu mewariskan dan mengembangkan nilai-nilai ajaran agama Islam.
3. Lembaga pendidikan Islam yang memiliki karakeristik dan cirri khusus yaitu Pesantren Tradisional atau salaf dan pesantren modern atau khalaf terletak pada materi pelajaran dan metode pengajaran, jenjang pendidikan, fungsi pesantren, prinsip-prinsip pendidikan pesantren, sarana dan tujuan pesantren, kehidupan kyai dan santri, kitab kuning dan masjid. Madrasah model dan madrasah terpadu terletak pada system pembelajaran dan guru dengan kualifikasi S2 atau S3 danketerpaduan kurikulum maupun pembinaan antara orang tua dengan sekolah. Sekolah Islam Terpadu (1), keterpaduan antara orang tua dan guru dalam membimbing anaknya. (2), keterpaduan dalam kurikulum (3) , keterpaduan dalam konsep pendidikan. Sekolah Muhammadiyah yang system pengajaranya berpolakan system sekolah negeri.dimaksudkan untuk mengorganisasi system pendidikan swasta yang sejajar dengan system pendidikan nasional
4. Meunasah, Rangkang dan Dayah adalah lembaga pendidikan Islam yang berada di Aceh jika urutkan sebagai berikut pendidikan tingkat meunasah (tingkat dasar), tingkat rangkang (menengah pertama), tingkat balee (menengah atas), dan dayah manyang (tingkat tinggi).
5. Surau adalah lembaga pendidikan Islam di minangkabau memiliki karakteristik yaitu istilah guru disebut syekh, istilah murid disebut orang siak, Metode dan kurikulum (metode sorogan dan metode halaqoh, namun pada sisi lain, dipakai juga metode ceramah khususnya dalam mengajar akhlak. Sedangkan dalam bidang kurikulum, yang meliputi pelajaran agama saja, sedangkan pelajaran umum belum diajarkan)
Daftar Pustaka
Bawani, Imam, Tradisionalisme Dalam Pendidikan Islam, Suarabay, al-Ikhlas, 1993
Deprtemen Agama RI, Madrasah Sejarah Madrasah; Pertumbuhan, Dinamika Dan Perkembangan Di Indonesia, Jakarta, Dirjen Kelembagaan Agama Islam, 2004.
Dhofier, Zamakhsyari, Tradisi Pesantren : Study Tentang Pandangan Hidup Kyai, Jakarta, LP3ES. 1982
Hurgronje, Snouck, Aceh, Rakyat dan Adat Istiadatnya, Jakarta, INIS, 1991
Kafrawi, Pembaharuan Sistem Pendidikan Pondok Pesantren Sebagai Usaha Peningkatan Prestasi Kerja dan Pembinaan Kesatuan Bangsa, Jakarta, Cemara Indah, 1978
Madjid ,Nurcholish, Bilik-Bilik Pesantren: Sebuah Potret Perjalanan, Jakarta, Paramadina, 1997
……………………, Kaki Langit Peradaban Islam, cet. ke-1, Jakarta; Paramadina, 1997
Maksum, Madrasah; Sejarah dan Perkembanganya, Jakarta, logos, 1999
Mastuhu, Dinamika System Pendidikan Pesantren, Jakarta, INIS, 1994
M.T Arifin, Muhammadiyah Potret Yang Berubah, Surakarta, Institut Gelanggang Pemikiran Filsafat Sosial Budaya dan Kependidikan, 1996
Nata, Abudin, (editor), Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan Lembaga-Lembaga Pendidikan Islam Di Indonesia, Jakarta, Grasindo, 2001
Raharjo, Dawam M, Pesantren dan Pembaharuan, Jakarta, LP3ES, 1974
Rahim, Husni, dalam Departemen Agama “Anatomi Madrasah di Indonesia” makalah diseminarkan pada acara Rountable Discussion Masa Depan Madrasah yang diselenggarakan oleh INCIS pada tanggal 27 Juli 2004
Syarifudin, Rachmat, “JSIT Memberdayakan Sekolah-Sekolah Islam” copyright©2007 www.republika.com
Tholkhah, Imam dkk, Membuka Jendela Pendidikan, Mengurai Akar Tradisi dan Integrasi Keilmuan Pendidikan Islam, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004
Zarkasyi, Amal Fathullah, Pondok Pesantren sebagai Lembaga Pendidikan dan Dakwah, dalam Solusi Islam, Atas Problematika Umat, Ekonomi, Pendidikan dan Dakwah, cet. ke-1, Jakarta; Gema Insani Press,1998
----------------
[1] Azyumardi Azra dalam pengantar Abudin Nata (editor), Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan Lembaga-Lembaga Pendidikan Islam Di Indonesia, Jakarta, Grasindo, 2001, hlm. Viii
[2] Samsul Nizar, Lembaga Pendidikan Islam di Nusantara dalam Abudin Nata (editor), Ibid, hlm. 6
[3] Maksum, Madrasah; Sejarah dan Perkembanganya, Jakarta, logos, 1999, hlm.51
[4] Mastuhu, Dinamika System Pendidikan Pesantren, Jakarta, INIS, 1994, hlm. 59
[5] Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren : Study Tentang Pandangan Hidup Kyai, Jakarta, LP3ES. 1982, hlm.28
[6] Kafrawi, Pembaharuan Sistem Pendidikan Pondok Pesantren Sebagai Usaha Peningkatan Prestasi Kerja dan Pembinaan Kesatuan Bangsa, Jakarta, Cemara Indah, 1978, hlm. 20
[7] Kafrawi, Ibid , hlm. 20-21
[8] Kafrawi, Ibid , hlm.23-24
[9] Ibid , hlm.927-956
[10] Imam Bawani, Tradisionalisme Dalam Pendidikan Islam, Suarabay, al-Ikhlas, 1993, hlm. 100
[11] Mastuhu, Dinamika System Pendidikan Pesantren, Jakarta, INIS, 1994, hlm. 59
[12] Azyumardi Azra, “Pesantren: Kontinuitas Dan Perubahan” dalam Nurcholish Madjid, Bilik-Bilik Pesantren: Sebuah Potret Perjalanan, Jakarta, Paramadina, 1997, hlm. xxi
[13] Mastuhu, op.cit, hlm. 59-60
[14] Ibid, hlm. 62-66
[15] Abdurrahman Wahid, “Pesantren Sebagai Subkultur” dalam Dawam M. Raharjo, Pesantren dan Pembaharuan, Jakarta, LP3ES, 1974, hlm.40-41
[16] Ibid, hlm. 45
[17] Mastuhu, op.cit, hlm.55-56
[18] Ali Yafiie, dikutip dalam Imam Tholkhah dan Ahmad Barizi, Membuka Jendela Pendidikan, Mengurai Akar Tradisi dan Integrasi Keilmuan Pendidikan Islam, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004. hlm. 74
[19] Nurcholish Madjid, Bilik Bilik Pesantren, Sebuah Potret Perjalanan, cet. Ke-1 Jakarta; Paramadina, 1997, hlm. 28
[20] Amal Fathullah Zarkasyi, Pondok Pesantren sebagai Lembaga Pendidikan dan Dakwah, dalam Solusi Islam, Atas Problematika Umat, Ekonomi, Pendidikan dan Dakwah, cet. ke-1, Jakarta; Gema Insani Press,1998, hlm. 103-104
[21] Nurcholish Madjid, Bilik-Bilik Pesantren, Op.Cit, hlm. 28-29
[22] Zamakhsyari Dhofier, op.cit. hlm. 44
[23] Abdurrahman Wahid, dalam Dawam Rahardjo, op.cit, hlm. 40-41
[24] Ibid, hlm. 41
[25] Nurcholish Madjid, Kaki Langit Peradaban Islam, cet. ke-1, Jakarta; Paramadina, 1997. hlm.34
[26] Hasan Basri, Pesantren: Karakteristik dan Unsure-Unsur Kelembagaan, dalam Nata (editor), Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan Lembaga-Lembaga Pendidikan Islam Di Indonesia, Jakarta, Grasindo, 2001, hlm. 120
[27] Malik Fajar, Madrasah dan Tantangan Modrnitas, Bandung, MIzan, 1998,
[28] Daprtemen Agama RI, Sejarah Madrasah; pertumbuhan, dinamika dan perkembangan di Indonesia, tahun 2004, hlm. 67
[29] Deprtemen Agama RI, Madrasah Sejarah Madrasah; Pertumbuhan, Dinamika Dan Perkembangan Di Indonesia, Jakarta, Dirjen Kelembagaan Agama Islam, 2004, hal. 160
[30] Husni Rahim dalam Departemen Agama “Anatomi Madrasah di Indonesia” makalah diseminarkan pada acara Rountable Discussion Masa Depan Madrasah yang diselenggarakan oleh INCIS pada tanggal 27 Juli 2004
[31] Deprtemen Agama RI, op.cit, hal. 162
[32] Rachmat Syarifudin, “JSIT Memberdayakan Sekolah-Sekolah Islam” copyright©2007 www.republika.com
[33] Ibid
[34] Ibid
[35] M.T Arifin, Muhammadiyah Potret Yang Berubah, Surakarta, Institut Gelanggang Pemikiran Filsafat Sosial Budaya dan Kependidikan, 1996, hal. 270
[36] Snouck Hurgronje, Aceh, Rakyat dan Adat Istiadatnya, Jakarta, INIS, 1991, hlm. 50
[37] Hawas Abdullah, Perkembangan Tasauf dan Tokoh-Tokohnya di Nusantara, Surabaya, al-Ikhlas, 1983, hlm. 120
[38] Ayumardi Azra, Surau Di Tengah Krisis: Pesantren Dalam Perspektif Masyarakat Dalam Pergulatan Pesantren Membangun Dari Bawah, dalam Dawam Rahardjo, Jakarta, 1985, hlm. 155
[39] Ibid, hlm. 161
[40] Amirsyah, Sistem Pendidikan Surau dalam Abudin Nata (editor), Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan Lembaga-Lembaga Pendidikan Islam Di Indonesia, Jakarta, Grasindo, 2001, hlm. 60
Senin, 02 November 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar
MOHON TINGGALKAN KOMENTAR, PERTANYAAN DAN SARAN